Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

harrywjyyAvatar border
TS
harrywjyy
Iblis Suci
Iblis Suci


Blurb:

Mengisahkan tentang dua orang vlogger yang mendatangi sebuat sekte rahasia di tengah hutan terpencil. Semakin lama mereka di sana, mereka mulai merasakan keanehan, kegilaan dan hal-hal abnormal yang tidak manusiawi.

Akankah mereka bertahan di sana? emoticon-Takut (S)

emoticon-Takut


BAB 1

Quote:

To be continued


Diubah oleh harrywjyy 01-04-2024 09:42
regmekujo
sampeuk
itkgid
itkgid dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2.7K
37
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
harrywjyyAvatar border
TS
harrywjyy
#20
BAB 11
Ray terbangun dari tidurnya dalam keadaan telanjang, wajahnya pucat. Bagian bawah matanya menghitam, dan di sekitarnya wanita-wanita mengelilinginya. Semua hadirin yang ada dalam ibadah itu tertidur bersamaan di dalam aula. Mata Dilan yang masih sayu menatap lemah ke langit-langit aula dua, entah sudah berapa lama ia tertidur. Ia belum terlalu mengingat apa-apa. Dirinya amat lemah saat itu, kacamatanya entah di mana. Perlahan, matanya terpejam kembali. Memaksa kembali ke alam mimpi.

Tapi suara perempuan menangis membuat matanya terbuka kembali, ia langsung mengenali suara itu. Suara tangisan Rissa membuatnya membuka mata. Dengan cepat ia singkirkan beberapa tubuh yang menindih dirinya. Kemudian ia paksa dirinya untuk duduk, kepalanya masih terasa pusing. Dengan pandangan yang masih buram ia menoleh ke segala arah mencari sang pacar.

Rissa tengah menangis tersedu-sedu beberapa meter darinya di antara orang-orang yang masih tertidur di aula itu. Sama seperti Ray, ia juga dalam keadaan tanpa busana. Dirinya yang ketakutan duduk sambil memeluk kaki. Menyembunyikan wajahnya menggunakan lutut.

“Rissa!” panggil Ray yang kemudian berdiri dan berjalan menghampirinya melangkahi semua orang yang ada di lantai. Sesampainya di depan Rissa, ia pegang tangan wanita malang itu. “Kita harus buru-buru pergi dari sini!” ujar Ray.

Sambil menggelengkan kepala, Rissa menangis dan berkata, “apa yang aku lakukan, Sayang? Kenapa jadi begini?”

“Gak ada waktu buat mikir begitu!” Ray melihat sekitar. Enam Pilar sudah tidak ada di lantai dua, Dazza pun sudah tidak ada di mimbarnya. “Sayang, ayo kita kabur!”


Ray lalu memberikan sebuah gaun kepada Rissa. “Ini entah punya siapa, pakai saja! Nanti kita ganti baju yang baru di mansion.” Ray pun memakai celana yang entah siapa pemiliknya. Semua pakaian tergeletak begitu saja di mana-mana. Tapi satu hal yang tidak ia lupakan adalah tas kameranya. Segera ia selamatkan tas itu.

Rissa yang sudah berpakaian lalu berdiri, tangan Ray mengenggam tangan wanita itu. Kemudian berjalan, menariknya untuk segera melarikan diri dari tempat gila ini. Sampai di depan pintu, sudah tidak ada penjaga yang berdiri di sana. Rupanya ibadah ini memang sudah selesai, mereka pun berlari keluar sebelum ada yang melihat.

Sesampainya di luar, langit senja menyambut mereka. Malam akan segera datang, warna oranye sudah menyala di atas sana. “Ya ampun, berapa lama kita tidur?!” kata Ray kaget saat melihat suasana di luar. Total hampir 24 jam Ray terpengaruh oleh kristal hijau itu.

Kaki mereka terus berlari ke arah mansion yang saat itu gelap gulita, tidak ada siapa-siapa di sana. Sangat sunyi dan senyap, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Mereka mulai menaiki tangga, berlari secepat mungkin selama tidak ada yang menyadari keberadaan mereka di sana.

Mereka akhirnya bisa sampai di kamar mansion, lampu benar-benar tidak bisa dinyalakan. Tampaknya dengan sengaja listrik di mansion ini dimatikan. Tapi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk segera pergi dari sini. “Ayo, Sayang! Cepat!” ujar Ray.

Ray dan Rissa buru-buru mengganti baju. Kedua sejoli itu mengambil pakaian dan celana yang bersih dari dalam koper. Rissa tidak lagi peduli dengan penampilan atau riasan dirinya, yang terpenting adalah ia segera memakai baju dan bergegas pergi. Ray juga tidak peduli dengan barang-barangnya. Ia masukkan semuanya dengan asal, tanpa memperhitungkan kerapian dan tata letaknya seperti saat hendak berangkat.

“Ayo!” tangan Rissa lalu memeluk lengan Ray.

Ray mengangguk yakin. “Iya, ayo pergi!” Setelah itu Ray berjalan ke arah pintu dan buru-buru keluar kamar. Suara langkah kakinya menggema mengisi kekosongan di bangunan besar itu. Saat berbelok arah menuju ke tangga, langkah mereka terpaksa berhenti. Tampak seorang perempuan berdiri di tengah kegelapan, beberapa meter di depan mereka.

Ray berdiri dan memperhatikan perempuan itu, Rissa yang takut menyembunyikan wajahnya di balik bahu Ray. “Apalagi ini?” gumamnya.

Sosok perempuan itu tidak dapat dikenali, hanya siluetnya saja yang terlihat berdiri di tengah lorong mansion tanpa diketahui maksud dan tujuannya. Membuat siapa pun yang melihatnya bergidik ngeri. Tak lama, suara sepatunya terdengar, langkah kakinya yang pelan berjalan ke arah Ray dan Rissa.

“Mau ke mana kalian?” tanya perempuan itu yang ternyata adalah Eve.

Ray lalu bisa bernafas lega. “Ternyata kamu, kita mau pulang. Sekarang juga!” jawabnya.

“Ibadah puncak akan dimulai, segera dimulai. Kalian tidak bisa pergi,” ucap Eve dengan datar.

“Masa bodo sama ibadah-ibadahmu itu, Eve! Kami bukan bagian dari kalian, kami tidak akan ikut dalam ibadah konyol kalian! Kami cuma mau pulang, Eve!” jawab Ray yang sudah muak dengan semuanya.

Eve tersenyum licik. “Kalian kira semudah itu keluar dari sini saat sedang ibadah? Sekali lagi kalian menolak ibadah kami, maka kalian akan dicap sebagai pendosa. Tapi, selama penolakan itu masih hanya masuk di telingaku maka kalian aman dari hukuman. Maka dari itu, bersikaplah baik dan jangan melawan, jangan sampai kelakuan kalian diketahui oleh ayah atau saudaraku yang lain,” kata Eve.

Kini giliran Rissa yang bicara, ia memberanikan diri keluar dari belakang badan pacarnya. “Eve, aku tahu kamu masih bisa kasih kita toleransi. Kalau kamu bisa mengerti buat gak menghukum kita, harusnya kamu juga bisa mengerti agar memperbolehkan kami pergi dari sini,” ujar Rissa membujuk perempuan itu.

“Tidak begitu,” jawab Eve. “Aku bisa memberi menyelamatkan kalian dari hukuman keluargaku, tapi aku tidak akan membiarkan kalian melakukan hal yang bertentangan dengan perintah Tuhan. Ibadah ini begitu penting bagi kami semua, termasuk aku. Kalian tidak akan kemana-mana.” Sekali lagi Eve tidak mengizinkan mereka pergi.

Mendengar Eve yang semakin alot dan susah diajak kompromi, Ray kehabisan kesadaran. Ia tarik tangan Rissa kemudian berlari ke arah depan. “Minggir!” teriak Ray sambil berlari dan langsung mendorong Eve sampai terjatuh. Setelah wanita Eropa itu tersungkur ke lantai, mereka berdua bisa dengan bebas berlari ke bawah. Rissa menoleh ke belakang, tampak Eve tidak mengejar dan hanya duduk sambil melihat mereka.

Nafas Ray semakin terengah-engah, ia harus secepat mungkin kembali ke mobilnya yang ada di samping mansion sebelum ada yang melihat. Bila biasanya orang melangkahi tangga satu per satu, kini Ray melangkahi dua tangga sekaligus. Rissa sampai kewalahan mengikutinya, tapi mau bagaimana lagi. Mereka harus segera pergi.

Saat hendak sampai ke lantai satu, Ray melompat ke bawah saat tangga tersisa empat langkah lagi. Rissa hampir saja jatuh tersungkur. “Apa kau sudah gila?!” geram Rissa pada Ray yang seperti kesetanan. Koper dan tasnya hampir saja jatuh berantakan.

“Kenapa ngomongmu jadi kaya sinetron Korea? Gak ada waktu lagi.” Pria itu bak kerasukan setan, tanpa istirahat ia kembali berlari. Di saat genting seperti ini, ia sudah seperti manusia dengan dua paru-paru. Beberapa langkah lagi, sebelum akhirnya mencapai pintu keluar.

Saat mereka berhasil menginjakkan kaki di luar mansion, Boom! Semua orang tengah berjalan ke belakang mansion dalam keadaan telanjang. Langit sudah gelap, malam tiba dengan begitu dingin. Sekarang apa yang bisa mereka perbuat? “baik!” teriak Ray melihat kerumunan orang itu.

Nico, salah satu anggota Enam Pilar datang mendekati mereka. “Mau ke mana kalian? Kenapa kalian pakai baju?” tanyanya.

“Aku mau pulang, aku tidak sudi ikut ibadah bodoh kalian!” bentak Ray.

“Mulut pendosa!” Nico marah, ia keluarkan sebuah gunting lalu menatap Ray dengan tatapan tajam.

“Nico!” Beruntung sebelum Nico mengamuk, Clara kakaknya lebih dahulu datang. “Jangan terburu-buru. Kalian juga, jangan buru-buru,” ucap Clara menatap Nico dan Ray secara bergantian.

Clara kembali bicara, “kalian pikir semudah itu keluar dari sini? Tidakkah kalian pikir siapa yang memegang kunci mobil kalian? Atau, kalian pikir senjata laras panjang yang penjaga gerbang itu bawa adalah senjata mainan?”

Mendengar itu, badan Ray langsung lemas. Perangkat terpenting dalam kendaraan yaitu kunci malah ia lupakan. Ucapan dari Clara itu seakan membuat Ray tidak punya pilihan. “baik,” gumam Ray.

Monica, anak kedua dari Enam Pilar pun ikut datang dari arah lain. “Ingatlah! Kalian sendiri yang meminta datang ke sini, kalian datang atas kemauan kalian sendiri. Tapi, setelah berada dalam lingkungan kami kalian tidak bisa bertindak semau kalian! Kalian harus tunduk dengan segala peraturan Tuhan! Apa sulitnya mengikuti semua prosesi ibadah sampai selesai? Bukankah kalian datang untuk ini?” tanya Monica membuat Ray dan Rissa semakin terpojok.

Rissa menangis tak kuasa menahan air mata. “Aku gak mau, Sayang. Aku gak mau,” lirihnya sambil bersembunyi di balik bahu sang pacar.

“Lepas baju kalian!” kata Monica memerintah mereka.

Dengan mata berkaca-kaca, Ray menoleh ke arah Rissa. “Sayang, maaf. Sekali lagi aku mohon kamu agar kuat. Kuatkan dirimu, sekali ini saja. Kita harus menurut lagi, semoga ini yang terakhir.” Ray berbalik badan, tangannya dengan lembut memegang kedua pipi Rissa yang basah dengan air mata. “Setelah semua ini berakhir, kita pulang,” ucapnya dengan nada sedih. Rissa semakin menangis saat menyadari sesulit ini pilihan mereka.

Mau tak mau, mereka harus mengikuti peraturan agama ini. Tak ada pilihan lain, atau semuanya semakin buruk saat mereka melawan. Malam itu akan menjadi malam yang panjang bagi mereka yang secara sadar harus terlibat dalam agama yang penuh kegilaan dan kegiatan amoral ini. Hanya satu yang mereka bisa, bertahan dan menjaga akal sehat untuk bisa selamat.
0