yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.3K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#543
...Are You Ready For...Part 3
Matahari sudah berganti dengan bulan, sementara gue masih larut dalam rasa penasaran yang luar biasa ini. Gue masih belum bercerita yang sebenarnya terjadi dengan Emi, padahal kami saat ini sedang duduk berhadapan dan sedang membahas masalah budget. Budgetini memang sangat krusial untuk dibicarakan mengingat sudah mepetnya waktu.

“Gimana kalau yang pos ini dikurangi aja?” tanyanya.

“Nggak apa-apa juga sih.” Jawab gue singkat.

“Terus kalo jadinya cuma di masjid belakang rumah kakek aku, ngapain juga ada penyambutan cucuk lampah ya?”

“Ya harusnya nggak ada, sih.”

Percakapan ini sangat terasa satu arah. Gue menjadi tidak fokus dan pada akhirnya itu juga yang disadari oleh Emi. Emi selalu tahu jika gue berlagak tidak seperti biasanya.

“Kamu tuh pikirannya lagi nggak disini, kan?”

“Aku daritadi kan juga nanggepin kamu, Mi. Kenapa jadi curiga, dah?” Gue mencoba untuk mencari alasan.

“Udah deh. Ini nanti kamu malah nggak bener ngitung-ngitungnya. Cerita aja dulu ada masalah apa kamu?”

“Lah nggak ada apa-apa. Apa yang mesti aku ceritain emang?”

“Loh kok malah nanya ke aku? Ya kamu itu lagi kenapa? Soalnya aneh banget daritadi diajakin ngomong serius malah nggak bener nanggepinnya.”

“Ya udah terserah kamu aja. Kalo kamu mau curiga ya silakan. Tapi nggak akan beres juga kalaupun kamu begini terus ke aku, kan? So, ya dipilih aja. Mau lanjutin ngomongin ini, apa maksa aku untuk cerita sesuatu yang nggak pernah ada.”

“Kamu malah jadi balikin omongan aku deh. Aku itu nanya, kamu kenapa? Makanya aku bilang kamu cerita aja, biar nanti aku barangkali bisa bantuin kamu.”

“Nggak ada. Daritadi aku diam aja ya karena nggak ada bahan untuk diceritain. Gimana sih kamu? Mau kamu maksain kayak apapun, ya nggak bakal keluar dari mulut aku, kan emang nggak ada apa-apa.”

“Ya kalau gitu terserah kamu aja, Zy.”

“Emang terserah aku kan?”

Obrolan ini berakhir tanpa titik. Tidak jelas dan tidak selesai permasalahan yang sedang dibahas. Gue memang sedang tidak fokus sama sekali. Ini yang selalu gue hindari sebenarnya dalam persiapan pernikahan gue dengan Emi. Tetapi, seperti kebanyakan orang bilang, semakin dekat dengan waktu pernikahan, maka akan semakin banyak pula cobaan yang datang menghampiri. Ini memang salah gue sepenuhnya. Hanya saja, kejadian foto ini benar-benar mengganggu konsentrasi gue. Bukan karena gue terlena dengan foto seperti itu, tetapi lebih ke bagaimana penyikapan gue Ketika pernikahan telah dilaksanakan, ternyata ada lagi yang mengganggu. Dulu saja ketika Keket datang mengganggu hubungan gue dengan Dee, dan kemudian beberapa tahun kemudian Dee datang Kembali ke kehidupan gue dan mengganggu hubungan gue dengan Emi, gue hampir selalu menyerah dengan hubungan yang sedang gue jalani.

Permasalahannya, dulu masih bisa dikompromikan karena hubungannya masih sebatas pacaran. Nah, kalau sekarang? Rasanya tidak mungkin gue dengan mudahnya menyerah dalam sebuah ikatan pernikahan, bukan? Ini yang jadi beban pikiran utama gue. Ini pula yang membuat gue takut membebani pikiran Emi. Emi akan selalu berasumsi macam-macam sampai ke hal-hal yang sebenarnya tidak terpikirkan sebelumnya. Jika sudah begitu, bisa perang dunia ketiga betulan jadinya. Pada akhirnya pernikahan yang sudah disusun dengan susah payah ini akan menjadi sia-sia. Apalagi di persiapan ini masih saja ada kendala soal kekurangan dana. Mana sekarang ini pihak keluarga Emi meminta uang lagi untuk pembuatan konsumsi tamu di kampung halamannya sana. Makin pusing karena nominalnya cukup besar untuk sebuah acara intimate wedding yang hanya mengundang sedikit orang. Gue takut, mereka tidak mengerti semangat intimate wedding itu seperti apa. Emi sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya ke keluarga, tetapi entah mereka menangkap dengan baik maksud dari penjelasan Emi ini atau tidak. Untuk soal ini saja, gue dan Emi sudah berulang kali membahas dan berujung ribut-ribut. Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi gue. Sudah banyak menuntut, tapi tidak ada kontribusinya sama sekali.

Beberapa hal yang konyol ini sempat memunculkan ide untuk mengurungkan niat menikahi Emi. Sudah amat frustasi gue dengan rongrongan macam-macam dari keluarga Emi, tetapi mereka tidak membantu sama sekali. Membantu berpikir saja tidak, apalagi membantu secara finansial kan? Oh tentu tidak, dong. Mindset keluarga Emi itu berubah tentang keluarga gue adalah pasca perkenalan keluarga beberapa waktu lalu. Secara tampilan individu, pakaian yang dikenakan, serta kendaraan yang dibawa untuk mengantarkan keluarga besar gue ke keluarga Emi mungkin terlalu mencolok bagi keluarga besar Emi. Terlebih lagi ada dua orang saudara gue yang merupakan publik figur. Mata keluarga besar Emi seolah melihat keluarga gue adalah sebuah pohon uang berjalan yang sedang menuju ke tempat penanaman baru. Terlihat dan terbukti kuat setelah acara tersebut terlaksana, semua beban finansial diserahkan langsung ke kami berdua. Suara-suara sumbang nan bangsuy seperti “kan keluarga Ija itu banyak uangnya, masa gitu aja nggak bisa bantu…”, atau “Yah, timbang sepuluh dua puluh juta harusnya sih enteng ya bagi keluarganya Pirji, kemarin aja datang mobilnya bagus-bagus, mana ada artis juga…” dan kalimat-kalimat lain khas manusia oportunis materialistis.

--

Berganti hari lagi, gue akhirnya mendapatkan sebuah kabar dari pengirim gambar misterius tempo hari. Gue berpikir untuk menemui saja orang ini, dan menyelesaikan semuanya. Katanya dia adalah orang yang mengenal gue. Otomatis, gue juga pasti mengenal dia dengan baik.

CHAT
Quote:


Sudah gila warga-warga yang terpapar hingar bingar ibukota belakangan ini. Semakin menjadi-jadi dan terang-terangan ketika mereka ingin memperoleh sesuatu. Mengesampingkan rasa malu dan juga gengsi. Pada satu sisi, ini bagus karena percaya diri. Tapi di sisi lain, hal ini sangat mengganggu orang lain. Apalagi ketika sosok-sosok yang over percaya diri ini masuk kedalam kehidupan pribadi orang lain. Seperti gue contohnya. Mungkin gue banyak melakukan kesalahan di masa lalu, tapi bukan berarti selamanya gue bisa dihantui oleh manusia-manusia yang entah mau apa di masa sekarang. Entahlah, mungkin juga ini bisa jadi ajang penebusan dosa-dosa yang pernah gue lakukan di masa lalu.

Malam itu, gue berdalih kepada Emi bahwa ada meeting internal membahas tentang proyek baru dari sebuah perusahaan pelat merah yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi. Memang saat ini gue sedang mengerjakan proyek dari perusahaan ini, dan progressnya masih sekitar 30% dari keseluruhan pekerjaan yang ada. Jadi memang prosesnya masih panjang. Semoga tidak menjadi kecurigaan lainnya dari Emi.

Gue sengaja membawa mobil untuk menghindari pulang kelewat larut yang akhirnya menyusahkan gue sendiri karena sudah jarang angkutan umum. Biasanya jika ada pekerjaan yang gue kerjakan lewat dari jam kantor, gue akan membawa kendaraan, entah itu motor atau mobil. Intinya gue tidak mau menyusahkan diri sendiri jika malam semakin larut. Terkadang ketakutan gue suka muncul sendiri ketika pulang lewat jam kerja, jelang tengah malam, dan memaksakan naik angkutan umum seperti ojek online ataupun taksi.

“Mbak, saya pesan Mojito Mint-nya satu ya dan satu Affogato.” Ujar gue sembari menyerahkan menyerahkan menu ke waitress yang dengan ramah mengambil buku menu tersebut.

“Baik, kak, ditunggu sekitar 10 menit ya….” Katanya dengan penuh semangat dan senyum terkembang. Gue hanya mengangguk dan membalas dengan berkata terima kasih disertai senyuman tipis.

Kadang gue berpikir, cewek yang bekerja disini sebagai waitress itu cantik cantik. Kulitnya rata-rata putih, atau mungkin kuning langsat dan sepertinya terawat dengan baik. Gue kadang suka menebak, berapa gaji yang mereka terima ya sebulannya? Apakah cukup untuk perawatannya? Apakah cukup untuk memelihara penampilan maksimal mereka setiap bekerja? Karena memang look yang bagus menjadi salah satu daya tarik restoran ini. Gue pernah mendengar, pemilik restoran ini umurnya tidak jauh beda dengan gue. Atau bahkan seumuran. Gue sering nongkrong sendirian dan banyak sekali yang suka membicarakan siapa owner atau minimal yang in charge disini. Pastinya, orang ini adalah orang dari kalangan berada, atau old money istilahnya. Karena di umur gue saat ini, tanpa privilege keturunan atau dari keluarga yang mampu secara finansial dan koneksi jaringan bisnis yang kuat, agak mustahil bisa menjalankan bisnis di salah satu pusat bisnis terkemuka di ibukota. Segala usaha yang mereka bilang mulai dari nol, akan berbeda dengan nol versi orang-orang seperti gue, atau Emi. Nol mereka ada di garis yang jauh berada di depan dibandingkan dengan keluarga medioker yang jumlahnya bisa sepuluh kali lipat lebih banyak dari keluarga mereka. Kadangkala, hidup ditengah gempuran paham kapitalis ala-ala negeri barat ini kurang ajar sekali. Terutama mereka-mereka yang dilahirkan di keluarga kelas pekerja, bukan borjuis. Ketimpangan dan kesenjangan sosial ini begitu terasa ketika kita masuk ke bilik-bilik mewah ibukota yang mana kaum medioker saja sudah gemetaran duluan ketika baru menginjakkan kaki di depan gerbangnya.

Tidak sampai sepuluh menit gue menunggu pesanan gue tadi, sekarang sudah siap dihidangkan di depan gue. Gue duduk di sebuah sofa yang cukup memuat dua sampai tiga orang dengan warna krem cantik yang menandakan restoran ini memiliki selera mewah yang cukup signifikan dibanding restoran-restoran lainnya. Gue sendiri agak jarang lagi ke tempat ini beberapa waktu karena memang harganya yang semakin tidak masuk akal, dan memang gue pun sedang menghemat luar biasa pengeluaran gue untuk mempersiapkan pernikahan gue yang kadang semakin gue pikir semakin tidak masuk akal ini perencanaan keuangannya.

“Haiii…………” sapa singkat seorang dengan nada ceria dan terkesan ingin memberikan sebuah kejutan untuk gue. Gue pun menoleh ke belakang dengan kesan tidak berminat karena gue sudah tahu dan menduga dari awal siapa orang yang merencanakan ini semua.

“Gue udah tau ini semua pasti lo, Nin…” Balas gue datar.

“Duh, ilah yang mau nikah serius banget…” ujarnya sembari duduk di sofa seberang meja dan berhadapan dengan gue. “

“Langsung to the point aja ya. Lo mau apa lagi dari gue?” tanya gue sedikit ketus.

“Sebentar dulu dong. Gue belum pesan apapun, nih..”

“Udahlah nggak usah bertele-tele. Lo kenapa jadi kayak begini lagi, sih? Dulu lo udah kayak orang bener, bisa ngobrol yang serius sama gue, bisa nasehatin gue, dan lo juga udah bilang kalo lo udah berubah. Nggak kayak Anin yang dulu gue kenal di awal sebagai perusak hubungan gue dengan orang-orang yang pernah gue cintai di masa lalu…”

“Hahaha. Jangan langsung nyerocos gitu, ah. Tapi lo suka kan kiriman gue?” tanyanya dengan nada sedikit menggoda, tentu dengan senyum yang selalu manis. Anak ini memang manis, tapi kelakuannya membuat gue selalu garuk-garuk kepala karena seperti selalu punya kejutan yang tidak terduga dalam kehidupan gue.

“Nggak!” Jawab gue tegas. Itu membuat beberapa orang waitress menengok sedikit dan sepertinya ada gerakan kode yang diselipkan Anin kepada mereka.

“Hmmm….yakin? Emang lo yakin itu gue?”

“Gue nggak peduli, Nin. Lo beneran nggak penting. Lo itu katanya udah berubah, nyatanya, masih gini-gini aja. Lo mau nyari apa lagi dari gue?”

“Ya nyobain dulu kali. Dari dulu gue nggak pernah bisa. Sekarang ada kesempatan terakhir, kenapa nggak?"

“Udah gila lo, Nin…” Gue bergegas untuk segera bangkit dari tempat gue duduk, namun, Anin dengan sigap berdiri lebih dulu dan memegang bahu gue untuk kemudian sedikit mendorong kebawah, menandakan dirinya ingin gue kembali duduk. Dia hanya tersenyum simpul.

“Iya, mungkin kegilaan gue akan stop ketika satu kali aja gue bisa sama lo. Tanpa perasaan apapun juga gue nggak masalah…”

“Sakit lo, asli. Gue itu udah mencoba berpikir baik terhadap lo. Selama ini lo banyak banget ngasih masukan ke gue untuk jadi lebih baik. Nyatanya lo masih juga begini. Lo cuma bullsh*t doang jadinya selama ini, hah?” nada gue mulai meninggi, tapi masih dalam tekanan suara rendah dan agak berbisik. Gue begitu bingung dengan situasi ini.

“Udahlah, nggak usah munafik, Ja. Gue tau kok, lo dalam hati juga pingin kan, sesekali sama gue? Hehehe…”

“…….”

“Kenapa lo diam aja? Berarti memang benar, kan? Gue tau kok. Gue juga nunggu kok momen itu. Lo ngomong ke gue, ayo kita main. Tapi kayaknya lo lebih milih untuk jaga gengsi lo, karena lo dulu sempat benci banget sama gue. Apalagi setelah lo tuduh gue sebagai perusak personalnya Zalina..”

“Stop, Nin! Please… Oke lah, gue memang dulu sempat ada niat begitu, karena gue begitu benci sama lo, dan gue mau begitu biar lo menjauh dari gue. Tapi gue mikir, cewek freak macam lo ini adanya kalau udah dikasih hati pasti minta jantung. Keket dan Dee aja yang tadinya normal bisa jadi kayak orang nggak waras dan kehilangan akal sehat ketika sudah nggak bersama gue. Apalagi lo yang dasarnya udah gila dari sananya…” Ungkap gue dengan nada amat ketus.

“Hahaha. Bener kan berarti? Selama ini lo juga menginginkan gue. Ya minimal badan gue, lah. Gue nggak pernah mempermasalahkan itu kok. Dari dulu juga kan lo kalo ada hubungan sama siapapun, yang beda kelamin sama lo dan sempat dekat bahkan pacaran, hubungan tanpa status atau apapun itu namanya, lo pasti hajar semuanya. Sahabatnya Dee aja lo garap juga, kan? Emang gue nggak tau?”

“Hah? Anj*ng juga lo ya. Tau darimana lo semua itu?” Gue menyadari kesalahan gue di masa lalu, hampir semuanya yang Anin bilang memang akurat. Tetapi yang membuat gue heran, mengapa Anin bisa mengetahui semuanya. Bahkan hubungan singkat gue dengan sahabat Dee dulu. Orang ini apa punya obsesi besar dengan gue?

..........

“Haaaaai……. Udah lama ya, Kak, nunggu aku? Duh maaf ya, tadi macet. Nggak biasa aku nih kena macet-macet begitu. Disana nggak ada macet soalnya, Kak. hehehe…” Tiba-tiba dari belakang sofa tempat gue duduk, ada suara seorang cewek yang begitu asing bagi gue. Dialeknya pun sepertinya bukan orang yang berasal dari Ibukota.

Secara otomatis, gue menengok ke arah sumber suara yang berasal dari belakang kiri kepala gue. Gue mendapati seorang gadis yang tingginya semampai, mungkin sekitar 165-an cm, bentuk badannya seperti Keket di masa primanya dulu waktu kuliah, kulitnya putih bersih, rambutnya tergerai sampai dibawah bahu sedikit, dadanya sedikit menyembul dari balik dalaman blouse putih yang dibalut blazer hijau tua yang dipadankan dengan celana panjang hitam semi cutbray yang elegan. Wangi parfum Blvgari Omnia Amethyste begitu menyeruak di hidung gue. Perempuan muda ini gue tebak umurnya masih 20-an, anak kuliahan sepertinya. Dia memegang tas kecil di tangan kiri dan sepertinya sebuah laptop kecil beserta tasnya di tangan kanannya.

Anin bangkit dari sofanya dan kemudian memeluknya, dilanjutkan dengan cipika cipiki. Dua perempuan yang enak sekali dipandang mata ini berada di depan gue saat ini. Tetapi, sebagai seorang cowok, tentu saja gue lebih senang dengan cewek yang lebih terlihat muda ini.

“Ja, kenalin, ini anaknya kolega bokap gue. Dia datang dari Kalimantan, loh. Jauh banget. Hehehe.” Ujarnya seraya mengarahkan tangannya dari gue ke arah anak tersebut.

“Oh iya, kenalkan, gue Firzy, temannya Anin.” Gue langsung menyodorkan tangan kanan gue untuk berjabat tangan sembari mengulas senyum terbaik gue.

“Hai, Kak, aku Nda.”
regmekujo
hakkekkyu
kaduruk
kaduruk dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup