- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Panglarangan : Mantra Pengikat Roh Pendatang Di Tanah Kalimantan
TS
benbela
Panglarangan : Mantra Pengikat Roh Pendatang Di Tanah Kalimantan
Panglarangan : Mantra Pengikat Roh Pendatang di Tanah Kalimantan
Assalamualaikum wrwb.
Setelah sekian lama merantau, akhirnya ane balik kandang dengan cerita horor tanah kelahiran ane. Moga aja cerita kali ini gak ada lagi yang nyolong terus diikutin lomba nulis novel, atawa diakuin trus diajuin kontrak ke salah satu platform nulis yang bertebaran di luar sana.
Kali ini ane ngangkat salah satu mitos yang kerap menghantui pendatang yang merantau ke Kalimantan. Kebetulan, cerita ini diangkat berdasarkan pengalaman teman bini ane hingga akhirnya jadilah sebuah cerita.
Semoga agan-agan semua terhibur, mari kita kemon
Prolog.
Mungkin di antara kalian pernah mendengar cerita tentang para perantau dari tanah Jawa yang tidak bisa pulang begitu menginjakkan kaki di tanah Kalimantan. Sebenarnya bukan hanya dari pulau Jawa, beberapa pendatang dari daerah lain juga pernah mengalami kejadian serupa.
Konon, rohnya diikat menggunakan mantra oleh seorang tetua Dayak, dimasukan ke dalam guci, dan dikubur di dalam tanah. Memang terdengar mengada-ada, tapi begitulah selentingan yang sering kudengar.
Suku Dayak di daerah sungai Barito menyebutnya panglarangan, yaitu mantra pengikat roh. Bisa jadi, daerah lainnya di Kalimantan memiliki istilah yang berbeda, tapi tujuannya sama.
Menurut kabar angin, seseorang yang terkena panglarangan akan kesulitan saat hendak pulang kampung. Berbagai kejadian ganjil dan di luar nalar akan segera terjadi, meskipun sang korban hendak pergi diam-diam. Dan, tidak sedikit cerita tentang korban yang terpaksa menghabiskan sisa hidupnya di tanah rantauan.
Tidak sedikit cerita tentang perantau yang mendadak demam panas sewaktu hendak kembali ke kampung halaman. Juga pernah tersiar kabar cerita tentang karyawan sawit yang mendadak kembali ke mess perusahaan dalam keadaan linglung, padahal sudah mencapai bandara.
Bahkan, ada pula yang meregang nyawa dalam perjalanan. Ada penumpamg yang meninggal tanpa sebab di pesawat, ada pula yang menghembuskan napas terakhir saat sedang di atas kapal laut.
Berbagai cerita tersebut, awalnya kuanggap hanyalah isapan jempol. Tidak lebih dari omong kosong untuk menakut-nakuti anak kecil. Selama 34 tahun aku hidup di Kalimantan, tak pernah sekalipun aku bertemu hantu.
Dan, inilah kisahku.
Assalamualaikum wrwb.
Setelah sekian lama merantau, akhirnya ane balik kandang dengan cerita horor tanah kelahiran ane. Moga aja cerita kali ini gak ada lagi yang nyolong terus diikutin lomba nulis novel, atawa diakuin trus diajuin kontrak ke salah satu platform nulis yang bertebaran di luar sana.
Kali ini ane ngangkat salah satu mitos yang kerap menghantui pendatang yang merantau ke Kalimantan. Kebetulan, cerita ini diangkat berdasarkan pengalaman teman bini ane hingga akhirnya jadilah sebuah cerita.
Semoga agan-agan semua terhibur, mari kita kemon
Quote:
Prolog
Prolog.
Mungkin di antara kalian pernah mendengar cerita tentang para perantau dari tanah Jawa yang tidak bisa pulang begitu menginjakkan kaki di tanah Kalimantan. Sebenarnya bukan hanya dari pulau Jawa, beberapa pendatang dari daerah lain juga pernah mengalami kejadian serupa.
Konon, rohnya diikat menggunakan mantra oleh seorang tetua Dayak, dimasukan ke dalam guci, dan dikubur di dalam tanah. Memang terdengar mengada-ada, tapi begitulah selentingan yang sering kudengar.
Suku Dayak di daerah sungai Barito menyebutnya panglarangan, yaitu mantra pengikat roh. Bisa jadi, daerah lainnya di Kalimantan memiliki istilah yang berbeda, tapi tujuannya sama.
Menurut kabar angin, seseorang yang terkena panglarangan akan kesulitan saat hendak pulang kampung. Berbagai kejadian ganjil dan di luar nalar akan segera terjadi, meskipun sang korban hendak pergi diam-diam. Dan, tidak sedikit cerita tentang korban yang terpaksa menghabiskan sisa hidupnya di tanah rantauan.
Tidak sedikit cerita tentang perantau yang mendadak demam panas sewaktu hendak kembali ke kampung halaman. Juga pernah tersiar kabar cerita tentang karyawan sawit yang mendadak kembali ke mess perusahaan dalam keadaan linglung, padahal sudah mencapai bandara.
Bahkan, ada pula yang meregang nyawa dalam perjalanan. Ada penumpamg yang meninggal tanpa sebab di pesawat, ada pula yang menghembuskan napas terakhir saat sedang di atas kapal laut.
Berbagai cerita tersebut, awalnya kuanggap hanyalah isapan jempol. Tidak lebih dari omong kosong untuk menakut-nakuti anak kecil. Selama 34 tahun aku hidup di Kalimantan, tak pernah sekalipun aku bertemu hantu.
Dan, inilah kisahku.
Quote:
Diubah oleh benbela 22-10-2023 11:44
bruno95 dan 74 lainnya memberi reputasi
73
33.5K
Kutip
394
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
benbela
#172
Quote:
Bab 12 : Panglarangan
Di malam yang gelap gulita itu aku benar-benar terperanjat bukan kepalang. Aku mengucek mata berkali-kali karena tak percaya dengan apa yang kulihat. Ternyata yang kami bawa sedari tadi adalah mayat.
Gila!
Orang-orang ini lebih gila dari Ateng Kayau maupun Atak Pelanduk. Hanya orang sinting yang membawa mayat kemana-mana, apalagi untuk diselundupkan ke dalam kapal. Pikiranku kesana kemari tidak karuan, jangan-jangan itu adalah mayat korban mereka. Mayat korban pembunuhan!
Aku gelagapan saat Atak Pelanduk menatap dengan sorot mata tajam. Ia memberi kode dengan gerakan kepala, lalu Utuh mendekat dengan menenteng kapak di tangan.
Aku mati kutu. Tubuhku mulai berkeringat meski udara malam sangat dingin. Aku ingin lara tapi entah kenapa kaki ini mati rasa.
"Eh… Eh…tenang, bro, tenang. Aku…"
Belum selesai bicara, Utuh terlebih dahulu mengayunkan kapaknya. Refleks aku menangkis, menutupi kepala dengan kedua tangan. Untung saja Utuh hanya menggertak.
Bagai kerbau dicucuk hidung, aku hanya bisa pasrah saat digelandang menuju Atak.
"Apa ini, Ancah? Bodoh! Kenapa tidak kau periksa dulu?!" cecar Atak pelan tapi menohok. Matanya menatapku tajam hingga terasa menusuk jantung.
"A-anu…sorry bro… aku.. Aku…"
"Mana piring malawen kuno?? Mana barang antiknya, hah?!"
Aku tak berkutik. Akupun tak mengira kalau yang kami bawa adalah mayat.
"Duduk!" bentak Utuh Kapak.
Dengan lemas aku duduk bersila persis di samping mina Kurik yang tak pernah melepaskan pandangan padaku. Rupanya wanita ini kesal benar atas ulahku.
"Hai mina, semesta menyatukan kita lagi," tegurku lemah.
Mina Kurik bergerak, hendak menggigit. Refleks aku menghindar.
"Eit.. Eit… sabar mina. Sebaiknya kita berkongsi agar selamat," cerocosku lagi.
Untung saja mulutnya dilakban. Jika tidak, bisa habis kupingku seperti Ateng Kayau tadi.
Mina Kurik mengeluarkan suara tidak jelas. Persis geraman anjing yang sedang marah. Matanya melotot, menatapku dengan sorot penuh kebencian. Tapi aku tak peduli. Aku terus memutar otak, mencari siasat untuk kabur.
Kuulurkan kedua tangan ke depan saat salah seorang lelaki mengeluarkan lakban. Aku terperanjat, tanganku ditarik paksa ke belakang. Siasatku gagal. Aku hanya bisa meringis tatkala lakban menjerat kedua tanganku sangat kencang. Aku sedikit lega, setidaknya mereka tidak tahu ada belati yang terselip di pinggang.
"Boss, lakbannya habis."
Atak Pelanduk mengangguk pelan, si anak buah segera menyingkir ke samping. Di dalam hati aku bersorak girang, setidaknya mulutku tidak dibungkam.
Atak Pelanduk berjongkok, menatap kami satu persatu. Ia kemudian menatap mina Kurik lekat-lekat, dan mina Kurik tidak gentar sedikit pun membalas beradu mata. Kuakui, wanita ini punya nyali bukan karbitan.
Sreet…
Mina Kurik menjerit kesakitan sewaktu lakban yang menutup mulutnya ditarik paksa. Nafasnya tersengal dengan biji mata yang mau lepas. Ia lantas menoleh, menatapku penuh kebencian.
Cuiih..!
Belum sempat menghindar, ludahnya sudah mengenai pipiku.
"Dasar celaka! Manusia licik. Kau akan celaka! Matemunu!" sentak mina penuh amarah.
Hampir saja kupingku jadi korban seandainya Atak tidak bergegas menghalangi. Mina Kurik terus mencaci dan aku hanya membuang muka. Sumpah serapahnya mereda tatkala Atak Pelanduk mulai bertanya.
"Heh, jalang. Mayat siapa itu? Apa kalian telah membunuhnya?"
Mina Kurik terdiam sejenak, lalu mendongak.
"Kalian telah melakukan kesalahan besar karena telah membuka koper itu. Kuingatkan, jika kalian ingin selamat. Sebaiknya kalian pergi dari sini secepatnya. Jika kalian ingin membunuh sopir serakah itu, silakan. Lepaskan kami, biarkan kami melanjutkan perjalanan. Maka kita semua akan baik-baik saja," tutur mina Kurik serius.
"Heh... ! Siapa wanita muda itu? Kenapa kalian membunuhnya?"
"Heh, Atak. Sebaiknya kau dengarkan dukun ini. Lepaskan kami, dan akan kami anggap kejadian malam ini tidak pernah terjadi. Kalau mau uang, mereka ini banyak duit. Biar mereka ganti ongkos bensinmu," selahku.
Buaak..
Tendangan Utuh di pelipis membuatku terjengkang. Kepalaku hempas membentur aspal. Pandanganku berkunang-kunang dan kepala terasa berdenyut. Perih terasa di sudut bibir dan pelipis. Aku mengutuk dalam hati. Darahku mendidih karena harga diri yang terinjak.
"Utuh sialan! Kalau berani, lepas ikatanku. Kita duel sampai mati!"
Buaak…
Tendangan di perut membuatku kembali merintih. Mataku berair dan perut terasa perih karena sakit yang tak tertahan. Aku bahkan terbatuk dan mengeluarkan liur karena saking kerasnya mendapat tendangan. Dibyo panik, Pakde gelagapan dan Bude menjerit tertahan demi melihatku kena hantam.
"Manusia licik sepertimu pantas mendapat siksaan," sindir mina Kurik.
"Sudah, hentikan! Kenapa ada mayat di kopermu?" potong Atak.
Mina Kurik tidak segera menjawab. Ia justru mengkerutkan kening. Sejurus kemudian raut wajahnya mendadak tegang, seiring kabut asap tipis yang tiba-tiba datang dari arah hutan di sekitar. Malam yang hening kian bertambah hening, membuat semua orang curiga dengan tingkah mina Kurik.
"Bo...bo…boss…wanita ini bergerak," ucap salah seorang bawahan Atak Pelanduk sambil gemetaran.
Semua menoleh dan langsung terbelalak. Wanita muda di dalam koper itu bergerak. Yang lebih mengerikan lagi, ia tiba-tiba merangkak. Tangannya mencakar-cakar aspal yang keras. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya pucat. Wanita itu telah bangkit dari kematian.
*****
Atak Pelanduk dan Utuh Kapak tercekat. Mereka mematung dengan lutut gemetaran. Wanita muda itu terus merangkak, tapak demi tapak, lalu limbung begitu saja di atas aspal. Atak Pelanduk dan bawahannya saling menoleh dengan ekspresi bingung.
"Dia belum mati. Mungkin korban penculikan," ujar Atak dengan suara serak. Takut-takut, ia mendekat untuk memastikan. Setelah memeriksa detak nadi di leher dan napas di hidung si wanita, Atak lantas mendengus.
"Heh, Ancah," kata Atak seraya berdiri, lalu menoleh ke arahku, "rupanya penumpangmu orang-orang sakit jiwa. Wanita itu masih hidup. Mungkin, mereka menculiknya."
Aku yang masih tergeletak di atas aspal hanya bisa terperangah. Semua kejadian yang kualami benar-benar membuat kepalaku pusing.
"Wanita muda itu terkena panglarangan," timpal mina Kurik tiba-tiba.
"Panglarangan?" Atak Pelanduk mengernyitkan dahi.
Duduk bersila dengan kedua tangan terikat di belakang, mina Kurik bicara panjang lebar.
"Rohnya telah diambil, diikat menggunakan mantra. Sampai kapanpun ia takkan pernah bisa meninggalkan tanah Kalimantan. Setiap kali ia berusaha pergi, ia akan hilang kesadaran. Jika dipaksakan, ia akan gila."
Ucapan mina Kurik membuat Atak Pelanduk terdiam sesaat.
"Hm…panglarangan… aku pernah mendengar cerita orang terkena penglarangan. Harusnya, ia bisa kau sembuhkan dengan dimandikan. Dengan ritual papandui."
"Andai semudah itu, tak mungkin aku di sini malam ini. Rohnya telah musnah dibakar."
"Dibakar?" Buru Atak penasaran. Dahinya semakin mengkerut.
Mina Kurik menoleh ke arah Bude dan dibalas anggukan. Setelah mendapat persetujuan, dukun Dayak itu bicara panjang lebar.
"Lima tahun lalu, ia merantau ke Kalimantan tanpa memberitahukan orang tuanya. Ia kemudian bekerja di salah satu Bank dan di tempatkan di pedalaman. Setelah itu, ia lenyap begitu saja. Mengganti nomor telepon serta menghapus semua sosial media."
Kata mina Kurik, wanita muda itu bernama Retno. Ia bertengkar hebat dengan Dibyo yang ternyata merupakan tunangannya. Aku menarik napas, kukira Dibyo adalah anaknya Pakde dan Bude.
Masih kata mina, Dibyo ketahuan selingkuh dengan salah seorang wanita jemaat gereja. Retno mengamuk dan depresi. Rencana pernikahan yang telah disusun rapi terancam berantakan begitu saja. Retno yang frustasi diam-diam pergi dari rumah, menenangkan diri ke Kalimantan.
Selama di Kalimantan ia menumpang di rumah salah seorang sahabatnya sewaktu kuliah. Ia menghilangkan jejak dengan mengganti nomor telepon serta menghapus sosial media. Tidak disangka, lamarannya di salah satu Bank pemerintah diterima. Setelah menjalani masa training, ia ditempatkan di pedalaman.
"Saat di pedalaman itulah, nasib sial mulai menghantui wanita muda ini. Pekerjaannya di bagian kredit, membuatnya harus bertemu banyak orang. Karena keramah tamahannya, membuat salah seorang nasabah salah mengira. Nasabah norak itu mengira sikap ramah Retno karena jatuh cinta. Lelaki sinting itu mencoba meminang Retno, tentu saja ditolak. Karena sakit hati, lelaki itu mengirimkan panglarangan. Bukan hanya sulit jodoh, Retno pun pantang pulang ke Jawa."
Lanjut mina Kurik, panglarangan itu kemungkinan disusupkan lewat makanan dan minuman. Sialnya, Retno lupa siapa lelaki itu karena setiap hari ia bertemu banyak nasabah. Yang ia ingat hanyalah pernah menolak pinangan seseorang. Tidak ada hal aneh yang ia alami, kecuali ia seolah-olah lupa punya keluarga di Jawa.
Setiap hendak pulang, ia kebingungan kenapa mengemas barang. Atau, ia demam mendadak hingga melupakan niatnya untuk pulang kampung. Kejadian ini terus berulang hingga tanpa terasa sudah lima tahun ia pergi dari rumah.
"Orang tuanya sudah mencari kemana-mana. Sudah pula melapor ke polisi tapi hasilnya nihil. Hingga mereka pasrah dan menganggap Retno telah mati. Satu bulan lalu, Dibyo berhasil melacak keberadaan Retno berkat punya teman yang kebetulan bekerja di perusahaan tambang di pedalaman. Tanpa pikir panjang, Dibyo dan orang tua Retno langsung menyusul. Mereka kemudian menyadari, Retno tidak pernah berkabar bukan karena tak mau pulang. Tapi, ada sesuatu yang menghalangi."
Penuturan mina Kurik membuat semua orang terdiam. Gerombolan Atak Pelanduk tampaknya sulit menerima apa yang disampaikan wanita Dayak itu. Mina Kurik melirik ke arahku. Rupanya ia tahu bahwa aku sedari tadi berusaha melepas ikatan dengan belati. Ternyata ia sengaja mengulur waktu, memberiku kesempatan untuk lepas.
Udara semakin dingin dan kabut asap kian bertambah, semua semakin tenggelam dalam rangkaian kata mina Kurik. Ujarnya, sewaktu pertama kali berjumpa tangis haru antara Retno dan orang tuanya langsung pecah. Mereka berpelukan, sesenggukan melepas rindu. Namun, saat hendak dibawa pulang Retno mendadak demam. Obat yang diberikan dokter tak membuatnya kunjung sembuh. Hingga mereka akhirnya dipertemukan dengan mina Kurik.
"Sewaktu pertama kali melihatnya terbujur lemas di bangsal rumah sakit, aku sudah bisa merasakan kalau wanita itu diselimuti kekuatan jahat. Roh jahat yang sangat tipis, tapi akan menjadi sangat kuat dan berbahaya jika ia mencoba meninggalkan tanah ini. Aku sudah membawanya ke air yang mengalir. Memandikannya di atas lesung, menutup tubuhnya dengan kain bahalai serta menyiramnya dengan bunga rampai.Namun, rohnya tidak bisa kukembalikan. Rohnya bukan disembunyikan di dalam guci lalu dikubur di dalam tanah. Tapi, ikut lenyap bersama mayat yang dibakar. Terbakar saat seseorang mengadakan ritual mapui, upacara pemakaman dengan cara membakar mayat."
Atak Pelanduk menghela napas, yang lain tercenung. Ia lantas menyalakan sebatang rokok lalu menghisapnya dalam-dalam.
"Karena itu kau sembunyikan tubuhnya di dalam koper. Agar aromanya tidak mengundang mahluk halus yang hendak membuatnya celaka?" tanya Atak lagi.
Minga Kurik mengangguk, "seharusnya perjalanan kami tak ada gangguan. Wanita muda itu cukup meminum air tujuh sungai yang sudah diberi doa suci saat kapal di tengah lautan. Setelah itu, mantra pengikatnya akan lepas. Tapi, sopir serakah ini membuat perkara. Dan sekarang, segala hal buruk dari berbagai penjuru sedang menuju kemari."
Atak Pelanduk mengernyitkan dahi dan aku tak peduli ucapan mina Kurik. Aku terus berusaha melepas ikatan yang membelenggu tanganku. Ternyata melepas ikatan tangan di belakang tidak semudah di film. Aku harus ekstra hati-hati lantaran beberapa kali belati justru melukai pergelangan tanganku.
"Dongeng yang menarik. Sayang sekali aku tak peduli. Kami takkan pergi dengan tangan kosong. Ambil semua barang berharga mereka. Mobil ini kita bawa. Harganya lumayan di Balikpapan."
"Boss, bagaimana dengan orang-orang ini?" tanya salah seorang anak buah Atak.
"Serahkan pada Utuh. Yang penting, tidak boleh ada saksi mata. Dan, Wanita ini ikut kita. Ia bisa kita nikmati bergantian sebelum dijual ke mucikari."
Mina Kurik lagi-lagi melirik ke arahku dan kubalas dengan anggukan. Sedangkan Pade dan Bude terlihat panik. Terlebih Dibyo, ia langsung merangsek ketika melihat dua orang lelaki menggotong Retno yang terkulai. Tentu saja Dibyo kalah gesit. Sekali gebrakan, Utuh berhasil membanting Dibyo ke tanah. Lelaki muda itu hanya bisa merintih menahan perih.
Utuh rupanya suka bermain-main sebelum membunuh korbannya. Ia duduk di atas dada Dibyo dan menggores bilah kapak yang tajam di pipi pemuda itu. Darah segera mengalir, membuat Dibyo kelojotan menahan sakit. Terlihat jelas bahwa Utuh sangat menikmati tatapan ketakukan mangsanya. Ia menyeringai, menikmati tiap sayatan yang melukai pipi Dibyo yang telah berlumur darah.
"Utuh, jangan main-main. Cepat selesaikan urusanmu. Setelah itu bakar mayat mereka" sentak Atak Pelanduk memberi perintah.
Utuh mendengus, tak suka kesenangannya diganggu. Saat itulah mina Kurik mendadak hilang kesadaran. Ia sekonyong-konyong kejang dan menggelepar di atas aspal. Sepasang bola matanya telah hitam sempurna dengan liur yang menetes di celah bibir. Ikatan tangannya bahkan telah terlepas dan mulutnya mengeluarkan geraman yang menakutkan.
Atak Pelanduk tampak kebingungan, begitu pula Utuh yang langsung menghentikan siksaannya. Keduanya semakin terheran-heran ketika kabut asap bertambah pekat. Kabut asap datang menggulung laksana awan, membuat jarak pandang sangat terbatas.
Sreek… sreek…
Jantungku rasanya mau copot ketika suara yang tak asing itu kembali terdengar. Suara itu kadang terdengar pelan, kadang terdengar sangat kencang. Suara gesekan papan peti mati dan aspal. Detik berikutnya adalah kengerian yang sulit dilukiskan. Salah seorang anak buah Atak tiba-tiba menjerit, tubuhnya tersedot ke dalam kabut. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik kabut, kecuali pekik kematian yang cumiakkan telinga. Genangan darah lantas mengalir dari balik kabut yang menggulung, membasahi aspal dan menyentuh ujung sepatu Atak Pelanduk dan Utuh Kapak.
Mendapat kesempatan, aku langsung berlari secepatnya menuju mobil yang terparkir. Aku terjungkal saat suara letusan pistol bergema. Dengan sigap aku tiarap dan menutup kuping. Letusan demi letusan terdengar ke segala penjuru.
Aku meraparkan badan ke aspal lalu merayap perlahan. Saat itulah bulu tengkukku merinding hebat. Samar-samar tertutup kabut, aku melihat dengan mata kepala sendiri ada peti mati yang bergerak di atas aspal. Bukan hanya satu, tapi tiga! Kurasakan tanganku gemetar hinga sulit dikendalikan. Peti mati itu bergerak terseret, menimbulkan bunyi-bunyian yang mengintimidasi.
Aku mengatur napas agar tidak panik, membaca doa dalam hati lalu merangkak sangat hati-hati. Tanganku akhirnya berhasil meraih gagang pintu mobil yang dingin. Secepatnya aku masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Suara mesin mobil kemudian meraung-raung di antara hingar-bingar jerit mina Kurik, Atak, Utuh dan entah siapa lagi.
Kuinjak pedal gas sekuatnya. Ban berdecit dan mobil melesat. Seorang lelaki tiba-tiba muncul di depan dan aku tak sempat lagi menghindar.
Braak…
Terjadi benturan keras, tubuhnya terpelanting lalu terseret beberapa meter sebelum terperosok ke kolong mobil.
Praak...krak..kratak…
Terdengar gemeretak tulang remuk. Mobil terhentak-hentak diiringi suara teriakan. Kutambah kecepatan, mobil melesat kencang di atas aspal. Di belakang, sayup-sayup terdengar suara teriakan mina Kurik yang menyayat hati. Ia memanggil namaku, meminta untuk kembali.
Kupacu mobil untuk terus melaju menerobos kabut asap yang menyelimuti jalan trans Kalimantan, meninggalkan orang-orang yang sedang mempertahankan nyawa di belakang sana.
Saat ini, yang terpenting adalah memikirkan keselamatan diri sendiri.
…bersambung..
Tulisan ini saya lanjutkan demi menghargai @makgendhis
Kepada @shamdani996 dan @shinichindo yang membully saya, cepat atau lambat kita ketemu di dunia nyata.
Diubah oleh benbela 15-10-2023 11:55
bruno95 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Kutip
Balas
Tutup