- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#49
PART 22 (ENDING)
💐Bab 22 (ending)💐
Enam tahun telah berlalu, dan aku masih di sini bersama Alisha. Menjalani hidup tanpa Devan, dan menyerahkan semua urusan kepada Allah. Rasanya ini jauh lebih menenangkan.
Sejak usia Alisha menginjak empat tahun, aku memutuskan kembali menempati rumah Devan. Walaupun saat bekerja, aku tetap saja menitipkan gadis cantik itu ke rumah Mama. Sekarang Alisha sudah TK, aku yang selalu mengantar jemputnya. Setiap pulang sekolah, ia akan kubawa ke kantor.
Alisha juga rutin kuajak menemui Devan. Memberinya pengertian secara perlahan—tentang kondisi Devan—tidaklah mudah. Apalagi saat ia bertanya kenapa ayahnya tidak tinggal dengan kami. Rasanya lidah ini tak mampu menjawabnya. Namun, lama kelamaan pertanyaan itu tak pernah lagi ia lontarkan. Setidaknya itu mengurangi bebanku.
Aku juga sering datang ke rumah Ayah membawa Alisha, karena ia harus kenal kakek dan neneknya. Sayangnya saat aku datang, Ayah memilih menghindar, hanya Mami yang menyambut dan menemani. Biarlah, yang jelas aku akan tetap menghormati segala keputusannya. Tugasku sebagai anak hanya berbakti.
Tidak ada yang spesial selama bertahun-bertahun. Sampai suatu sore, kedatangan Mbak Rima begitu membuatku terkejut. Kami berpelukan sangat erat. Haru dan tangis menyeruak hingga mata jadi sembab. Kukenalkan Alisha dengannya. Sekejap saja mereka sudah langsung akrab. Mbak Rima memang pintar mengambil hati orang lain.
Kami bercerita banyak hal, hingga tak terasa malam menjelang. Kami pun memasak bersama, sambil bercerita tentang awal kami kenal dan tentang cintaku pada Devan. Tawa dalam tangis menghiasi obrolan.
Kata Mbak Rima, orang tuanya sudah meninggal, dan ia ingin kembali bekerja denganku. Tentu saja aku bahagia. Selama ini aku hanya menggaji seseorang untuk membersihkan rumah jika diperlukan.
Kehadiran Mbak Rima membuat hidupku kembali berwarna. Aku memiliki teman berbagi, ketika ada hal yang tak mampu kuceritakan pada Mami atau Mama. Devan pun sangat bahagia saat berita itu kusampaikan padanya. Katanya, ia tak perlu khawatir lagi dengan istri dan anaknya.
***
Ini adalah Lebaran ke sekian tanpa Devan. Bedanya kali ini ada Mbak Rima bersamaku, sehingga kesepian itu sedikit terusir.
Selepas shalat Ied, kami bertiga duduk di ruang makan, bersiap menikmati ketupat rendang buatan Mbak Rima. Di saat itulah terdengar bunyi bel. Mbak Rima hendak berdiri, tetapi kucegah.
“Biar saya saja, Mbak!” ucapku seraya memasang jilbab. “Alisha, kalau sudah lapar makan saja dulu sama Bu Rima, ya!”
“Oke, Bunda.” Wajah cantik putriku begitu semringah.
Lalu aku pun bergegas menuju pintu dan membukanya.
Seketika jantungku seakan berhenti berdetak, lidahku kelu, gemetar rasa kaki ini. Aku seakan tak percaya dengan penglihatanku sendiri.
Senyuman teduh itu menghipnotis, hingga akhirnya aku menghambur ke pelukannya.
“Bang Dev,” bisikku sambil menangis. “Aku tidak sedang bermimpi, bukan?”
Tangan kokohnya membalas pelukan. “Tidak, Sayang, kamu tidak sedang bermimpi.”
Aku larut dalam dekapan Devan, hingga aku tidak menyadari kalau orang tua dan mertuaku juga hadir di sini.
“Ayah,” gumamku lirih. Kurenggangkan pelukan, lalu mendekat pada Ayah yang tengah menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Ayah membingkai wajahku dengan kedua tangannya. Kemudian mencium dahiku, dan membawaku dalam pelukannya.
“Maafkan atas keegoisan Ayah, Nak!” bisiknya. “Terkadang, dendam bisa membutakan hati. Ayah minta maaf.”
“Tidak, Ayah tidak salah. Ayah berhak marah, Ayah berhak menghukum aku dan Bang Dev seperti ini.” Aku menangis tergugu.
“Ayah sadar, kalau kamu juga butuh kebahagiaan. Kekuatan cintamu pada Devan telah membuka mata hati Ayah. Sekali lagi maafkan ayahmu ini, Pu!”
“Iya, Ayah, aku juga minta maaf. Terima kasih, terima kasih telah mengembalikan Devan ke sisiku.”
Ayah mengangguk, mengecup puncak kepalaku berulang kali. “Ayah mencintaimu, Pu.”
“Aku juga mencintai Ayah.”
Lama kami berpelukan, sampai akhirnya disadarakan oleh Mami yang juga ingin memelukku.
Terima kasih, ya Allah, ini adalah anugerah Idul Fitri terindah seumur hidupku.
***
“Tugas saya sudah selesai, dan ….” Rafi menaruh sebuah undangan di meja tamu. “Saya akan menikah minggu depan,” imbuhnya.
“Tugas apa? Kamu mau mengundurkan diri?” tanyaku antusias.
Rafi tergelak. “Bukan, Bu. Maksud saya, karena Pak Devan sudah kembali, maka … saya tidak perlu lagi menjaga dan mengkhawatirkan Bu Puja. Saya akhirnya menerima jodoh yang dipilihkan orang tua saya.”
“Kamu … jadi … jadi selama ini kamu belum menikah demi saya?”
Rafi mengangguk sambil tersenyum. “Jujur, Bu, bisa menjaga Ibu saja sudah sangat membahagiakan saya.”
Kalimat itu terdengar aneh, tetapi aku tak ingin ia memperjelas. Apalagi Devan yang tadinya masih di kamar mandi akhirnya muncul. Ia duduk di sampingku.
“Kamu mau menikah, Raf?” tanya Devan sambil meraih undangan di meja.
“Iya, Pak, insyaa Allah.”
“Wah, selamat, ya! Kami pasti datang, iya, kan Pu?” Devan menatapku.
“Tentu saja.”
“Maaf, jika karena menjaga Puja … kamu …”
“Ah, tidak, Pak. Tidak apa-apa. Jodoh saya juga baru ketemu sekarang,” sahutnya dengan nada becanda.
Devan tertawa kecil. Kutinggalkan mereka untuk menyiapkan makan siang. Tak ingin mendengarkan obrolan dua pria itu.
***
“Seandainya dulu aku memutuskan menerima permintaanmu untuk bercerai dan … menikah dengan Rafi, apa yang akan Abang lakukan?” tanyaku iseng.
Devan yang tengah asyik di depan laptop menoleh. “Abang tahu, kamu tidak akan pernah mau melakukan itu,” jawabnya cuek. Lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
“Udah di sini pun Abang masih saja tidak mengacuhkanku.” Aku bersungut.
“Kamu mau apa, sih, Pu? Ngomong itu yang jelas, jangan nyerempet ke sana-sini!” tampiknya.
Aku bergelayut manja di lengan Devan. Mengelus jenggot yang kini menghiasi dagunya.
“Aku … mau ….”
“Mau apa? Udah malam lho ini, jangan minta yang aneh-aneh, ya!” Ia beralih mengacak rambutku.
“Malam-malam gini, bikin anak kayaknya nggak aneh ‘kan?”
Devan terdiam, sebelum akhirnya ia mencubit pipiku. “Dasar!”
Pria itu mematikan laptop.
“Aku cuma becanda,” ucapku terkekeh. Devan yang sudah hendak berdiri mendelik tajam.
“Puja, Abang ini lagi kerja lho, kamu malah becanda!”
“Jangan marah dulu!” Kukeluarkan sesuatu dari saku piyama, dan menyodorkan sebuah benda pipih kecil dengan dua garis merah di atasnya.
Devan terbelalak, menatapku seakan tak percaya. “Puja, kamu ….”
Aku mengangguk. “Iya, aku hamil, udah empat minggu kata dokter. Alisha akan segera punya adik. Kuharap, kali ini … kita dikasih anak laki-laki.”
“Aamiin. Ya Allah, maasyaa Allah!” Devan menarikku ke dalam dekapannya. Ia mencium dahi, kedua mata, hidung, dan ….
“Eits!” cegahku. Devan menghentikan perbuatannya.
“Kenapa?”
“Kata dokter, kandungan kedua ini aku tidak boleh banyak aktivitas. Mengingat riwayat kandungan pertama yang juga sedikit lemah. Jadi … untuk aktivitas pribadi kita … harus hati-hati dan nggak boleh sering-sering,” bisikku.
Devan tampak berpikir. “Ini sudah seminggu sejak kita melakukannya, jadi malam ini … pasti boleh, ‘kan?”
Aku membalas tatapannya, kemudian mengangguk sambil tersenyum.
***
Ketika ujian cintamu sangat berat, dan engkau memilih bertahan, maka di situlah letak cinta yang sesungguhnya. Saling menemani dan menguatkan dalam suka dan duka.
***
TAMAT
Terima kasih sudah membaca cerita ini
💐Bab 22 (ending)💐
Enam tahun telah berlalu, dan aku masih di sini bersama Alisha. Menjalani hidup tanpa Devan, dan menyerahkan semua urusan kepada Allah. Rasanya ini jauh lebih menenangkan.
Sejak usia Alisha menginjak empat tahun, aku memutuskan kembali menempati rumah Devan. Walaupun saat bekerja, aku tetap saja menitipkan gadis cantik itu ke rumah Mama. Sekarang Alisha sudah TK, aku yang selalu mengantar jemputnya. Setiap pulang sekolah, ia akan kubawa ke kantor.
Alisha juga rutin kuajak menemui Devan. Memberinya pengertian secara perlahan—tentang kondisi Devan—tidaklah mudah. Apalagi saat ia bertanya kenapa ayahnya tidak tinggal dengan kami. Rasanya lidah ini tak mampu menjawabnya. Namun, lama kelamaan pertanyaan itu tak pernah lagi ia lontarkan. Setidaknya itu mengurangi bebanku.
Aku juga sering datang ke rumah Ayah membawa Alisha, karena ia harus kenal kakek dan neneknya. Sayangnya saat aku datang, Ayah memilih menghindar, hanya Mami yang menyambut dan menemani. Biarlah, yang jelas aku akan tetap menghormati segala keputusannya. Tugasku sebagai anak hanya berbakti.
Tidak ada yang spesial selama bertahun-bertahun. Sampai suatu sore, kedatangan Mbak Rima begitu membuatku terkejut. Kami berpelukan sangat erat. Haru dan tangis menyeruak hingga mata jadi sembab. Kukenalkan Alisha dengannya. Sekejap saja mereka sudah langsung akrab. Mbak Rima memang pintar mengambil hati orang lain.
Kami bercerita banyak hal, hingga tak terasa malam menjelang. Kami pun memasak bersama, sambil bercerita tentang awal kami kenal dan tentang cintaku pada Devan. Tawa dalam tangis menghiasi obrolan.
Kata Mbak Rima, orang tuanya sudah meninggal, dan ia ingin kembali bekerja denganku. Tentu saja aku bahagia. Selama ini aku hanya menggaji seseorang untuk membersihkan rumah jika diperlukan.
Kehadiran Mbak Rima membuat hidupku kembali berwarna. Aku memiliki teman berbagi, ketika ada hal yang tak mampu kuceritakan pada Mami atau Mama. Devan pun sangat bahagia saat berita itu kusampaikan padanya. Katanya, ia tak perlu khawatir lagi dengan istri dan anaknya.
***
Ini adalah Lebaran ke sekian tanpa Devan. Bedanya kali ini ada Mbak Rima bersamaku, sehingga kesepian itu sedikit terusir.
Selepas shalat Ied, kami bertiga duduk di ruang makan, bersiap menikmati ketupat rendang buatan Mbak Rima. Di saat itulah terdengar bunyi bel. Mbak Rima hendak berdiri, tetapi kucegah.
“Biar saya saja, Mbak!” ucapku seraya memasang jilbab. “Alisha, kalau sudah lapar makan saja dulu sama Bu Rima, ya!”
“Oke, Bunda.” Wajah cantik putriku begitu semringah.
Lalu aku pun bergegas menuju pintu dan membukanya.
Seketika jantungku seakan berhenti berdetak, lidahku kelu, gemetar rasa kaki ini. Aku seakan tak percaya dengan penglihatanku sendiri.
Senyuman teduh itu menghipnotis, hingga akhirnya aku menghambur ke pelukannya.
“Bang Dev,” bisikku sambil menangis. “Aku tidak sedang bermimpi, bukan?”
Tangan kokohnya membalas pelukan. “Tidak, Sayang, kamu tidak sedang bermimpi.”
Aku larut dalam dekapan Devan, hingga aku tidak menyadari kalau orang tua dan mertuaku juga hadir di sini.
“Ayah,” gumamku lirih. Kurenggangkan pelukan, lalu mendekat pada Ayah yang tengah menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Ayah membingkai wajahku dengan kedua tangannya. Kemudian mencium dahiku, dan membawaku dalam pelukannya.
“Maafkan atas keegoisan Ayah, Nak!” bisiknya. “Terkadang, dendam bisa membutakan hati. Ayah minta maaf.”
“Tidak, Ayah tidak salah. Ayah berhak marah, Ayah berhak menghukum aku dan Bang Dev seperti ini.” Aku menangis tergugu.
“Ayah sadar, kalau kamu juga butuh kebahagiaan. Kekuatan cintamu pada Devan telah membuka mata hati Ayah. Sekali lagi maafkan ayahmu ini, Pu!”
“Iya, Ayah, aku juga minta maaf. Terima kasih, terima kasih telah mengembalikan Devan ke sisiku.”
Ayah mengangguk, mengecup puncak kepalaku berulang kali. “Ayah mencintaimu, Pu.”
“Aku juga mencintai Ayah.”
Lama kami berpelukan, sampai akhirnya disadarakan oleh Mami yang juga ingin memelukku.
Terima kasih, ya Allah, ini adalah anugerah Idul Fitri terindah seumur hidupku.
***
“Tugas saya sudah selesai, dan ….” Rafi menaruh sebuah undangan di meja tamu. “Saya akan menikah minggu depan,” imbuhnya.
“Tugas apa? Kamu mau mengundurkan diri?” tanyaku antusias.
Rafi tergelak. “Bukan, Bu. Maksud saya, karena Pak Devan sudah kembali, maka … saya tidak perlu lagi menjaga dan mengkhawatirkan Bu Puja. Saya akhirnya menerima jodoh yang dipilihkan orang tua saya.”
“Kamu … jadi … jadi selama ini kamu belum menikah demi saya?”
Rafi mengangguk sambil tersenyum. “Jujur, Bu, bisa menjaga Ibu saja sudah sangat membahagiakan saya.”
Kalimat itu terdengar aneh, tetapi aku tak ingin ia memperjelas. Apalagi Devan yang tadinya masih di kamar mandi akhirnya muncul. Ia duduk di sampingku.
“Kamu mau menikah, Raf?” tanya Devan sambil meraih undangan di meja.
“Iya, Pak, insyaa Allah.”
“Wah, selamat, ya! Kami pasti datang, iya, kan Pu?” Devan menatapku.
“Tentu saja.”
“Maaf, jika karena menjaga Puja … kamu …”
“Ah, tidak, Pak. Tidak apa-apa. Jodoh saya juga baru ketemu sekarang,” sahutnya dengan nada becanda.
Devan tertawa kecil. Kutinggalkan mereka untuk menyiapkan makan siang. Tak ingin mendengarkan obrolan dua pria itu.
***
“Seandainya dulu aku memutuskan menerima permintaanmu untuk bercerai dan … menikah dengan Rafi, apa yang akan Abang lakukan?” tanyaku iseng.
Devan yang tengah asyik di depan laptop menoleh. “Abang tahu, kamu tidak akan pernah mau melakukan itu,” jawabnya cuek. Lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
“Udah di sini pun Abang masih saja tidak mengacuhkanku.” Aku bersungut.
“Kamu mau apa, sih, Pu? Ngomong itu yang jelas, jangan nyerempet ke sana-sini!” tampiknya.
Aku bergelayut manja di lengan Devan. Mengelus jenggot yang kini menghiasi dagunya.
“Aku … mau ….”
“Mau apa? Udah malam lho ini, jangan minta yang aneh-aneh, ya!” Ia beralih mengacak rambutku.
“Malam-malam gini, bikin anak kayaknya nggak aneh ‘kan?”
Devan terdiam, sebelum akhirnya ia mencubit pipiku. “Dasar!”
Pria itu mematikan laptop.
“Aku cuma becanda,” ucapku terkekeh. Devan yang sudah hendak berdiri mendelik tajam.
“Puja, Abang ini lagi kerja lho, kamu malah becanda!”
“Jangan marah dulu!” Kukeluarkan sesuatu dari saku piyama, dan menyodorkan sebuah benda pipih kecil dengan dua garis merah di atasnya.
Devan terbelalak, menatapku seakan tak percaya. “Puja, kamu ….”
Aku mengangguk. “Iya, aku hamil, udah empat minggu kata dokter. Alisha akan segera punya adik. Kuharap, kali ini … kita dikasih anak laki-laki.”
“Aamiin. Ya Allah, maasyaa Allah!” Devan menarikku ke dalam dekapannya. Ia mencium dahi, kedua mata, hidung, dan ….
“Eits!” cegahku. Devan menghentikan perbuatannya.
“Kenapa?”
“Kata dokter, kandungan kedua ini aku tidak boleh banyak aktivitas. Mengingat riwayat kandungan pertama yang juga sedikit lemah. Jadi … untuk aktivitas pribadi kita … harus hati-hati dan nggak boleh sering-sering,” bisikku.
Devan tampak berpikir. “Ini sudah seminggu sejak kita melakukannya, jadi malam ini … pasti boleh, ‘kan?”
Aku membalas tatapannya, kemudian mengangguk sambil tersenyum.
***
Ketika ujian cintamu sangat berat, dan engkau memilih bertahan, maka di situlah letak cinta yang sesungguhnya. Saling menemani dan menguatkan dalam suka dan duka.
***
TAMAT
Terima kasih sudah membaca cerita ini
0