Chapter 193
Quote:
Seorang remaja berpakaian lusuh sedang berbaring di atas tumpukan sampah yang menggunung. Bau dari sampah-sampah sampai tidak tercium sangking terbiasanya. Di area yang lain asap-asap meninggi menyebarkan aroma tidak sedap agar orang lain mengalaminya juga. Matahari menyengat tidak membuatnya gentar, pandangannya lurus ke atas.
“Sampai kapan aku harus hidup di tempat menjijikan ini?” ucap remaja itu.
“OI!” teriak orang dari kejauhan. “Siapa yang menyuruhmu untuk bersantai di situ?!”
“Iya berisik!” balas si anak kecil, “muatan sampah belum datang kan?” ucapnya memberi alasan.
“Itulah mengapa aku berteriak padamu,” ucap pria tua yang keadaannya tidak jauh berbeda, setelah mendekati remaja itu suaranya menjadi pelan.
Muatan sampah yang diangkut oleh puluhan mobil truk datang. Berisi beragam apa pun yang sudah dibuang, termasuk sisa makanan, pakaian bekas, bahkan besi-besi tua dan elektronik. Tugas remaja itu adalah memilah barang selain makanan, dengan tujuan untuk mencari apakah ada sisa yang masih bisa dijual kembali.
Tidak hanya remaja itu dan orang tua disebelahnya, banyak orang yang mengantungkan hidupnya dari sampah ini. Mereka tidak punya pilihan lain, untuk bertahan hidup dari kejamnya dunia yang hanya indah di televisi.
“Inilah realita yang harus kita hadapi,” ucap pria tua kepada anak kecil. “andai saja keluarga kita lebih pintar, mungkin kau sudah bersekolah di tempat yang mahal!” tawanya pecah, memikirkan hal yang mustahil diraih sekarang.
“Iya, memiliki orang tua yang tidak berguna begitu menyenangkan,” ucap anak kecil sambil membuang besi yang menghalangi pencariannya. “hanya paman yang sama tidak bergunanya ini, sudah cukup bagiku alasan untuk hidup.”
Pria tua yang ternyata adalah paman sang anak kecil melepaskan beberapa barang yang sudah dipegang hingga jatuh berserakan. Lalu dipeluknya ponakannya itu dengan erat, padahal tadi saja teriakannya masih terasa keras.
“Maafkan adikku yang tolol itu!” tangisnya semakin menjadi, orang-orang disekitarnya terdiam haru. Melepaskan pelukannya, menatap wajah ponakannya itu dengan wajah penuh dengan harapan, “aku berjanji, akan membuat hidupmu jadi lebih baik!”
Hari demi hari dilalui, barang-barang elektronik yang menjadi rebutan menjadi incaran utama semua orang. Hasil yang didapatkan bisa untuk membeli makan dan membayar uang sewa rumah kecil yang tidak patut disebut rumah. Tapi semua yang didapatkan disyukuri oleh keduanya, hari masih panjang jika digunakan untuk mengeluh saja.
Pagi itu, tempat pembuangan sampah dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang begitu rapih menggunakan mobil mewahnya. Semua pekerjanya dikumpulkan lalu diminta untuk berbaris sesuai rentang umur. Akhirnya terbagi beberapa baris, di mulai dari orang yang paling muda usianya sampai yang paling tua.
“Eh, kira-kira kenapa bos meminta kita untuk berbaris seperti ini?” bisik salah satu pekerja.
“Entahlah, mungkin disuruh orang yang berpakaian bagus itu disebelahnya,” jawabnya.
Bos tempat pembuangan sampah mulai berbicara, memberikan informasi apa yang dilakukannya di pagi hari ini. Ada seseorang saudagar kaya dari kota yang ingin mengadopsi anak-anak usia sepuluh tahun hingga remaja usia lima belas tahun. Untuk itu para orang tua maupun orang yang memiliki hubungan keluarga memberikan izin.
“Tenang saja, kalian yang mengizinkan akan diberikan uang dalam jumlah yang sangat besar,” ucap sang bos dengan senyumannya yang lebar.
Seseorang mengangkat tangannya dari usia tua, “Bagaimana kalau aku tidak setuju?” tanyanya, diperhatikan oleh semuanya.
Saudagar kaya itu pun membisiki bos sampah, “Aku diberitahu bahwa tidak ada paksaan, hanya saja akan sangat disayangkan karena uang yang diberikan tidak akan datang dua kali,” terjadi keributan saat sang bos meneriakan jumlah uang yang akan diterima oleh orang yang mengizinkan anak atau kerabatnya diadopsi.
Ada lagi yang mengangkat tangan, kali ini dari golongan usia muda, mampu membuat kebisingan terhenti.
“Jika diadopsi, apakah bisa kami menemui keluarga kami nantinya?” sang paman terkejut yang bertanya adalah keponakannya.
“Hm, siapa namamu nak?” akhirnya sang saudagar kaya itu berbicara, suaranya agak dalam sesuai dengan usianya yang memasuki usia pertengahan 40 tahunan.
“Aku? Troy…,” jawab remaja itu.
“Ok, baiklah akan kujelaskan, aku ingin kalian semua mendengarkannya dengan seksama.”
Saudagar kaya itu mengenal diri terlebih dahulu, ia bernama George Goldman. Tinggal dipedalaman hutan jauh dari kota, niatnya datang ke sini untuk mengadopsi anak muda dalam jumlah yang lumayan. Nantinya anak-anak tersebut akan dibekali ilmu pengetahuan yang mumpuni, karena George mengaku ingin mencari penerus untuk melanjutkan beragam bisnisnya.
Pertanyaan Troy pun dijawab, semua anak yang telah diadopsi akan diputuskan hubungannya dengan orang tua atau kerabatnya dalam rentang waktu yang tidak terbatas. Dalam artian mereka akan berpisah selamanya, maka dari itu George memberikan uang yang sangat besar.
“Aku akan bertanya sekali lagi, kalian memilih menghabiskan sisa hidup mengais sampah dan menjual barang yang tidak bisa didaur ulang atau menerima uangnya lalu memulai kehidupan baru?” tatapan serius tetapi wajahnya tersenyum.