Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Sejak saat itu, gua selalu menunggunya datang ke minimarket. Gua bahkan seringkali rela untuk menjadi kasir saat malam hari, menjelang tutup, dimana banyak staf lain yang enggan melakukan hal itu. Pasalnya, jadi kasir menjelang tutup minimarket bakal bikin pusing karena harus menghitung dan merekap uang kemudian mencocokkannya dengan pencatatan pada sistem. Tapi, demi bisa berinteraksi dengannya gua rela harus sedikit kerepotan.
Hampir setiap hari Marshall datang ke minimarket. Ia selalu datang di waktu yang sama, dengan membeli item yang sama; sebungkus roti seharga 5 ribuan. Kemudian keluar dan duduk di teras minimarket, menikmati sebungkus roti sambil memandang kosong ke arah jalan.
Setiap selesai melakukan rekap, gua menyusulnya keluar lalu duduk di sebelahnya. Hanya diam, nggak melakukan apa-apa, nggak bicara sepatah katapun; canggung.
“Belum dijemput?” Marshall bertanya tanpa menoleh ke arah gua.
“Kalo gua udah dijemput, gua nggak ada disini” Gua memberi jawaban, mencoba bersenda gurau dengannya. Tapi, bukannya tertawa atau membalas dengan candaan yang lain, ia malah kembali terdiam.
Beberapa saat kemudian, ia mengajukan pertanyaan lain, pertanyaan yang menurut gua sangat aneh.
“Di dunia ada jutaan burung, tapi kenapa kita jarang liat ada yang mati?” Marshall bertanya, tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.
Awalnya gua pikir, ini merupakan caranya mencairkan suasana; dengan mengajukan pertanyaan aneh. Tapi, masa iya sih harus dengan pertanyaan macam itu.
Ya walaupun aneh, entah kenapa gua tetap menjawabnya; “Ada kok”
“Lo pernah liat burung mati?” Tanyanya lagi.
Gua lalu mencoba mengingat. Dan sekeras apapun mencoba, nggak ada di ingatan gua pernah melihat mayat burung seumur hidup.
“Nggak sih” gua menjawab, sedikit malu.
Ia tersenyum sebentar kemudian melanjutkan makan.
Obrolan-obrolan semacam itu mulai mengisi kebersamaan kami. Kebersamaan yang hanya hadir di waktu yang sempit, diantara minimarket tutup sampai bokap datang menjemput.
Dan semakin hari, gua semakin menanti waktu tersebut. Seakan kegiatan gua di hari itu hanya sebagai intermezzo untuk momen bersamanya kala malam.
Karena Marshall nggak pernah sehari pun absen datang ke minimarket, gua jadi kelimpungan begitu ia tiba-tiba nggak datang. Bikin gua bertanya-tanya sekaligus khawatir. Namun, hari setelahnya ia datang tanpa gelagat apapun, layaknya tak terjadi apa-apa.
Saat itu, ia datang kembali setelah hampir seminggu nggak menunjukkan batang hidungnya. Ia masuk ke minimarket dengan wajah tanpa ekspresi, saat masuk ia bahkan nggak menoleh ke arah gua yang tengah berdiri dibalik meja kasir. Menit berikutnya, ia kembali dengan sebungkus roti yang langsung ia letakkan di atas meja kasir. Setelah melakukan pembayaran ia keluar dan duduk di teras minimarket; as always.
Selesai dengan rekap dan pembukuan, gua keluar dan langsung menghampirinya. Belum sempat gua duduk di sebelahnya, ia langsung bicara; mengajukan sebuah pertanyaan; “Biji wijen di atas roti ini, cuma hiasan atau emang sengaja biar yang makan bisa sambil ngitungin?” Tanyanya seraya menunjuk ke arah butiran biji wijen di atas roti dalam genggamannya.
Mendengar pertanyaannya barusan tentu saja membuat gua tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin ‘orang normal’ punya pikiran seperti itu?
Gua lantas duduk di sebelahnya, masih mencoba menahan tawa yang sulit untuk bisa dikendalikan.
“Lo kemana aja?” Tanya gua begitu selesai dengan urusan tertawa.
“Hah?”
“Lo kemana aja?” Gua mengulang pertanyaan.
“Oh. Kerja” Jawabnya singkat.
“Biasanya juga kerja, tapi selalu kesini”
Ia berhenti mengunyah, lalu menoleh ke arah gua.
“Lo kangen?” Tanyanya.
Gua nggak bisa langsung menjawab; kaget. Bingung harus menjawab apa.
Setelah beberapa lama, barulah gua punya keberanian untuk memberi jawaban; “Idih, nggak lah”
Marshall nggak merespon, ia terus mengunyah dan menatap lurus kedepan.
“Gua takut stok roti di dalem nggak abis” Gua menambahkan, sambil menunjuk ke arah jendela minimarket di belakang kami.
Nggak gua sangka, ucapan gua barusan ternyata berhasil membuatnya tersenyum. Senyum yang gua rasa bakal meluluhkan hati siapapun, ya termasuk hati ini.
Kami lalu lanjut berbincang sambil menunggu bokap datang menjemput.
Perlahan-lahan ia mulai mau bercerita tentang dirinya, terutama tentang pekerjaannya dan tentang kesulitan ekonomi yang tengah ia hadapi sekarang. Dari matanya, dari ekspresinya, dan dari gaya bicaranya, gua bisa tahu kalau saat bercerita ia tengah berusaha sekeras mungkin untuk menjaga bicaranya, seakan ada yang sengaja ia sembunyikan; sengaja di simpannya.
Gua nggak mau memaksanya bercerita, gua juga nggak mau mencoba mengoreknya terlalu dalam. Walaupun jujur, gua penasaran setengah mati; hal buruk apa yang sudah menimpanya sehingga guratan-guratan kesedihan pun nggak bisa disembunyikan dari wajahnya. Pada saatnya nanti gua yakin ia bakal bercerita.
Beberapa hari setelahnya, saat kebetulan kuliah dan kerja sedang libur. Di kamar, gua duduk sambil memainkan pensil dengan jari, sementara di hadapan gua terhampar lembaran-lembaran kertas yang berisi gambar-gambar wajah Marshall. Dari semua kertas-kertas dengan wajahnya, nggak ada satupun yang berhasil gua selesaikan. Semuanya terhenti saat gua sampai di bagian bibir, bingung bagaimana harus menggambarkan senyumnya yang aneh.
Gua berdiri, meniti punggung buku-buku yang berjejer rapi di atas rak kayu di atas meja belajar, rak kayu yang dibuat sendiri oleh bokap. Rak yang berisi koleksi komik-komik dan buku tips ujian masuk perguruan tinggi negeri. Gua meraih salah satu volume komik 20th Century Boys, kembali duduk dan mulai membacanya. Entah sudah berapa ratus kali gua menyelesaikan volume ini. Ilustrasinya yang ciamik membuat gua nggak bosan-bosan membacanya.
Sementara mata gua menatap ke arah lembaran komik, pikiran gua terus melayang membayangkan Marshall. ‘Sedang apa dia sekarang?’
‘Mungkin lagi kerja’ Gua membatin.
Saat itu, barulah gua menyadari kalau sampai saat ini kami berdua belum sempat saling bertukar nomor ponsel. ‘Gimana bisa jadi teman spesial kalau nomor ponselnya saja gua nggak puna?’
Tiba-tiba terbesit sebuah ide yang cukup liar. Iya, Liar. Liar karena gua nggak pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Tanpa mandi, gua berganti pakaian dan bergegas keluar.
“Mau kemana Pop?” Tanya Nyokap saat melihat gua sudah bersiap memakai sepatu.
“Main sebentar” Gua menjawab, kemudian meraih tangannya dan menciumnya; berpamitan.
“Tumben” Gumam nyokap.
“Iya”
Sambil memasang headset di kedua telinga, gua menyusuri gang demi gang, hingga keluar ke jalan yang lebih besar. Gua berbelok ke kiri dan terus berjalan hingga akhirnya tiba di minimarket tempat gua bisa bekerja. Namun, kali ini gua bukan datang untuk bekerja, ada misi lain yang harus diselesaikan. Gua meneruskan langkah, terus ke arah selatan, sambil sesekali mendongak menatap ke arah bangunan-bangunan di tepi jalan, berusaha mencari kedai tempatnya bekerja. Berbekal ingatan gua tentang nama kedai yang sempat ia sebutkan, gua menghentikan langkah di depan sebuah bangunan unik dengan sebuah plang nama pada bagian atasnya; ‘Kopi Yuk’
Sempat terbesit keraguan di dalam hati saat gua bersiap menaiki tangga menuju ke lantai atas tempat kedai berada. Ragu karena seumur hidup belum pernah sekalipun gua seagresif ini ke seorang pria. “Normal nggak sih cewek kayak gini?” Gua bicara sendiri sambil mengutuk ‘ide liar’ yang gua ciptakan.
“Ah bodo amat” Gua membulatkan tekad dan melanjutkan langkah.
‘Klenting, klenting’ Gua mendorong pintu, lalu disusul suara lonceng yang ternyata sengaja dipasang di bagian atas pintu kedai. Gua memandang sekeliling, menatap ke bagian atas kedai dimana lampu-lampu bohlam tergantung cantik dengan dengan pipa-pipa besi tanpa penutup yang langsung mencuri perhatian. Sementara, bagian dinding kedai ini dibiarkan tanpa cat, sehingga membuat kesan industri yang kental.
Yang paling menarik perhatian gua tentu saja deretan rak yang berisi buku-buku di salah satu sisi ruangan. ‘Apa semua kedai kopi punya rak berisi buku-buku seperti ini?’ gua membatin dalam hati.
Mata gua lalu teralih pada sosok cowok yang terlihat berdiri, memandang ke arah gua dengan tatapan bingung campur heran; Marshall. Dengan apron berbahan kulit berwarna coklat, masker di wajah dan topi menutupi kepalanya, ia terlihat berbeda. Terlihat lebih atraktif.
Gua langsung pasang senyum, melambaikan tangan dan berjalan mendekat ke arahnya.
“Hai” Gua menyapa, lalu duduk di atas kursi kayu tinggi di depan konter.
Marshall sedikit membungkuk, mendekatkan wajahnya ke arah gua lalu mulai bicara sambil berbisik; “Ngapain?, gua lagi kerja”
“Dih, elo kalo belanja di tempat gua, gua layanin. Sekarang gua kan pelanggan” Gua merespon sambil kembali menatap sekeliling.
“Gua mau pesen dong” Gua menambahkan.
“Mau apa?” Marshall bertanya dengan gaya yang super cuek.
“Dih, nggak ramah banget deh lo” Gua mengajukan komplain.
Ia lalu tersenyum sebentar kemudian berdehem dan kembali bertanya, kini dengan gaya bicara yang santun; “Mau pesen apa Poppy?”
“Nggak tau, nggak ngerti kopi” Gua memberi jawaban jujur. Iya, ini merupakan kali pertama gua datang dan masuk ke dalam sebuah kedai kopi atas kehendak gua sendiri. Sebelumnya, gua memang pernah ke kedai kopi tapi itu dalam rangka diajak oleh teman dan tentu saja di traktir.
“Lah…”
“Ya coba lo kasih saran ke gua lah…”.
“Hmmm… Lo suka pait?” Marshall bertanya, seakan ini merupakan proses survei kepuasan pelanggan.
Gua menggeleng.
“Asem?” Tanyanya lagi.
Gua kembali menggeleng.
“Creamy?” Tanyanya lagi.
“Nggak terlalu” Kini gua memberi jawaban, lelah menggelengkan kepala.
Seakan berhasil mengambil informasi dari survei singkat tadi, Marshall lalu mengangguk pelan dan langsung beraksi. Tangannya bergerak lincah, sebuah alat mirip centong kecil berbahan metal ia menakar kopi dan memasang alat tersebut ke sebuah mesin besar, mesin besar yang kemudian mengeluarkan tetesan-tetesan berwarna coklat kehitaman yang pekat ke dalam sebuah cangkir melamin di bawahnya.
Sementara, sambil menunggu tetesan selesai, Ia mengambil sekotak besar susu dari lemari pendingin yang berada tepat di belakangnya, kemudian menuangnya ke sebuah wadah metal yang moncongnya sedikit menjorok keluar. Wadah berisi susu tersebut lalu diarahkan ke sebuah selang besi yang berada di sebelah cangkir. Marshall menekan sebuah tuas, disusul suara mendesis pelan, berbarengan dengan munculnya uap dari mesin tersebut. Nggak seberapa lama, wadah berisi susu semakin lama semakin mengembang dan membentuk foam.
Ia meraih cangkir berisi kopi kental, lalu menuang susu di atasnya seraya menggoyang cangkir dengan hati-hati. Dengan tangannya ia mulai membentuk ukiran daun-daunan menggunakan foam susu.
Dengan hati-hati ia meletakkan cangkir di atas coaster dan menggesernya ke arah Gua. Nggak ingin langsung merusak pola daun yang dibentuknya dengan foam susu tadi, gua mulai menyeruput kopi perlahan.
‘Njir, Pait banget’ Gua membatin dalam hati, kemudian meneruskan menyeruput berharap rasa pahitnya berkurang. Tapi, bukannya hilang rasanya malah semakin menjadi.
“Ah… Uek”
“Emang Pait?” Marshall langsung bertanya begitu melihat gua kepahitan.
“Pait” Jawab gua.
Marshall lalu meraih cangkir dan mencobanya.
“Nggak pait kok” Gumamnya, setelah mencoba kopi buatannya sendiri.
“Mau ditambah gula?” Marshall bertanya.
Gua mengangguk. Sambil terus berpikir, kok bisa-bisanya ada orang yang suka banget sama kopi mahal kayak gini, padahal rasanya pahit. Sementara, Marshall meraih botol beling yang sepertinya berisi gula cari, lalu menuangnya ke dalam gelas takar, kemudian memindahkannya ke cangkir kopi milik gua dan mengaduknya. Menghancurkan pola daun yang bentuknya kini sudah nggak beraturan.
Ia menggeser kembali cangkir kopi ke arah gua, memberikan kode agar gua kembali mencobanya. Gua lalu meraih cangkir itu dan kembali menyeruputnya.
“Ah… Nah ini baru enak” Ucap gua sambil pasang senyum.
“Hahaha… Jarang minum kopi?” Tanyanya.
“Sering” Gua menjawab singkat.
“Kopi beneran?” Tanyanya lagi.
“Kopi sachet lah, yang seribuan” Gua menjawab sambil cekikikan.
“Pantes nggak doyan pait”
“Emang lo doyan, kopi pait?” Tanya gua.
Marshall menggeleng.
Mendapat respon tersebut darinya, tentu saja bikin bingung. Bagaimana mungkin, seorang pembuat kopi nggak suka kopi pahit. “Kok bisa, barista nggak suka kopi?”
“Iya ya… Terus berarti jadi barista bukan hobi lo? Gua pikir semua barista itu berawal dari hobi yang akhirnya jadi profesi?”
“Bukan, ini mah cuma kerjaan aja”
“Terus hobi lo apa?” Gua bertanya.
Bukannya memberi jawaban, Marshall malah balik bertanya ke gua; “Kalo elo?”
“Gua? Menggambar” Gua menjawab sambil memperagakan gerakan menggambar dengan tangan.
“Hah?”
“Iya, Menggambar. Kenapa? Aneh ya tau cewek suka gambar?”
“Nggak kok..” Marshall memberi jawaban. Dari ekspresinya terlihat kalau ia cukup kaget dengan respon dari gua barusahan. Maklum sih, kayaknya dia bukan orang pertama yang kaget waktu tau kalau hobi gua adalah ‘menggambar’.
Iya, emang masih terdengar aneh di lingkungan kita dengan cewek yang hobi menggambar. Nggak percaya? Coba deh tanya para cewek-cewek; hanya satu dari sepuluh cewek yang punya hobi menggambar lho.
“Itu boleh dibaca?” Gua menunjuk ke arah dertan rak berisi buku-buku di sudut ruangan.
Marshall mengangguk.
“Beneran? Gua memastikan.
“Iya, boleh. Tapi, jangan dibawa pulang” Ia memberi penjelasan.
“Lah, kalo belum selesai bacanya gimana?” Gua kembali bertanya, kali ini sambil berdiri dan berjalan pelan ke arah rak buku.
“Ya datang lagi aja kesini”
Gua berdiri di depan salah satu rak buku yang kebetulan memajang koleksi novel-novel karya penulis lokal. Tiba-tiba ada perasaan aneh, perasaan seperti ada yang memperhatikan. Gua menoleh ke arah Marshall; terlihat ia tengah bersandar pada meja konter seraya menatap gua sambil tersenyum. Kali ini senyumannya berbeda, terlihat lebih tulus dan menghangatkan. Gua balik menatapnya, ingin merekam senyumannya dalam ingatan.
Tak ada kata-kata, kami hanya saling menatap dalam diam.
Masih sambil menatapnya, gua meraih asal salah satu buku dan kembali ke tempat duduk di depan konter.
“Ini bagus nggak?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah buku yand tadi gua ambil secara acak.
Marshall mengangguk.
Gua membalik buku, dan melihat sampulnya. Sebuah buku berjudul ‘Larasati’ karya Pram. Kemudian membalik lembaran pertama dan mulai membaca cepat.
‘Ah, terlalu puitis’ batin gua dalam hati. Gua nggak begitu tertarik dengan karya sastra yang terlalu banyak pakai kata-kata baku nan asing.
“Nggak seru!” Gumam gua.
“Emang lo suka bacaan yang kayak apa?” Marshall bertanya.
“Yang lucu-lucu gitu, ada?”
“Ada, Komik. Tuh di rak yang itu” Ucap Marshall menunjuk ke arah salah satu rak yang paling pendek. Sontak, mata gua langsung mengikuti arah yang ditunjukkan olehnya. Tapi, bukan itu maksud gua datang kesini, tujuan gua adalah dirinya.
“Lo suka komik?” Gua bertanya, sambil menopang dagu dengan tangan dan menatapnya.
“Hmm.. Suka” ia menjawab santai.
“Suka komik apa?” Tanyanya gua lagi.
“Kungfu boy” Ia memberi jawaban, namun nadanya seperti penuh keraguan.
“Oh, tentang apa tuh?”
“Ya tentang kungfu lah”
“Hahaha, Iya ya.. Eh, lo harus banget baca; 20th Century Boys. Itu gambarnya baguuuuuusss banget deh”
“Masa?”
“Asli dah, lo pasti suka deh…”
Alih-alih merespon ucapan gua, Marshall malah terdiam sambil balik menatap gua.
“Nomer HP lo berapa?” langsung teringat dengan tujuan gua datang kesini; mendapat nomor ponselnya.
“Hah?”
“Nomer HP lo berapa?”
“Oh…” Marshall mengeluarkan ponsel dan menekan layar sana-sini, seperti nggak tau apa yang harus dilakukan.
Penasaran, gua berjinjit mencoba mengintip apa yang tengah ia lakukan dengan ponselnya.
“Lo nggak apal nomer lo sendiri?” Tanya gua.
Marshall menggeleng.
“Emang ada orang yang apal sama nomor HP-nya sendiri?” Marshall balik bertanya.
“Ada”
“Siapa?”
“Gua!”
Gua lalu merebut ponsel dari tangannya, dan mulai memasukkan nomor sendiri ke kontak ponselnya. Kemudian melakukan panggilan.
Ponsel gua berdering, potongan lagu ‘Konservatif’ nya The Adams menggema di keheningan. Pada layar ponsel gua nampak deretan nomor baru; nomor milik Marshall. Gua mengembalikan ponsel milik Marshall, menyeruput sisa kopi di cangkir hingga habis dan meletakkan selembar uang pecahan 20 ribuan di atas meja. Jumlah yang kayaknya terlalu banyak untuk secangkir kopi.
“Nanti chat gua kalo udah baca 20th Century Boys, ya” gua bicara sambil berjalan pergi.
Misi berhasil!
—
Breaking Benjamin - The Diary of Jane
If I had to
I would put myself right beside you
So let me ask
Would you like that?
Would you like that?
And I don't mind
If you say this love is the last time
So now I'll ask
Do you like that?
Do you like that?
No!
Something's getting in the way.
Something's just about to break.
I will try to find my place in the diary of Jane.
So tell me how it should be.
Try to find out what makes you tick.
As I lie down
Sore and sick.
Do you like that?
Do you like that?
There's a fine line between love and hate.
And I don't mind.
Just let me say that
I like that
I like that
Something's getting in the way.
Something's just about to break.
I will try to find my place in the diary of Jane.
As I burn another page,
As I look the other way.
I still try to find my place in the diary of Jane.
So tell me how it should be.
Desperate, I will crawl
Waiting for so long
No love, there is no love.
Die for anyone
What have I become?
Something's getting in the way.
Something's just about to break.
I will try to find my place in the diary of Jane.
As I burn another page,
As I look the other way.
I still try to find my place in the diary of Jane.