Chapter 194
Quote:
Suasana pagi hari itu mendadak menjadi sangat tragis, isak tangis tumpah ruah membuat telinga sakit. Dengan sangat terpaksa anak-anak golongan muda itu dijual kepada George. Perihal uangnya akan diberikan setelah mobl jemputan anak-anak itu sampai. Surat kuasa pun telah ditanda-tangani secara resmi, tidak ada tuntutan apapun.
“Troy…,” sang paman tidak kuasa menahan tangisnya lagi, keluarga satu-satunya kini telah meninggalkannya.
“Tenanglah paman, setidaknya hidupmu menjadi lebih baik, aku pun begitu,” ucap Troy sambil memeluk pamannya itu tuk yang terakhir kalinya.
Selang beberapa saat kemudian, bus-bus mulai berdatangan, ada mobil truk besar berwarna hitam dibelakangan mengikuti. Orang yang sudah menyetujui diminta tuk berbaris, sedangkan bagi mereka yang tidak ingin mengubah nasib kembali mengais sampah demi menghidupi keluarganya.
Anak-anak yang telah diadopsi diminta untuk naik ke dalam bus, dengan langkah pelannya anak-anak itu berjalan meninggalkan keluarganya. Tangis yang sudah menetes ke tanah sudah tidak ada artinya lagi. Lalu orang suruhan George yang mengendarari truk besar turun, satu orangnya lagi sudah memegang papan berisi nama-nama penerima uang yang sudah disimpan ke dalam koper berukuran besar.
“Selanjutnya kuserahkan pada kalian,” ucap George kepada suruhannya itu. “oh iya pak bos, senang berbisnis dengan anda,” tidak lupa menyalami bos sampah.
“Iya, senang bisa membantu,” ucapnya. Matanya berbinar-binar karena bagian tuk dirinya juga terhitung banyak.
Mobil George melaju duluan, lalu bus-bus panjang itu dengan sabar keluar menunggu antriannya. Troy melambaikan tangan pada pamannya, yang diinginkannya adalah dapat bertemu kembali meskipun disuratnya sudah disebutkan bahwa terlarang untuk mengunjungi keluarga asalnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, anak-anak itu dapat melihat langsung bagaimana kehidupan di kota. Banyaknya gedung-gedung indah bertingkat membuat mereka takjub. Belum lagi taman-taman indah yang senantiasa menyambut orang-orang agar datang berkunjung. Begitu pun dengan modisnya pakaian yang dikenakan warga, mereka melihatnya hanya melalui televisi rusak.
Dari keadaan kota bus membawa pengalaman berbeda ketika melewati daerah pinggiran. Banyakan pepohonan menunjukan asrinya alam di negara ini. Gunung-gunung besar tersenyum melihat anak-anak bahagia. Sungai berair jernih memantulkan bayangan pembawa kebahagiaan itu. Hingga akhirnya sampai ke tengah hutan, bangunan tidak biasa sudah nampak dari kejauhan.
“Lihat itu lihat!” salah satu anak menunjuknya.
“Apakah kita akan hidup selamanya di tempat itu?” rasa kesedihan sudah dibuang jauh-jauh, bahkan saat baru sampai busnya menginjak daerah kota.
Troy hanya mengamatinya saja tanpa banyak berkomentar. Perjalanan hidupnya begitu cepat berganti, dari keluarga kecil bahagia, kehidupan di tempat sampah, hingga menjadi seorang anak angkat seorang milyarder. Rasanya bagaikan mimpi di siang bolong.
Pintu bus terbuka, anak-anak dipersilahkan untuk turun. Tidak ada barang lainnya karena memang mereka tidak memilikinya selain pakaian yang melekat di tubuh masing-masing. Bangunan besar nan megah tersaji dihadapan mereka, bagi mereka bangunan ini sama besarnya dengan tempat pembuangan sampah tempat mereka bekerja sehari-hari.
George berdiri di depan halaman rumah, meminta anak-anak untuk berbaris lagi. Satu dua kata diucapkan, sebagai penyambutan atas kedatangan para penghuni rumah baru. Lalu pintu berukuran raksasa dibuka, semua anak dipersilahkan masuk untuk melihat-lihat sepuasnya, karena secara surat perjanjian, anak-anak tersebut sudah menjadi anak angkat.
“Kolam renang!” reflek anak tersebut melompat ke dalam, bermain air diikuti oleh saudaranya yang lain.
Dari semua anak yang sangat senang, Troy cenderung diam. Matanya melirik tanpa ada rasa antusias sama sekali, dirinya lebih nyaman melihat tumpukan sampah dibandingkan furnitur mewah yang ada. Malahan ada perasaan aneh yang tersemat, di rumah yang sangat luas ini, tidak ada satupun orang kecuali George.
“Aku sering melihat di televisi, biasanya di rumah orang kaya ada banyak pekerjanya yang mondar-mandir. Bahkan seorang tukang kebun saja tidak tampak,” ucap Troy dalam hati. “bagaimana caranya George ini mengurusi kami semua?”
Saat semuanya sedang asik bermain, tiba-tiba bunyi sirine terdengar keras. Lalu suara George keluar, meminta semua anak untuk segera berkumpul karena akan dibagikan kamar tidur. Keadaan kacau saat sedang berbaris, karena beberapa dari mereka basah kuyup seusai dari kolam berenang.
“Aku sudah memberikan kalian semua kamar masing-masing. Satu kamarnya akan diisi oleh tiga orang, beristirahatlah, besok awal yang baru akan dimulai,” ucap George sambil tersenyum.
Anak-anak itu mulai mencari kamarnya masing-masing. Ada sebuah papan bernomor menempel di sebelah pintu kamar, dibawahnya terdapat nama-nama anak yang mengisi kamar tersebut. Keanehan mulai dirasakan kembali oleh Troy, semuanya terjadi begiu cepat.
“Sejak kapan? Aku tidak melihat orang menempel papannya?” terlalu banyak pertanyaan yang ingin terjawab.
Setelah berjalan cukup lama mencari kamarnya, Troy menemukannya. Di dalam sudah ada dua orang yang menunggu, mereka menyambutnya dengan hangat. Troy berkenalan dengan keduanya, satu anak ada yang masih tidak rela untuk pergi, tapi semuanya sudah terlanjur terjadi.
“Hei! Aku juga masih sedih, tapi pikirkan orang tuamu yang bahagia!” ucap anak lainnya. “kita masih bisa menemui mereka nanti, apa kau yakin tuan George itu bisa mengawasi kita semua saat dewasa?” sikapnya sangat optimis, Troy ikut tersenyum mendengarnya.
Rasa bahagia dan optimis itu berakhir di hari itu, karena keesokan harinya, hanya ada tragedi dalam hidup mereka.