- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
medina12 dan 182 lainnya memberi reputasi
183
309K
Kutip
4.5K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#734
Part 31 - Merelakannya
Spoiler for Part 31 - Merelakannya:
Berkali-kali gua mencoba menghubungi Marshall dan nggak ada jawaban. Nada sambungnya terdengar, yang artinya ponselnya dalam kondisi aktif. Nggak cuma melalui panggilan, gua juga mencoba mengiriminya pesan dan nggak ada juga balasan darinya.
Hari berganti hari, kini entah sudah berapa minggu gua nggak mendapat kabar apapun darinya.
Gua nggak berhenti mencoba, besoknya, dan hari-hari berikutnya, gua tetap mencoba menghubungi dan masih nggak ada balasan dari Marshall. Ia seakan ingin menghindar, ingin menjauh. Gua tau dan sadar kalau ia merasa bahwa dirinya terlalu ‘hina’ untuk berada di sini, di dekat gua. Satu hal yang ia nggak tau adalah; Gua nggak peduli dengan latar belakangnya. Tapi, tentu saja gua ada ketakutan di dalam hati jika Marshall pergi untuk si perempuan karbol. Karena terakhir kali gua melihat Marshall, mereka sempat ngobrol berdua. Sebuah kemungkinan yang coba gua abaikan.
Di dalam kamar, di sisi ranjang, gua duduk termenung sambil memegang ponsel yang baru saja gua pakai untuk mencoba menghubunginya. Meratapi kepergian Marshall seraya mencoba mencari-cari kemungkinan dan alasan yang tepat dari kepergiannya.
Dalam renungan, gua menyadari kalau mungkin saja Marshall memang butuh waktu untuk sendirian. Dan sepertinya terlalu egois jika gua terus memaksakan hubungan ini. Akhirnya, setelah lama tenggelam dalam renungan, gua memutuskan untuk melepaskannya.
Melepaskan Marshall bukan berarti gua merelakannya.
Seandainya ia pergi dari gua dan di kemudian hari hatinya berlabuh pada si perempuan beraroma karbol tentu saja gua nggak rela. That’s why, sampai saat ini, sampai detik ini, gua terus mencoba mencari keberadaannya. Bukan, bukan karena ingin menemuinya, gua hanya ingin mengetahui kabar darinya.
“Pak, telpon Lik Imran dong” Pinta gua ke bokap yang saat itu tengah duduk bersama nyokap di ruang tamu sambil menonton televisi.
“Pop, tempo hari kan kamu udah telpon pak lik. Dan paklik udah bilang kalau dia nggak tau Marshall dimana…” Jawab bokap, seakan tau apa maksud dari permintaan gua barusan. Namun, walaupun begitu ia tetap mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Lik Imran.
Iya, beberapa hari sebelumnya dan sesaat setelah gua menyadari kepergian Marshall. Lik Imran merupakan salah satu orang yang acap kali gua teror untuk mendapatkan informasi tentangnya. Tapi, ia selalu mengatakan hal yang sama; ‘nggak tau’.
Setelah membuka obrolan awal dengan Lik Imran, Bokap menyerahkan ponselnya ke gua dengan kondisi sudah tersambung dengan Lik Imran.
Gua meraih ponsel tersebut dan mulai bicara dengan Lik Imran.
“Halo Lik” Sapa gua.
“Ya Pop?”
Masih dengan ponsel di telinga, gua berjalan keluar dari rumah lalu duduk di teras sambil terus melanjutkan obrolan dengan Lik Imran.
“Lik, dimana?” Tanya gua.
“Di rumah Pop, ono opo?” Ia balik bertanya.
“Aku kesana ya Lik?”
“Ya kesini aja. Ono opo sih?”
“Ada deh…”
“Kalo nanya Marshall, lik kan udah bilang nggak tau”
“Nggak, ini mah lain” Gua menjawab, berbohong. Tentu saja, nanti gua tetap bakal menanyakan hal yang sama; tentang Marshall. Karena sebelumnya, gua hanya bertanya ke Lik Imran melalui sambungan telepon, dimana saat itu gua nggak bisa melihat ekspresi wajahnya saat bicara.
“Yo wis, jangan siang-siang ya pop…”
“Iya lik..”
Gua mengembalikan ponsel ke bokap, naik ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke rumah Lik Imran.
Hampir satu jam berikutnya, gua sudah berada di rumah Lik Imran yang berada di daerah Ciledug, Tangerang.
Nggak pakai basa-basi, begitu bertemu dengannya, gua langsung mengajukan pertanyaan; “Lik, Marshall kemana?”
Mendengar pertanyaan gua barusan, Lik Imran terlihat mengernyitkan dahinya. Mungkin ia merasa kalau gua nggak bakal mengajukan pertanyaan tersebut, sesuai dengan ucapan gua di telepon tadi.
“Nggak tau, Pop” Jawab Lik Imran dengan penekanan pada kata ‘Nggak tau’. Tapi, dari ekspresi wajahnya, dengan sengaja menghindari kontak mata, gua tau kalau ada yang sengaja ia sembunyikan; ia berbohong.
“Lik.. please lah, Lik” Pintaku dengan nada memohon.
“...” Lik Imran hanya terdiam seraya menggaruk kepalanya.
“...Lik, aku nggak bakal nyamperin dia. Aku cuma mau tau dia dimana lik” Pintaku lagi. Aku tau dan sadar, kalau seandainya Lik Imran tau tentang Marshall dan mungkin sudah berjanji padanya untuk nggak mengatakan apapun ke gua, ia bakal memegang janjinya.
Tapi, melanggar janji untuk sebuah kebaikan (yang hanya buat gua) adalah sesuatu yang bisa di maafkan, ya paling nggak begitu menurut gua.
“... Ayo lah Lik”
“...” Ia menggeleng.
Gua menghela nafas panjang, namun menolak untuk menyerah.
“Gini deh lik. Lik Imran nggak usah kasih tau Poppy secara detail. Cukup kasih tau kalau dia baik-baik aja” Kini Gua bicara dengan nada memohon yang lebih dari sebelumnya.
Barulah setelah mendengar penawaran gua, Lik Imran terlihat sedikit luluh. Ia lalu mulai bicara; “Lik nawarin dia kerjaan di proyek lain, di tempat lain”.
“Proyek Bangunan juga?” Tanya gua penasaran.
“Iya…”
“Dia mau?” Tanya gua lagi.
“Kata temen Lik sih, dia udah mulai kerja sekarang” Jawabnya.
“Boleh minta tolong tanyain ke temen lik Imran, apa dia baik-baik aja sekarang?” Pinta gua lagi.
“...”
“... Satu lagi lik, boleh nggak Poppy minta tolong kalau nanti ada apa-apa sama Marshall. Poppy langsung dikabarin?” Gua menambahkan.
“Iya Pop. Pasti” Jawab Lik Imran sambil tersenyum.
Mendengar jawaban darinya, gua langsung merasakan kelegaan yang luar biasa. Rasanya, seperti ada duri yang baru saja dicabut dari dalam kulit.
Setelah menghabiskan teh manis hangat di teras rumah Lik Imran, gua pamit dan bersiap untuk pulang.
—
Kehidupan gua berjalan tanpa Marshall.
Buat gua, ini bisa jadi salah satu kesempatan untuk memperbaiki diri. Agar nanti saat ada kesempatan untuk bertemu dengannya kembali, gua sudah layak baginya. Selain itu, ini juga bisa jadi momen yang tepat untuk gua kembali mengejar mimpi gua yang sebelumnya ‘terganggu’ dengan hadirnya Marshall.
Gua kembali membuka portal-portal job posting untuk mencari peluang pekerjaan yang menghasilkan uang lebih banyak daripada bekerja di minimarket dan tentu saja punya waktu yang lebih longgar agar gua bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk perkuliahan.
Di sela-sela kesibukan berkuliah dan mencari pekerjaan lain, gua masih tetap bekerja di minimarket. Hingga suatu hari, gua mendapat penawaran yang sepertinya nggak mungkin gua tolak.
Mbak Nindi, salah satu dosen di kampus gua menawarkan gua sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang sederhana, bisa dikerjakan dari manapun which is bisa menghemat banyak waktu dan yang terpenting this is an easy money.
“Pop, mau bantuin aku nggak?” Tanya Mbak Nindi begitu kelas berakhir.
“Bantuin apa Mbak?” Gua balik bertanya.
“Mbak kan selama ini ‘nyambi’, kerja sambil ngajar. Nah, sekarang tuh di tempat kerja mbak lagi butuh Marketing Analyst, kamu minat nggak?”
“Mmm.. mau sih mbak, tapi waktu kerjanya gimana? Flexible nggak? Aku takut bakal ganggu kuliah” Tanya gua.
“Lah selama ini bukannya kamu kerja di minimarket, itu aja bisa?”
“Iya di minimarket kan aku bisa tuker-tukeran shift sama temen”
“Oh, ya nanti coba mbak tanyain ya. Tapi kalau seandainya waktu kerjanya flexible kamu mau kan?” Tanyanya lagi.
Gua menggaruk kepala dan pasang senyum.
“Ya mau, asal gajinya lebih gede dari di minimarket” Gua memberi jawaban.
“Emang di minimarket, gaji kamu berapa?” Tanyanya.
Gua menoleh ke kiri dan kanan, memastikan semua mahasiswa sudah keluar dari ruang kelas kemudian mendekat, membisikinya nominal gaji yang selama ini gua terima dari minimarket.
Begitu mendengar jawaban gua, ia tersenyum dan langsung tertawa. Baru setelah puas tertawa ia kembali bicara; “Tenang, pasti lebih gede dari itu kok”
Gua mengacungkan ibu jari ke arahnya dan berseru; “Ok kalo gitu”
“Nanti aku kabarin ya” Ucapnya, kemudian pergi.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gua menerima pesan singkat dari Mbak Nindi yang isinya sebuah informasi tentang pekerjaan yang sempat ia tawarkan. ‘Pop, kapan bisa mulai kerja?’ tanyanya melalui pesan singkat.
‘Hah? Tiba-tiba’ Gua membalas.
‘Nanti ketemuan di kampus ya, aku jelasin langsung’ Balasnya lagi.
Walaupun hari itu gua nggak ada kelas, tapi karena diminta Mbak Nindi untuk datang, gua bergegas berangkat ke kampus.
Gua berdiri, bersandar pada dinding yang berada tepat di sebelah pintu ruang kelas. Sementara, samar terdengar suara Mbak Nindi yang tengah memberikan kuliah dari dalam ruangan. Setelah menunggu sekitar 15 menit, suara Mbak Nindi menghilang, diganti dengan riuh langkah kaki, disusul pintu kelas mulai terbuka, dan mahasiswa-mahasiswa keluar dari dalam. Gua menunggu hingga kelas sepi, kemudian masuk ke dalam.
Mbak Nindi terlihat duduk di kursi seraya menatap ke layar ponselnya. Begitu menyadari kehadiran gua, ia tersenyum, melambai dan memberi sapaan; “Hai…”
“Hai Mbak…”
Mbak Nindi lalu membawa gua menuju ke arah deretan kursi kelas, Ia duduk di salah satu kursi dan gua duduk di sebelahnya. Nggak menunggu lama, Mbak Nindi langsung membuka obrolan, tentu saja tentang pekerjaan yang ia tawarkan sebelumnya.
Sebelum masuk ke penawaran, Mbak Nindi lebih dahulu menjelaskan tentang detail job description pekerjaan yang ditawarkan ke gua. Setelah, merasa gua sudah cukup mengerti dengan penjelasan darinya, barulah Mbak Nindi mulai bicara tentang nominal gaji dan cara kerjanya.
“Yang ditawari segini, Pop” Ucap Mbak Nindi seraya mengangkat jari-jari tangan, melambangkan nominal gaji yang bakal gua terima nanti.
Sesuai dengan perkataan Mbak Nindi sebelumnya, nominal gaji yang ditawarkan hanya sedikit lebih besar daripada gaji yang gua terima dari minimarket.
Gua sudah tau tentang job description marketing analyst dan nominal gaji yang bakal gua terima. Kini, giliran gua yang bertanya tentang jam kerjanya; “Terus jam kerjanya gimana mbak?” Tanya gua.
“Nah ini yang seru, Pop” Ucap Mbak Nindi, sambil menggeser kursi agar lebih dekat.
“...”
“... Jadi, kerjanya tuh bias remote, Pop. Tapi, dalam satu minggu paling nggak kamu harus ke kantor untuk report” Tambah Mbak Nindi.
“Report ke siapa? Manager? Supervisor?” Tanya gua.
“Ke manager..” Jawabnya seraya menunjuk ke dirinya sendiri.
“Hah, jadi Mbak Nindi managernya?” Tanya gua lagi.
“Iya…” Jawabnya sambil tersenyum.
Mengetahui kalau jam kerjanya flexible dan atasan langsung gua adalah Mbak Nindi sendiri, tentu saja gua otomatis langsung setuju.
“Gimana?” Tanyanya.
Gua terdiam sebentar, berlagak menimbang-nimbang. Setelah beberapa saat barulah gua mengangguk pelan.
Mbak Nindi lalu mengeluarkan ponselnya, dan mulai mencatat alamat email pribadi gua. Katanya, Offering Letter-nya bakal dikirim melalui email. Sementara ini, ia meminta gua untuk mengurus pengunduran diri dari minimarket agar bisa segera mulai bekerja di tempatnya.
“Ok Sip!” Jawab gua sambil mengacungkan ibu jari.
Nggak seperti perusahaan konvensional lainnya, di minimarket tempat gua bekerja, proses mengundurkan diri nggak pake ribet. Disini kami, para karyawan yang ingin keluar nggak harus mengajukan one month notice, hari ini mengajukan resign besok bisa langsung di proses. Alasannya sederhana; Banyak calon karyawan yang menanti, menggantikan posisi kami disana.
Seminggu berselang setelah gua berhenti bekerja di minimarket, gua mulai bekerja di perusahaan yang sama dengan Mbak Nindi. Perusahaan ini masih terbilang baru, sebuah perusahaan internasional yang berasal dari Kanada yang berfokus pada penjualan springbed dan alat tidur. Awalnya, kantor yang di Indonesia hanya mengurus proses produksi, kemudian produknya bakal dikirim dan dipasarkan di luar negeri. Karena ingin melakukan ekspansi dengan menjual produknya di Indonesia, mereka memutuskan untuk melakukan hiring tim marketing internal untuk mulai memasarkan produknya di dalam negeri. Tentu saja dengan brief dan tuntunan dari kantor pusat yang berada di Kanada.
Lokasi kantornya berada di daerah Tangerang. Konon katanya mereka sengaja memilih kantor di sana agar lebih dekat dengan lokasi pabrik yang juga berada di Tangerang.
Saat hari pertama bekerja, setelah memperkenalkan gua dengan tim kecilnya, Mbak Nindi langsung membawa gua ke Pabrik. Di lokasi ini, pabrik-pabrik bertebaran dimana-mana, truk-truk berukuran raksasa hilir mudik di jalan raya merupakan hal yang umum. Dengan mobilnya, Mbak Nindi mengemudi lincah menyalip truk, menghindari sepeda motor dan kemudian berbelok ke sebuah area yang tertutup pagar besi tinggi.
Setelah melewati pemeriksaan, mobil yang dikendarai Mbak Nindi masuk ke area pabrik. Dari kejauhan terlihat sebuah bangunan yang besar dan luas. Saking luasnya area pabrik ini, hampir nggak ada orang yang terlihat berjalan kaki. Semuanya lalu-lalang dengan menggunakan sepeda motor atau mobil kecil seperti yang biasa digunakan di lapangan golf.
Mbak Nindi menghentikan mobilnya tepat di area parkir karyawan, kami turun dari mobil, lalu menuju ke sebuah gedung berlantai tiga yang terlihat sangat kecil dibanding dengan bangunan pabrik yang besar dan menjulang.
Bangunan ini merupakan area kantor yang biasanya dihuni oleh staf HR, Finance dan Operasional. Kami lalu disambut oleh salah satu karyawan yang kemudian mengantar ke atas, ke lantai tiga. Dari sini, jika kita menghadap ke arah belakang gedung, akan terlihat kegiatan di dalam pabrik melalui kaca kedap suara yang super besar.
Gua dan Mbak Nindi berdiri menatap ke arah bagian dalam pabrik.
“Gimana keren nggak Pop?” Tanya Mbak Nindi.
Gua yang seumur hidup belum pernah masuk ke dalam pabrik tentu saja takjub. Selama ini bayangan gua akan pabrik adalah seperti yang di tivi; kotor, penuh oli, desingan alat berat dan berisik. Tapi, di sini, di pabrik ini, terlihat sangat bersih, tenang dan terasa nyaman.
Dari tempat gua berdiri sekarang terlihat deretan conveyor dengan gulungan besi yang kemudian masuk ke dalam sebuah alat raksasa, lalu keluar dengan bentuk lain; sebuah per seukuran lengan orang dewasa.
“Ini area springbed” Ucap Mbak Nindi.
“Oh…”
“Nanti, per-per itu bakal dibungkus terus dimasukin ke bagian dalam kasur” Tambahnya, sambil menunjuk ke salah satu bagian lain dari pabrik.
“...”
“... Nah kalo untuk produksi bantal sama guling, ada di bangunan sebelah. Nanti kita kesana”
“Oh…” Gua merespon sambil masih merasa takjub.
Setelah selesai berkeliling, kami berdua melanjutkan obrolan di kantin sambil menikmati secangkir kopi sachet. Mbak Nindi lalu mulai sedikit bercerita tentang sejarah hadirnya perusahaan ini di Indonesia.
“Oh iya, Pop. Nanti kalo mau berangkat ke kantor, janjian aja. Jadi kamu bareng sama aku. Daripada harus naik angkutan umum…” Ucap Mbak Nindi.
“Ah nggak usah Mbak, nggak enak lah. Udah di kasih kerjaan masa masih nebeng” Gua menjawab.
“Lah, kamu nebeng apa nggak kan aku juga nggak rugi apa-apa. Malah enak ada temen ngobrol selama di tol” Ucapnya.
“Hmmm…”
“Udah santai aja sih Pop. Jadi, kamu naik kereta dulu, turun di stasiun Sudimara, nah nanti aku tunggu di depan stasiun deh. Mau yah, yah…” Tambahnya, dengan gaya sedikit memaksa.
“Hmmm, iya deh”
Mbak Nindi ini memang terkenal super baik. Apalagi ke para mahasiswa didiknya yang punya kekurangan ekonomi seperti gua. Sempat beberapa kali ia memberikan proyek-proyek sampingan untuk kami. Ya, walaupun bayarannya nggak seberapa tapi paling nggak, bisa buat tambah-tambah uang saku dan pengalaman.
Beberapa waktu yang lalu, Mbak Nindi juga sempat menawari gua untuk menjadi asisten dosen; membantunya membuat presentasi dan memeriksa hasil tugas. Namun, pengajuannya ditolak oleh kampus melalui dekan; menurut mereka, gua sudah berada di masa-masa akhir kuliah, takut pekerjaan sebagai asisten dosen bakal mengganggu proses belajar.
—
Sore itu, gua baru saja pulang dari kantor. Setelah turun dari stasiun, gua memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke rumah. Saat ini, bisa saja gua memesan ojek online untuk pulang, tapi entah kenapa gua ingin berjalan kaki, ingin menghabiskan waktu menyusuri gang kecil, menerobos pasar, hanya sekedar ingin mengingat momen-momen bersama Marshall, saat ia sering menjemput gua dari stasiun menuju ke rumah.
Gua berada di persimpangan jalan. Jika gua berbelok ke kiri, gua akan tiba di rumah lebih cepat. Sementara, Jika berbelok ke kanan jarak tempuh gua ke rumah akan lebih jauh karena harus memutar. Namun, gua memutaskan untuk mengambil jalur ke kanan, jalan yang nantinya akan membawa gua melewati kedai kopi dan minimarket tempat gua bekerja.
Gua menghentikan langkah tepat di depan kedai kopi tempat Marshall dulu bekerja.Hanya berdiri dan mendongak, menatap ke arah lantai dua kedai, berharap bisa melihat dirinya walau gua tau kalau hal itu hampir mustahil terjadi. Gua melanjutkan langkah, menyusuri jalan, dan beberapa meter di depan sudah terlihat atap dari minimarket tempat gua dulu sempat bekerja. Sempat terbesit rencana untuk mampir ke minimarket untuk membeli minuman ringan dan menyapa teman-teman yang masih bekerja disana.
Di teras mini market, gua berdiri, menatap ke arah perempuan yang gua kenali sebagai perempuan beraroma karbol; Tata.
‘Ngapain dia disini? Nyari Marshall?’ Batin gua dalam hati, kemudian mendekat ke arahnya. Perempuan itu tengah berdiri di teras minimarket seraya menatap layar ponselnya. Ia bahkan nggak menyadari kehadiran gua disana.
“Poppy?” Panggilnya dengan suara lirih.
“Lo ngapain?” Tanya gua.
“Kamu tau Marshall dimana?” Ia langsung mengajukan pertanya, tanpa basa-basi.
“Lho, bukannya gua yang harusnya nanya gitu ke elo?” Tanya gua lagi.
“Hah?”
“Terakhir gua ngeliat Marshall, ya waktu kalian ngobrol berdua”
“Jujur, aku nggak tau Marshall kemana. Aku kesini mau nyari dia” Jawabnya.
Begitu mendengar ucapannya barusan, ada kelegaan di dalam hati, karena menyadari kalau kemungkinan Marshall pergi bersama dia sudah gugur.
“Mau ngapain?”
“...”
“... Lo tau nggak sih, kalo lo tuh udah ngancurin hidupnya beberapa kali?” Tanya gua, mencoba membuatnya mengingat semua sikapnya terhadap Marshall selama ini.
“Iya, Tau” Jawabnya sambil mengangguk, ekspresinya kini terlihat penuh penyesalan.
“Terus ngapain lagi lo masih mau nyari dia?” Tanya gua lagi.
Ia menggelengkan kepala; “Nggak tau, aku juga nggak tau mau apa kalau ketemu sama dia. Aku cuma mau liat dia aja. Mau tau kondisinya”
“Ya lo tebak aja, menurut lo gimana kondisinya?” Ucap gua, menggebu-gebu.
Ia terlihat menghela nafas, seperti tengah mencoba menenangkan diri.
Kemudian mulai memberinya penjelasan. “Iya, aku tau aku salah. That’s why, sampe sekarang aku mau terus sama Marshall. Aku mau membayar semua kesalahan aku sebelumnya…”
“Tapi, nyatanya lo malah bikin semuanya jadi tambah runyam. Coba seandainya lo nggak hadir lagi di hidupnya. Marshall mungkin udah hidup tenang dengan sekarang…”
“Iya, aku ngerti. Dan aku juga nggak mau hal kayak gitu menimpa Marshall. Jujur, semua di luar kendali aku…” Ucapnya.
“Ya kalo lo udah tau begitu, nggak usah lah lagi lo cari-cari dia. Biarin aja dia hidup tanpa lo…”
“...”
“... Tanpa kita” Gua menambahkan, sengaja bicara seperti itu agar ia juga tau kalau disini, gua juga ikut kehilangan dirinya.
“Berarti bener lo sama sekali nggak tau Marshall ada dimana?” Tanyanya. Yang lantas gua respon dengan gelengan kepala.
“Boleh aku minta nomor ponsel kamu?” Pintanya sambil menyodorkan ponsel ke gua.
Tanpa banyak bicara, gua meraih ponsel miliknya yang ia sodorkan dan mulai memasukkan nama dan nomor ponsel gua.
“Boleh aku dikabari kalau nanti kamu ketemu sama Marshall?” Pintanya.
Mendengar permintaannya barusan tentu saja membuat gua sedikit tersulut emosi. Bagaimana mungkin ia menaruh harapan ke gua, ke orang yang juga sama-sama kehilangan Marshall.
“Hah! Lo tuh.. Apa ya? Nggak tau diri deh kayaknya…” Seru gua sambil mengembalikan ponsel kepadanya dan berlalu pergi.
—
Hari berganti hari, kini entah sudah berapa minggu gua nggak mendapat kabar apapun darinya.
Gua nggak berhenti mencoba, besoknya, dan hari-hari berikutnya, gua tetap mencoba menghubungi dan masih nggak ada balasan dari Marshall. Ia seakan ingin menghindar, ingin menjauh. Gua tau dan sadar kalau ia merasa bahwa dirinya terlalu ‘hina’ untuk berada di sini, di dekat gua. Satu hal yang ia nggak tau adalah; Gua nggak peduli dengan latar belakangnya. Tapi, tentu saja gua ada ketakutan di dalam hati jika Marshall pergi untuk si perempuan karbol. Karena terakhir kali gua melihat Marshall, mereka sempat ngobrol berdua. Sebuah kemungkinan yang coba gua abaikan.
Di dalam kamar, di sisi ranjang, gua duduk termenung sambil memegang ponsel yang baru saja gua pakai untuk mencoba menghubunginya. Meratapi kepergian Marshall seraya mencoba mencari-cari kemungkinan dan alasan yang tepat dari kepergiannya.
Dalam renungan, gua menyadari kalau mungkin saja Marshall memang butuh waktu untuk sendirian. Dan sepertinya terlalu egois jika gua terus memaksakan hubungan ini. Akhirnya, setelah lama tenggelam dalam renungan, gua memutuskan untuk melepaskannya.
Melepaskan Marshall bukan berarti gua merelakannya.
Seandainya ia pergi dari gua dan di kemudian hari hatinya berlabuh pada si perempuan beraroma karbol tentu saja gua nggak rela. That’s why, sampai saat ini, sampai detik ini, gua terus mencoba mencari keberadaannya. Bukan, bukan karena ingin menemuinya, gua hanya ingin mengetahui kabar darinya.
“Pak, telpon Lik Imran dong” Pinta gua ke bokap yang saat itu tengah duduk bersama nyokap di ruang tamu sambil menonton televisi.
“Pop, tempo hari kan kamu udah telpon pak lik. Dan paklik udah bilang kalau dia nggak tau Marshall dimana…” Jawab bokap, seakan tau apa maksud dari permintaan gua barusan. Namun, walaupun begitu ia tetap mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Lik Imran.
Iya, beberapa hari sebelumnya dan sesaat setelah gua menyadari kepergian Marshall. Lik Imran merupakan salah satu orang yang acap kali gua teror untuk mendapatkan informasi tentangnya. Tapi, ia selalu mengatakan hal yang sama; ‘nggak tau’.
Setelah membuka obrolan awal dengan Lik Imran, Bokap menyerahkan ponselnya ke gua dengan kondisi sudah tersambung dengan Lik Imran.
Gua meraih ponsel tersebut dan mulai bicara dengan Lik Imran.
“Halo Lik” Sapa gua.
“Ya Pop?”
Masih dengan ponsel di telinga, gua berjalan keluar dari rumah lalu duduk di teras sambil terus melanjutkan obrolan dengan Lik Imran.
“Lik, dimana?” Tanya gua.
“Di rumah Pop, ono opo?” Ia balik bertanya.
“Aku kesana ya Lik?”
“Ya kesini aja. Ono opo sih?”
“Ada deh…”
“Kalo nanya Marshall, lik kan udah bilang nggak tau”
“Nggak, ini mah lain” Gua menjawab, berbohong. Tentu saja, nanti gua tetap bakal menanyakan hal yang sama; tentang Marshall. Karena sebelumnya, gua hanya bertanya ke Lik Imran melalui sambungan telepon, dimana saat itu gua nggak bisa melihat ekspresi wajahnya saat bicara.
“Yo wis, jangan siang-siang ya pop…”
“Iya lik..”
Gua mengembalikan ponsel ke bokap, naik ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke rumah Lik Imran.
Hampir satu jam berikutnya, gua sudah berada di rumah Lik Imran yang berada di daerah Ciledug, Tangerang.
Nggak pakai basa-basi, begitu bertemu dengannya, gua langsung mengajukan pertanyaan; “Lik, Marshall kemana?”
Mendengar pertanyaan gua barusan, Lik Imran terlihat mengernyitkan dahinya. Mungkin ia merasa kalau gua nggak bakal mengajukan pertanyaan tersebut, sesuai dengan ucapan gua di telepon tadi.
“Nggak tau, Pop” Jawab Lik Imran dengan penekanan pada kata ‘Nggak tau’. Tapi, dari ekspresi wajahnya, dengan sengaja menghindari kontak mata, gua tau kalau ada yang sengaja ia sembunyikan; ia berbohong.
“Lik.. please lah, Lik” Pintaku dengan nada memohon.
“...” Lik Imran hanya terdiam seraya menggaruk kepalanya.
“...Lik, aku nggak bakal nyamperin dia. Aku cuma mau tau dia dimana lik” Pintaku lagi. Aku tau dan sadar, kalau seandainya Lik Imran tau tentang Marshall dan mungkin sudah berjanji padanya untuk nggak mengatakan apapun ke gua, ia bakal memegang janjinya.
Tapi, melanggar janji untuk sebuah kebaikan (yang hanya buat gua) adalah sesuatu yang bisa di maafkan, ya paling nggak begitu menurut gua.
“... Ayo lah Lik”
“...” Ia menggeleng.
Gua menghela nafas panjang, namun menolak untuk menyerah.
“Gini deh lik. Lik Imran nggak usah kasih tau Poppy secara detail. Cukup kasih tau kalau dia baik-baik aja” Kini Gua bicara dengan nada memohon yang lebih dari sebelumnya.
Barulah setelah mendengar penawaran gua, Lik Imran terlihat sedikit luluh. Ia lalu mulai bicara; “Lik nawarin dia kerjaan di proyek lain, di tempat lain”.
“Proyek Bangunan juga?” Tanya gua penasaran.
“Iya…”
“Dia mau?” Tanya gua lagi.
“Kata temen Lik sih, dia udah mulai kerja sekarang” Jawabnya.
“Boleh minta tolong tanyain ke temen lik Imran, apa dia baik-baik aja sekarang?” Pinta gua lagi.
“...”
“... Satu lagi lik, boleh nggak Poppy minta tolong kalau nanti ada apa-apa sama Marshall. Poppy langsung dikabarin?” Gua menambahkan.
“Iya Pop. Pasti” Jawab Lik Imran sambil tersenyum.
Mendengar jawaban darinya, gua langsung merasakan kelegaan yang luar biasa. Rasanya, seperti ada duri yang baru saja dicabut dari dalam kulit.
Setelah menghabiskan teh manis hangat di teras rumah Lik Imran, gua pamit dan bersiap untuk pulang.
—
Kehidupan gua berjalan tanpa Marshall.
Buat gua, ini bisa jadi salah satu kesempatan untuk memperbaiki diri. Agar nanti saat ada kesempatan untuk bertemu dengannya kembali, gua sudah layak baginya. Selain itu, ini juga bisa jadi momen yang tepat untuk gua kembali mengejar mimpi gua yang sebelumnya ‘terganggu’ dengan hadirnya Marshall.
Gua kembali membuka portal-portal job posting untuk mencari peluang pekerjaan yang menghasilkan uang lebih banyak daripada bekerja di minimarket dan tentu saja punya waktu yang lebih longgar agar gua bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk perkuliahan.
Di sela-sela kesibukan berkuliah dan mencari pekerjaan lain, gua masih tetap bekerja di minimarket. Hingga suatu hari, gua mendapat penawaran yang sepertinya nggak mungkin gua tolak.
Mbak Nindi, salah satu dosen di kampus gua menawarkan gua sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang sederhana, bisa dikerjakan dari manapun which is bisa menghemat banyak waktu dan yang terpenting this is an easy money.
“Pop, mau bantuin aku nggak?” Tanya Mbak Nindi begitu kelas berakhir.
“Bantuin apa Mbak?” Gua balik bertanya.
“Mbak kan selama ini ‘nyambi’, kerja sambil ngajar. Nah, sekarang tuh di tempat kerja mbak lagi butuh Marketing Analyst, kamu minat nggak?”
“Mmm.. mau sih mbak, tapi waktu kerjanya gimana? Flexible nggak? Aku takut bakal ganggu kuliah” Tanya gua.
“Lah selama ini bukannya kamu kerja di minimarket, itu aja bisa?”
“Iya di minimarket kan aku bisa tuker-tukeran shift sama temen”
“Oh, ya nanti coba mbak tanyain ya. Tapi kalau seandainya waktu kerjanya flexible kamu mau kan?” Tanyanya lagi.
Gua menggaruk kepala dan pasang senyum.
“Ya mau, asal gajinya lebih gede dari di minimarket” Gua memberi jawaban.
“Emang di minimarket, gaji kamu berapa?” Tanyanya.
Gua menoleh ke kiri dan kanan, memastikan semua mahasiswa sudah keluar dari ruang kelas kemudian mendekat, membisikinya nominal gaji yang selama ini gua terima dari minimarket.
Begitu mendengar jawaban gua, ia tersenyum dan langsung tertawa. Baru setelah puas tertawa ia kembali bicara; “Tenang, pasti lebih gede dari itu kok”
Gua mengacungkan ibu jari ke arahnya dan berseru; “Ok kalo gitu”
“Nanti aku kabarin ya” Ucapnya, kemudian pergi.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gua menerima pesan singkat dari Mbak Nindi yang isinya sebuah informasi tentang pekerjaan yang sempat ia tawarkan. ‘Pop, kapan bisa mulai kerja?’ tanyanya melalui pesan singkat.
‘Hah? Tiba-tiba’ Gua membalas.
‘Nanti ketemuan di kampus ya, aku jelasin langsung’ Balasnya lagi.
Walaupun hari itu gua nggak ada kelas, tapi karena diminta Mbak Nindi untuk datang, gua bergegas berangkat ke kampus.
Gua berdiri, bersandar pada dinding yang berada tepat di sebelah pintu ruang kelas. Sementara, samar terdengar suara Mbak Nindi yang tengah memberikan kuliah dari dalam ruangan. Setelah menunggu sekitar 15 menit, suara Mbak Nindi menghilang, diganti dengan riuh langkah kaki, disusul pintu kelas mulai terbuka, dan mahasiswa-mahasiswa keluar dari dalam. Gua menunggu hingga kelas sepi, kemudian masuk ke dalam.
Mbak Nindi terlihat duduk di kursi seraya menatap ke layar ponselnya. Begitu menyadari kehadiran gua, ia tersenyum, melambai dan memberi sapaan; “Hai…”
“Hai Mbak…”
Mbak Nindi lalu membawa gua menuju ke arah deretan kursi kelas, Ia duduk di salah satu kursi dan gua duduk di sebelahnya. Nggak menunggu lama, Mbak Nindi langsung membuka obrolan, tentu saja tentang pekerjaan yang ia tawarkan sebelumnya.
Sebelum masuk ke penawaran, Mbak Nindi lebih dahulu menjelaskan tentang detail job description pekerjaan yang ditawarkan ke gua. Setelah, merasa gua sudah cukup mengerti dengan penjelasan darinya, barulah Mbak Nindi mulai bicara tentang nominal gaji dan cara kerjanya.
“Yang ditawari segini, Pop” Ucap Mbak Nindi seraya mengangkat jari-jari tangan, melambangkan nominal gaji yang bakal gua terima nanti.
Sesuai dengan perkataan Mbak Nindi sebelumnya, nominal gaji yang ditawarkan hanya sedikit lebih besar daripada gaji yang gua terima dari minimarket.
Gua sudah tau tentang job description marketing analyst dan nominal gaji yang bakal gua terima. Kini, giliran gua yang bertanya tentang jam kerjanya; “Terus jam kerjanya gimana mbak?” Tanya gua.
“Nah ini yang seru, Pop” Ucap Mbak Nindi, sambil menggeser kursi agar lebih dekat.
“...”
“... Jadi, kerjanya tuh bias remote, Pop. Tapi, dalam satu minggu paling nggak kamu harus ke kantor untuk report” Tambah Mbak Nindi.
“Report ke siapa? Manager? Supervisor?” Tanya gua.
“Ke manager..” Jawabnya seraya menunjuk ke dirinya sendiri.
“Hah, jadi Mbak Nindi managernya?” Tanya gua lagi.
“Iya…” Jawabnya sambil tersenyum.
Mengetahui kalau jam kerjanya flexible dan atasan langsung gua adalah Mbak Nindi sendiri, tentu saja gua otomatis langsung setuju.
“Gimana?” Tanyanya.
Gua terdiam sebentar, berlagak menimbang-nimbang. Setelah beberapa saat barulah gua mengangguk pelan.
Mbak Nindi lalu mengeluarkan ponselnya, dan mulai mencatat alamat email pribadi gua. Katanya, Offering Letter-nya bakal dikirim melalui email. Sementara ini, ia meminta gua untuk mengurus pengunduran diri dari minimarket agar bisa segera mulai bekerja di tempatnya.
“Ok Sip!” Jawab gua sambil mengacungkan ibu jari.
Nggak seperti perusahaan konvensional lainnya, di minimarket tempat gua bekerja, proses mengundurkan diri nggak pake ribet. Disini kami, para karyawan yang ingin keluar nggak harus mengajukan one month notice, hari ini mengajukan resign besok bisa langsung di proses. Alasannya sederhana; Banyak calon karyawan yang menanti, menggantikan posisi kami disana.
Seminggu berselang setelah gua berhenti bekerja di minimarket, gua mulai bekerja di perusahaan yang sama dengan Mbak Nindi. Perusahaan ini masih terbilang baru, sebuah perusahaan internasional yang berasal dari Kanada yang berfokus pada penjualan springbed dan alat tidur. Awalnya, kantor yang di Indonesia hanya mengurus proses produksi, kemudian produknya bakal dikirim dan dipasarkan di luar negeri. Karena ingin melakukan ekspansi dengan menjual produknya di Indonesia, mereka memutuskan untuk melakukan hiring tim marketing internal untuk mulai memasarkan produknya di dalam negeri. Tentu saja dengan brief dan tuntunan dari kantor pusat yang berada di Kanada.
Lokasi kantornya berada di daerah Tangerang. Konon katanya mereka sengaja memilih kantor di sana agar lebih dekat dengan lokasi pabrik yang juga berada di Tangerang.
Saat hari pertama bekerja, setelah memperkenalkan gua dengan tim kecilnya, Mbak Nindi langsung membawa gua ke Pabrik. Di lokasi ini, pabrik-pabrik bertebaran dimana-mana, truk-truk berukuran raksasa hilir mudik di jalan raya merupakan hal yang umum. Dengan mobilnya, Mbak Nindi mengemudi lincah menyalip truk, menghindari sepeda motor dan kemudian berbelok ke sebuah area yang tertutup pagar besi tinggi.
Setelah melewati pemeriksaan, mobil yang dikendarai Mbak Nindi masuk ke area pabrik. Dari kejauhan terlihat sebuah bangunan yang besar dan luas. Saking luasnya area pabrik ini, hampir nggak ada orang yang terlihat berjalan kaki. Semuanya lalu-lalang dengan menggunakan sepeda motor atau mobil kecil seperti yang biasa digunakan di lapangan golf.
Mbak Nindi menghentikan mobilnya tepat di area parkir karyawan, kami turun dari mobil, lalu menuju ke sebuah gedung berlantai tiga yang terlihat sangat kecil dibanding dengan bangunan pabrik yang besar dan menjulang.
Bangunan ini merupakan area kantor yang biasanya dihuni oleh staf HR, Finance dan Operasional. Kami lalu disambut oleh salah satu karyawan yang kemudian mengantar ke atas, ke lantai tiga. Dari sini, jika kita menghadap ke arah belakang gedung, akan terlihat kegiatan di dalam pabrik melalui kaca kedap suara yang super besar.
Gua dan Mbak Nindi berdiri menatap ke arah bagian dalam pabrik.
“Gimana keren nggak Pop?” Tanya Mbak Nindi.
Gua yang seumur hidup belum pernah masuk ke dalam pabrik tentu saja takjub. Selama ini bayangan gua akan pabrik adalah seperti yang di tivi; kotor, penuh oli, desingan alat berat dan berisik. Tapi, di sini, di pabrik ini, terlihat sangat bersih, tenang dan terasa nyaman.
Dari tempat gua berdiri sekarang terlihat deretan conveyor dengan gulungan besi yang kemudian masuk ke dalam sebuah alat raksasa, lalu keluar dengan bentuk lain; sebuah per seukuran lengan orang dewasa.
“Ini area springbed” Ucap Mbak Nindi.
“Oh…”
“Nanti, per-per itu bakal dibungkus terus dimasukin ke bagian dalam kasur” Tambahnya, sambil menunjuk ke salah satu bagian lain dari pabrik.
“...”
“... Nah kalo untuk produksi bantal sama guling, ada di bangunan sebelah. Nanti kita kesana”
“Oh…” Gua merespon sambil masih merasa takjub.
Setelah selesai berkeliling, kami berdua melanjutkan obrolan di kantin sambil menikmati secangkir kopi sachet. Mbak Nindi lalu mulai sedikit bercerita tentang sejarah hadirnya perusahaan ini di Indonesia.
“Oh iya, Pop. Nanti kalo mau berangkat ke kantor, janjian aja. Jadi kamu bareng sama aku. Daripada harus naik angkutan umum…” Ucap Mbak Nindi.
“Ah nggak usah Mbak, nggak enak lah. Udah di kasih kerjaan masa masih nebeng” Gua menjawab.
“Lah, kamu nebeng apa nggak kan aku juga nggak rugi apa-apa. Malah enak ada temen ngobrol selama di tol” Ucapnya.
“Hmmm…”
“Udah santai aja sih Pop. Jadi, kamu naik kereta dulu, turun di stasiun Sudimara, nah nanti aku tunggu di depan stasiun deh. Mau yah, yah…” Tambahnya, dengan gaya sedikit memaksa.
“Hmmm, iya deh”
Mbak Nindi ini memang terkenal super baik. Apalagi ke para mahasiswa didiknya yang punya kekurangan ekonomi seperti gua. Sempat beberapa kali ia memberikan proyek-proyek sampingan untuk kami. Ya, walaupun bayarannya nggak seberapa tapi paling nggak, bisa buat tambah-tambah uang saku dan pengalaman.
Beberapa waktu yang lalu, Mbak Nindi juga sempat menawari gua untuk menjadi asisten dosen; membantunya membuat presentasi dan memeriksa hasil tugas. Namun, pengajuannya ditolak oleh kampus melalui dekan; menurut mereka, gua sudah berada di masa-masa akhir kuliah, takut pekerjaan sebagai asisten dosen bakal mengganggu proses belajar.
—
Sore itu, gua baru saja pulang dari kantor. Setelah turun dari stasiun, gua memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke rumah. Saat ini, bisa saja gua memesan ojek online untuk pulang, tapi entah kenapa gua ingin berjalan kaki, ingin menghabiskan waktu menyusuri gang kecil, menerobos pasar, hanya sekedar ingin mengingat momen-momen bersama Marshall, saat ia sering menjemput gua dari stasiun menuju ke rumah.
Gua berada di persimpangan jalan. Jika gua berbelok ke kiri, gua akan tiba di rumah lebih cepat. Sementara, Jika berbelok ke kanan jarak tempuh gua ke rumah akan lebih jauh karena harus memutar. Namun, gua memutaskan untuk mengambil jalur ke kanan, jalan yang nantinya akan membawa gua melewati kedai kopi dan minimarket tempat gua bekerja.
Gua menghentikan langkah tepat di depan kedai kopi tempat Marshall dulu bekerja.Hanya berdiri dan mendongak, menatap ke arah lantai dua kedai, berharap bisa melihat dirinya walau gua tau kalau hal itu hampir mustahil terjadi. Gua melanjutkan langkah, menyusuri jalan, dan beberapa meter di depan sudah terlihat atap dari minimarket tempat gua dulu sempat bekerja. Sempat terbesit rencana untuk mampir ke minimarket untuk membeli minuman ringan dan menyapa teman-teman yang masih bekerja disana.
Di teras mini market, gua berdiri, menatap ke arah perempuan yang gua kenali sebagai perempuan beraroma karbol; Tata.
‘Ngapain dia disini? Nyari Marshall?’ Batin gua dalam hati, kemudian mendekat ke arahnya. Perempuan itu tengah berdiri di teras minimarket seraya menatap layar ponselnya. Ia bahkan nggak menyadari kehadiran gua disana.
“Poppy?” Panggilnya dengan suara lirih.
“Lo ngapain?” Tanya gua.
“Kamu tau Marshall dimana?” Ia langsung mengajukan pertanya, tanpa basa-basi.
“Lho, bukannya gua yang harusnya nanya gitu ke elo?” Tanya gua lagi.
“Hah?”
“Terakhir gua ngeliat Marshall, ya waktu kalian ngobrol berdua”
“Jujur, aku nggak tau Marshall kemana. Aku kesini mau nyari dia” Jawabnya.
Begitu mendengar ucapannya barusan, ada kelegaan di dalam hati, karena menyadari kalau kemungkinan Marshall pergi bersama dia sudah gugur.
“Mau ngapain?”
“...”
“... Lo tau nggak sih, kalo lo tuh udah ngancurin hidupnya beberapa kali?” Tanya gua, mencoba membuatnya mengingat semua sikapnya terhadap Marshall selama ini.
“Iya, Tau” Jawabnya sambil mengangguk, ekspresinya kini terlihat penuh penyesalan.
“Terus ngapain lagi lo masih mau nyari dia?” Tanya gua lagi.
Ia menggelengkan kepala; “Nggak tau, aku juga nggak tau mau apa kalau ketemu sama dia. Aku cuma mau liat dia aja. Mau tau kondisinya”
“Ya lo tebak aja, menurut lo gimana kondisinya?” Ucap gua, menggebu-gebu.
Ia terlihat menghela nafas, seperti tengah mencoba menenangkan diri.
Kemudian mulai memberinya penjelasan. “Iya, aku tau aku salah. That’s why, sampe sekarang aku mau terus sama Marshall. Aku mau membayar semua kesalahan aku sebelumnya…”
“Tapi, nyatanya lo malah bikin semuanya jadi tambah runyam. Coba seandainya lo nggak hadir lagi di hidupnya. Marshall mungkin udah hidup tenang dengan sekarang…”
“Iya, aku ngerti. Dan aku juga nggak mau hal kayak gitu menimpa Marshall. Jujur, semua di luar kendali aku…” Ucapnya.
“Ya kalo lo udah tau begitu, nggak usah lah lagi lo cari-cari dia. Biarin aja dia hidup tanpa lo…”
“...”
“... Tanpa kita” Gua menambahkan, sengaja bicara seperti itu agar ia juga tau kalau disini, gua juga ikut kehilangan dirinya.
“Berarti bener lo sama sekali nggak tau Marshall ada dimana?” Tanyanya. Yang lantas gua respon dengan gelengan kepala.
“Boleh aku minta nomor ponsel kamu?” Pintanya sambil menyodorkan ponsel ke gua.
Tanpa banyak bicara, gua meraih ponsel miliknya yang ia sodorkan dan mulai memasukkan nama dan nomor ponsel gua.
“Boleh aku dikabari kalau nanti kamu ketemu sama Marshall?” Pintanya.
Mendengar permintaannya barusan tentu saja membuat gua sedikit tersulut emosi. Bagaimana mungkin ia menaruh harapan ke gua, ke orang yang juga sama-sama kehilangan Marshall.
“Hah! Lo tuh.. Apa ya? Nggak tau diri deh kayaknya…” Seru gua sambil mengembalikan ponsel kepadanya dan berlalu pergi.
—
Drive - Melepasmu
Herisyahrian dan 45 lainnya memberi reputasi
46
Kutip
Balas
Tutup