m60e38Avatar border
TS
m60e38
Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari | R-17

Quote:



Apa kau percaya dengan Hukum Kekekalan Energi?
Kalau aku percaya dengan Hukum Kekekalan Cinta.
Bahwa Cinta itu tidak dapat dibuat atau dimusnahkan.
Tetapi hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Itulah cinta yang kupercaya.


Ini adalah kisah nyata tentang mereka.
Tentang semua cinta yang tak terbalas.
Tentang semua rasa yang tak terungkap.
Yang terukir indah dalam 874 lembar buku harianku sejak SMA.
Ditambah 101 halaman dari kisahku yang hilang bersama seseorang.


Maka, saat kau bertanya, mengapa kau masih ingat?
Buku harianku yang mengingatkanku.
Disana tertulis nama lengkap mereka.
Disana tertulis semua perkataan antara aku dan mereka
Disana tertulis semua proses pendewasaanku.


Ini kisah nyata.
Buku harian 975 lembar letter size itu saksi sejarahnya.
Ditulis dengan font Times New Roman 10 Pt.
Dan akan kutulis ulang semuanya untuk kalian.
Bidadari yang pernah datang mengisi hariku.
Bidadari yang mendewasakanku.




Orang bilang, jatuh cinta itu menyenangkan.
Aku mengakui itu, sepanjang aku jatuh cinta, rasanya menyenangkan.


Tetapi orang juga bilang, jatuh cinta itu menyakitkan.
Entah, tetapi aku tidak pernah setuju dengan frasa bahwa cinta itu menyakitkan.


Cinta adalah saat kita menginginkan orang yang kita cintai bahagia.
Tidak peduli seberapa sakitnya kita dibuatnya.
Karena ketulusan yang akan mengobati semua sakit.
Di atas senyum bahagia, dia yang kita cintai.


Namum, apabila ada banyak hati yang saling mencinta.
Apakah akan berakhir bencana?
Ataukah ketulusan yang akan menyembukan mereka.
Ini kisah tentang mereka.


Bidadari sempurna yang hadir dalam hidupku.



Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari





MAKLUMAT


Cerita ini berdasarkan kisah nyata, nama karakter disamarkan sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi privasi dari tokoh yang ada di dalam cerita ini. Dan cerita ini sebisa mungkin menggunakan kaedah sastra secara teknis, sehingga akan dibutuhkan waktu yang lama untuk dicerna.

Rating dalam cerita ini adalah R-17, dengan kata lain, cerita ini mengandung bahasa yang kasar dan juga isi cerita yang hanya sesuai untuk usia 17 tahun atau di atasnya, dan atau usia di bawahnya dengan bimbingan orang yang lebih dewasa.

Perlu diingat, rating Restricted tidak serta merta hanya mengacu kepada konten cerita yang mengandung adegan dewasa, belajar dari cerita sebelumnya, saya selaku authorakan meminimalisir cerita dengan adegan dewasa di thread ini. Restricted di sini mengacu kepada kompleksitas cerita yang akan mempengaruhi ideologi pada pembaca, khususnya remaja yang memiliki usia di bawah 17 tahun.

Penggunaan bahasa yang tidak pantas, serta adegan yang penuh dengan konspirasi dan atau tindakan kejahatan juga menjadi pertimbangan saya untuk tetap mempertahankan rating Restricted di dalam cerita ini, jadi terlebih dahulu harus dipahami mengapa saya tetap menggunakan rating R-17 pada cerita ini, dan bukan serta merta karena adanya adegan yang kurang pantas di sini.

Mohon untuk pembaca memahami bahwa tidak semua adagan dalam cerita ini bisa dicontoh, ditiru, dan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih untuk material yang hanya boleh dilakukan untuk pasangan pernikahan yang sah. Pembaca dimohon untuk mengambil hikmah dari cerita ini sebaik-baiknya.

Kritik dan saran dari pembaca sangatlah saya harapkan, dan mohon maaf apabila banyak tulisan dari karya saya yang masih jauh menyimpang dari Sastra Indonesia. Saya mohon koreksinya dari pembaca, karena saya ingin tetap mempertahankan kaedah menulis Sastra, bukan asal cerita.

Demikian maklumat dari saya, Terima Kasih.



Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


OVERTURE



     Selamat pagi rekan-rekan Kaskuser, khususnya di Sub-Forum Story from the Heart, perkenalkan, saya Faristama Aldirch, selaku Nubie SR di sini untuk berbagi kisah. Sebelumnya pasti rekan-rekan semua tahu apa alasan saya menggunakan User ID m60e38, tentunya ada hubungannya antara mesin BMW M60 dan sasis BMW E38.


     Tentu saja, cerita ini berawal dari saya yang jatuh cinta kepada Aerish Rivier, menyatakan cinta kepada gadis itu, dan membuat saya menanti akan sebuah balasan yang tak berujung. Menutup hati dari banyak hati yang berusaha mengisi hati saya dan berusaha tak acuh dengan apa yang saya alami sendiri. Hingga pada akhirnya banyak hal yang terlewatkan hingga semuanya menjadi satu.

     Tetapi, hal tersebut tidak pernah disadari oleh saya, Cauthelia Nandyadatang dengan membawa cinta dan keikhlasan yang begitu luar biasa, tertuang dalam diary-nya sejak tahun 2002. Nadine Helvelina datang dengan cinta dan ketulusan yang tidak pernah bisa diragukan. Shinta Adinda yang menjadi sahabat terbaik saya juga datang dengan ketulusan yang benar-benar membuat saya berpikir tidak akan meninggalkannya.

     Arteana Andrianti, seorang Guru penjaga UKS yang merasakan bahwa saya adalah laki-laki yang telah menyelamatkannya di satu peristiwa pada pertengahan 2006. Hingga Aluna Amelia, gadis berdarah Oriental yang begitu cantik, mempercayakan segala perasaannya kepada saya atas semua apa yang pernah saya lakukan kepadanya.

     Ketulusan mereka semua sudah tidak mungkin diragukan lagi, apapun mereka lakukan bukan serta merta menginginkan saya bahagia, tetapi ingin yang lainnya bahagia. Memang ini terlihat menyenangkan, dicintai banyak wanita sekaligus, dan mereka terlihat begitu akrab dan juga akur satu sama lainnya, padahal hal tersebut benar-benar menjadi sebuah beban yang begitu luar biasa untuk saya.

     Semenjak kedatangan Erik di kehidupan saya, semuanya mulai terasa begitu berat, dengan anak buahnya, ia berusaha untuk mendekati satu per satu bidadari untuk sekadar mengancam saya, atau mungkin melakukan hal yang buruk kepada mereka. Hal tersebut membuat saya benar-benar was-was, terlebih saat ini saya tidak bisa tenang karena Cauthelia tidak bisa dihubungi.

     Satu persatu masalah muncul dan semuanya bermuara ke satu nama, yaitu Markus, siapakah orang itu? Entahlah, hanya Sang Jabbar yang tahu siapakah Markus itu, yang pasti semenjak kedatangan Nancy malam itu, setidaknya selain hengkangnya Erik perlahan dari kehidupan saya, muncul aliansi baru yang akan membantu saya mengungkap siapa dan apa tujuan Markus sebenarnya.

     Semoga cerita ini bisa menjadi salah satu kawan di kala senggang untuk rekan-rekan Kaskuser yang senang membaca cerita dengan format baku seperti yang saya suguhkan. Tidak perlu banyak kata-kata dalam pembukaan ini, saya akan melanjutkannya pada kisah yang akan saya tulis dengan format yang sama seperti cerita saya sebelumnya. Atas perhatian dan kerjasama Anda, saya mengucapkan Terima Kasih.

Quote:


Polling
0 suara
Siapa Karakter Perempuan Favorit Reader dalam Cerita Ini?
Diubah oleh m60e38 04-02-2024 03:41
fajar1908
redalion101
jamalfirmans282
jamalfirmans282 dan 24 lainnya memberi reputasi
23
302.3K
2.4K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
m60e38Avatar border
TS
m60e38
#2386
Aleph-Null: Keterbatasan adalah Tidak Terbatas (Bagian 1)

Kuhela napas begitu panjang saat mata ini terbuka, menyadari bahwa raga ini masih terlena di atas ranjang saat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 04.30. Satu purnama sudah berlalu, meninggalkan segenap rasa yang begitu membuncah tatkala kusadari semua yang terjadi tidaklah sama seperti dahulu.

Nadine, gadis yang begitu kupercaya ternyata telah mengkhianati segenap kepercayaan ini; menorehkan sebuah luka mungkin butuh waktu lama untuk disembuhkan. Tidak hanya Shinta, ia pun begitu membenci Aluna yang seharusnya ia kecualikan dalam ini semua.

Liburan di Lombok telah mengajarkanku banyak hal. Segala peristiwa di sana seolah menunjukkan kenyataan perasaan yang tersimpan di dalam tiap lubuk hati mereka yang kucintai. Entahlah, apa yang harus kuperbuat saat ini; di hari Senin pertama pada tahun ajaran semester genap di awal tahun 2007 ini.

“Kak,” panggil suara lembut Bunda menelusup lamunanku.

“Iya Bun,” sahutku seraya menoleh ke arah pintu kamar yang masih kukunci.

“Cepetan bangun, udah jam setengah lima.”

Tidak ada lagi lisan yang didengar selain derap langkah menjauh dari perimeter kamarku. Beliau hanya memanggilku untuk bangun lalu pergi, tanpa memeriksa apakah diri ini benar-benar terbangun; atau hanya sekadar menyahut panggilannya yang tidak pernah bisa kubantah.

*****


Mega masih saja terlihat murung, bahkan muatannya yang tercurah sejak dini hari pun belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Aku bersama Ayah dan Bunda  masih duduk bersama untuk sarapan, berusaha untuk tetap saling berkomunikasi di atas kesibukan mereka yang tampaknya masih berkelanjutan.

“Elya apa kabar, Kak?” tanya Bundaku, menanyakan kabar gadis yang paling indah menghiasi hatiku kini.

Aku mengangguk pelan seraya tersenyum ke arahnya. “Baik Bun, makin cantik malahan.”

Ayahku lalu memandang ke arahku. “Terus soal Nadine, beneran emangnya?”

Kuhela napas panjang, mencoba untuk melupakan lekas-lekas peristiwa yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi di sana.

Setelah hela napas panjang, aku mengangguk pelan. “Iya Yah, aku juga bingung kenapa dia sampe segitunya sama cewek yang lain.”

Mereka saling berpandangan, menebarkan aura misterius yang tidak bisa ditranslasikan, seolah ada hal yang mereka tahu tentang Nadine, tetapi mereka tidak memberitahukan kepadaku. Di akhir kesunyian itu, Bunda lalu memandang ke arahku, mencoba untuk menelusup ke dalam relung ini yang sudah terlanjur kecewa akan sikapnya.

“Nadine tadi telepon, katanya mau ke sini.”

Sejenak detak jantungku naik secara konstan.

Seketika sendok yang digenggam oleh tangan kanan ini langsung terlepas; menyebarkan bunyi gaduh ketika peranti berbahan perak itu bertabuhan dengan porselen yang menampung sereal dan juga susu di hadapanku.

Sungguh, aku benar-benar terkejut akan frasa yang dilisankan oleh Bunda. Aku tidak menyangka bahwa Nadine akan mampir ke sini untuk menjemput setelah apa yang ia lakukan di sana.

“Bunda jawab apa?” tanyaku cepat.

“Ya Bunda bilang dateng aja,” ujarnya singkat, “gimana pun dia udah jagain kamu di rumah sakit pas Bunda sama Ayah gak bisa jagain kamu.”

Ia lalu berpandangan dengan Ayah. “Ya, meskipun Bunda juga tahu, Tata yang tetep lakuin semua itu di belakang Nadine.”

Kuhela napas, dan mencoba tenang. “Aku paham. Aku cuma gak bisa terima dengan apa yang udah dia lakuin sama semua orang.”

Aku menunduk menghindari pandangan ke arah kedua mereka. “Terlebih apa yang udah dia lakuin ke Elya.”

Hening lalu merundung kebersamaan kami di syahdunya pagi Jakarta.

“Aku mau jalan duluan aja.”

Kupercepat laju santapan ini agar dapat segera bertolak dari rumah. Aku bahkan tidak peduli kepada curahan sang Mega masih belum berhenti. Sekejap lalu saat semuanya usai, kucium tangan kedua mereka, lekas-lekas mengenakan jas hujan dan bersiap melajukan sepeda motor berkapasitas 125 sentimeter kubik menuju ke sekolah, meninggalkan Nadine yang mungkin bisa datang kapan pun.

Sejurus, saat aku meninggalkan rumah, mobil Hatchback B-Segment bermesin seribu-lima-ratus-sentimeter-kubik milik sang Ketua OSIS berpapasan dengan kendaraan ini.

Seketika saat kulihat dari spion kanan, ketiga lampu remnya menyala.

Brake booster di kendaraan bekerja berdasarkan input dari pedalnya yang ditekan lekas-lekas; ditranslasikan dalam bentuk tekanan hidrolik melalui selang-selang yang terisi cairan minyak bersertifikasi DOT 4; seraya mendekap erat-erat keempat piringan cakram untuk menghentikan laju kendaraan itu.

Masa bodoh, aku malah memilih membuka lebar-lebar katup vakum yang mengabutkan bahan bakar dan udara di kendaraan ini dengan memelintir tuas gas lebih dalam. Hanya satu yang kupikirkan, yaitu berusaha untuk menjauh dari sosok gadis yang berada di balik kemudi kendaraan itu.

Kubelah jalan Jakarta pagi ini dengan percaya diri. Namun, samar aku bisa melihat kendaraan besutan Minato itu sudah berada di belakang. Ia tampak mengejarku dengan begitu cepat. Beruntung baginya, Senin pagi ini tidak seramai biasanya. Ia bisa mengejar sepeda motor ini dengan mudah.

Sejurus, ia mendahului, menghadang, dan menghentikan laju kendaraannya tepat di depanku.

Ia lalu membuka pintu pengemudi dan langsung berjalan ke arahku. Gadis itu tidak memedulikan tikaman air yang terus menerus tercurah dari awan kumulonimbus yang masih betah bertengger di zenit dan menutup pancaran sang Sol dengan begitu pekatnya.

“Tama,” panggilnya lirih. “Kenapa Tama gak nungguin Nadine?”

Terhela napas panjang seraya membuka sedikit visor helm full-face berwarna jingga yang selalu menemani hari-hariku saat mengendarai sepeda motor pinjaman ini ke sekolah. “Harus gitu nungguin lo?”

“Maafin Nadine,” ujarnya pelan, “maafin kesalahan Nadine.”

Aku mengangguk pelan. “Gue udah maafin lo, Nad. Dari semua yang udah loe lakuin ke Shinta, Aluna, Teana, bahkan Elya.”

“Tapi, please,” ujarku seraya menatap tajam ke arah gadis yang mengenakan kacamata Lexington itu. “Gue gak mau berdebat masalah ini.”

“Tapi, Nadine tahu, Tama masih marah sama Nadine.

“Nadine juga tahu, kalo Tama kecewa sama Nadine.

“Nadine akan kasih Tama apa pun, yang penting Tama percaya sama Nadine.”

“Gue gak butuh apa pun dari lo, Nad.”

“Tama,” panggilnya lirih. “Nadine akan kasih apa pun, apa pun yang Tama mau.”

Aku menggeleng. “Lo udah bukan Nadine yang gue kenal sekarang.”

“Ta-tapi, Tam,” ujarnya sedikit ragu.

Kuhela napas panjang. “Udah Nad, kita omongin di sekolahan aja. Lo mendingan balik ke mobil lo, ujannya makin deres.”

Seketika kedua tangannya menggenggam jemari kananku begitu erat, mentransmisikan segenap rasa yang mungkin telah lama tidak dirasakan mengalir dari relungnya. “Nadine mau bareng sama Tama, boleh ya?”

“Gue gak mau naik mobil lo,” ujarku datar.

“Iya, Nadine bareng sama Tama naik motor, biar mobilnya Nadine parkir di depan,” ujarnya lirih, bahkan sorot matanya mulai bernada minor tatkala sepasang bibirnya bergetar setelah frasa itu terlontar.

“Please, Nadine mau sama Tama.”

Hujan seolah melunturkan keras hatiku akan semua kesalahannya. Seketika aku mengangguk pelan, mengafirmasi permintaannya yang sekadar ingin pergi ke sekolah bersamaku di bawah guyuran hujan yang semakin tidak bersahabat.

Ia lalu bergegas menuju ke kendaraannya, mencari tempat parkir sekenanya. Tidak lama ia keluar dengan membawa tas dan berjalan menuju ke arahku yang masih bergeming di sini, tidak mengikuti lajunya satu milimeter pun. Sejenak aku bisa melihat matanya masih nanar menatap raga ini.

Bajunya sudah basah oleh curahan air langit, tetapi ia tampak tidak peduli dengan itu semua. Gadis itu berjalan agak gontai menghampiri raga yang masih sombong bergeming di sini. Bahkan aku bisa melihat dengan jelas rok span abu-abunya sudah begitu basah.

Aku bisa melihat dengan jelas senyum pahit mengembang dari bibirnya. Sekejap lalu, ia duduk di jok penumpang, membiarkan tubuhnya kebasahan, meskipun akhirnya bersembunyi di balik jas hujan ponco yang kukenakan. Sepasang tangannya pun langsung memagutku begitu erat.

“Nadine sayang sama Tama,” ujarnya lirih di belakangku. “Maafin Nadine.”

Pagutannya semakin mengerat saat kupelintir pedal gas lebih dalam, lekas-lekas meninggalkan tempat ini untuk menuju ke sekolah yang sebenarnya sudah tidak terlalu jauh. 

Suasana sekolah masih sepi, walaupun Seiko 5 yang melingkar di tangan kananku menunjukkan pukul 06.40. Hari pertama semester baru tampaknya sama sendunya dengan lantunan simfoni alam yang begitu meluluhlantakkan kerasnya hati ini akan segenap kesalahan Nadine pada masa kemarin.

Teana sudah berada di ruang UKS yang tidak jauh dari lahan pakir sepeda motor. Ia tampak memandang antusias ke arahku, meskipun ia tahu bahwa raga ini membawa serta Nadine. Aku tahu, ada khisit yang terlihat begitu santer tatkala mata keduanya saling beradu.

Nadine terhenti, mengetahui Teana masih menatapnya tajam.

Tanpa memedulikan dirinya, kutarik tangan Nadine dan memimpin langkah menuju ruang UKS. Teana meresponsnya dengan mengalihkan tubuh dan masuk ke sana tanpa menoleh lagi. Nadine sempat hampir menyerah dengan tidak menggerakkan lagi kakinya untuk melangkah.

Akan tetapi, aku memaksanya untuk tetap masuk ke ruang UKS.

Tatkala raga ini tiba di dalamnya, Shinta ternyata telah berada di sana. Wanita sontak melangkahkan kakinya untuk mundur, aura kebencian masih terlihat begitu kentara saat keduanya saling berpandangan. Jelas ada khisit yang sama seperti Teana saat Nadine berada satu ruangan dengan mereka.

Sejenak gadis itu lalu berjalan perlahan mendekati keduanya.

“Kak Teana, Shinta,” ujar Nadine pelan lalu berlutut. “Nadine minta maaf.”

Nada suaranya begitu pilu, bergetar, terharmonisasi dengan riuhnya air hujan, menari begitu lincah di atas beton yang menghalangi lajunya untuk terserap ke bumi. Kudengar ada kesungguhan benar-benar terpancar dari tiap frasa yang terlontar barusan.

“Nad,” panggil Teana, “apa yang udah terjadi, gak akan ngaruh apa-apa sama perasaan aku ke Tama.”

“Mungkin bukan aku atau Shinta yang paling terluka,” ujarnya lagi, “tapi Aluna.”

Seketika Nadine langsung menatap ke arah Teana. “Nadine tahu.”

“Tapi Nadine mau minta maaf atas semua kesalahan Nadine,” ujarnya lalu menggenggam tangan Teana. “Maafin Nadine.”

“Udah Nad,” ujar Shinta singkat, ia lalu menarik tangan Nadine, membantunya berdiri. “Lo gak perlu ngerendahin diri lo lagi.”

“Gue sama Kak Teana udah maafin lo. Meskipun gue masih agak kesel, tapi gue udah coba lupain itu semua.”

“Sekarang,” ujarku lalu berdiri di sebelah Nadine. “Tinggal gimana loe minta maaf sama Aluna. Gue anterin loe sepulang sekolah buat ketemu Aluna.”

Tidak ada penolakan dari sorot mata gadis itu. Ia lalu memandangku, mengafirmasi apa-apa yang terlontar barusan. Karena memang menurutku, Aluna lah yang paling menderita atas semua kebodohannya. Namun, tidak sebanding dengan sakit yang pasti merundung Cauthelia saat ini.

Sejenak, mereka saling menjajaki perdamaian yang tercipta. Namun, seperti apa yang kupirkan sejak awal bahwa semuanya tak lagi sama. Segalanya pasti akan terasa berbeda meskipun lisan ini berusaha untuk memaafkan. Hati ini berusaha untuk mengikhlaskan, tetapi otak ini tidak dapat memungkiri setiap milidetik yang terekam saat itu.

Semua yang terjadi satu purnama lalu akan menjadi catatan kelam, tidak akan pernah bisa diputihkan dengan cara apa pun. Hati ini masih mencoba untuk menyingkirkan segenap kecewa yang terus saja ditorehkan oleh sikap kekanakan Nadine bahkan sedari dahulu.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana ia memanipulasi banyak orang hanya agar Shinta tidak berada di sekitarku. Segalanya makin santer tatkala permufakatan penuh khisit selalu dilakukannya dengan pihak lain. Sungguh, andai tidak ada namanya di hatiku, Nadine pasti sudah ditinggalkan sejak dahulu.

“Tam,” panggil Shinta tatkala raga ini hendak keluar dari ruang UKS bersama Nadine. “Aku bisa ngomong bentar gak?”

Aku mengangguk. “Apa pun buat kamu, Ta.”

Ia tersenyum seraya melemparkan pandangan ke arah Nadine. “Nad, gue pinjem Tama sebentar ya, serius cuma bentar.”

Nadine hanya membalas dengan anggukan serta senyuman pahit yang terfabrikasi.

*****


Jam pelajaran dimulai, tidak ada upacara pagi pada Senin ini. Bahkan hanya sebagian siswa kelas yang hadir di hari pertama ini. Sebagian dari mereka mungkin memilih untuk tidak berangkat ke sekolah karena memang di beberapa wilayah sudah terendam banjir sejak kemarin sore.

Beberapa guru yang seharusnya mengajar juga ada yang tidak hadir dikarenakan genangan air di mana-mana.

Nadine masih setia duduk di sebelahku. Sebagian siswa lainnya memilih untuk ke kantin atau hanya duduk di depan kelas, menikmati aroma hujan yang begitu syahdu menelusup ke dalam tiap-tiap insan yang selalu merindu akan hadirnya curahan air langit.

Curahan sang Mega makin tidak terkendali ketika waktu menunjukkan pukul 09.00. Sekolah pun memutuskan untuk meniadakan kegiatan belajar mengajar hari ini. Sungguh, aku sangat menikmati masa-masa seperti ini. Tanpa terasa, hari akan berganti pekan, lalu berganti bulan.
Ujian Nasional pasti akan datang apa pun yang terjadi.

“Tam,” panggil gadis yang masih duduk di sebelahku. “kenapa Tama baik sama Nadine?”

“Baik itu kan ke semua orang, Nad,” ujarku ringan, tanpa melirik ke arahnya. “Gak harus milih-milih harus sama orang tertentu aja kan.”

“Gitu ya,” ujarnya pelan, “padahal kan Tama udah tahu sendiri gimana egoisnya Nadine pas kemaren.”

Kuhela napas. “Gue udah ngomong sama mereka pas lo ngelakuin kebegoan itu.

“Mereka semua sepakat buat gak bahas ini lagi,” ujarku lalu menatapnya. “Tapi ingatan tentang itu semua gak bisa ilang, Nad. Sehebat apa pun kita buat ikhlasin ini, semuanya pasti gak akan bisa ilang.”

Ia sedikit terhentak bersama dengan hela napas panjang dan tatapan nanar.

“Semua ini gak akan pernah sama lagi,” ujarku lalu mengalihkan kembali pandangan ini. “Kita gak akan bisa kayak dulu lagi.”

Sekejap, ia tertunduk. Poninya yang panjang berhasil menutup ekspresinya saat ini. kedua tangannya tampak menggenggam, entah apa yang ia rasakan saat ini. Namun, tubuhnya terlihat bergetar, napasnya tersengal sesunggukkan, seraya emosi itu mengalir di sekujur tubuhnya.

“Kenapa sih, Nadine masih gak bisa terima ini semua?”

“Nad,” ujarku, “lo kan udah paham dari pas study tour tahun kemaren.”

Seketika berputar di kepalaku seluruh peristiwa yang terjadi di antara diriku, Talita, Nadine, dan Shinta. Ia sudah berusaha susah payah untuk memperbaiki diri saat itu, tetapi segalanya langsung dikalahkan oleh keegoisannya. Ia seolah tidak belajar dari semua hal yang pernah terjadi.

Namun, jauh dari itu semua, inti dari kesalahan ini adalah berasal dari diriku sendiri.

Aku selalu menerima ketulusan mereka yang tidak pernah bisa diungkapkan. Terlalu naif rasanya kalau-kalau mengatakan ini semua bukan kesalahan diri ini. Aku paham, ini semua karena kealpaan hati untuk terseret ke dalam gravitasi mereka.

Kulabuhkan bahtera ini di relung hati mereka, kuperlakukan mereka layaknya mereka adalah yang satu-satunya untuk hati ini. Padahal semua itu adalah kamuflase atas lemahnya asa dalam memutuskan siapa yang paling berhak berada di dalamnya.

Seharusnya hanya Cauthelia.

Namun, sayangnya tidak semudah itu.

jenggalasunyi
jenggalasunyi memberi reputasi
1