Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

harrywjyyAvatar border
TS
harrywjyy
Iblis Suci
Iblis Suci


Blurb:

Mengisahkan tentang dua orang vlogger yang mendatangi sebuat sekte rahasia di tengah hutan terpencil. Semakin lama mereka di sana, mereka mulai merasakan keanehan, kegilaan dan hal-hal abnormal yang tidak manusiawi.

Akankah mereka bertahan di sana? emoticon-Takut (S)

emoticon-Takut


BAB 1

Quote:

To be continued


Diubah oleh harrywjyy 01-04-2024 09:42
regmekujo
sampeuk
itkgid
itkgid dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2.7K
37
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
harrywjyyAvatar border
TS
harrywjyy
#11
BAB 5


R2 mendapat satu kamar dengan dua tempat tidur dengan kamar mandi di dalamnya. Ruangan sangat mewah untuk sang tamu. Berbeda dengan ruangan para umat yang sangat sederhana. Ray dan Rissa ditempatkan di lantai paling atas yaitu lantai empat. Sedangkan lantai satu sampai tiga di isi oleh orang-orang yang sudah tinggal lama dan sudah resmi menjadi pengikut agama ini.

Singkat cerita, mereka melewati malam pertama di tempat ini dengan begitu membosankan. Tidak ada sinyal di tempat ini, jaringan internet terputus. Tak ada banyak hal yang bisa mereka lakukan selain bercakap-cakap menunggu mata mengantuk.

Keesokan paginya, mereka bangun sekitar pukul 07.00. Setelah alarm Ray berbunyi, laki-laki itu langsung turun dari tempat tidur meninggalkan Rissa yang masih terlelap. Ray segera memakai pakaiannya dan berjalan ke arah meninggalkan tempat tidur. Telapak kakinya bersentuhan dengan karpet lembut dan empuk, matanya masih mengantuk.

Ia sampai di kamar mandi dan membasuh wajahnya. Sambil menegringkan wajah dengan handuk kecil, ia mendekat ke jendela. Jendela itu ia buka. Semerbak harum bunga-bunga dari taman masuk ke hidungnya, di tambah udara segar dari hutan yang masih asri turut menyejukkannya. Ia biarkan udara segar itu masuk ke kamarnya.

Ray kembali mendekati pacarnya yang masih terlelap. “Sayang, bangun! Udah pagi!” katanya membangunkan Rissa.

Rissa membuka matanya, tapi belum setengah sadar. Ia tatap langit-langit ruangan dengan mata yang masih cukup berat untuk terbuka. “Aku masih ngantuk,” lirihnya.

“Kita mau ketemu petinggi tempat ini, nabi atau apalah namanya itu. Ayo bangun, pakai bajumu,” kata Ray sambil mengumpulkan pakaian Rissa yang tersebar di sekitar tempat tidur.
“Lima jam lagi,” kata Rissa.

Ray menepuk pelan wajah pacarnya itu sambil tertawa kecil. “Lima menit! Lima menit aku kasih kamu buat kumpulin nyawa, aku mau mandi. Kalau aku selesai mandi masih tidur, aku siram kamu ya.” Ray lalu berjalan masuk kembali ke kamar mandi.

Rissa membuka matanya, ia menguap sesaat dan memaksa dirinya untuk duduk melawan rasa malas yang merantai dirinya di atas kasur yang empuk ini. Ia ambil baju dan memakainya. Selimut tebal yang menutupinya ia buka, segera ia langkahkan kakinya menapak ke lantai.

Wanita itu kemudian berdiri sambil mengikat rambut pirangnya itu. Dengan sedikit lemas ia berjalan masuk ke kamar mandi. Sama seperti pacarnya, ia mengarah ke keran air dan membasuh wajahnya. Mengabaikan Ray yang sedang tanpa busana dan asik mandi beberapa langkah di sampingnya.

Rissa keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar. Ia melihat sekitar dengan wajah datar. Ia menghela nafas dan berkata, “bagus, ini pertama kalinya aku bangun tidur dan tidak ada kulkas di sini.”

***

Beberapa jam kemudian, mereka berdua telah siap untuk pergi ke luar kamar. Ray telah rapi dengan kemeja kotak-kotaknya. Sedangkan Rissa masih sibuk merapikan rambutnya. Di tubuhnya sebuah baju terusan berwarna oranye dengan corak hitam membalutnya dengan cantik. Ray memasukan alat-alat rekaman. Tripod, mic, kamera tidak lupa ia bawa.

Sementara di luar sana matahari sudah cukup tinggi, sinarnya masuk melalui jendela kamar. Suara beberapa orang di luar terdengar masuk ke kamarnya. Anak-anak tampak bermain-main dengan riang di sekitar taman. Lahan ini cukup luas untuk menampung ratusan orang yang mengikuti agama ini.

“Menurutmu Eve itu gimana?” tanya Rissa pada Ray.

“Dia cantik, mukanya itu kaya cewek-cewek di telenovela gitu. Tapi sikapnya agak aneh ya,” jawab Ray.

“Sependapat,” balas Rissa singkat.
Tak lama seseorang mengetuk pintu kamar mereka. Suara perempuan terdengar dari luar memanggil mereka berdua. Ray menyahut, Rissa buru-buru menyelesaikan riasannya. Setelah beres, Ray berjalan buru-buru dan membuka pintu.

“Halo, Eve. Selamat pagi,” ucap Eve.

“Los Meyordes,” balas Eve dengan lembut.
Ray langsung mengambil tasnya, sedangkan Rissa berdiri dan segera berjalan mengikuti pacarnya. “Ayo, Sayang. Thalia Mercedes menunggu kita di luar,” kata Ray.

“Pffft ....” Rissa menahan tawa mendengar ujaran pacarnya.

Eve membawa mereka ke luar mansion. Pagi itu mereka berdua berpapasan dengan beberapa orang yang menganut agama ini. Semua orang itu sama seperti pada orang pada umumnya Wajah ramah mereka menyabut Eve dan kedua tamunya. Dari sikapnya, mereka amat menghormati sosok Eve ini. Baik tua sampai muda semuanya tersenyum dan membungkuk kala Eve lewat di hadapan mereka.

Mereka yang sedang makan, menyapu atau bercakap-cakap seketika berhenti saat Eve lewat. Tak seperti pada cerita-cerita dongeng di mana seorang bangsawan selalu identik dengan kesombongan, Eve justru sangat bersahabat dan membalas semua salam serta senyuman yang datang dari orang sekitar.

Sebuah rumah berlantai dua yang luas berdiri kokoh, Ray dan Rissa sampai di tempat tujuannya. Pintu dibuka oleh satu orang penjaga yang berdiri di sana. Eve masuk dan mengarahkan mereka masuk ke sebuah ruangan khusus yang mengharuskan mereka bertiga melepas alas kaki untuk masuk ke dalamnya.

Mereka sampai di dalam, terlihat berbagai lukisan dan ornamen-ornamen klasik yang indah dan mahal. Aroma dari lilin-lilin tercium begitu wangi dan cocok untuk relaksasi. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi kesan sakral terasa jelas saat masuk ke dalamnya.

Sesosok pria tua duduk di kursi kayu yang sama tuanya. Rambutnya putih dan kulitnya keriput. Pria berumur sekitar 60 tahun itu memakai jubah berwarna hitam dengan hiasan putih dan emas. Di dahinya sebuah ikat kepala dengan tulisan-tulisan huruf tak dikenal terpasang menambah keagungannya. Tangannya memegang sebuah tongkat dengan ukiran huruf yang sama.

“Los Meyordes, Papa,” ucap Eve sambil membungkuk.

“Los Meyordes,” balas pria tua itu.
Eve lalu berjalan menyingkir ke samping, meninggalkan Ray dan Rissa yang masih berdiri di hadapan orang itu. Mulut Ray sempat terbuka dan hendak memulai bicara, akan tetapi pria tua itu mengangkat tangan. Mengisyaratkan agar Ray tetap diam. Ray pun menurungkan niatnya dan kembali menutup mulut.

“Perkenalkan, aku Dazza Mendes. Ray dan Rissa, selamat datang di rumah kalian,” ucap pria tua bernama Dazza itu.

“Rumah kami? Enggak kok, kita cuma sebentar di sini,” balas Ray dengan nada canggung. Tangan Rissa memegang lengan Ray dengan mesra.

“Aku tahu, Anakku. Kalian mungkin akan pergi, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa tempat ini adalah rumah bagi semua manusia. Di sinilah Tuhan berada, sekalipun kalian pergi nanti. Status tempat ini akan tetap sama. Rumah kalian,” jawab Dazza.

“Pak, boleh saya sambil merekam melalui kamera? Kita akan buat semacam sesi wawancara,” kata Ray mengeluarkan peralatan syutingnya dari tas. Tanpa basa-basi, Dazza mengizinkannya.

Ray mulai menyusun kamera dan mengambil posisi yang pas untuk mengambil gambar. Eve mengambil dua buah kursi untuk mereka duduk. Rissa membantu pacarnya menyambungkan kabel mic dengan kamera. Eve menambah satu kursi lagi untuk menjadi tempat mereka meletakkan mic. Sedangkan mata keriput orang tua itu memperhatikan mereka yang sibuk melakukan persiapan rekaman.

“Sudah?” tanya Dazza.

Ray lalu menekan tombol untuk mulai merekam. Lensa kamera itu mengarah ke posisi mereka duduk. Dazza dan Ray berada dalam satu frame, sedangkan Rissa tidak ikut masuk dalam rekaman tersebut dan memilih duduk sambil memantau proses rekaman. Ray duduk dua meter di depan Dazza, mereka berdua sama-sama menghadap ke arah kamera yang menyala.

“Baik kita mulai. Guys, sekarang saya udah ada di depan Dazza Mendes. Seorang pendiri sekaligus petinggi agama ini. Kita akan melakukan bicang-bincang sedikit bersama beliau, jadi simak terus video ini sampai selesai. Jangan ada yang kalian lewatkan untuk menghindari salah paham ya. Oke, kalau begitu.” Ray menoleh ke Dazza. “Ada yang mau anda sampaikan ke penonton kita?” tanya Ray.

Dazza tersenyum dan menatap ke arah kamera. “Sebelumnya ada yang ingin aku koreksi. Aku bukanlah pendiri atau pencetus agama ini,” ucapnya.

“Jadi siapa yang pertama kali mendirikan agama ini?” tanya Ray.

“Bene Mendes kakek saya di tahun 1928. Kemudian dilanjutkan oleh ayahku Ciro Mendes. Kakekku yaitu Bene Mendes adalah orang beruntung yang mendapatkan langsung pesan dari Tuhan,” kata Dazza memberi jawaban.

Ray kembali bertanya. “Maaf, Pak Dazza. Bagaimana kakek anda mendapat pesan Tuhan? Dan apa yang sebenarnya agama ini ajarkan kepada pengikutnya?"

“Ketika itu, Bene Mendes sedang dalam perjalanan menuju Tasikmalaya. Kemudian ia melewati salah satu desa di daerah ini. Ia tidak tahu bahwa masyarakat di desa tersebut tengah memiliki masalah orang-orang Belanda. Sialnya, beberapa penduduk melihat Bene dan mengira ia adalah orang Belanda. Padahal kakekku adalah orang Spanyol yang saat itu kebetulan sedang mampir ke pulau Jawa.

Mereka mengejar kakekku Bene, ia sampai harus masuk hutan menghindari kerumunan warga yang membawa parang dan berbagai senjata tajam. Hingga tibalah ia di bukit ini. Ia sudah terpojok oleh kawanan warga itu, sampai akhirnya sebuah cahaya datang dari langit. Seketika itu juga tubuh Bene menjadi tak terlihat oleh mata orang-orang itu. Dan terdengar dentuman hebat dari langit yang membuat orang-orang itu kabur. Dengan begitu, Tuhan menyelamatkan kakekku dari kematian. Eve, tolong minumanku.” Dazza lalu berhenti bercerita, anaknya Eve memberikan segelas air kepadanya.

Setelah minum dan membasahi mulutnya, Dazza lanjut bercerita. “Setelah kejadian itu, hari-hari berikutnya kakekku selalu mengalami mimpi. Dalam mimpi itu ia didatangi oleh cahaya yang bicara kepadanya. Cahaya itu memberikannya pesan-pesan yang harus ia sampaikan kepada seluruh manusia di bumi. Ia lalu menuliskan semua pesan itu ke dalam buku catatannya. Hingga terbentuklah kitab ini.” Dazza menunjukkan sebuah kitab berwarna putih ke arah kamera.

“Boleh saya pinjam?’ pintu Ray yang tertarik dengan kitab tersebut.

“Maaf, Nak. Hanya orang beriman kepadanya yang boleh memegang benda suci ini,” jawab Dazza.

“Oh, baiklah.” Ray lalu memutar otak untuk mencari pertanyaan lain. “Bagaimana bentuk Tuhan kalian? Adakah sosok atau pun bentuk yang dilihat oleh kakek anda?” tanyanya lagi.

“Kami melambangkan Tuhan dengan patung ini.” Dazza menoleh ke sebuah patung berbentuk manusia berbaju besi dengan bagian wajah yang dibiarkan polos tanpa wajah. “Dia tidaklah sama dengan kita manusia. Dia adalah entitas yang berbeda. Bentuk ini hanyalah perlambang, akan tetapi sesungguhnya Tuhan tidak akan pernah bisa kita bayangkan bentuknya, Nak,” tambah Dazza.

Setelah itu, sesi wawancara terus berlangsung. Berbagai pertanyaan terus dilontarkan oleh Ray kepada sang pemuka agama itu. Dengan cepat Dazza terus menjawab tanpa ada sedikit pun kendala, seakan semua jawaban dari pertanyaan itu sudah ada di luar kepalanya. Sebagai orang yang sudah cukup tua dia sangat lancar mendengar dan menjawab setiap pertanyaan Ray yang notabene menggunakan bahasa-bahasa ala perkotaan.

“Untuk pertanyaan terakhir, Pak Dazza. Adakah pesan-pesan yang ingin anda sampaikan kepada penonton video ini?” tanya Ray.

“Pesanku,” Dazza tersenyum menghadap kamera. “Semua manusia di muka bumi memiliki rumahnya masing-masing. Tapi ketahuilah bahwa tempat ini adalah rumah sesungguhnya kalian, di mana kalian bisa merasakan keberadaan Tuhan. Aku cucu dari sang pembawa pesan Tuhan, akulah sosok yang mewakili keberadaannya di dunia. Maka dari itu datanglah kepadaku dan kutunjukkan kalian Tuhan yang sebenar-benarnya,” ucap Dazza.

Setelah kalimat itu, sesi wawancara pun berakhir. Rissa mematikan rekaman dan mengecek hasilnya. Sedangkan Ray dan Dazza sama-sama meminum air yang disediakan oleh Eve setelah lama berbincang-bincang sampai membuat mulut mereka menjadi kering.

Di tengah-tengah aktivitas minumnya, tangan Dazza bergerak dan memegang tangan Ray. Sontak hal itu membuatnya terkejut, ia tatap orang tua itu. Tampak senyuman itu lagi, senyuman dengan kerutan-kerutan di wajahnya.

“Tuhan ada di sini, Nak,” ujarnya sambil memegang tangan Ray. “Kapan pun itu, beberapa detik atau beberapa jam atau beberapa tahun ke depan. Kamu akan merasakan kehadirannya. Di sini,” ucap Dazza yang kemudian langsung melepas tangan Ray.
“Iya, iya, Pak. Saya mengerti,” jawab Ray sedikit aneh.

***

Matahari sudah tinggi di atas sana, hari mulai memasuki siang hari. Setelah wawancara itu, Eve memberi mereka makanan yang cukup untuk mengisi perut sampai makan malam tiba. Lagi-lagi rasa lezat makanan di sini membuat Ray tak tahan dan serasa tertarik untuk makan dan makan terus.

Setelah menghabiskan makanan yang disediakan, mereka duduk berdua di taman yang sudah sepi setelah beberapa jam lalu di isi oleh anak-anak yang bermain. Kepala Rissa bersandar di bahu sang pacar. Mata mereka sama-sama menonton hasil rekaman wawancara tadi. Sambil menikmati sepoi-sepoi angin yang perlahan membawa rasa kantuk yang mampu memaksa mata untuk menutup diri dari dunia.

“Menurut kamu, Dazza itu gimana?” tanya Ray.

“Si pembawa pesan Tuhan?” Sebelum menjawab Ray melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengarkannya. “Menurutku, Dazza itu orang halu. Sama kaya ayah dan kakeknya yang halu. Kayanya dia terlalu banyak nonton atau baca buku fantasi atau apalah gitu,” jawab Ray.

“Tapi menarik kan?” tanya Rissa sambil tersenyum menatap Ray.

“Menarik sih, biar seaneh apapun aku masih mau mengulik lebih jauh soal ajaran sesat ini,” ucapnya. “Apalagi dari video-video ini kita bisa dapet uang, itu kan yang kamu mau?” Ray lalu mencium pelan dahi pacarnya itu. Disambut dengan tawa kecil dari bibir tipis Rissa yang cantik.

Di tengah perbincangan itu, Eve datang dan sempat membuat mereka kaget. “Maaf menganggu. Nanti jam satu siang, kalian akan saya bawa ke halaman belakang. Di sana terdapat kuil di mana kami berdoa dan meminta permohonan kepada Tuhan. Di sanalah kalian bisa merasakan keberadaan Tuhan,” kata Eve.

“Ah, iya. Nanti kita ke rumahmu jam satu siang ya. Oke, oke. Terima kasih ya,” ucap Ray yang kemudian membuat Eve berjalan pergi. “Huuft, kenapa dia muncul terus ya pas kita lagi ngomongin soal agama aneh ini,” keluh Ray yang lagi-lagi disambut tawa kecil dari pacarnya.

itkgid
tariganna
tariganna dan itkgid memberi reputasi
2