- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cerita Tentang Mereka
TS
netrakala
Cerita Tentang Mereka
Quote:
Awal Melihat Mereka
-Part 1-
“Bim, besok kamu mau kan tinggal sementara dirumah budhe?” ucap Sekar yang tidak lain adalah ibunya sendiri. “Kenapa memangnya Bu?” tanya Bima. “Besok seminggu kedepan, Ibu sama Bapak ada keperluan diluar kota, jadi kamu sementara seminggu ini tidur di rumah Budhe ya? Tidak apa-apa kan?” ucapnya sambil membelai rambut anak laki-lakinya.
Terbiasa dengan ditinggal kedua orang tuanya untuk bekerja, Bima tidak mempermasalahkan itu semua. Hanya anggukan yang dilakukannya sebagai tanda kalau dia setuju dengan apa yang diminta oleh wanita yang disebutnya sebagai Ibu.
*****
“Assalamualaikum” ucap Sekar saat sudah tiba dirumah kakaknya Yanti. “waalaikumsalam, sini masuk” ucap budhe mempersilahkan kami masuk kedalam rumahnya. “ini mbak, aku mau minta tolong seminggu ini, biar Bima tinggal disini ya, kasihan kalau dia dirumah sendirian” ucap Sekar yang langsung to the poin dengan maksud kedatangannya.
“Kamu ini, ya tidak masalah Bima mau tinggal disini selamanya, tapi kamu itu juga mesti bisa bagi waktu buat anakmu, bukan cuma kerjaan yang dipikirkan” tegur Yanti kepada adiknya tersebut.
Sedangkan Bima saat itu sudah disibukan dengan buku-bukunya. Memang Bima suka sekali dengan yang namanya membaca. Bahkan dia sudah meminta untuk dibuatkan ruang pribadi untuk koleksi buku-bukunya.
“Bim, nanti kamu pakai kamarnya Mbak Santi ya, kan sekarang dia sudah sama suaminya jadi kamar itu kosong” ucap Budhe disela-sela obrolan mereka. “Iya Budhe” hanya itu yang diucapkan Bima sembari masuk ke dalam kamar yang Budhe Yanti bilang. Sudah terbiasa dengan semua ini, tidak ada rasa canggung yang muncul dari diri Bima.
“Kamarnya belum dibersihkan ya Budhe?” Kata Bima yang menjulurkan kepalanya menghadap ruang kearah dimana Ibu dan kakaknya sedang berbincang. “belum Bim, sebentar nanti Budhe bersihkan” ucapnya sambil lalu. “Biar Bima aja yang bersihin Budhe” katanya sambil keluar untuk mengambil perlengkapan untuk membersihkan kamar tersebut. Sedang Budhe dan Ibu hanya mengiyakan apa yang ingin Bima lakukan.
Sudah beberapa waktu Bima membersihkan kamar tersebut, masih terdengar obrolan diantara kedua wanita kakak beradik itu. “Bim, Ibu pulang dulu yaa jangan bandel kamu disini” ucap Sekar berpamitan dengan anaknya. “Bima sudah besar Bu, tau apa yang harus dilakukan” ucapnya sembari menerima uluran tangan Sekar.
Saat ini memang Bima sudah menjadi siswa SMA walau baru kelas 1 tetapi dengan sifatnya yang pendiam membuat dia terlihat lebih dewasa. Mungkin karena keterbiasaannya mandiri membuat dia tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih tangguh dari penampilannya.
Malam sudah beranjak, bulan sudah menampilkan cahayanya yang sendu. Bima memang hobi duduk sendiri melamun merasakan kesunyian. Baginya sungguh kenikmatan yang tidak bisa ia dapatkan dari hal lainnya.
“Kamu ngerokok Bim” sapa Pakdhe Wawan yang sudah duduk di sebelah Bima. “iya Pakdhe, cuma Ayah sama Ibu tidak tau kalau Bima merokok” ucap Bima memberikan senyum simpul. “kamu ini Bim, masih kecil kok sudah merokok” tegurnya.
“Kamu kesepian ya Bim, kalau kamu memang mau tinggal disini terus, Pakdhe juga tidak masalah, sekalian malah bisa jadi temennya Pakdhe” ujar Pakdhe Wawan yang ikut menyalakan sebatang rokok.
Memang Pakdhe dan Budhe belum diberikan kesempatan untuk memiliki anak laki-laki, ke 3 anaknya semua perempuan. Mungkin Pakdhe merasa butuh teman sesama laki-laki untuk saling bercerita nantinya.
“Sudah biasa Pakdhe, Ayah dan Ibu sibuk dengan kegiatan mereka. Ya Bima sudah tidak mempermasalahkan itu semua” ujar Bima yang masih suka memandangi bulan yang ada diatasnya. Mendengar itu semua Pakdhe hanya tersenyum dan beranjak kembali masuk kedalam rumah.
Semilir angin malam terasa lembut menerpa tubuh Bima, malam makin larut ia masih saja betah dengan posisinya dari tadi. Entah malam ini terasa begitu aneh, seolah dia sedang menantikan sesuatu, sesuatu yang memang sudah lama ingin bertemu dengannya. Menyadari bahwa sudah terlalu lama dia duduk disini, Bima beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan sebelum tidur.
Kreeeekkkk….. terdengar suara pintu yang dibuka tepat didepan Bima. Heran karena dia sama sekali belum menyentuh pintu tersebut, dilihatnya juga tidak ada siapapun didalam kamar itu. Bima mencoba untuk memeriksa siapa tau ada tikus yang masuk kedalam kamarnya, karena tidak mungkin angin bisa mendorong daun pintu yang tertutup rapat.
Sudah 10 menit Bima mencari-cari penyebab dari kejadian tadi, tapi tidak satupun hewan yang ditemukannya. "Mungkin memang angin, atau tadi aku nutupnya kurang kenceng” batin Bima sambil merebahkan tubuhnya. Lelah dengan aktivitas yang dilaluinya seharian, Bima langsung bisa terlelap menuju alam mimpi.
Entah apa yang terjadi tiba-tiba Bima tersentak terbangun, badannya tidak bisa digerakan. Tubuhnya kaku namun matanya benar-benar terbuka lebar. Yang lebih mengagetkan lagi, dia melihat ada sosok hitam kurus yang sedang jongkok berada tepat di sisi badannya.
Satu tangan panjangnya memegangi bagian bawah satu tangannya memegangi bagian atas tubuh Bima. Bentuk makhluk itu tinggi besar, dengan warna kulit hitam legam, kuping yang runcing dan memiliki mata merah menyala.
Takut dengan apa yang dia liat, Bima seketika memejamkan mata. Tubuhnya masih tidak bisa bergerak. Nafasnya memburu dan hanya doa yang bisa dia ucapkan dalam hati. Teriak pun dia tidak bisa mulutnya benar-benar terkunci. Hingga dalam sekali sentakan akhirnya Bima bisa bergerak, nafasnya masih memburu, tubuhnya basah oleh keringat.
“Astaghfirulloh, Astaghfirulloh, apa itu tadi” ucap Bima yang masih ketakutan dengan apa yang dia lihat barusan. Jelas tadi bukan mimpi, sosok itu benar-benar nyata. Dilihatnya jam sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Kembali dia membaringkan badannya, bayang-bayang sosok tadi masih tertera jelas dalam ingatannya. Kembali tidurnya terasa tidak nyaman, dia memimpikan sesuatu yang aneh, bertemu dengan kakek-kakek yang bisa terbang, manusia setengah hewan dan yang lainnya.
Paginya dia terbangun dengan badan yang cukup panas, sejenak dia ingin bangun untuk bisa pergi kesekolah, namun baru saja dia beranjak. Kepalanya begitu berputar hingga dia menabrak kursi dan terjatuh.
“Astaghfirulloh,kamu kenapa Bim?, badan kamu panas banget” ucap Budhe Yanti yang mencoba membangunkan Bima untuk kembali ketempat tidur. “Gak tau budhe, tiba-tiba badan Bima gak enak rasanya, buat berdiri pusing,” ucapnya dengan lirih. Huek…huekkk… seketika Bima muntah, tetapi yang keluar hanya cairan bening. Melihat itu semua Budhe Yanti segera memanggil suaminya.
“Kita ke dokter sekarang” ucap Pakdhe yang melihat kondisi Bima begitu pucat dan panas. Kawatir dengan ponakannya mereka berdua lantas langsung pergi menuju rumah sakit. Sedang Bima di jok belakang hanya bisa mengerang karena badannya begitu panas. Sesekali dia membuka mata, dilihatnya sepanjang jalan banyak sekali makhluk aneh yang dia liat.
Setelah sampai di rumah sakit keadaan Bima tidak jauh lebih baik, dia hanya bisa menutup matanya. Baru kali ini dia melihat begitu banyak hal-hal diluar nalar. “apa yang sebenarnya terjadi dengannya, apakah ini semua halusinasinya?” batin Bima. Kepalanya benar-benar pusing dan serasa hampir meledak.
Setelah masuk UGD Bima langsung mendapatkan perawatan, beberapa kali suster keluar masuk membawa beberapa barang seperti infus dan lainnya. “bagaimana kondisi Bima Dok?” tanya Budhe yang masih terlihat kawatir dengan kondisi Bima.
“Tidak ada yang perlu dikawatirkan, Bima hanya kecapean, untuk sementara bisa rawat jalan dan tidak boleh terlalu banyak pikiran ya” ucap salah satu dokter yang memeriksa Bima, namun tetap Bima harus menghabiskan 1 kantung infus sebelum diperbolehkan pulang. Seharian dia tidak berani membuka mata, bahkan ketika diajak bicara oleh budhenya.
“Pakdhe dimana, budhe?” tanya Bima masih dengan memejamkan matanya. “lagi beli makan Bim, kamu kenapa masih merem gitu? Pusing?” ujar Budhe Yanti. “iya budhe, tiap matanya dibuka seperti melayang-layang” kilah Bima yang tidak mau menceritakan apa yang dilihatnya. “itu Pakdhe uda balik, abis ini Budhe pulang duluan ya, kasian kakak mu kalau dirumah tidak ada orang” ucapnya. “Iya Budhe, maaf merepotkan” kata Bima dengan sedikit membuka matanya.
“Pakdhe, ada yang mau Bima ceritakan” ujar Bima setelah Budhenya pergi meninggalkan mereka berdua, Bima langsung mencerikatan kejadian yang dia alami. Dia yakin Pakdhe akan lebih bisa dengan bijak menerima apa yang Bima ceritakan.
“Serius kamu Bim?” ucap Pakdhe Wawan yang masih antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang Bima tuturkan. “Benar Pakdhe bahkan saat ini… entah kenapa aku bisa melihat mereka” kata Bima yang masih terlihat ketakutan dengan sekitarnya.
Pakdhe Wawan sejenak berfikir, prihatin dengan apa yang terjadi dengan keponakannya segera dia membuka Handphone dan keluar ruangan untuk menghubungi seseorang. Kembali Bima memejamkan matanya. Selang beberapa menit terdengar tirai disibakan, dan seseorang berjalan menuju brankar Bima. Mengira itu Pakdhenya Bima segera membuka mata untuk meminta segera pulang.
Tetapi betapa terkejudnya dia, yang dia lihat adalah sosok laki-laki dengan muka hancur penuh darah, lehernya patah dan matanya hampir keluar. Seketika Bima teriak dengan kencang, buru-buru suster yang ada disana mendatangi Bima yang histeris sambil menunjuk-nunjuk sosok yang tidak bisa mereka lihat.
“Bima kamu kenapa? Bim” ucap Pakdhe yang langsung berlari masuk ke dalam ruangan. “Bima mau pulang pakdhe, sekarang Bima mau pulang” kata Bima histeris. Karena memang kondisi Bima yang baik-baik saja, akhirnya setelah selesai menyelesaikan administrasi Bima diperbolehkan untuk pulang.
“Kita mampir ke tempat temen pakdhe dulu ya Bim, kamu kuat kan?” ujar Pakdhe sambil menyetir mobilnya. “Kuat pakdhe asal jangan kerumah sakit” kata Bima yang masih ngeri dengan kejadian yang dia alami. Bahkan di dalam mobil pun dia masih sering memejamkan matanya.
Entah sudah berapa lama mereka mengendarai mobil dan menembus jalanan. Hingga terasa mobil yang mereka tumpangi mulai melambat, Pakdhe sudah menghentikan dan memarkirkan mobil di salah satu rumah yang cukup modern dan megah.
Terlihat laki-laki paruh baya sudah menunggu mereka di teras rumah, “Assalamualaikum, Rif” salam Pakdhe Wawan kepada temannya, “Waalaikumsalam, silahkan duduk kalian” ucap Pak Arif.
Kulihat suasana rumahnya begitu sejuk, ada beberapa sosok yang sedang berdiri mengawasi mereka tapi bentuknya sama saja dengan manusia, bahkan Bima pikir itu adalah manusia biasa sampai salah satu dari mereka berjalan menembus dinding.
“Liat apa nak?” ujar Pak Arif yang mengikuti arah pandang Bima. “Eh tidak Pak, maaf” ucap Bima yang tidak enak jika terlihat tidak sopan. “jadi ini keponakanku Rif semalam dia…” kemudian Pakdhe menceritakan apa yang sudah terjadi kepaku.
“yah, memang ada sesuatu yang unik dari anak ini Wan, dan… aku sendiri tidak bisa menutup mata batin yang sudah terbuka, sosok yang kamu.. dia temui itu salah satu penjaga dari keluarganya, dan memang itu sudah menjadi perjanjian dari leluhurnya dengan sosok tersebut” jelas Pak Arif.
“Perjanjian?” Ucap Pakdhe Wawan, “ Iya leluhurnya punya perjanjian, bahwa dia harus menjaga anak turunannya hingga yang terakhir” Kata Pak Arif.
Buat Agan-agan yang mau baca duluan bisa langsung mampir ke Karyakarsa ya.
https://karyakarsa.com/netrakala/cer...-mereka-gendis
ryothomas01987 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
3.1K
Kutip
72
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
netrakala
#19
Cerita Tentang Mereka Part 2 bag 2
Quote:
Setibanya di rumah Budhe kepala Bima masih terasa pusing, ditambah kali ini rasa mual mulai dirasakannya. “Mbak aku langsung istirahat ya” ucap Bima. “Engga makan dulu Bim?” kata Mbak Maya yang sudah duduk di meja makan. Menggeleng Bima kembali menuju kamar, ingin sekali rasanya dia merebahkan tubuhnya. Kepalanya begitu pusing dan perutnya serasa diaduk-aduk.
Lambat laut Bima merasakan ada sentakan kecil dikepalanya, ada tarikan tarikan seperti rambutnya sedang dicabuti. Membuka mata disadarinya tidak ada seorangpun dikamar itu kecuali dirinya sendiri. Namun anehnya setelah beberapa saat rasa pusing dikepalanya mulai hilang, badannya yang sedari tadi merasa berat mulai terasa ringan. Hingga matanya terpejam.....
“Sini le” ucap laki-laki renta didepan gubuk yang belum pernah Bima lihat sama sekali. Ia ragu, tapi tanpa bisa dikomando tubuhnya perlahan dia mendekat kearah kakek tersebut. “Ngapunten, mbah, simbah sinten? kulo ting pundi ngih?” (maaf kek, kakek siapa? Saya dimana ya) kata Bima sambil melihat sekitar.
Saat ini dirinya duduk disalah satu amben didepan gubuk, disekelilingnya banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Langit terlihat gelap, seperti mendung atau magrib yang sudah mulai menjelang.
Tersenyum kakek itu menepuk-nepuk dipan meminta agar Bima duduk disebelahnya. “kenopo cah bagus, wes reneo” ( kenapa anak ganteng, sudah kesini ) ujarnya sekali lagi meminta Bima untuk duduk disebelahnya.
Bima yang masih bingung dengan apa yang sedang terjadi, mengikuti nalurinya dan duduk disebelah kakek tersebut. Dari dekat Kakek itu memiliki raut muka yang sendu, tetapi berwibawa. Senyumnya begitu menentramkan bahkan selama beberapa saat Bima tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sang kakek.
“Wes, rasah sumelang, aku ngerti koe bakal kuat nrimo iki kabeh” (sudah, gak usah khawatir, aku tau kamu kuat menerima ini semua) kembali si kakek berucap yang membuat Bima kebingungan. “seng ketok apik durung mesti apik sek ketok olo durung mesti olo” ( yang terlihat bagus belum tentu bagus, yang terlihat jelek belum tentu jelek) lanjutnya.
“Ngapunten Mbah” ( maaf mbah ) ucap Bima yang tidak mengerti maksud dari kalimat yang diucapkan oleh laki-laki didepannya. Tersenyum si kakek beranjak, kali ini Bima ditinggalkan sendirian didepan gubuk tersebut. Dilihat lagi suasana begitu mencekam, banyak sekali sosok-sosok yang mengintip dibalik pohon-pohon besar yang ada disekelilingnya.
Beberapa saat Bima terdiam mematung, dia tidak berani menggerakan badannya sesentipun. “Dimana ini” batinnya berulang kali mengucapkan kalimat tersebut. Ingin rasanya segera beranjak dan mencari jalan keluar. Tapi suasana disini begitu mengerikan bahkan dia sendiri tidak tau harus kemana.
“Wes, kabeh wes ana titiwancine, ayo tak terke muleh” ( sudah, semua sudah ada waktunya, ayoo aku antar pulang ) ucap si kakek yang ntah dari mana sudah duduk di samping Bima.
Terbangun Bima kaget dengan apa yang barusan dia mimpikan, begitu nyata. Terengah dia melihat jam sudah menunjukan pukul 17.30 sore, yang memang sebentar lagi magrib akan tiba. Segera dia bangkit untuk pergi ke kamar mandi. Badannya basah dan lengket dengan keringat.
Ketika dia melewati ruang keluarga dilihatnya Mbak Maya sedang duduk menonton TV, dilihatnya sosok wanita kebaya itu sekarang mulai mengelusi rambut Mbak Maya dengan lembut. Melihat kejanggalan itu, sejenak ingin Bima memberitahukan semua yang dia lihat. Tapi seringai dari sosok itu benar-benar membuat mental Bima jatuh dan tidak berani menatapnya.
Magrib sudah berkumandang, malam mulai datang dengan suara serangga yang mulai bersahutan. Suasana rumah itu begitu tidak enak, tidak seperti malam-malam sebelumnya. Budhe dan Pakdhe juga pergi sedari sore dan belum pulang.
“Kita pesen makan aja ya Bim” ucap Mbak Maya “iya Mbak, Budhe sama Pakdhe kemana?” tanya Bima. “Lagi kondangan Bim, paling pulangnya maleman”
Tidak bertanya lebih lanjut Bima kembali duduk disebelah Mbak Maya, terasa begitu tidak nyaman. Sedari tadi bulu kuduknya meremang, sesekali dia melirik sosok yang ada dibelakang Mbak Maya yang masih terus mengusap usap kelapnya. “Ada apa ini sebenarnya” batin Bima, karena perasaannya begitu tidak enak dengan apa yang dia liat.
Seolah tahu apa yang Bima batin, sosok tersebut kali ini berjalan menuju Bima. “Bocah iki, kudu melu aku” ( anak ini, harus ikut aku ) ucapnya dengan tanpa membuka mulut sama sekali. Yang kali ini dibarengi dengan munculnya bau bunga melati yang kuat.
“Kamu pakai parfum melati Bim?” ujar Mbak Maya sambil mengendus endus udara disekitarnya. “Engga Mbak, kirain Mbak Maya yang pakai” jawab Bima. “Kok bau melati sih” bisik Mbak Maya yang mulai merasa merinding.
“Enggak ada hantu lewat kan Bim?” tanyanya. “Engga mbak, ga ada apa-apa” jawab Bima bohong. Dilihatnya lagi sosok tersebut seolah-olah Bima terpesona dengan sosok itu.
“Gendiswari” tiba-tiba suara laki-laki yang familiar muncul dalam benaknya.
“Gendiswari?” batinnya bingung, namun ketika dia mengucapkan kata itu... Sosok wanita berkebaya hitam itu langsung menoleh, raut mukanya marah dan menampilkan seringai yang menakutkan. “Bocah wingi sore ora usah melu-melu” ( Bocah kemarin sore tidak usah ikut campur ) bentaknya.
Kaget Bima hanya menundukan kepalanya, dia bingung dengan apa yang sedang terjadi. “Apa itu Gendiswari, kenapa sosok tersebut tiba-tiba marah kepadanya?” sekali lagi batin Bima bergejolak. Tidak sampai disitu kali ini sosok wanita berkebaya itu justru menampilkan muka yang begitu seram, separo dari wajahnya hancur, terlihat belatung menggeliat disetiap lubang-lubang kecil disetiap senti wajahnya.
“Astaghfirulloh” ucap Bima. Sementara Mbak Maya yang melihat Bima tau kalau pasti ada sesuatu yang tidak beres. Tapi tetap saja ketika ditanya Bima hanya menjawab tidak ada apa-apa.
******
Malam kian larut, Pakdeh dan Budhe sudah pulang, semua penghuni rumah sudah masuk kedalam kamar masing-masing. Bima masih termenung memikirkan kejadian sore tadi, dari mimpinya yang aneh sampai dengan nama Gendiswari. Apa arti dari Gendiwari sampai sosok yang mengikuti Mbak Maya marah.
Sayup sayup dia mendengar ada suara, suara wanita yang sedang menyinden. Suaranya sungguh memilukan dan membuat bulu kuduk merinding. Penasaran dengan sumber suara, Bima bangkit untuk mengecek siapa yang malam-malam seperti ini menyinden. Dibukanya pintu kamar, semua lampu sudah dimatikan.
Tapi... ada satu orang yang terlihat sedang duduk disofa depan TV. Ya pandangannya tidak salah, itu sosok Mbak Maya. “Sejak kapan dia bisa menyinden?” ucap Bima. Heran dengan apa yang dia lihat Bima mencoba mendekati sosok tersebut, masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. “Mbak,... Mbak May” panggilnya lirih. Tidak ada sahutan, masih saja dia menyinden dengan alunan nada yang menyeramkan.
Semakin penasaran dibuatnya, Bima kembali berjalan menuju sepupunya. “Mbak...Mbak May” ucapnya masih sambil mendekat. “iya kenapa Bim” ucapnya tersenyum, tapi senyumnya bukan seperti Mbak Maya, begitu dingin dan menyeramkan.
“Mbak Maya tadi yang nyinden?” tanya Bima. Masih tersenyum dia kembali menoleh kedepan dan mulai menyinden lagi. Sedang Bimo yang kebingungan dengan sikap sepupunya itu berniat untuk kembali ke kamarnya. Dan baru saja saat dia berbalik....
“Wes tak omongi to cah, ojo melu-melu sek udu urusanmu” (Sudah aku kasih tau kan nak, jangan ikut campur apa yang bukan urusanmu). Terkesiap Bima kembali menoleh, tapi kali ini sosok Mbak Maya sudah berubah menjadi wanita berkebaya hitam, seringai diwajahnya begitu menakutkan. Matanya penuh dengan dendam dan ancaman, raut muka kemarahan muncul disetiap guratan wajahnya.
Seketika Bima gemetaran, tidak bisa menggerakan badannya sama sekali. Keberanian yang dia dapatkan sudah hilang entah kemana. Sosok tersebut kini sudah berdiri, “Aku ngerti koe sopo, tapi aku ora bakal ngeculke bocah wedok kae” (Aku tau kamu siapa, tapi aku tidak akan melepaskan anak perempuan itu) kembali sosok tersebut berucap.
Tersadar Bima berlari menuju pintu kamarnya. Suara tawa wanita itu terdengar jelas ditelinganya. Terengah Bima sudah duduk diatas dipan miliknya. “Ikut campur apa?” batinnya, bahkan dia sendiri tidak tau apa yang sedang terjadi.
Kalut dengan kejadian yang baru saja terjadi Bima berharap ada seseorang yang menemaninya malam ini. Matanya tidak mau terpejam. Suara sinden itu masih terus terngiang-ngiang di telinganya. Ketukan demi ketukan ia dengar dari arah pintu kamarnya. Berkali-kali namanya dipanggil. Bima tidak berani membuka mata dan terus berdoa berharap malam segera beranjak.
Kali ini Bima menyerah dengan keadaan, dia menangis dalam diam. Rindu dengan kedua orang tuanya. Malam ini dia begitu takut dengan apa yang dia lihat, sosok tersebut memang tidak mengerikan, sepertii sosok yang penuh dengan darah disekujur tubuhnya. Tapi aura intimidasi yang kuat entah kenapa Bima rasakan, ketakukan yang menjalar dibatinnya membuat dia tidak berani melakukan apa-apa.
Buat Agan-agan yang mau baca kelanjutannya atau cerita lain bisa mampir di Karyakarsa ya.
https://karyakarsa.com/netrakala/cer...tentang-mereka
sydney89 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas
Tutup