- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#48
PART 21
💐Bab 21💐
Satu minggu sejak aku kembali dari rumah sakit, Rafi datang menjenguk. Membawa kado dan sekeranjang buah berikut seikat mawar. Ditemani Mama, aku menemuinya di ruang tamu.
“Bagaimana dengan kantor? Apakah ada masalah?” tanyaku setelah berbasa-basi sejenak.
“Sejauh ini aman, Bu. Bu Puja tidak usah khawatir, saya menjalankan semua sesuai apa yang biasa Ibu jalankan,” jawabnya sambil menunduk.
“Kamu ini, Pu, baru juga lahiran udah nanyain urusan kantor,” timpal Mama.
Aku tersenyum. “Aku hanya tidak ingin … amanah Bang Dev ada yang menyia-nyiakannya, Ma.”
“Iya, Nak, Mama paham. Oh, ya, sebentar Mama tinggal ke belakang. Mau lihat Mbak Fani udah bikin minum apa belum.” Mama bangkit dari duduk.
“Baik, Tante.” Rafi menyahut penuh hormat.
Mama pun berlalu. Suasana jadi mendadak hening. Entah mengapa, aku dan Rafi seolah kehilangan sesuatu untuk dibahas.
“Bu Puja … saya … saya boleh lihat bayinya?” pintanya memecah keheningan.
“Boleh, tapi dia baru saja tidur. Semalam dia kurang tidur, nangis terus.”
“Oh, kalau begitu lain kali saja, kasihan nanti kalau dia terbangun. Bu Puja juga terlihat lelah, ya. Maaf, kalau saya jadi mengganggu,” sesalnya.
Aku tertawa kecil. “Kamu kenapa, sih? Jadi sok sungkan begitu?”
Pria itu menggaruk tengkuk yang aku yakin itu tidak gatal sama sekali.
“Bukan begitu, Bu. Saya paham kok, lelahnya ibu baru itu seperti apa.”
“Serius? Jadi kamu pernah melahirkan?”
Rafi terdiam, lalu tawanya pecah. Mau tak mau aku pun ikut tertawa.
“Maksud saya bukan begitu, Bu!”
“Iya, iya, saya paham. Bercanda saja, kok!” Aku mengibaskan tangan. “Oh, ya, Raf … apa … saya terlihat gendut?” tanyaku dengan nada serius.
Rafi melirikku sebentar, lantas ia menggeleng.
“Jangan bohong!”’
Rafi tampak gugup. “Sedikit saja, kok, Bu.” Ia mengisyaratkan dengan ujung jari telunjuk.
“Tuh kan kamu akhirnya mengakui!” Tawa kami kembali menggema ke setiap sudut ruangan. Sudah lama aku tidak tertawa selepas ini. Apalagi sejak Devan menjadi tahanan.
Tawaku langsung terhenti begitu teringat lelaki itu.
Devan, apa kabar dia hari ini?
Aku terdiam saat merasakan mata mulai mengembun.
“Ibu baik-baik saja?” tanya Rafi cemas.
Cepat kususut sudut mata sebelum ia tumpah. “Iya, saya baik-baik saja.”
“Pak Devan?” tebaknya.
Aku menatapnya sekilas, lalu mengangguk. “Hanya dia yang bisa membuat saya menangis, Raf.”
Pria itu bergeming.
“Saya boleh minta tolong?”
“Apa saja akan saya lakukan buat Bu Puja.”
“Jangan menggombali saya,” balasku sambil mendelik. Membuat pria itu kembali tertawa.
“Saya ingin ke rumah orang tua saya.”
“Ibu mau saya antar?”
Aku mengangguk. “Mertua saya bukannya tidak mau mengantar, hanya saja mereka belum siap bertemu orang tua saya. Sebab hingga detik ini … orang tua saya belum bisa menerima apa yang telah dilakukan Pak Devan.”
“Saya paham, Bu. Kapan Bu Puja mau saya antar?”
“Saya akan minta izin dulu sama mertua saya, nanti saya akan telepon kamu lagi.”
“Baik, kalau begitu. Saya siap kapan pun Ibu butuh saya,” tegasnya.
“Aduuuh, maaf, ya Nak Rafi. Jadi lama menunggu.” Tiba-tiba Mama datang dengan nampan berisi secangkir teh hangat.
“Tidak apa-apa, Tante.”
“Siapa suruh dia datang pagi-pagi, ya, Ma. Nggak tahu orang lagi repot juga,” celetukku.
Mama dan Rafi tertawa.
“Ayo silahkan diminum. Nak Rafi sudah sarapan? Kebetulan Puja belum sarapan, kita sarapan bareng, yuk!”
Ajakan Mama membuatku sedikit mengernyitkan dahi. Tidak biasanya.
Aku dan Rafi saling pandang, hanya beberapa detik sebelum sama-sama membuang pandangan.
“Mama apa-apaan, sih?” sungutku.
“Lho, memang benar ‘kan kamu belum sarapan?”
“Ayo, Bu Puja, saya temani!”
“Ayo, Pu, tunggu apa lagi?” Mama menyentuh tanganku. Mau tak mau aku mengiakan saja. Lalu kami bertiga menuju ruang makan.
Harusnya Devan yang duduk di kursi itu. Kursi di mana Rafi duduk saat ini. Namun, akankah hal itu terwujud, atau hanya dalam mimpi saja?
***
“Rafi sepertinya lelaki yang baik, ya, Pu?” ungkap Mama pelan setelah menyelimuti Alisha malam itu. Ia ikut duduk di karpet kamar, menemaniku yang tengah asyik merapikan baju-baju Alisha.
Aku tersenyum. “Iya, Ma, dia baik sekali. Selalu menjaga amanah Devan dengan baik, bahkan menjagaku penuh hormat. Semoga dia segera mendapatkan jodohnya. Pastinya dia akan mendapatkan perempuan yang baik, karena lelaki baik pastinya untuk perempuan yang baik.”
Mama menyentuh tanganku, sehingga refleks membuat kegiatanku terhenti. Tatapannya nanar.
“Pu,” ujarnya lirih. “Menikahlah dengan Rafi!”
Aku terperanjat. “Mama ngomong apa, sih?” tepisku tak suka dengan ucapannya.
“Mama serius. Hal ini sudah Mama bicarakan dengan Papa, begitu juga dengan Devan. Terus terang … Devan yang meminta itu.”
“Ma, jika memang aku ingin mengganti Devan, sudah dari dulu kutinggalkan dia.” Mataku mulai mengembun. Tenggorokan tersekat.
Mama menatapku sayu. “Mama tidak ingin kamu terzolimi, menunggu Devan tanpa kepastian. Dia tidak akan kembali ke sisi kita, Pu!”
“Apa Mama sangsi akan kebesaran Allah?” Air mataku mulai mengalir.
Wanita itu menggigit bibir bawahnya sembari menunduk.
“Tidak ada yang mustahil bagi Allah, Ma! Aku akan berusaha sekuat tenaga meruntuhkan keegoan orang tuaku. Setidaknya hukuman Devan diringankan. Aku yakin, mereka lama kelamaan akan luluh.”
Mama masih bergeming. Ia mulai terisak. Kupeluk tubuhnya.
“Mama nggak tahu harus bilang apa, Pu. Kamu … kamu terlalu banyak berkorban untuk Devan.”
“Ini adalah bukti betapa aku mencintai Devan bukan dalam keadaan senang saja, Ma. Suka duka harus bisa kuhadapi, dengan atau tanpa dia.”
Kurasakan tangan Mama semakin erat memeluk.
Aku memang harus kuat, Ma. Pengorbananku belum ada apa-apanya dibanding pengorbanan Devan demi melindungiku.
***
Masa nifasku berakhir kemarin. Aku pun menjalankan rencana yang sudah kususun sejak satu bulan lalu.
“Kita berangkat sekarang, Bu?” tanya Rafi.
Aku mengangguk. Alisha sudah berada dalam gendongan. Malam ini aku akan ke rumah Ayah, semoga mereka luluh saat melihat kehadiran Alisha. Mama dan Papa melepasku dengan sedikit ragu, tetapi setelah kuyakinkan, mereka akhirnya pasrah.
“Jaga Puja dan Alisha, ya, Raf!” titah Mama.
“Baik, Tante.”
Aku masuk ke mobil. Tak lama kami pun meninggalkan kediaman mertuaku.
Di tengah jalan tak henti kurapalkan doa dalam hati, agar Allah lembutkan hati kedua orang tuaku. Alisha terlelap dalam dekapan. Wajahnya yang begitu mirip dengan Devan, membuat sebuah rindu tiba-tiba membuncah di dada.
“Tunggulah, Nak, kita akan segera berkumpul dengan Ayah,” bisikku seraya mengecupnya.
“Kita sudah sampai, Bu!”
Ucapan Rafi membuatku terlempar dari lamunan. Ia bergegas turun dan membukakan pintu untukku.
“Kamu tunggu di mobil saja, ya, Raf!” titahku begitu kaki menginjak halaman rumah Ayah.
“Baik, Bu,” sahutnya patuh.
Kuhela napas dalam-dalam, sebelum melangkah naik ke teras berubin putih. Pintu besar itu tampak terbuka begitu saja. Sepertinya mereka tengah berada di ruang tamu.
Kuucap salam, Ayah dan Mami serempak menoleh dan langsung menjawabnya. Wajah Mami semringah melihatku di ambang pintu. Ia hendak bangkit, tetapi tangan Ayah menahannya. Terpaksa wanita itu duduk kembali.
“Ada keperluan apa kamu datang ke sini? Masih menganggap kami orang tuamu rupanya,” kata Ayah sinis.
Aku tersenyum, meskipun kata-kata itu cukup menggores kalbu. “Aku boleh masuk, Yah, Mi?”
Beberapa saat, hingga akhirnya Ayah memberi isyarat dengan tangan. Lega. Aku masuk dan duduk di sofa berseberangan dengan mereka. Mata Mami tak lepas dari Alisha. Perasaan wanita takkan bisa disembunyikan. Walau bagaimanapun, ini adalah cucu mereka.
“Cepat katakan tujuanmu datang ke sini!”
Lagi-lagi sikap dingin Ayah harus kuterima.
“Maaf, Ayah, Mami … kedatanganku masih dengan tujuan sama. Aku ingin ….”
“Percuma!” potong Ayah. “Aku tidak akan mengubah keputusanku.”
“Setidaknya demi aku … dan cucu Ayah … Alisha.”
“Berapa kali harus kukatakan, kalau itu bukan cucuku. Aku tidak akan sudi memiliki cucu dari orang yang sudah membunuh anakku sendiri, paham kamu!” hardiknya.
“Aku rela melakukan apa saja, asal Ayah sudi membebaskan Devan dari penjara.”
Ayah menatapku tajam.
“Apa pun … seberat apa pun … akan kulakukan.” Air mataku mulai menetes. “Aku mohon, Ayah!” Aku bangkit, lalu berlutut di depan Ayah. Pria itu membuang muka.
“Puja, bangun! Apa yang kamu lakukan?” Mami angkat suara. “Bang, apa salahnya kita mengalah, bukankah sudah cukup Devan merasakan di penjara selama sembilan bulan. Sudahlah, kasihan Puja. Sebagai ibunya, aku tidak tega melihat anakku seperti ini.” Mami ikut menangis.
Kemudian Ayah menghela napas. Suasana menjadi sunyi, hanya sesenggukanku yang masih terdengar.
“Baiklah, Ayah akan mengabulkan keinginanmu, tetapi dengan satu syarat,” ujar Ayah.
Mendengar pernyataan itu, sungguh hatiku menghangat. Akhirnya Allah membuka pintu hati Ayah.
“Apa pun syaratnya, insyaa Allah akan kulakukan, Yah!” ucapku penuh keyakinan. Kuusap air mata dengan punggung tangan.
“Duduklah di tempatmu kembali!” titahnya.
Dengan patuh aku bangkit dan duduk di tempat semula.
“Katakan syaratnya, Yah!” pintaku semringah. Kucium Alisha penuh haru.
“Setelah Devan bebas, kamu harus bercerai dengannya.”
Aku terbelalak. “Apa, Yah?”
“Hanya satu itu saja syaratnya,” tegas Ayah.
“Yah, sungguh … itu terlalu sulit. Jika saja semua harta yang kami miliki bisa menggantikan permintaan itu ….”
“Aku tidak butuh harta kalian! Aku hanya ingin kamu kembali ke rumah ini. Tanpa Devan … tanpa anakmu. Sudah, itu saja. Semua terserah padamu!”
Ayah pun berdiri, lalu ia beranjak meninggalkan ruang tamu.
“Ayah! Ayah, tunggu! Jangan seperti ini, Ayah! Lihatlah aku! Lihat juga cucumu! Ayah! Ayah!”
Pria itu tidak mengacuhkan. Aku kembali menangis, kali ini Mami memelukku ke dadanya. Sudah lama tak kurasakan pelukan ini. Begitu nyaman dan menenangkan. Ia juga mencium Alisha berkali-kali.
“Maaf, jika Mami tidak bisa berbuat sesuatu untukmu, Pu!” sesalnya di sela tangis.
Sebuah senyum tipis kuberikan pada Mami. Setidaknya, beliau telah membuka hatinya untukku dan juga Alisha.
“Kamu pikirkan baik-baik, lalu ambil keputusan yang menurutmu benar.” Mami mencium dahiku.
Aku hanya mengangguk sembari menahan rasa sesak di rongga dada.
Tak lama kemudian aku pun pamit untuk pulang.
“Mami tahu, kamu akan memutuskan dengan bijak demi kebahagiaan orang yang kamu cintai.” Begitu kata Mami saat ia mengantarku ke mobil.
Bagaimana mungkin aku harus meninggalkan anak dan suamiku? Meskipun kejahatan Devan tak termaafkan, tetapi tak bisakah Ayah memandang sedikit saja bahagia untukku? Bukankah Devan sudah bertaubat? Tidak cukupkah semuanya itu?
***
💐Bab 21💐
Satu minggu sejak aku kembali dari rumah sakit, Rafi datang menjenguk. Membawa kado dan sekeranjang buah berikut seikat mawar. Ditemani Mama, aku menemuinya di ruang tamu.
“Bagaimana dengan kantor? Apakah ada masalah?” tanyaku setelah berbasa-basi sejenak.
“Sejauh ini aman, Bu. Bu Puja tidak usah khawatir, saya menjalankan semua sesuai apa yang biasa Ibu jalankan,” jawabnya sambil menunduk.
“Kamu ini, Pu, baru juga lahiran udah nanyain urusan kantor,” timpal Mama.
Aku tersenyum. “Aku hanya tidak ingin … amanah Bang Dev ada yang menyia-nyiakannya, Ma.”
“Iya, Nak, Mama paham. Oh, ya, sebentar Mama tinggal ke belakang. Mau lihat Mbak Fani udah bikin minum apa belum.” Mama bangkit dari duduk.
“Baik, Tante.” Rafi menyahut penuh hormat.
Mama pun berlalu. Suasana jadi mendadak hening. Entah mengapa, aku dan Rafi seolah kehilangan sesuatu untuk dibahas.
“Bu Puja … saya … saya boleh lihat bayinya?” pintanya memecah keheningan.
“Boleh, tapi dia baru saja tidur. Semalam dia kurang tidur, nangis terus.”
“Oh, kalau begitu lain kali saja, kasihan nanti kalau dia terbangun. Bu Puja juga terlihat lelah, ya. Maaf, kalau saya jadi mengganggu,” sesalnya.
Aku tertawa kecil. “Kamu kenapa, sih? Jadi sok sungkan begitu?”
Pria itu menggaruk tengkuk yang aku yakin itu tidak gatal sama sekali.
“Bukan begitu, Bu. Saya paham kok, lelahnya ibu baru itu seperti apa.”
“Serius? Jadi kamu pernah melahirkan?”
Rafi terdiam, lalu tawanya pecah. Mau tak mau aku pun ikut tertawa.
“Maksud saya bukan begitu, Bu!”
“Iya, iya, saya paham. Bercanda saja, kok!” Aku mengibaskan tangan. “Oh, ya, Raf … apa … saya terlihat gendut?” tanyaku dengan nada serius.
Rafi melirikku sebentar, lantas ia menggeleng.
“Jangan bohong!”’
Rafi tampak gugup. “Sedikit saja, kok, Bu.” Ia mengisyaratkan dengan ujung jari telunjuk.
“Tuh kan kamu akhirnya mengakui!” Tawa kami kembali menggema ke setiap sudut ruangan. Sudah lama aku tidak tertawa selepas ini. Apalagi sejak Devan menjadi tahanan.
Tawaku langsung terhenti begitu teringat lelaki itu.
Devan, apa kabar dia hari ini?
Aku terdiam saat merasakan mata mulai mengembun.
“Ibu baik-baik saja?” tanya Rafi cemas.
Cepat kususut sudut mata sebelum ia tumpah. “Iya, saya baik-baik saja.”
“Pak Devan?” tebaknya.
Aku menatapnya sekilas, lalu mengangguk. “Hanya dia yang bisa membuat saya menangis, Raf.”
Pria itu bergeming.
“Saya boleh minta tolong?”
“Apa saja akan saya lakukan buat Bu Puja.”
“Jangan menggombali saya,” balasku sambil mendelik. Membuat pria itu kembali tertawa.
“Saya ingin ke rumah orang tua saya.”
“Ibu mau saya antar?”
Aku mengangguk. “Mertua saya bukannya tidak mau mengantar, hanya saja mereka belum siap bertemu orang tua saya. Sebab hingga detik ini … orang tua saya belum bisa menerima apa yang telah dilakukan Pak Devan.”
“Saya paham, Bu. Kapan Bu Puja mau saya antar?”
“Saya akan minta izin dulu sama mertua saya, nanti saya akan telepon kamu lagi.”
“Baik, kalau begitu. Saya siap kapan pun Ibu butuh saya,” tegasnya.
“Aduuuh, maaf, ya Nak Rafi. Jadi lama menunggu.” Tiba-tiba Mama datang dengan nampan berisi secangkir teh hangat.
“Tidak apa-apa, Tante.”
“Siapa suruh dia datang pagi-pagi, ya, Ma. Nggak tahu orang lagi repot juga,” celetukku.
Mama dan Rafi tertawa.
“Ayo silahkan diminum. Nak Rafi sudah sarapan? Kebetulan Puja belum sarapan, kita sarapan bareng, yuk!”
Ajakan Mama membuatku sedikit mengernyitkan dahi. Tidak biasanya.
Aku dan Rafi saling pandang, hanya beberapa detik sebelum sama-sama membuang pandangan.
“Mama apa-apaan, sih?” sungutku.
“Lho, memang benar ‘kan kamu belum sarapan?”
“Ayo, Bu Puja, saya temani!”
“Ayo, Pu, tunggu apa lagi?” Mama menyentuh tanganku. Mau tak mau aku mengiakan saja. Lalu kami bertiga menuju ruang makan.
Harusnya Devan yang duduk di kursi itu. Kursi di mana Rafi duduk saat ini. Namun, akankah hal itu terwujud, atau hanya dalam mimpi saja?
***
“Rafi sepertinya lelaki yang baik, ya, Pu?” ungkap Mama pelan setelah menyelimuti Alisha malam itu. Ia ikut duduk di karpet kamar, menemaniku yang tengah asyik merapikan baju-baju Alisha.
Aku tersenyum. “Iya, Ma, dia baik sekali. Selalu menjaga amanah Devan dengan baik, bahkan menjagaku penuh hormat. Semoga dia segera mendapatkan jodohnya. Pastinya dia akan mendapatkan perempuan yang baik, karena lelaki baik pastinya untuk perempuan yang baik.”
Mama menyentuh tanganku, sehingga refleks membuat kegiatanku terhenti. Tatapannya nanar.
“Pu,” ujarnya lirih. “Menikahlah dengan Rafi!”
Aku terperanjat. “Mama ngomong apa, sih?” tepisku tak suka dengan ucapannya.
“Mama serius. Hal ini sudah Mama bicarakan dengan Papa, begitu juga dengan Devan. Terus terang … Devan yang meminta itu.”
“Ma, jika memang aku ingin mengganti Devan, sudah dari dulu kutinggalkan dia.” Mataku mulai mengembun. Tenggorokan tersekat.
Mama menatapku sayu. “Mama tidak ingin kamu terzolimi, menunggu Devan tanpa kepastian. Dia tidak akan kembali ke sisi kita, Pu!”
“Apa Mama sangsi akan kebesaran Allah?” Air mataku mulai mengalir.
Wanita itu menggigit bibir bawahnya sembari menunduk.
“Tidak ada yang mustahil bagi Allah, Ma! Aku akan berusaha sekuat tenaga meruntuhkan keegoan orang tuaku. Setidaknya hukuman Devan diringankan. Aku yakin, mereka lama kelamaan akan luluh.”
Mama masih bergeming. Ia mulai terisak. Kupeluk tubuhnya.
“Mama nggak tahu harus bilang apa, Pu. Kamu … kamu terlalu banyak berkorban untuk Devan.”
“Ini adalah bukti betapa aku mencintai Devan bukan dalam keadaan senang saja, Ma. Suka duka harus bisa kuhadapi, dengan atau tanpa dia.”
Kurasakan tangan Mama semakin erat memeluk.
Aku memang harus kuat, Ma. Pengorbananku belum ada apa-apanya dibanding pengorbanan Devan demi melindungiku.
***
Masa nifasku berakhir kemarin. Aku pun menjalankan rencana yang sudah kususun sejak satu bulan lalu.
“Kita berangkat sekarang, Bu?” tanya Rafi.
Aku mengangguk. Alisha sudah berada dalam gendongan. Malam ini aku akan ke rumah Ayah, semoga mereka luluh saat melihat kehadiran Alisha. Mama dan Papa melepasku dengan sedikit ragu, tetapi setelah kuyakinkan, mereka akhirnya pasrah.
“Jaga Puja dan Alisha, ya, Raf!” titah Mama.
“Baik, Tante.”
Aku masuk ke mobil. Tak lama kami pun meninggalkan kediaman mertuaku.
Di tengah jalan tak henti kurapalkan doa dalam hati, agar Allah lembutkan hati kedua orang tuaku. Alisha terlelap dalam dekapan. Wajahnya yang begitu mirip dengan Devan, membuat sebuah rindu tiba-tiba membuncah di dada.
“Tunggulah, Nak, kita akan segera berkumpul dengan Ayah,” bisikku seraya mengecupnya.
“Kita sudah sampai, Bu!”
Ucapan Rafi membuatku terlempar dari lamunan. Ia bergegas turun dan membukakan pintu untukku.
“Kamu tunggu di mobil saja, ya, Raf!” titahku begitu kaki menginjak halaman rumah Ayah.
“Baik, Bu,” sahutnya patuh.
Kuhela napas dalam-dalam, sebelum melangkah naik ke teras berubin putih. Pintu besar itu tampak terbuka begitu saja. Sepertinya mereka tengah berada di ruang tamu.
Kuucap salam, Ayah dan Mami serempak menoleh dan langsung menjawabnya. Wajah Mami semringah melihatku di ambang pintu. Ia hendak bangkit, tetapi tangan Ayah menahannya. Terpaksa wanita itu duduk kembali.
“Ada keperluan apa kamu datang ke sini? Masih menganggap kami orang tuamu rupanya,” kata Ayah sinis.
Aku tersenyum, meskipun kata-kata itu cukup menggores kalbu. “Aku boleh masuk, Yah, Mi?”
Beberapa saat, hingga akhirnya Ayah memberi isyarat dengan tangan. Lega. Aku masuk dan duduk di sofa berseberangan dengan mereka. Mata Mami tak lepas dari Alisha. Perasaan wanita takkan bisa disembunyikan. Walau bagaimanapun, ini adalah cucu mereka.
“Cepat katakan tujuanmu datang ke sini!”
Lagi-lagi sikap dingin Ayah harus kuterima.
“Maaf, Ayah, Mami … kedatanganku masih dengan tujuan sama. Aku ingin ….”
“Percuma!” potong Ayah. “Aku tidak akan mengubah keputusanku.”
“Setidaknya demi aku … dan cucu Ayah … Alisha.”
“Berapa kali harus kukatakan, kalau itu bukan cucuku. Aku tidak akan sudi memiliki cucu dari orang yang sudah membunuh anakku sendiri, paham kamu!” hardiknya.
“Aku rela melakukan apa saja, asal Ayah sudi membebaskan Devan dari penjara.”
Ayah menatapku tajam.
“Apa pun … seberat apa pun … akan kulakukan.” Air mataku mulai menetes. “Aku mohon, Ayah!” Aku bangkit, lalu berlutut di depan Ayah. Pria itu membuang muka.
“Puja, bangun! Apa yang kamu lakukan?” Mami angkat suara. “Bang, apa salahnya kita mengalah, bukankah sudah cukup Devan merasakan di penjara selama sembilan bulan. Sudahlah, kasihan Puja. Sebagai ibunya, aku tidak tega melihat anakku seperti ini.” Mami ikut menangis.
Kemudian Ayah menghela napas. Suasana menjadi sunyi, hanya sesenggukanku yang masih terdengar.
“Baiklah, Ayah akan mengabulkan keinginanmu, tetapi dengan satu syarat,” ujar Ayah.
Mendengar pernyataan itu, sungguh hatiku menghangat. Akhirnya Allah membuka pintu hati Ayah.
“Apa pun syaratnya, insyaa Allah akan kulakukan, Yah!” ucapku penuh keyakinan. Kuusap air mata dengan punggung tangan.
“Duduklah di tempatmu kembali!” titahnya.
Dengan patuh aku bangkit dan duduk di tempat semula.
“Katakan syaratnya, Yah!” pintaku semringah. Kucium Alisha penuh haru.
“Setelah Devan bebas, kamu harus bercerai dengannya.”
Aku terbelalak. “Apa, Yah?”
“Hanya satu itu saja syaratnya,” tegas Ayah.
“Yah, sungguh … itu terlalu sulit. Jika saja semua harta yang kami miliki bisa menggantikan permintaan itu ….”
“Aku tidak butuh harta kalian! Aku hanya ingin kamu kembali ke rumah ini. Tanpa Devan … tanpa anakmu. Sudah, itu saja. Semua terserah padamu!”
Ayah pun berdiri, lalu ia beranjak meninggalkan ruang tamu.
“Ayah! Ayah, tunggu! Jangan seperti ini, Ayah! Lihatlah aku! Lihat juga cucumu! Ayah! Ayah!”
Pria itu tidak mengacuhkan. Aku kembali menangis, kali ini Mami memelukku ke dadanya. Sudah lama tak kurasakan pelukan ini. Begitu nyaman dan menenangkan. Ia juga mencium Alisha berkali-kali.
“Maaf, jika Mami tidak bisa berbuat sesuatu untukmu, Pu!” sesalnya di sela tangis.
Sebuah senyum tipis kuberikan pada Mami. Setidaknya, beliau telah membuka hatinya untukku dan juga Alisha.
“Kamu pikirkan baik-baik, lalu ambil keputusan yang menurutmu benar.” Mami mencium dahiku.
Aku hanya mengangguk sembari menahan rasa sesak di rongga dada.
Tak lama kemudian aku pun pamit untuk pulang.
“Mami tahu, kamu akan memutuskan dengan bijak demi kebahagiaan orang yang kamu cintai.” Begitu kata Mami saat ia mengantarku ke mobil.
Bagaimana mungkin aku harus meninggalkan anak dan suamiku? Meskipun kejahatan Devan tak termaafkan, tetapi tak bisakah Ayah memandang sedikit saja bahagia untukku? Bukankah Devan sudah bertaubat? Tidak cukupkah semuanya itu?
***
0