ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #26 : Pemakamanku


Dulu aku pernah membaca sebuah jokes di internet. Katanya kita menghabiskan seluruh hidup mengumpulkan tamu yang akan menghadiri pemakaman kita. Awalnya aku menganggap itu konyol. Memang apa bedanya satu atau seribu pelayat bagi orang yang sudah mati? Namun, setelah kupikir-pikir lagi, hanya orang yang kesepian saja yang akan memikirkan hal seperti itu.

Semua orang pasti ingin merasa dicintai, merasa dihargai, merasa dirindukan. Melihat orang-orang yang menangis karena tak ingin kehilanganmu adalah sebuah penghiburan besar bagi hati. Bahkan setelah kau mati kau tahu kau sudah meninggalkan jejak bagi orang-orang yang mengenalmu dan semakin banyak orang yang datang membuatmu semakin bahagia.

Namun sayangnya, hanya ada segelintir orang yang datang di hari pemakamanku.
Yang berdiri paling depan adalah ibuku. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Sejak meninggalkan rumah sepuluh tahun yang lalu aku bahkan sama sekali tidak pernah menghubunginya. Aku sudah menjadi anak durhaka. Aku bahkan terkejut Ibu masih mau menerima mayatku.

Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Ibu adalah orang paling berjasa dalam hidupku. Sejak Ayah meninggal Ibu selalu bekerja keras menutupi biaya rumah dan sekolah. Lalu dengan apa aku membalasnya? Nilai rapor yang buruk, catatan kekerasan dari wali kelas, dan akhirnya dropout.

Di belakangnya ada adikku. Tidak seperti Ibu, dia tidak terlihat sedih. Wajahnya datar tanpa emosi. Hubungan kami memang tidak baik, kurasa hubungan kami saat ini tak jauh berbeda dari dua orang tak saling kenal. Aku sendiri tak terlalu menyukai adikku. Kebalikan dariku dia adalah murid teladan yang bisa Ibu banggakan. Kudengar dia mendapat pekerjaan yang bagus setelah lulus kuliah.

Aku tak menyukainya, aku tak pernah tahu apa yang dia pikirkan, tapi sekarang aku senang dia berada di sisi Ibu. Mereka akan baik-baik saja. Kematianku tidak merubah apa-apa.

Di belakang mereka ada keluargaku yang lain. Paman, Bibi, dan sepupu-sepupuku serta anak mereka. Kira-kira apa yang sedang mereka pikirkan? Apa mereka sedang mengasihani anak gagal yang mati tanpa kabar sepertiku? Kira-kira apa yang para keponakanku pikirkan? Mereka mungkin tidak memikirkan apa-apa. Kami bahkan tak pernah bertemu.

Selain keluarga … hanya beberapa tetangga yang datang. Tidak mengagetkan, aku juga tak meninggalkan kesan baik pada tetangga sejak dulu. Mungkin mereka cuma datang demi kesopanan, mereka sebenarnya tidak suka padaku. Bagaimanapun aku cuma dikenal sebagai preman pembuat onar.

Ternyata cuma segini yang datang ke pemakamanku. Tak sampai sepuluh orang.

“Apa kau siap untuk pergi?”

Aku menoleh dan mendapati Malaikat Kematian sudah menunggu. Kalau aku menghitung malaikat kematian maka itu berarti tepat sepuluh orang datang ke pemakamanku.

“Aku … tidak ingin pergi.”

Aku tahu ini usaha yang percuma, tapi aku tak bisa membendung perasaan ini. Perasaan bersalah, perasaan duka, perasaan menyesal yang baru kurasakan setelah mati. Ke mana perginya perasaan ini selagi aku hidup?

“Kenapa aku mati seperti ini? Kenapa aku melakukan semua ini? Kenapa … kenapa aku tak mencoba hidup lebih baik?!”

Sejak kapan hidupku mulai berantakan? Benar, sejak Ayah meninggal. Keadaannya sangat kacau saat itu. Ternyata Ayah punya banyak hutang dan debt collector pun berdatangan setelah kematiannya. Melihat Ibu yang terdesak seperti itu membuatku jadi liar. Aku mencoba bertingkah kuat dan akhirnya bergaul dengan kelompok yang salah.

Sekolahku kacau. Aku terlibat tawuran dan dikeluarkan dari sekolah. Karena malu aku memilih pergi dari rumah. Setelahnya aku cuma melakukan kerja serabutan untuk menyambung hidup dari hari ke hari tanpa memperdulikan apa pun.

Sebenarnya aku selalu ingin pulang dan meminta maaf, tapi keberanian tak kunjung datang. Tanpa sadar sepuluh tahun sudah berlalu. Aku terlibat kecelakaan dan mati di tempat. Tak ada kata maaf yang sempat terucap, cuma ada mayat yang tak bisa bercakap-cakap.

“Ada banyak orang sepertimu, orang-orang yang merasa mereka punya seluruh waktu di dunia. Ada banyak orang yang mati tanpa sempat melakukan apa-apa, tapi manusia tidak pernah belajar.”

Cengkraman tangan Malaikat Kematian sudah berada di leherku. Aku tak bisa melawan. Inilah akhir dari semuanya.

“Tapi kau tetap harus bersyukur. Setidaknya masih ada yang menangisi kematianmu. Satu dan seribu tak ada bedanya bagi orang mati, tapi satu dan nol sangat jauh berbeda. Kau punya keluarga yang baik. Suatu saat nanti, di tempat lain, minta maaflah pada mereka.”

“Apa aku masih punya kesempatan untuk minta maaf?”

“Aku sudah mengantar milyaran manusia sebelum dirimu dan akan mengantar milyaran manusia sesudahmu. Bila waktunya tiba aku akan menjemput ibumu juga. Katakanlah, apa yang ingin kau sampaikan padanya?”

Jadi aku hanya bisa meminta maaf melalui Malaikat Kematian? Meski tak secara langsung, aku bersyukur masih bisa menyampaikan permintaan maafku.

“Maaf … tak bisa menjadi anak yang baik. Maaf sudah menjadi kakak yang buruk. Kuharap aku bisa mengulang waktu dan menjalani hidup dengan benar. Tapi … terima kasih sudah datang ke pemakamanku.”

Aku tak yakin berapa banyak emosi yang bisa Malaikat Kematian sampaikan. Meski demikian aku berharap emosi yang kurasakan tersampaikan meski hanya secuil. Sungguh kusangat ingin menyampaikannya sendiri, tapi inilah gerbang antara hidup dan mati. Penyesalan selalu hidup di antaranya.

“Ayo … kita pergi.”

Untuk jiwa-jiwa yang masih bersemayam di Bumi, adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan? Jika ada maka sampaikanlah. Tak ada yang tahu kapan Malaikat Kematian akan datang. kau tak akan suka jika harus menitipkan pesan padanya.

***TAMAT***
lurika
hanifafathia210
kocet2010
kocet2010 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1.5K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
roberthwAvatar border
roberthw
#7
Hanya ada 2 tipe orang yg akan banyak dikunjungi pelayat.

1. Orang yg banyak jasanya / manfaatnya
2. Orang yang banyak hartanya
0
Tutup