getih.sangitAvatar border
TS
getih.sangit
Anak-Anak Tumbal


Quote:

SINOPSIS CERITA

Quote:

INDEX









emoticon-Cendol Gan HAPPY READING!!emoticon-Cendol Gan


Diubah oleh getih.sangit 28-11-2023 12:25
69banditos
rbrataatmadja
itkgid
itkgid dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.9K
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
getih.sangitAvatar border
TS
getih.sangit
#1
PART 1: RUMAH SANG NENEK
Saat itu malam sudah melewati puncaknya. Aku yang tengah tertidur tiba-tiba terbangun dengan suara gonggongan anjing yang berasal dari depan rumahku. Suaranya aneh seperti tersengal-sengal.


Awalnya aku ingin mengabaikannya. Namun saat menyadari tidak ada tanda-tanda suara gonggongan itu akan berhenti, aku pun memutuskan untuk keluar mencari asal suara itu untuk mengusirnya. Tapi saat sampai di luar, aku terdiam dengan tubuh yang lemas…

Ada kepala anjing terbaring di jalan di depan rumah. Kepala anjing itu terus menggonggong ke arah rumah yang berseberangan dengan rumahku.

iya, hanya kepalanya saja…

Berkali-kali aku berpikir, aku tidak bisa menangkap dengan akal sehat bagaimana kepala seekor anjing bisa terus menggonggong tanpa tubuhnya. Aku yang merasakan firasat buruk segera kembali kedalam rumah dan mengintip sekilas dari balik gorden.

Kepala anjing itu masih terus menggonggong ke arah rumah tua yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahku itu.

        

Sesuatu yang kita sebut sebagai rumah, biasanya adalah tempat yang paling nyaman untuk kita tempati. Sebuah tempat dimana kita seharusnya merasa paling aman dan jauh dari bahaya. Namun bagaimana kalau ternyata tempat yang kita kira paling nyaman itu, ternyata adalah tempat yang dipersiapkan untuk mengakhiri nyawa kita?

Bukan, ini bukan kisah tentangku. Namun kisah ini terjadi di sebuah rumah yang begitu dekat dengan tempatku tumbuh besar. Saya harap agan-agan sekalian membaca cerita ini dalam keadaan fisik dan mental yang sehat. Akan lebih baik bila agan-agan sekalian membaca doa dulu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Saat itu keluargaku akhirnya pindah ke ibukota mengikuti pemindahan tugas ayah. Walau pindah ke ibukota, tempat rumahku tinggal bukan di pusat kota yang penuh dengan gedung-gedung bertingkat. Aku tinggal di perumahan padat penduduk dengan sungai besar yang membelah wilayah kompleks perumahan kami. Bukan hal mengherankan bila musim hujan datang dan debit air tinggi, kami pasti merasakan bagaimana banjir menggenangi rumah kami.

Banyak hal yang tidak bisa kulupa saat mulai pindah di tempat ini. Mulai dari menikmati jajanan di sekitar sekolah-sekolah, Jajan di wisata kuliner di depan taman makam pahlawan kalibata, hingga bagaimana senangnya kami saat bapak memiliki rejeki untuk mengajak kami jalan-jalan menaiki transjakarta yang baru beberapa bulan ini difungsikan. Tapi sayangnya bukan itu saja…

Ada beberapa kejadian kelam yang terus membekas di pikiranku hingga saat ini.

Namaku Fajar, anak tunggal dari pasangan keluarga Bu Devi dan Pak Hartanto. Kami pindah ke rumah yang kami tempati sejak aku kelas lima sekolah dasar. Saat dipindah kerja, saat itu juga kedua orang tuaku memutuskan untuk menetap di Jakarta dan membeli rumah. Sejak menikah, mereka tinggal di kontrakan sembari mengumpulkan uang untuk bisa membeli rumah yang rencananya akan mereka tempati sampai mereka tua nanti. Pada akhirnya rumah ini lah yang orang tuaku pilih untuk menetap hingga seterusnya.

Kami tinggal di komplek perumahan padat penduduk dimana dalam satu RT bisa ada lebih dari tiga puluh kepala keluarga. Rumahku terletak di sebuah gang yang masih cukup dimasuki satu mobil dan rumah kanan dan kiri dindingnya saling menempel.

Mungkin menurut kalian kompleks rumah sepadat ini hampir tidak ada cerita seram karena warganya saling berdekatan dan ramai. Tapi kalian salah, justru sampai aku sudah beranjak dewasa hingga bekerja saat ini,  hampir tidak ada cerita yang seseram kejadian yang kualami di sana.

Kisah ini berawal dari sebuah rumah yang berada tepat di depan rumahku. Sebuah rumah tua yang sejak awal berdiri tidak pernah berubah bentuk dan hanya direnovasi seadanya. Sementara rumah-rumah disekitarnya sudah dibangun dan sangat modern.

Rumah itu ditinggali oleh seorang nenek yang sudah cukup berumur bernama Nek Eva yang mengurus ketiga cucunya yang masih sekolah. Kedua orang tua mereka masih ada, namun mereka hanya pulang selama beberapa bulan sekali. Menurut informasi tetangga, kedua orang tua mereka adalah abdi negara yang ditugaskan di luar pulau. Entah itu benar atau tidak, setidaknya aku sekeluarga dan warga mempercayai itu.

Aku cukup berteman dekat dengan Intan, anak termuda dari keluarga mereka. Saat kejadian yang ingin kuceritakan ini, ia duduk di kelas empat SD setahun lebih muda dariku. Sejak kecil, kami memang sering bermain bersama setiap pulang sekolah bersama anak-anak tetangga yang lain. Tapi tidak dengan Fani, kakak tertua yang duduk di bangku SMA.

Aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Setiap aku bermain dengan Intan, Fani sering mengintip dari jendela dengan tatapan tidak senang. Terlebih ia lebih sering menatap dengan rambut yang tak terurus dan dengan wajah yang kadang kumal.

“Kakakmu Fani jarang dandan ya? Kok mukanya kusam terus?”

Aku pernah menanyakan seperti itu pada Intan.

“Hah? Kak Fani?”

Intan menoleh ke dalam rumah melihat kearah aku mengarahkan wajahku. Ia menatap sebentar dengan wajah bingung, namun pada akhirnya ia hanya menjawab. “Iya, Kak Fani emang males…”

Aku hanya mengangguk dan mulai terbiasa dengan hal itu walau ada beberapa teman-teman seumuranku yang takut bila ia dipelototi oleh Kak Fani dari balik kaca jendela yang cukup besar.

Dari kaca sebelah pintu itulah biasanya Kak Fani mengintip dari balik jendela. Masalahnya ia tidak hanya mengintip sejenak, ia terus melihat dari balik jendela itu dengan tatapan yang menurut kami menyeramkan. Makanya saat sedang bermain dengan Intan, biasa aku selalu memilih untuk bermain sedikit jauh dari rumahnya.


Nek Eva sudah berumur hampir tujuh puluh tahun. Namun ia masih sangat sehat dan cukup sering bertemu warga setiap belanja sayur, atau membeli kebutuhan rumah tangga di warung.

Selama empat tahun tinggal berseberangan dengan rumah Nek Eva, hampir tidak ada hal yang benar-benar membuatku khawatir. Sampai kejadian yang saya ceritakan di awal tadi terjadi…

Suatu malam warga terganggu dengan suara gonggongan anjing. Perasaanku sangat tidak enak saat itu.

Tepat saat aku dan warga mengintip dari rumah masing-masing, yang terlihat malah penggalan kepala seekor anjing yang masih menggonggong. Mengerikan? Jelas saja! Paginya kepala anjing itu sudah jadi bangkai, dan kejadian itu segera saja menjadi perbincangan warga.

“Untung tidak ada yang keluar saat itu. Kalau sampai ada yang nekat nyamperin kepala anjing itu, bisa-bisa kalian nggak selamat…”

Ada salah seorang yang dianggap cukup mengerti akan hal seperti ini, Pak Sigit namanya, ia hanya tahu bahwa kejadian malam itu berbahaya, namun belum bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Yang membuat warga desa khawatir, Pak sigit mengatakan bahwa kejadian malam itu menandakan akan dimulainya “Sesuatu”.

Benar saja, tak lama setelah kejadian gonggongan anjing itu warga digegerkan dengan sebuah kejadian.

Malam itu entah mengapa udara terasa lebih dingin dari biasanya. Seperti biasa, diatas jam sembilan malam hampir semua warga sudah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dan jendela masing-masing.

Mbak Rasti saat itu baru pulang bekerja. Ia turun dari angkutan umum berwarna biru tepat di ujung gang menuju ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumahku. Di situ ia merasa tenang masih ada orang lain di sana diluar selain dirinya.

Mbak Rasti pun membayar angkutan umumnya dan segera berbalik untuk berjalan ke rumahnya. Tapi, ia baru sadar bahwa ada yang aneh dengan orang yang ia lihat.

Sosok itu hanya diam berdiri di hadapan rumah Nek Eva. Diam dan tidak bergerak sedikitpun. Mbak Rasti pun pucat ketika melihat tidak ada kepala yang menempel di tubuh sosok yang mengenakan daster batik berlumuran darah itu.

Ia pun memperhatikan sedikit ke bawah dan mendapati makhluk itu tengah menenteng kepalanya sembari menatap ke rumah Nek Eva tanpa henti.

Mbak Rasti ingin berteriak, namun ia menahan suaranya agar makhluk itu tidak menyadari keberadaanya. Ia pun mundur beberapa langkah dan berbalik meninggalkan jalan menuju rumahnya itu dengan hati-hati untuk melarikan diri. Ia berpikir lebih baik menginap di rumah temannya daripada harus mendekat ke makhluk itu.

Ia berhasil menjauh dan berbalik, namun baru beberapa langkah setelahnya. tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang benar-benar membuat tengkuknya kaku. Ia merasa seolah ada sosok yang begitu dekat dengan nya di belakangnya.

Aku sudah melihat kamu, nak..

terdengar suara perempuan tepat di belakangnya. Ia sadar bahwa suara itu berasal dari makhluk itu, terbukti dengan asal suara yang sedikit berada di bawah yang artinya suara itu berasal dari kepala yang di tenteng di salah satu tangannya.

Mbak Rasti pun berusaha untuk lari, tapi tubuhnya seketika lemas dan sulit untuk mengangkat kakinya. Ia terus berusaha untuk membaca doa dalam hati dan memaksa kakinya untuk bergerak. Namun semua usaha itu sirna ketika sebuah tangan muncul dari sebelah wajahnya sambil menenteng sebuah kepala.

Mau kemana, Nak???

Wajah menyeramkan makhluk itu berada tepat di sebelah wajah Mbak Rasti. Dan saat itu, keberanian Mbak Rasti luluh lantah dan ia terbaring tak sadarkan diri di tengah jalan.

Semua kisah malam itu diceritakan Mbak Rasti di teras rumah Pak RT saat ditemukan oleh warga. Pak Sigit juga ikut datang mendengarkan cerita dari Mbak Rasti. Ia berjanji akan mencari tahu tentang siapakah sosok itu dan mencari cara untuk mengusirnya dari sana.

tak hanya itu. Ada lagi keanehan yang tidak wajar yang terjadi di malam-malam tertentu. Kadang ada lebih dari sepuluh ekor kucing mengelilingi rumah Nek Eva dan terus menatap ke rumah itu. Kejadian itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, namun tidak ada yang berani mempertanyakan ke Nek Eva.

Isu mengenai keanehan yang merujuk pada rumah Nek Eva semakin dibicarakan oleh warga. Ada sebagian yang mengaminkan, dan ada sebagian yang menganggap cerita-cerita yang terjadi itu hanya kebetulan saja.

Awalnya aku juga ingin berpikir positif karena masih berharap Intan akan sering keluar lagi dan bermain denganku dan yang lain. Tapi kejadian setelah ini membuatku berpikir sebaliknya.

Terkadang terjadi hal-hal yang menurutku mulai diluar nalar. Aku pikir aku mulai terbiasa dengan hal-hal aneh yang berhubungan dengan rumah Nek Eva. 

Menemukan kucing hitam mungkin sudah biasa terjadi setiap kita beraktivitas di luar rumah. Tapi bila melihat sekumpulan kucing hitam mengelilingi sebuah rumah di malam? Aku yakin bila melihat hal ini kalian juga pasti merasa bahwa itu adalah hal yang janggal. 

Kucing-kucing itu tiba-tiba saja datang dan mengelilingi rumah Nek Eva mulai dari jalanan, teras, hingga genteng rumahnya. Ada hampir sepuluh ekor kucing mengaung-aung di tengah malam dengan menatap ke arah rumah Nek Eva. Entah apa tujuan kucing-kucing itu di sana.

Kejadian itu tidak hanya terjadi sekali. Dalam sebulan bisa ada beberapa malam dimana kucing-kucing itu berkumpul di rumah Nek Eva. Sampai suatu ketika aku menyaksikan pemandangan yang tragis yang membuatku bergidik ngeri.

Srekkk… Srekkk…

Aku terbangun karena suara seseorang yang menyapu saat langit masih gelap. Subuh masih satu jam lagi dan biasanya tidak ada seseorang yang menyapu subuh-subuh, apalagi di jam-jam seperti ini. Aku yang sudah tidak bisa tidur memutuskan untuk keluar dan mengintip siapa yang sedang menyapu di luar.

Nek Eva terlihat di sana. Tapi bukan itu yang membuatku menelan ludah.

Di pengki yang ia bawa, terdapat sekumpulan kepala kucing hitam yang ia kumpulkan dari sekitar rumahnya. Aku mencoba mencari tahu dimana badan-badan kucing itu dengan menoleh ke sekitar rumah Nek Eva. Anehnya, tidak ada satu pun tanda-tanda keberadaan badan kucing itu.

Saat itu aku merasa Nek Eva menyadari keberadaanku dan menatap ke jendela tempatku mengintip. Aku pun segera menutup gordenku dan kembali ke kamar. Perasaan bingung menyelimuti pikiranku. Apa yang terjadi pada kucing-kucing itu?

Paginya aku ingin bercerita pada ibu, tapi anehnya sama sekali tidak ada bekas keberadaan kucing-kucing hitam itu di rumah nek eva. Bahkan tak ada sedikitpun bercak darah di sekitar rumahnya.

Seperti biasa, setiap pagi aku selalu berangkat sekolah seorang diri menaiki angkutan umum yang masih nyaman digunakan pada masa itu. Aku berpamitan pada ibu dan memakai sepatu di teras. Ada seseorang yang berada di teras rumah Mbok Ngatirah. dengan cepat aku menyadari itu adalah Kak Fani.

Tapi aneh… sejak itu perilaku Kak Fani mulai aneh…

Ia sering tertawa-tawa sendiri dan terkadang merengut dengan aneh. Aku benar-benar merasa bahwa perilaku Kak Fani seperti orang yang mengalami gangguan jiwa. Namun itu bukan suatu hal yang pada akhirnya merusak pagiku.

Saat aku baru selesai menali sepatuku, Kak Fani menatapku sembari menyeringai.

“Pagi Kak Fani…” sapaku.

Mak Fani terus menatapku dengan tajam, terlalu tajam bahkan hingga raut wajahnya terlihat mengerikan. ia tersenyum menyeringai menatapku. Tapi ia sama sekali tidak membalas sapaku.

Aku pun keluar dari pagar untuk segera berangkat, namun saat aku masih memperhatikan Kak Fani dari depan rumah, tiba-tiba tubuhnya dijatuhi oleh seekor cicak.

Aku tahu, dulu Kak Fani sangat takut dengan cicak, tapi kali ini tidak. Ia begitu tenang dan raut wajahnya begitu asik sembari menyeringai.

Kak Fani memandang cicak yang jatuh itu sebentar dan menangkapnya dengan sigap dengan satu tangannya. aku menahan langkahku penasaran melihat Kak Fani, dan dalam hitungan detik aku menyesal.

Cicak yang ia ambil dengan tangan kosong itu ia pegang dengan jempol dan telunjuknya. dengan tawa anehnya, ia memasukkan cicak itu hidup-hidup ke mulutnya, mengunyahnya, dan menelan nya.

<bersambung>

Diubah oleh getih.sangit 22-11-2023 13:06
69banditos
riri49
itkgid
itkgid dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup