- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
DESA DIBALIK KABUT [HORROR STORY] [Kompetisi KGPT]
TS
jurigciwidey
DESA DIBALIK KABUT [HORROR STORY] [Kompetisi KGPT]
SAMPURASUN
Setelah sebelumnya ane menamatkan cerita Rarasukma, yang Insyallah Ide ceritanya akan di filmkan karena sudah dibeli oleh salah satu PH pada bulan Juli kemarin, yang ceritanya bisa kalian baca disini.
Sebelum ane bercerita kelanjutan tentang thread di atas, (Karena banyak yang request untuk melanjutkan ceritanya).
Ane mau bercerita lagi, sebenarnya cerita ini sudah lama ane buat, mungkin ada juga beberapa yang sudah baca cerita ini di tempat lain.
Namun, ane akan sebarkan ceritanya disini.
Semoga kalian bisa terhibur dengan cerita yang ane buat, sambil menunggu kelanjutan cerita Rarasukma yang ane buat.
NOTE : JANGAN ADA YANG MENGUPLOAD TANPA SEIZIN ANE, KARENA BEBERAPA KALI ADA YANG MENGUPLOADNYA KE YOUTUBE TANPA IZIN SEHINGGA TERPAKSA ANE TIDAK MELANJUTKAN CERITA YANG ANE BUAT
NOTE : JANGAN ADA YANG MENGUPLOAD TANPA SEIZIN ANE, KARENA BEBERAPA KALI ADA YANG MENGUPLOADNYA KE YOUTUBE TANPA IZIN SEHINGGA TERPAKSA ANE TIDAK MELANJUTKAN CERITA YANG ANE BUAT
Quote:
JANGAN LUPA, SUPPORT CERITA PENDEK ANE YANG IKUT KOMPETISI KUNCEN DISINI :
RUMAH
RITUAL TARIK JANIN - KUNCEN
RUMAH
RITUAL TARIK JANIN - KUNCEN
Maka dari itu, selamat menikmati ceritanya.
Spoiler for BAB 1 : PENJARA:
“ABDI BANGUN!!!!”
Trang trang trang
Seorang petugas dengan kasarnya memukul-mukul pintu sel yang aku tempati, ruangan sel dengan ukuran 3x3 meter dengan satu kasur kecil tempat aku tidur, dan toilet kecil yang dipisah oleh tembok yang setinggi satu meter.
“HEY, JANGAN MELAMUN SAJA, AYO BANGUN!!”
Petugas itu berteriak kembali, aku seketika bangun dari tidurku yang tidak nyenyak ini. Dengan perasaan yang masih mengantuk aku melihat petugas itu membuka sel tahanan kemudian masuk ke dalam sel.
BLAM!
Aaaaakh
Petugas itu tiba-tiba memukul kakiku dengan keras dengan tongkat yang dia bawa. Aku seketika kesakitan sembari kedua tanganku memegang kaki yang terkena pukulan dari petugas itu.
Beberapa petugas kemudian datang dan masuk ke sel tahanan, mereka menarik paksa diriku yang masih terkantuk-kantuk untuk dibawanya keluar sel.
BLAM!
AKH..
Sebuah pukulan kembali dilayangkan ke tubuhku, aku kembali kesakitan akibat pukulan itu. Kemudian aku tersungkur di lantai dengan kondisi yang tidak berdaya, dan dua petugas yang datang menarik kakiku sehingga tubuhku tersungkur ke lantai. Aku yang tidak berdaya hanya bisa menahan sakit dan tidak bisa berbuat apa-apa atas perlakuan petugas itu.
Kepala dan badanku berada di lantai sedangkan kakiku ditarik dengan paksa oleh kedua petugas tersebut.
Aku melewati beberapa sel tahanan lain dalam kondisi tersebut, namun semuanya sama, yang kulihat banyak petugas yang memukuli para tahanan lain dengan beringas, banyak suara teriakan yang menggema di penjara tersebut, suara-suara dari raungan rasa sakit yang mereka terima dari penyiksaan para petugas sipir penjara. Seperti hal yang biasa kami disiksa dan dipukuli dengan kejinya. Kami yang di penjara tidak bisa melawan para petugas, jika kami mencoba sedikit saja melawan mereka, yang ada kami akan dipindahkan ke ruangan khusus yang gelap dan di sana kami tidak diberi makan bahkan minum sedikitpun selama beberapa hari.
Sreeet Sreett
Dua petugas yang menyeretku kemudian berbelok dan memasuki sebuah ruangan, ruangan yang gelap dengan satu cahaya lampu di tengah ruangan, di sana terdapat suatu kursi dengan pengikat yang letaknya tepat di bawah lampu tersebut.
Badanku kemudian diangkat, dan didudukkan di kursi tersebut. Tangan dan kakiku diikat dengan kencang, namun aku sengaja mengangkat tanganku agar tidak menempel dengan kursi agar melonggarkan ikatan dari para penjaga itu.
Kemudian semua petugas yang membawaku perlahan-lahan keluar, mereka keluar secara bergantian dari ruangan itu dan meninggalkan aku sendirian.
“Di mana ini?” Pikirku.
Dengan rasa sakit yang aku terima masih sangat terasa. Aku mencoba melihat ke sekeliling ruangan itu, ruangan yang gelap dan hanya ditemani oleh salah satu lampu yang menggantung di atas kepalaku, aku juga melihat lantai yang disinari oleh cahaya itu, disana terdapat banyak bercak-bercak darah yang sudah mengering terkena sinar lampu yang menyala.
Aku mencoba menggoyang-goyangkan badanku, tangan yang tadi sengaja tidak aku tempelkan ke kursi ini aku coba gerakan, supaya bisa terlepas dari tali yang mengikatku.
Namun tiba-tiba,
Arrrrrghhhhhhhhhh
BLAM..!
Suara teriakan terdengar dari luar, kali ini suara teriakan itu terdengar keras bersamaan dengan suara yang menabrak sesuatu.
Tap tap tap
Beberapa suara kini kembali terdengar, suara orang-orang yang sedang berlari kesana kemari dengan keadaan panik. Suara itu terdengar keras dengan suara-suara teriakan hingga terdengar ke ruangan tempat aku berada.
“TOLONGGG, TOLLONGGG!!!”
BRUAAAAAK
Tampak sesuatu yang menabrak pintu, tabrakan sesuatu itu begitu keras sehingga membuat pintu dari ruangan tempat aku berada terbuka. Terlihat sesosok petugas yang tadi menyeretku tergeletak tidak bernyawa, seperti ada sesuatu yang melemparkan tubuhnya hingga menabrak pintu, dan akhirnya pintu tersebut terbuka. Aku mendadak panik seketika, dengan suara-suara teriakan yang datang membuat aku ingin segera melepas ikatan dari kursi ini, karena aku juga melihat tubuh petugas yang tergeletak di depanku itu penuh dengan darah, juga beberapa sayatan di badannya seperti ada hewan buas yang mencoba memangsanya.
“Ayolah, aku harus bisa melepaskan ikatan ini!” Pikirku dengan keadaan panik sembari sekuat tenaga melepas ikatan itu.
“Sedikit lagi, sedikit lagi, .... aaaarghhh... argggghhh!”
Aku mencoba melepaskan tanganku yang terikat, meskipun sedikit sakit, aku mencoba memaksanya hingga,
“Akhirnya lepas juga, sekarang tinggal kaki yang masih terikat,”
Aku bernafas lega ikatan di tanganku sudah lepas, suara-suara teriakan di tempat itu masih saja terdengar, aku semakin panik dengan keadaan di sel tersebut, aku harus segera melepaskan ikatanku dan keluar dari tempat ini.
Dengan sekuat tenaga akhirnya aku bisa melepaskan ikatan dari kursi tersebut, aku seketika berlari, berlari melewati pintu yang sudah rusak tersebut, tak lupa aku juga mengambil tongkat dari mayat petugas itu, untuk sekedar berjaga-jaga, karena aku yakin ada yang tidak beres dengan tempat ini sekarang.
Namun aku begitu terkejut ketika aku keluar ruangan tersebut, sel tahanan yang seharusnya berada di lorong tempat aku berdiri sekarang berubah, sel tahanan yang kulihat tadi, sekarang berubah menjadi lorong panjang dengan obor di kedua sisinya, obor tersebut menyala di lorong sebelah kanan dengan terangnya berjejer hingga ke ujung. Sel-sel tahanan di kedua sisinya berubah menjadi dinding batu di kedua sisinya, seperti sebuah gua yang memanjang dengan banyak noda darah di sekitarnya.
Ketika aku melihat ke arah kiri, terdapat lorong yang gelap gulita, lorong yang tanpa penerangan sama sekali, yang ada hanya lorong kosong yang gelap dan tidak terlihat apapun di sana.
Aku seketika terdiam, aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Semuanya berubah secara mendadak, rasa takut yang kurasakan membuatku malas untuk melangkah, namun tiba-tiba sebuah suara muncul. Suara yang datangnya dari arah kanan, yang di mana arah kanan adalah lorong yang diterangi oleh obor.
"AAHAHAHAHAHAHAHAAHA."
DUG DUG DUG
"AHAHAHAHA."
Suara itu kemudian tertawa keras, dengan langkah kaki yang dihentakan membuat suara tersebut terdengar nyaring ke tempat aku berdiri, seketika aku secara spontan mengambil obor yang ada didekatku dan kemudian aku berlari ke arah kiri, ke arah lorong gelap yang tidak ada cahaya sama sekali.
Tap tap tap
Aku berlari sekuat tenaga dengan obor yang aku bawa sebagai penerang, namun seakan-akan lorong tersebut adalah lorong tanpa ujung, aku terus-menerus berlari tanpa tahu kapan aku harus berhenti, suara-suara itu masih terdengar dan kali ini seperti mengejarku dari belakang, sesaat aku melihat kebelakang sembari berlari, namun tidak ada siapa siapa, dan ketika aku berbalik secara tiba-tiba,
Duag
Aku menabrak sesuatu, sesuatu yang besar yang menghalangi jalanku sehingga membuatku terjatuh, dengan obor yang masih di tangan aku mencoba menerangi sesuatu yang menghalangi ku itu. Aku sontak kaget karena apa yang aku lihat ternyata bukanlah manusia,
Ternyata di depanku adalah sosok tinggi besar yang menyeringai kepadaku, sosok yang terlihat besar dengan gigi tajam yang mencuat keluar, dia tertawa kecil dan kemudian membuka mulutnya secara lebar.
“HAHAHAHAHAHAHA.”
Suara itu terdengar sangat keras, suara yang tadinya terdengar di belakang ku kini berada tepat di depanku, dengan wajah yang menyeramkan dia berkata.
“ABDI SEKARANG GILIRANMU, DUA ORANG LAINYA SUDAH AKU MAKAN, DAN KAMU ADALAH ORANG KETIGA UNTUK AKU MAKAN.”
Aku merasa ketakutan, badanku tidak henti-hentinya gemetar, tanpa aku sadari keringat dingin pun bercucuran, juga kakiku seperti membeku, tidak bisa untuk melangkah. Aku hanya bisa melihat mulut makhluk itu membuka rahangnya yang besar, dengan gigi yang mencuat keluar, terlihat gigi yang dipenuhi dengan darah segar mendekat, seakan-akan akan melahapku.
Aku hanya bisa menutup mata dan menutupi kepala dengan tanganku, aku sudah merasa putus asa, mungkin ini adalah akhir dari hidupku, pandanganku mulai gelap sepertinya mulut dari makhluk itu sudah sangat dekat.
Dan akhirnya....
Trang trang trang
Seorang petugas dengan kasarnya memukul-mukul pintu sel yang aku tempati, ruangan sel dengan ukuran 3x3 meter dengan satu kasur kecil tempat aku tidur, dan toilet kecil yang dipisah oleh tembok yang setinggi satu meter.
“HEY, JANGAN MELAMUN SAJA, AYO BANGUN!!”
Petugas itu berteriak kembali, aku seketika bangun dari tidurku yang tidak nyenyak ini. Dengan perasaan yang masih mengantuk aku melihat petugas itu membuka sel tahanan kemudian masuk ke dalam sel.
BLAM!
Aaaaakh
Petugas itu tiba-tiba memukul kakiku dengan keras dengan tongkat yang dia bawa. Aku seketika kesakitan sembari kedua tanganku memegang kaki yang terkena pukulan dari petugas itu.
Beberapa petugas kemudian datang dan masuk ke sel tahanan, mereka menarik paksa diriku yang masih terkantuk-kantuk untuk dibawanya keluar sel.
BLAM!
AKH..
Sebuah pukulan kembali dilayangkan ke tubuhku, aku kembali kesakitan akibat pukulan itu. Kemudian aku tersungkur di lantai dengan kondisi yang tidak berdaya, dan dua petugas yang datang menarik kakiku sehingga tubuhku tersungkur ke lantai. Aku yang tidak berdaya hanya bisa menahan sakit dan tidak bisa berbuat apa-apa atas perlakuan petugas itu.
Kepala dan badanku berada di lantai sedangkan kakiku ditarik dengan paksa oleh kedua petugas tersebut.
Aku melewati beberapa sel tahanan lain dalam kondisi tersebut, namun semuanya sama, yang kulihat banyak petugas yang memukuli para tahanan lain dengan beringas, banyak suara teriakan yang menggema di penjara tersebut, suara-suara dari raungan rasa sakit yang mereka terima dari penyiksaan para petugas sipir penjara. Seperti hal yang biasa kami disiksa dan dipukuli dengan kejinya. Kami yang di penjara tidak bisa melawan para petugas, jika kami mencoba sedikit saja melawan mereka, yang ada kami akan dipindahkan ke ruangan khusus yang gelap dan di sana kami tidak diberi makan bahkan minum sedikitpun selama beberapa hari.
Sreeet Sreett
Dua petugas yang menyeretku kemudian berbelok dan memasuki sebuah ruangan, ruangan yang gelap dengan satu cahaya lampu di tengah ruangan, di sana terdapat suatu kursi dengan pengikat yang letaknya tepat di bawah lampu tersebut.
Badanku kemudian diangkat, dan didudukkan di kursi tersebut. Tangan dan kakiku diikat dengan kencang, namun aku sengaja mengangkat tanganku agar tidak menempel dengan kursi agar melonggarkan ikatan dari para penjaga itu.
Kemudian semua petugas yang membawaku perlahan-lahan keluar, mereka keluar secara bergantian dari ruangan itu dan meninggalkan aku sendirian.
“Di mana ini?” Pikirku.
Dengan rasa sakit yang aku terima masih sangat terasa. Aku mencoba melihat ke sekeliling ruangan itu, ruangan yang gelap dan hanya ditemani oleh salah satu lampu yang menggantung di atas kepalaku, aku juga melihat lantai yang disinari oleh cahaya itu, disana terdapat banyak bercak-bercak darah yang sudah mengering terkena sinar lampu yang menyala.
Aku mencoba menggoyang-goyangkan badanku, tangan yang tadi sengaja tidak aku tempelkan ke kursi ini aku coba gerakan, supaya bisa terlepas dari tali yang mengikatku.
Namun tiba-tiba,
Arrrrrghhhhhhhhhh
BLAM..!
Suara teriakan terdengar dari luar, kali ini suara teriakan itu terdengar keras bersamaan dengan suara yang menabrak sesuatu.
Tap tap tap
Beberapa suara kini kembali terdengar, suara orang-orang yang sedang berlari kesana kemari dengan keadaan panik. Suara itu terdengar keras dengan suara-suara teriakan hingga terdengar ke ruangan tempat aku berada.
“TOLONGGG, TOLLONGGG!!!”
BRUAAAAAK
Tampak sesuatu yang menabrak pintu, tabrakan sesuatu itu begitu keras sehingga membuat pintu dari ruangan tempat aku berada terbuka. Terlihat sesosok petugas yang tadi menyeretku tergeletak tidak bernyawa, seperti ada sesuatu yang melemparkan tubuhnya hingga menabrak pintu, dan akhirnya pintu tersebut terbuka. Aku mendadak panik seketika, dengan suara-suara teriakan yang datang membuat aku ingin segera melepas ikatan dari kursi ini, karena aku juga melihat tubuh petugas yang tergeletak di depanku itu penuh dengan darah, juga beberapa sayatan di badannya seperti ada hewan buas yang mencoba memangsanya.
“Ayolah, aku harus bisa melepaskan ikatan ini!” Pikirku dengan keadaan panik sembari sekuat tenaga melepas ikatan itu.
“Sedikit lagi, sedikit lagi, .... aaaarghhh... argggghhh!”
Aku mencoba melepaskan tanganku yang terikat, meskipun sedikit sakit, aku mencoba memaksanya hingga,
“Akhirnya lepas juga, sekarang tinggal kaki yang masih terikat,”
Aku bernafas lega ikatan di tanganku sudah lepas, suara-suara teriakan di tempat itu masih saja terdengar, aku semakin panik dengan keadaan di sel tersebut, aku harus segera melepaskan ikatanku dan keluar dari tempat ini.
Dengan sekuat tenaga akhirnya aku bisa melepaskan ikatan dari kursi tersebut, aku seketika berlari, berlari melewati pintu yang sudah rusak tersebut, tak lupa aku juga mengambil tongkat dari mayat petugas itu, untuk sekedar berjaga-jaga, karena aku yakin ada yang tidak beres dengan tempat ini sekarang.
Namun aku begitu terkejut ketika aku keluar ruangan tersebut, sel tahanan yang seharusnya berada di lorong tempat aku berdiri sekarang berubah, sel tahanan yang kulihat tadi, sekarang berubah menjadi lorong panjang dengan obor di kedua sisinya, obor tersebut menyala di lorong sebelah kanan dengan terangnya berjejer hingga ke ujung. Sel-sel tahanan di kedua sisinya berubah menjadi dinding batu di kedua sisinya, seperti sebuah gua yang memanjang dengan banyak noda darah di sekitarnya.
Ketika aku melihat ke arah kiri, terdapat lorong yang gelap gulita, lorong yang tanpa penerangan sama sekali, yang ada hanya lorong kosong yang gelap dan tidak terlihat apapun di sana.
Aku seketika terdiam, aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Semuanya berubah secara mendadak, rasa takut yang kurasakan membuatku malas untuk melangkah, namun tiba-tiba sebuah suara muncul. Suara yang datangnya dari arah kanan, yang di mana arah kanan adalah lorong yang diterangi oleh obor.
"AAHAHAHAHAHAHAHAAHA."
DUG DUG DUG
"AHAHAHAHA."
Suara itu kemudian tertawa keras, dengan langkah kaki yang dihentakan membuat suara tersebut terdengar nyaring ke tempat aku berdiri, seketika aku secara spontan mengambil obor yang ada didekatku dan kemudian aku berlari ke arah kiri, ke arah lorong gelap yang tidak ada cahaya sama sekali.
Tap tap tap
Aku berlari sekuat tenaga dengan obor yang aku bawa sebagai penerang, namun seakan-akan lorong tersebut adalah lorong tanpa ujung, aku terus-menerus berlari tanpa tahu kapan aku harus berhenti, suara-suara itu masih terdengar dan kali ini seperti mengejarku dari belakang, sesaat aku melihat kebelakang sembari berlari, namun tidak ada siapa siapa, dan ketika aku berbalik secara tiba-tiba,
Duag
Aku menabrak sesuatu, sesuatu yang besar yang menghalangi jalanku sehingga membuatku terjatuh, dengan obor yang masih di tangan aku mencoba menerangi sesuatu yang menghalangi ku itu. Aku sontak kaget karena apa yang aku lihat ternyata bukanlah manusia,
Ternyata di depanku adalah sosok tinggi besar yang menyeringai kepadaku, sosok yang terlihat besar dengan gigi tajam yang mencuat keluar, dia tertawa kecil dan kemudian membuka mulutnya secara lebar.
“HAHAHAHAHAHAHA.”
Suara itu terdengar sangat keras, suara yang tadinya terdengar di belakang ku kini berada tepat di depanku, dengan wajah yang menyeramkan dia berkata.
“ABDI SEKARANG GILIRANMU, DUA ORANG LAINYA SUDAH AKU MAKAN, DAN KAMU ADALAH ORANG KETIGA UNTUK AKU MAKAN.”
Aku merasa ketakutan, badanku tidak henti-hentinya gemetar, tanpa aku sadari keringat dingin pun bercucuran, juga kakiku seperti membeku, tidak bisa untuk melangkah. Aku hanya bisa melihat mulut makhluk itu membuka rahangnya yang besar, dengan gigi yang mencuat keluar, terlihat gigi yang dipenuhi dengan darah segar mendekat, seakan-akan akan melahapku.
Aku hanya bisa menutup mata dan menutupi kepala dengan tanganku, aku sudah merasa putus asa, mungkin ini adalah akhir dari hidupku, pandanganku mulai gelap sepertinya mulut dari makhluk itu sudah sangat dekat.
Dan akhirnya....
INDEX :
BAB 2 - 3
BAB 4 - 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
Diubah oleh jurigciwidey 17-10-2023 04:54
sandalGoreng dan 22 lainnya memberi reputasi
23
15.4K
Kutip
299
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
jurigciwidey
#15
Spoiler for BAB 7 - BANGUNAN:
Waktu sudah beranjak siang, sinar matahari menyinari Desa Cihalimun terlihat sangat terik, sinarnya terang membuat hawa di sekitarnya terasa hangat. Juga angin hutan yang berhembus pelan membuatnya sangat sejuk.
Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak.
Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak.
“Bu!” kataku.
“Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “
“Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu.
Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini.
Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saja, mengingat bahwa Desa Cihalimun tidak terlalu besar untuk aku telusuri.
Aku tahu Ibu pasti khawatir padaku. Namun aku juga tidak ingin melihat kesedihan Ibu yang berlarut-larut karena suaminya yang hilang dan belum kembali hingga saat ini.
Akhirnya aku membuka pintu rumah, dan berjalan kembali keluar rumah untuk mencari petunjuk tentang Bapak yang sudah beberapa hari ini menghilang.
Desa Cihalimun yang letaknya di dalam hutan yang lebat, namun di dalamnya terdiri dari tiga wilayah yang dipisahkan oleh hutan dan sungai, aku menyusuri jalanan desa yang tampak mulus apabila aku lihat pada siang hari.
Jalanan yang dibuat dari beton yang dicor dan dibentuk jalan yang lurus memanjang dari depan desa hingga ke belakang, dan berakhir di sebuah hutan keramat yang berbatasan langsung dengan desa.
tempat tinggalku yang selama ini ramai apalagi di siang hari kini tampak sepi, rumah-rumah besar yang berjejer rapi di kiri dan kanan yang terkesan mewah kini terlihat seperti tidak terurus. Bahkan beberapa noda darah dan cakaran terlihat membekas dari dinding tersebut.
Namun meskipun suasana tampak berbeda, masih ada beberapa orang yang berkegiatan di pada siang hari. Mereka berkegiatan seperti biasa layaknya mereka sudah terbiasa dengan apa yang terjadi di desa ini.
Terutama wilayah Wilaga yaitu wilayah keluarga besarku, yang hampir seluruh warga yang tinggal di wilayah ini berprofesi sebagai petani. Yang mau tidak mau harus berangkat ke ladang atau sawah setiap harinya.
Desa Cihalimun terdiri dari tiga keluarga besar yang hidup bersama-sama dan saling melengkapi satu sama lain, sehingga tercipta sebuah harmoni dari sistem yang dijalani dari desa tersebut.
Tiga keluarga ini mempunyai peran tersendiri, keluargaku berasal dari keluarga Wilaga. Keluarga yang letaknya paling depan dengan pintu masuk.
Banyak dari keluarga Wilaga yang berprofesi sebagai petani. Mereka memanfaatkan hasil alam dari lebatnya hutan untuk diambil sesuai kebutuhannya, tiap-tiap keluarga Wilaga mempunyai lahan garapan masing-masing yang dikelola oleh keluarganya secara turun-temurun.
Ada tomat, jagung, pisang, bayam, hingga beberapa sawah yang hasilnya bisa mencukupi untuk semua warga di desa hingga lima tahun mendatang, dan beberapa di antaranya mereka jual dengan membawanya ke jalan besar di hutan perbatasan.
Biasanya setiap pagi para pengepul berkumpul untuk mengambil hasil kebun keluarga Wilaga dan menjualnya ke kota.
Sedangkan apabila kita melewati wilayah keluarga Wilaga dan melewati sebuah sungai, kita masuk ke wilayah keluarga Tarmana.
Keluarga yang dikenal sebagai pekerja kasar di desa, semua bangunan yang ada di sini dikerjakan oleh orang-orang dari keluarga Tarmana. Ilmu yang mereka dapati secara turun-temurun membuat mereka mempunyai keahlian yang mumpuni.
Bahkan jujur saja, saat ini Desa Cihalimun tidak terjangkau listrik dari pemerintah. Namun dengan keahlian dari keluarga Tarmana, mereka sengaja membuat turbin listrik kecil dari sungai dan beberapa warga juga membeli solar panel untuk dipasangkan di rumah-rumah mereka.
Sehingga Desa Cihalimun bisa terang benderang meski berada di tengah hutan lebat tanpa bantuan sedikitpun dari Pemerintah.
Dan bagian terdalam dari Desa Cihalimun adalah keluarga Mandala, mereka dipercaya dari zaman dahulu untuk mengatur kehidupan di yang ada disni, sehingga seperti Kantor Desa, Sekolah, Puskesmas, dan tempat-tempat kegiatan lainnya dikelola oleh keluarga Mandala.
Salah satu pemimpin dari desa saat ini pun berasal dari keluarga Mandala yang menjabat secara turun-temurun. Mereka menjaga tradisi selama ratusan tahun hingga saat ini untuk menjaga beberapa tempat yang dikeramatkan yang berada di sekitar Desa.
Tempat keramat yang sering dipakai warga untuk menjalankan suatu tradisi turun-temurun yang sudah dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu.
Warga percaya bahwa tradisi itu akan menjaga mereka dan membuat mereka tetap makmur di setiap generasinya, dan terbukti Desa Cihalimun bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari pihak luar.
“Tempat ini sudah tidak seramai dulu,” pikirku.
Aku terus berjalan ke tempat yang akan aku tuju yang berada di luar, dekat sekali dengan persawahan tempat para warga melakukan kegiatan bertani selama ini.
Sebuah tempat berupa bangunan kosong yang dulunya menjadi tempat berkumpul dan melakukan suatu tradisi yang dilakukan oleh para warga dari zaman dahulu.
Bangunan yang letaknya tepat berada di dekat sungai, dekat dengan persawahan warga yang letaknya tidak jauh dari desa, namun karena kini ada gedung baru yang dibangun tepat di tengah-tengah.
Sehingga secara tidak langsung tradisi itu tidak dilakukan lagi di gedung tersebut, dan gedung itu dibiarkan begitu saja atas saran dari ketua desa.
“Kang punten, ari arah sawah teh kadieu nya? (Kang permisi, kalau arah ke sawah kesini ya?)” kataku kepada seseorang yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya.
Orang itu hanya mengangguk saja, tanpa menjawab apa yang aku tanyakan. Orang tersebut terlihat sangat linglung, dia terduduk lesu di depan rumahnya tanpa sedikitpun bergerak dari duduknya.
Aku kemudian belok ke jalan setapak dari jalan besar, jalan lurus yang sedikit menurun yang menghubungkan desa dengan persawahan warga. Tak berapa lama, terlihat sebuah bangunan usang yang penuh ditumbuhi semak belukar di sekitarnya.
Bangunan itu tampak kosong, bangunan dengan dua lantai dengan beberapa jendela yang ditutupi oleh bilik bambu, aku tidak terlihat pintu masuk sama sekali dari bangunan itu.
Karena banyak tumbuhan liar di sekitar halaman bangunan itu, yang menandakan bahwa sudah lama bangunan ini tidak dihuni oleh manusia.
“Apakah Bapak masuk kesini?” pikirku.
Aku seketika mencari-cari pintu masuk agar bisa masuk ke dalam bangunan itu, karena semak belukar yang menutupi bangunan itu tampak membuatku kesulitan untuk melangkah saking lebatnya.
Namun aku tidak sadar ketika aku sedang mencari pintu masuk, seperti beberapa pasang mata yang melihatku dari dalam bangunan itu, beberapa pasang mata yang muncul dari sela-sela bilik bambu yang tampak usang termakan usia dari waktu yang lama.
Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak.
Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak.
“Bu!” kataku.
“Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “
“Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu.
Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini.
Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saja, mengingat bahwa Desa Cihalimun tidak terlalu besar untuk aku telusuri.
Aku tahu Ibu pasti khawatir padaku. Namun aku juga tidak ingin melihat kesedihan Ibu yang berlarut-larut karena suaminya yang hilang dan belum kembali hingga saat ini.
Akhirnya aku membuka pintu rumah, dan berjalan kembali keluar rumah untuk mencari petunjuk tentang Bapak yang sudah beberapa hari ini menghilang.
Desa Cihalimun yang letaknya di dalam hutan yang lebat, namun di dalamnya terdiri dari tiga wilayah yang dipisahkan oleh hutan dan sungai, aku menyusuri jalanan desa yang tampak mulus apabila aku lihat pada siang hari.
Jalanan yang dibuat dari beton yang dicor dan dibentuk jalan yang lurus memanjang dari depan desa hingga ke belakang, dan berakhir di sebuah hutan keramat yang berbatasan langsung dengan desa.
tempat tinggalku yang selama ini ramai apalagi di siang hari kini tampak sepi, rumah-rumah besar yang berjejer rapi di kiri dan kanan yang terkesan mewah kini terlihat seperti tidak terurus. Bahkan beberapa noda darah dan cakaran terlihat membekas dari dinding tersebut.
Namun meskipun suasana tampak berbeda, masih ada beberapa orang yang berkegiatan di pada siang hari. Mereka berkegiatan seperti biasa layaknya mereka sudah terbiasa dengan apa yang terjadi di desa ini.
Terutama wilayah Wilaga yaitu wilayah keluarga besarku, yang hampir seluruh warga yang tinggal di wilayah ini berprofesi sebagai petani. Yang mau tidak mau harus berangkat ke ladang atau sawah setiap harinya.
Desa Cihalimun terdiri dari tiga keluarga besar yang hidup bersama-sama dan saling melengkapi satu sama lain, sehingga tercipta sebuah harmoni dari sistem yang dijalani dari desa tersebut.
Tiga keluarga ini mempunyai peran tersendiri, keluargaku berasal dari keluarga Wilaga. Keluarga yang letaknya paling depan dengan pintu masuk.
Banyak dari keluarga Wilaga yang berprofesi sebagai petani. Mereka memanfaatkan hasil alam dari lebatnya hutan untuk diambil sesuai kebutuhannya, tiap-tiap keluarga Wilaga mempunyai lahan garapan masing-masing yang dikelola oleh keluarganya secara turun-temurun.
Ada tomat, jagung, pisang, bayam, hingga beberapa sawah yang hasilnya bisa mencukupi untuk semua warga di desa hingga lima tahun mendatang, dan beberapa di antaranya mereka jual dengan membawanya ke jalan besar di hutan perbatasan.
Biasanya setiap pagi para pengepul berkumpul untuk mengambil hasil kebun keluarga Wilaga dan menjualnya ke kota.
Sedangkan apabila kita melewati wilayah keluarga Wilaga dan melewati sebuah sungai, kita masuk ke wilayah keluarga Tarmana.
Keluarga yang dikenal sebagai pekerja kasar di desa, semua bangunan yang ada di sini dikerjakan oleh orang-orang dari keluarga Tarmana. Ilmu yang mereka dapati secara turun-temurun membuat mereka mempunyai keahlian yang mumpuni.
Bahkan jujur saja, saat ini Desa Cihalimun tidak terjangkau listrik dari pemerintah. Namun dengan keahlian dari keluarga Tarmana, mereka sengaja membuat turbin listrik kecil dari sungai dan beberapa warga juga membeli solar panel untuk dipasangkan di rumah-rumah mereka.
Sehingga Desa Cihalimun bisa terang benderang meski berada di tengah hutan lebat tanpa bantuan sedikitpun dari Pemerintah.
Dan bagian terdalam dari Desa Cihalimun adalah keluarga Mandala, mereka dipercaya dari zaman dahulu untuk mengatur kehidupan di yang ada disni, sehingga seperti Kantor Desa, Sekolah, Puskesmas, dan tempat-tempat kegiatan lainnya dikelola oleh keluarga Mandala.
Salah satu pemimpin dari desa saat ini pun berasal dari keluarga Mandala yang menjabat secara turun-temurun. Mereka menjaga tradisi selama ratusan tahun hingga saat ini untuk menjaga beberapa tempat yang dikeramatkan yang berada di sekitar Desa.
Tempat keramat yang sering dipakai warga untuk menjalankan suatu tradisi turun-temurun yang sudah dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu.
Warga percaya bahwa tradisi itu akan menjaga mereka dan membuat mereka tetap makmur di setiap generasinya, dan terbukti Desa Cihalimun bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari pihak luar.
“Tempat ini sudah tidak seramai dulu,” pikirku.
Aku terus berjalan ke tempat yang akan aku tuju yang berada di luar, dekat sekali dengan persawahan tempat para warga melakukan kegiatan bertani selama ini.
Sebuah tempat berupa bangunan kosong yang dulunya menjadi tempat berkumpul dan melakukan suatu tradisi yang dilakukan oleh para warga dari zaman dahulu.
Bangunan yang letaknya tepat berada di dekat sungai, dekat dengan persawahan warga yang letaknya tidak jauh dari desa, namun karena kini ada gedung baru yang dibangun tepat di tengah-tengah.
Sehingga secara tidak langsung tradisi itu tidak dilakukan lagi di gedung tersebut, dan gedung itu dibiarkan begitu saja atas saran dari ketua desa.
“Kang punten, ari arah sawah teh kadieu nya? (Kang permisi, kalau arah ke sawah kesini ya?)” kataku kepada seseorang yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya.
Orang itu hanya mengangguk saja, tanpa menjawab apa yang aku tanyakan. Orang tersebut terlihat sangat linglung, dia terduduk lesu di depan rumahnya tanpa sedikitpun bergerak dari duduknya.
Aku kemudian belok ke jalan setapak dari jalan besar, jalan lurus yang sedikit menurun yang menghubungkan desa dengan persawahan warga. Tak berapa lama, terlihat sebuah bangunan usang yang penuh ditumbuhi semak belukar di sekitarnya.
Bangunan itu tampak kosong, bangunan dengan dua lantai dengan beberapa jendela yang ditutupi oleh bilik bambu, aku tidak terlihat pintu masuk sama sekali dari bangunan itu.
Karena banyak tumbuhan liar di sekitar halaman bangunan itu, yang menandakan bahwa sudah lama bangunan ini tidak dihuni oleh manusia.
“Apakah Bapak masuk kesini?” pikirku.
Aku seketika mencari-cari pintu masuk agar bisa masuk ke dalam bangunan itu, karena semak belukar yang menutupi bangunan itu tampak membuatku kesulitan untuk melangkah saking lebatnya.
Namun aku tidak sadar ketika aku sedang mencari pintu masuk, seperti beberapa pasang mata yang melihatku dari dalam bangunan itu, beberapa pasang mata yang muncul dari sela-sela bilik bambu yang tampak usang termakan usia dari waktu yang lama.
viensi dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas