- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#46
PART 19
💐Bab 19💐
Mataku menatap kosong jalanan yang sedikit mulai sepi, karena jingga hampir memudar menyambut malam. Tak ada pembicaraan antara aku dan Rafi. Kami diam seribu bahasa. Bahkan sampai mobilku yang ia kendarai memasuki halaman rumah.
“Terima kasih sudah mengantar,” ucapku.
“Sama-sama, Bu.”
“Kamu mau pulang pakai apa? Atau bawa saja mobil saya, bukankah mulai besok kamu ditugaskan Bapak untuk selalu menjemput saya?”
“Tidak usah, Bu. Saya naik taksi saja. Besok, saya jemput Ibu pakai mobil saya.”
Rafi menyerahkan kunci mobil.
“Maaf, kalau suami saya jadi memperlakukan kamu seperti personal driver untuk istrinya. Seharusnya saya mencari orang lain saja untuk dipekerjakan sebagai driver tetap. Jadi pekerjaan kamu tidak terganggu.”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya bahagia bisa terus dekat dengan Ibu.”
Aku mengerutkan dahi, sedikit terkejut dengan pernyataannya barusan.
“Maksud kamu apa?”
“Eh, oh itu, maaf, maksud saya ... saya senang bisa membantu Ibu dan Pak Devan. Saya tidak keberatan walau harus mengantar jemput Bu Puja, demi menjaga amanah yang diberikan Pak Dev,” kilahnya gugup.
“Oh, oke.” Lega mendengar penjelasannya. Aku pikir dia mau bicara macam-macam sama ibu hamil ini.
Setelah Rafi berlalu, aku baru mnyadari kalau ada mobil Ayah terparkir di halaman. Bergegas aku masuk ke rumah.
***
“Gugurkan kandunganmu! Ayah tidak mau punya cucu dari seorang pembunuh!” Mata Ayah merah menatapku nyalang. Sementara di sudut sana, Mami pun tengah menatap marah padaku.
Aku menggeleng. “Tidak akan pernah, aku akan menjaga bayiku sampai ia melihat dunia ini, dan tak seorang pun boleh mengganggunya, bahkan Ayah sekali pun,” tegasku.
“Puja! Kamu mau menerima begitu saja setelah apa yang dilakukan Devan terhadap kakakmu?”
“Lalu apakah dengan memintaku menggugurkan kandunganku, Ayah tidak ada bedanya dengan Devan? Atau malah aku yang akan Ayah jadikan pembunuh, begitu?”
“Dasar anak durhaka! Kamu membela pembunuh itu dan menyamakannya dengan Ayahmu ini!” hardiknya dengan suara semakin meninggi.
Aku terdiam. Baru menyadari apa yang telah kuucapkan pada Ayah. Seharusnya aku tak boleh bicara seperti itu, harusnya aku bicara baik-baik padanya. Tak perlu bersitegang begini.
“Maafkan aku, Yah.” Aku terduduk di sofa. Tangisku pecah. “Tapi aku mohon, jangan minta aku membunuh bayi ini. Cukuplah Devan saja yang mendekam di penjara, cukup ayahnya saja yang merasakan akibat dari perbuatannya, jangan anakku,” lirihku.
Ayah tak menimpali. Terdengar embusan napasnya. Menyiratkan kekecewaan yang mendalam pada anaknya ini.
“Ayo kita pulang, Mi!” ajak Ayah sambil berlalu begitu saja. Aku masih terisak saat menatap kepergian Ayah. Tak lama Mami pun ikut bangkit, menyusul Ayah.
“Mi!” seruku, membuat langkah wanita itu terhenti. “Apakah aku tak boleh mempertahankan apa yang sudah kumiliki?”
Mami tak menjawab, sekilas mata kami beradu, sebelum ia kembali melangkah meninggalkan rumahku. Bunyi tumit sepatunya semakin menjauh memecah sunyi. Lalu ... benar-benar sunyi. Saat itulah Mbak Rima muncul, dan memelukku. Memberiku kekuatan dan nasehat penyejuk jiwa.
“Non, sudah shalat Maghrib?”
Aku menggeleng lemah. “Belum, Mbak.”
“Ya sudah, Non shalat dulu, tenangkan hati. Mohon pada Allah agar hati orang tua Non dilembutkan dan mereka bisa menerima semua dengan lapang dada. Habis itu, Non makan. Mbak sudah buatkan sayur asem pesanan Non tadi siang.” Mbak Rima mencoba menghibur.
“Iya, Mbak. Terima kasih,” ucapku seraya bangkit menuju kamar. Sejenak ingin membersihkan tubuh dengan air hangat sebelum bersujud pada Sang Pemilik Hati.
***
Baru saja kakiku menginjak ruangan kerja, pandangan dikejutkan oleh sebuket mawar merah yang terletak di meja.
“Dari siapa ini?” gumamku.
“Itu dari Pak Dev, Bu.” Suara Rafi membuatku terkejut. Kulihat pria itu berdiri di ambang pintu.
“Suami saya?” tanyaku tak percaya.
“Iya, beliau yang meminta saya untuk selalu menaruh bunga di meja kerja Ibu setiap pagi.”
“Oh ya?” Mataku berbinar bahagia. Mencium bunga itu berkali-kali. Seolah merasakan kehadiran Devan di sini. ‘Ah, sejak kapan pria itu jadi romantis begini?’ batinku.
Rafi masih berdiri di ambang pintu sambil tersenyum.
“Kamu kenapa masih berdiri di situ? Bukannya kamu ada meeting pagi ini?” tegurku.
Rafi tampak terkesiap. “Maaf, saya hampir lupa. Ya sudah, saya izin ya, Bu.”
“Oke. Selamat bekerja.”
Pria itu memutar tubuh, lalu tiba-tiba balik lagi seraya bertanya, “Oh, ya, nanti Ibu mau dibawakan makan siang apa? Biar sekalian saya belikan.”
“Tidak usah repot-repot. Saya lagi nggak bisa makan makanan dari luar, lagi mual. Tadi sudah dibekali Mbak Rima dari rumah,” sahutku menjelaskan.
“Oh, begitu, baiklah. Emm ... kalau buah-buahan Ibu sukanya apa? Atau jus barangkali, atau ....“
“Rafi,” potongku sedikit kesal sambil mendelik.
“Oke ... maaf, maaf Bu.” Rafi pun kembali melangkah, meninggalkanku sendiri di ruangan ini.
“Kenapa sih anak itu? Aneh!”
***
Sambil memeriksa beberapa berkas, aku sibuk memasukkan potongan buah yang sengaja di bekali Mbak Rima dari rumah. Soalnya beberapa hari belakangan aku suka mual dan susah untuk makan makanan padat.
Aku baru ingat, hari ini jadwal kontrol ke Dokter Mia. Tapi ... Rafi masih meeting, belum kembali. Mana aku nggak bawa mobil sendiri pula. Aduuuuh, repotnya! Kulirik jam dinding, ternyata sudah pukul dua siang, sementara jadwal kontrolku jam setengah tiga. Lagian anak itu kenapa lama banget ya meetingnya? Padahal sudah dari pagi dia pergi. Ditelepon juga ponselnya tidak aktif, biasanya kalau mati begitu tandanya meeting belum kelar.
Aku bangkit dari duduk, lalu berjalan ke meja sekretaris yang ada di depan ruanganku.
“Vita, ini berkas-berkasnya sudah saya periksa dan saya tanda tangani semua,” ujarku pada gadis manis berkerudung merah itu.
Gadis itu berdiri dan mengambil beberapa map yang kusodorkan.
“Oh, iya Bu Puja, terima kasih,” sahutnya.
Vita adalah sekretaris yang baru kurekrut karena sekretaris lama belum berhijab. Jadi agak risih melihatnya dengan rok pendek dan baju press body-nya. Saat aku memberlakukan peraturan baru di mana semua karyawan perempuan harus berhijab, dia mengundurkan diri. Sekretaris lama juga tidak terlalu cekatan kalau bekerja, kerjanya kebanyakan bersolek. Bikin aku naik darah saja.
“Vit, kamu masih ada kerjaan lain?”
“Mmm, sepertinya sudah selesai semua, Bu. Kenapa, Bu? Ada yang bisa saya bantu?”
“Begini, saya kan nggak bawa mobil sendiri. Bisa nggak kamu antar saya ke Dokter? Soalnya Rafi belum balik juga sampai jam segini.”
“Boleh, Bu. Tapi apa Ibu tidak apa-apa, soalnya saya cuma pakai motor, Bu.” Vita terlihat sungkan.
Aku tertawa kecil. “Ya nggak apa-apalah Vit, apa salahnya?”
“Baiklah kalau Ibu bersedia.”
“Oke, sebentar saya ambil tas dulu ya?”
Aku bergegas ke ruanganku dan mengambil tas beserta kotak bekal yang kubawa dari rumah. Rencananya aku mau langsung pulang setelah dari dokter.
***
Dokter Mia bilang, aku terlalu banyak kegiatan sehingga kondisi janinku sedikit buruk. Jadi dia menganjurkan supaya aku istirahat dulu dari semua rutinitas sampai melewati trimester pertama ini. Ah, pasti akan membosankan rasanya kembali duduk di rumah tanpa kegiatan, tapi demi buah cintaku bersama Devan, apa pun akan kujalani.
“Non, saya ... saya mau bicara sesuatu.” Malam itu wajah Mbak Rima terlihat panik.
“Ada apa, Mbak? Bicara saja!” sahutku sambil memintanya duduk di sampingku yang sedang menonton televisi.
Wanita itu mendaratkan tubuhnya perlahan. Ia tak berani menatapku.
“Ada apa sih, Mbak? Bikin penasaran saja!” Kuturunkan volume suara televisi.
“Begini Non, saya mau izin ... pulang kampung,” jawabnya takut-takut.
“Oooh, itu. Kenapa kelihatan panik gitu sih, Mbak? Saya nggak mungkin larang kalau Mbak mau pulang kampung, saya tahu kok kalau Mbak pasti kangen sama orang tua Mbak, ya ‘kan?”
“Tapi Non, saya ... saya tidak akan kembali lagi ke sini.” Mbak Rima menatapku dengan air mata yang sudah meleleh di pipi.
Aku terperanjat. “Kenapa Mbak? Apa gaji Mbak kurang? Kalau iya, nanti saya tambah, Mbak mau gaji berapa sebutkan saja, insyaa Allah akan saya sanggupi. Asal jangan tinggalkan saya sendiri,” ujarku mulai panik mendengar pernyataan wanita itu.
Mbak Rima menggeleng kuat-kuat. “Tidak Non, tidak. Apa yang sudah Non dan Tuan berikan itu sudah jauh dari cukup. Di sini saya tidak merasa sebagai pembantu. Saya merasa Non seperti adik saya sendiri, dan saya bahagia dengan semua itu.”
“Lalu apa alasannya sehingga Mbak tidak bisa kembali lagi ke sini?” Netraku berkaca, air mata pun perlahan jatuh bergulir.
“Orang tua saya sakit-sakitan keduanya, jadi ... saya harus merawat dan menemani mereka. Sebab hanya saya yang bisa, karena saudara saya yang lain tinggal di pulau Jawa semua. Jadi ... mau tak mau, saya harus kembali menetap di kampung.”
Aku terdiam, tak ada alasan untuk menahannya di sini. Sebab aku tahu, berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban setiap anak. Walaupun harus berat hati melepas wanita yang sudah memberi warna di hidupku itu. Padahal sebenarnya aku sedang sangat membutuhkannya, sebab aku harus istirahat di rumah sementara waktu demi menjaga kandunganku. Tapi ... ya sudahlah! Bukankah ujian berat saja aku lalui? Kenapa malah cengeng dengan ujian kecil ini?
Esoknya Mbak Rima pulang, setelah kubekali dia dengan uang yang nominalnya lumayan besar. Awalnya dia menolak, tapi aku memaksanya dan kubilang itu untuk orang tuanya. Aku juga berpesan, jika dia butuh apa-apa bisa hubungi aku.
Setelah melepas kepergian Mbak Rima, aku terduduk sendiri di teras. Menghapus sisa air mata di pipi.
Sepi.
Bagaimana tidak? Di rumah sebesar ini aku tinggal sendiri saat ini. Lalu aku harus apa?
Sebuah mobil merayap memasuki halaman rumah, ternyata Rafi. Ada apa lagi dia ke sini? Bukankah sudah kubilang kalau aku tidak akan masuk kantor dalam waktu yang agak lama?
“Assalaamu’alaykum, Bu Puja,” ucapnya.
“Wa’alaykumussalaam. Rafi? Ada apa ke sini?”
“Tidak apa-apa, Bu. Hanya mau mengantar bunga ini saja.” Ia menyodorkan seikat mawar merah.
‘Ah, iya, itu dari Devan!’ pekikku dalam hati. Kuterima bunga itu dengan wajah semringah.
“Ada yang bisa saya bantu Bu, sebelum berangkat ke kantor?”
“Tidak, terima kasih. Kamu jalan saja, lagian tidak baik kita berduaan di sini, soalnya Mbak Rima sudah tidak di sini lagi,” jawabku lugas.
“Jadi Ibu sendirian saja di sini?”
“Iya, kenapa?” selidikku.
“Tidak apa-apa, Bu. Ya sudah saya jalan dulu, kalau Ibu butuh apa-apa bisa hubungi saya. Ibu hati-hati ya, Bu.”
Aku hanya mengangguk pelan dengan sedikit senyum. Agak aneh berhadapan dengan pria ini. Dulu dia begitu alim, tak mau berduaan denganku, tak mau menatapku kalau lagi bicara. Tapi sekarang? Dia sepertinya mulai berani. Apalagi perhatian-perhatian yang sebenarnya tak pantas ia berikan padaku yang notabene adalah atasannya.
***
💐Bab 19💐
Mataku menatap kosong jalanan yang sedikit mulai sepi, karena jingga hampir memudar menyambut malam. Tak ada pembicaraan antara aku dan Rafi. Kami diam seribu bahasa. Bahkan sampai mobilku yang ia kendarai memasuki halaman rumah.
“Terima kasih sudah mengantar,” ucapku.
“Sama-sama, Bu.”
“Kamu mau pulang pakai apa? Atau bawa saja mobil saya, bukankah mulai besok kamu ditugaskan Bapak untuk selalu menjemput saya?”
“Tidak usah, Bu. Saya naik taksi saja. Besok, saya jemput Ibu pakai mobil saya.”
Rafi menyerahkan kunci mobil.
“Maaf, kalau suami saya jadi memperlakukan kamu seperti personal driver untuk istrinya. Seharusnya saya mencari orang lain saja untuk dipekerjakan sebagai driver tetap. Jadi pekerjaan kamu tidak terganggu.”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya bahagia bisa terus dekat dengan Ibu.”
Aku mengerutkan dahi, sedikit terkejut dengan pernyataannya barusan.
“Maksud kamu apa?”
“Eh, oh itu, maaf, maksud saya ... saya senang bisa membantu Ibu dan Pak Devan. Saya tidak keberatan walau harus mengantar jemput Bu Puja, demi menjaga amanah yang diberikan Pak Dev,” kilahnya gugup.
“Oh, oke.” Lega mendengar penjelasannya. Aku pikir dia mau bicara macam-macam sama ibu hamil ini.
Setelah Rafi berlalu, aku baru mnyadari kalau ada mobil Ayah terparkir di halaman. Bergegas aku masuk ke rumah.
***
“Gugurkan kandunganmu! Ayah tidak mau punya cucu dari seorang pembunuh!” Mata Ayah merah menatapku nyalang. Sementara di sudut sana, Mami pun tengah menatap marah padaku.
Aku menggeleng. “Tidak akan pernah, aku akan menjaga bayiku sampai ia melihat dunia ini, dan tak seorang pun boleh mengganggunya, bahkan Ayah sekali pun,” tegasku.
“Puja! Kamu mau menerima begitu saja setelah apa yang dilakukan Devan terhadap kakakmu?”
“Lalu apakah dengan memintaku menggugurkan kandunganku, Ayah tidak ada bedanya dengan Devan? Atau malah aku yang akan Ayah jadikan pembunuh, begitu?”
“Dasar anak durhaka! Kamu membela pembunuh itu dan menyamakannya dengan Ayahmu ini!” hardiknya dengan suara semakin meninggi.
Aku terdiam. Baru menyadari apa yang telah kuucapkan pada Ayah. Seharusnya aku tak boleh bicara seperti itu, harusnya aku bicara baik-baik padanya. Tak perlu bersitegang begini.
“Maafkan aku, Yah.” Aku terduduk di sofa. Tangisku pecah. “Tapi aku mohon, jangan minta aku membunuh bayi ini. Cukuplah Devan saja yang mendekam di penjara, cukup ayahnya saja yang merasakan akibat dari perbuatannya, jangan anakku,” lirihku.
Ayah tak menimpali. Terdengar embusan napasnya. Menyiratkan kekecewaan yang mendalam pada anaknya ini.
“Ayo kita pulang, Mi!” ajak Ayah sambil berlalu begitu saja. Aku masih terisak saat menatap kepergian Ayah. Tak lama Mami pun ikut bangkit, menyusul Ayah.
“Mi!” seruku, membuat langkah wanita itu terhenti. “Apakah aku tak boleh mempertahankan apa yang sudah kumiliki?”
Mami tak menjawab, sekilas mata kami beradu, sebelum ia kembali melangkah meninggalkan rumahku. Bunyi tumit sepatunya semakin menjauh memecah sunyi. Lalu ... benar-benar sunyi. Saat itulah Mbak Rima muncul, dan memelukku. Memberiku kekuatan dan nasehat penyejuk jiwa.
“Non, sudah shalat Maghrib?”
Aku menggeleng lemah. “Belum, Mbak.”
“Ya sudah, Non shalat dulu, tenangkan hati. Mohon pada Allah agar hati orang tua Non dilembutkan dan mereka bisa menerima semua dengan lapang dada. Habis itu, Non makan. Mbak sudah buatkan sayur asem pesanan Non tadi siang.” Mbak Rima mencoba menghibur.
“Iya, Mbak. Terima kasih,” ucapku seraya bangkit menuju kamar. Sejenak ingin membersihkan tubuh dengan air hangat sebelum bersujud pada Sang Pemilik Hati.
***
Baru saja kakiku menginjak ruangan kerja, pandangan dikejutkan oleh sebuket mawar merah yang terletak di meja.
“Dari siapa ini?” gumamku.
“Itu dari Pak Dev, Bu.” Suara Rafi membuatku terkejut. Kulihat pria itu berdiri di ambang pintu.
“Suami saya?” tanyaku tak percaya.
“Iya, beliau yang meminta saya untuk selalu menaruh bunga di meja kerja Ibu setiap pagi.”
“Oh ya?” Mataku berbinar bahagia. Mencium bunga itu berkali-kali. Seolah merasakan kehadiran Devan di sini. ‘Ah, sejak kapan pria itu jadi romantis begini?’ batinku.
Rafi masih berdiri di ambang pintu sambil tersenyum.
“Kamu kenapa masih berdiri di situ? Bukannya kamu ada meeting pagi ini?” tegurku.
Rafi tampak terkesiap. “Maaf, saya hampir lupa. Ya sudah, saya izin ya, Bu.”
“Oke. Selamat bekerja.”
Pria itu memutar tubuh, lalu tiba-tiba balik lagi seraya bertanya, “Oh, ya, nanti Ibu mau dibawakan makan siang apa? Biar sekalian saya belikan.”
“Tidak usah repot-repot. Saya lagi nggak bisa makan makanan dari luar, lagi mual. Tadi sudah dibekali Mbak Rima dari rumah,” sahutku menjelaskan.
“Oh, begitu, baiklah. Emm ... kalau buah-buahan Ibu sukanya apa? Atau jus barangkali, atau ....“
“Rafi,” potongku sedikit kesal sambil mendelik.
“Oke ... maaf, maaf Bu.” Rafi pun kembali melangkah, meninggalkanku sendiri di ruangan ini.
“Kenapa sih anak itu? Aneh!”
***
Sambil memeriksa beberapa berkas, aku sibuk memasukkan potongan buah yang sengaja di bekali Mbak Rima dari rumah. Soalnya beberapa hari belakangan aku suka mual dan susah untuk makan makanan padat.
Aku baru ingat, hari ini jadwal kontrol ke Dokter Mia. Tapi ... Rafi masih meeting, belum kembali. Mana aku nggak bawa mobil sendiri pula. Aduuuuh, repotnya! Kulirik jam dinding, ternyata sudah pukul dua siang, sementara jadwal kontrolku jam setengah tiga. Lagian anak itu kenapa lama banget ya meetingnya? Padahal sudah dari pagi dia pergi. Ditelepon juga ponselnya tidak aktif, biasanya kalau mati begitu tandanya meeting belum kelar.
Aku bangkit dari duduk, lalu berjalan ke meja sekretaris yang ada di depan ruanganku.
“Vita, ini berkas-berkasnya sudah saya periksa dan saya tanda tangani semua,” ujarku pada gadis manis berkerudung merah itu.
Gadis itu berdiri dan mengambil beberapa map yang kusodorkan.
“Oh, iya Bu Puja, terima kasih,” sahutnya.
Vita adalah sekretaris yang baru kurekrut karena sekretaris lama belum berhijab. Jadi agak risih melihatnya dengan rok pendek dan baju press body-nya. Saat aku memberlakukan peraturan baru di mana semua karyawan perempuan harus berhijab, dia mengundurkan diri. Sekretaris lama juga tidak terlalu cekatan kalau bekerja, kerjanya kebanyakan bersolek. Bikin aku naik darah saja.
“Vit, kamu masih ada kerjaan lain?”
“Mmm, sepertinya sudah selesai semua, Bu. Kenapa, Bu? Ada yang bisa saya bantu?”
“Begini, saya kan nggak bawa mobil sendiri. Bisa nggak kamu antar saya ke Dokter? Soalnya Rafi belum balik juga sampai jam segini.”
“Boleh, Bu. Tapi apa Ibu tidak apa-apa, soalnya saya cuma pakai motor, Bu.” Vita terlihat sungkan.
Aku tertawa kecil. “Ya nggak apa-apalah Vit, apa salahnya?”
“Baiklah kalau Ibu bersedia.”
“Oke, sebentar saya ambil tas dulu ya?”
Aku bergegas ke ruanganku dan mengambil tas beserta kotak bekal yang kubawa dari rumah. Rencananya aku mau langsung pulang setelah dari dokter.
***
Dokter Mia bilang, aku terlalu banyak kegiatan sehingga kondisi janinku sedikit buruk. Jadi dia menganjurkan supaya aku istirahat dulu dari semua rutinitas sampai melewati trimester pertama ini. Ah, pasti akan membosankan rasanya kembali duduk di rumah tanpa kegiatan, tapi demi buah cintaku bersama Devan, apa pun akan kujalani.
“Non, saya ... saya mau bicara sesuatu.” Malam itu wajah Mbak Rima terlihat panik.
“Ada apa, Mbak? Bicara saja!” sahutku sambil memintanya duduk di sampingku yang sedang menonton televisi.
Wanita itu mendaratkan tubuhnya perlahan. Ia tak berani menatapku.
“Ada apa sih, Mbak? Bikin penasaran saja!” Kuturunkan volume suara televisi.
“Begini Non, saya mau izin ... pulang kampung,” jawabnya takut-takut.
“Oooh, itu. Kenapa kelihatan panik gitu sih, Mbak? Saya nggak mungkin larang kalau Mbak mau pulang kampung, saya tahu kok kalau Mbak pasti kangen sama orang tua Mbak, ya ‘kan?”
“Tapi Non, saya ... saya tidak akan kembali lagi ke sini.” Mbak Rima menatapku dengan air mata yang sudah meleleh di pipi.
Aku terperanjat. “Kenapa Mbak? Apa gaji Mbak kurang? Kalau iya, nanti saya tambah, Mbak mau gaji berapa sebutkan saja, insyaa Allah akan saya sanggupi. Asal jangan tinggalkan saya sendiri,” ujarku mulai panik mendengar pernyataan wanita itu.
Mbak Rima menggeleng kuat-kuat. “Tidak Non, tidak. Apa yang sudah Non dan Tuan berikan itu sudah jauh dari cukup. Di sini saya tidak merasa sebagai pembantu. Saya merasa Non seperti adik saya sendiri, dan saya bahagia dengan semua itu.”
“Lalu apa alasannya sehingga Mbak tidak bisa kembali lagi ke sini?” Netraku berkaca, air mata pun perlahan jatuh bergulir.
“Orang tua saya sakit-sakitan keduanya, jadi ... saya harus merawat dan menemani mereka. Sebab hanya saya yang bisa, karena saudara saya yang lain tinggal di pulau Jawa semua. Jadi ... mau tak mau, saya harus kembali menetap di kampung.”
Aku terdiam, tak ada alasan untuk menahannya di sini. Sebab aku tahu, berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban setiap anak. Walaupun harus berat hati melepas wanita yang sudah memberi warna di hidupku itu. Padahal sebenarnya aku sedang sangat membutuhkannya, sebab aku harus istirahat di rumah sementara waktu demi menjaga kandunganku. Tapi ... ya sudahlah! Bukankah ujian berat saja aku lalui? Kenapa malah cengeng dengan ujian kecil ini?
Esoknya Mbak Rima pulang, setelah kubekali dia dengan uang yang nominalnya lumayan besar. Awalnya dia menolak, tapi aku memaksanya dan kubilang itu untuk orang tuanya. Aku juga berpesan, jika dia butuh apa-apa bisa hubungi aku.
Setelah melepas kepergian Mbak Rima, aku terduduk sendiri di teras. Menghapus sisa air mata di pipi.
Sepi.
Bagaimana tidak? Di rumah sebesar ini aku tinggal sendiri saat ini. Lalu aku harus apa?
Sebuah mobil merayap memasuki halaman rumah, ternyata Rafi. Ada apa lagi dia ke sini? Bukankah sudah kubilang kalau aku tidak akan masuk kantor dalam waktu yang agak lama?
“Assalaamu’alaykum, Bu Puja,” ucapnya.
“Wa’alaykumussalaam. Rafi? Ada apa ke sini?”
“Tidak apa-apa, Bu. Hanya mau mengantar bunga ini saja.” Ia menyodorkan seikat mawar merah.
‘Ah, iya, itu dari Devan!’ pekikku dalam hati. Kuterima bunga itu dengan wajah semringah.
“Ada yang bisa saya bantu Bu, sebelum berangkat ke kantor?”
“Tidak, terima kasih. Kamu jalan saja, lagian tidak baik kita berduaan di sini, soalnya Mbak Rima sudah tidak di sini lagi,” jawabku lugas.
“Jadi Ibu sendirian saja di sini?”
“Iya, kenapa?” selidikku.
“Tidak apa-apa, Bu. Ya sudah saya jalan dulu, kalau Ibu butuh apa-apa bisa hubungi saya. Ibu hati-hati ya, Bu.”
Aku hanya mengangguk pelan dengan sedikit senyum. Agak aneh berhadapan dengan pria ini. Dulu dia begitu alim, tak mau berduaan denganku, tak mau menatapku kalau lagi bicara. Tapi sekarang? Dia sepertinya mulai berani. Apalagi perhatian-perhatian yang sebenarnya tak pantas ia berikan padaku yang notabene adalah atasannya.
***
0