- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#45
PART 18
💐Bab 18💐
“Bu Puja, Ibu baik-baik saja?” Suara Rafi menyentakkanku dari lamunan. Entah sudah berapa lama pria itu berada di depanku.
“Eh, iya, Raf. Maaf, saya jadi ngelamun.”
“Sudah waktunya makan siang, Bu.” Rafi mengingatkan.
“Oh iya, silahkan kalau kamu mau makan siang, saya nanti saja.”
“Ibu harus makan tepat waktu, mau saya belikan apa. Bu?”
“Saya belum lapar, nanti saja!” tolakku.
“Tidak bisa, Bu. Ibu harus makan kalau sudah jamnya makan. Ibu sedang hamil, jadi Ibu harus jaga kesehatan.”
Aku menatap tak senang padanya. “Kenapa kamu ngatur-ngatur saya?”
“Maaf, Bu. Bukan saya bermaksud mengatur Ibu, tapi saya harus memastikan kalau Ibu makan tepat waktu. Pak Devan menitipkan Ibu pada saya selama Ibu berada di kantor.” jawabnya polos. “Saya bisa dipecat kalau Pak Devan mendengar Ibu sakit.”
Aku terdiam. Mataku berkabut, cepat-cepat aku mengusapnya sebelum ia menjadi genangan.
“Antar saya ke food counter yang di jalan Ahmad Yani!” perintahku sambil bangkit dan meraih tas tangan di meja.
“Tapi, Bu ... saya ....“
“Jangan membantah! Ini perintah, kamu mau saya beritahu suami saya kalau kamu suka membantah saya?” ancamku. Entah kenapa tiba-tiba sikapku sedikit lebih keras. Apakah ini yang dinamakan bawaan hamil?
“B-baik, baik, Bu!” Rafi akhirnya mengalah.
Aku tak peduli, apakah Rafi harus melanggar prinsipnya tak mau berduaan dengan yang bukan mahram atau tidak, yang jelas aku saat ini butuh teman, itu saja.
“Kita shalat dulu, Raf. Sudah azan Zuhur,” perintahku di tengah perjalanan.
“Baik, Bu.”
Ia pun berhenti di sebuah masjid.
Aku ingin berlama-lama di sini, di rumah Allah. Aku ingin memohon yang terbaik untuk Devan, aku ingin ia diberi kekuatan untuk segala keputusan yang akan dijatuhkan. Walau mungkin, air mata ini takkan bisa mengubah takdir yang sudah ditetapkan Allah. Namun setidaknya aku sudah melayangkan doa pada Sang Maha Pemilik langit dan bumi. Aku yakin, takdir-Nya yang paling indah, walau di mata manusia kadang takdir itu sangat menyakitkan. Tapi aku yakin, akan ada hikmah yang tersembunyi di baliknya.
Hampir satu jam aku memohon di sajadah merah itu. Meluapkan segala isi hati pada Sang Maha Kuasa. Hingga saat aku melangkah keluar dari masjid, aku menemukan Rafi sudah menunggu sambil duduk di teras. Suasana sudah sepi, hanya satu dua orang yang bergantian datang untuk menunaikan kewajiban.
“Maaf, kalau saya kelamaan, Raf,” ucapku sungkan seraya memasang sepatu.
Rafi tampak sedikit kaget dan langsung berdiri. “Eh, iya. Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti.”
“Terima kasih, ayo kita jalan!”
“Ayo, Bu.”
Aku mengekori Rafi sampai ke parkiran. Lalu ia membukakan pintu untukku.
“Tidak usah bersikap begitu, saya bisa buka pintu mobil sendiri kok, kamu kan bukan supir saya,” cegahku karena merasa tak enak diperlakukan manis seperti itu. Cuma Devan yang boleh melakukan hal itu padaku.
“Jangan sungkan, Bu. Bukankah sudah saya katakan, kalau dalam jam kantor, Ibu tanggung jawab saya sepenuhnya.”
Aku tak menimpali, sebab sedang tak ingin berdebat.
***
“Bagaimana Raf, sudah ada kabar tentang putusan pengadilan suami saya?” tanyaku saat jam kantor berakhir. Aku mendatangi ruangannya ketika pria itu tengah bersiap-siap untuk pulang.
Rafi tak menjawab. Malah pura-pura sibuk menyusun berkas-berkas di mejanya.
“Rafi, saya sedang bicara sama kamu!” bentakku sambil menggebrak meja. Biasalah, emosi ibu hamil yang begitu labil.
Pria itu terkejut. Kegugupan jelas terpampang di wajahnya.
“Jawab gitu aja kok repot banget sih, Raf? Katakan saja, kamu nggak usah takut. Saya siap mendengar sepahit apa pun kabar itu!” tegasku.
Rafi menghela napas. “Kita duduk dulu ya, Bu!” ajaknya seraya melangkah ke sofa sudut ruangan. Aku menurut saja, mendaratkan tubuhku di salah satu sofa berwarna biru tua itu.
Pria itu terlihat tegang, ia sibuk menautkan jemari dan mempermainkannya.
“Sekarang kamu katakan, apa hasil keputusannya?” Aku menatapnya dengan tajam.
“Eee ... begini, Bu ....“
“Saya tidak suka bertele-tele Rafi!” Emosiku kembali mencuat.
“Pak Devan di penjara seumur hidup.”
Aku terdiam. Menahan sebuah rasa sakit yang tiba-tiba muncul di dalam dada saat mendengar kenyataan pahit itu. Aku berusaha menguasai diri, mencoba tegar meskipun terasa begitu berat. Tak ingin menangis, setidaknya di depan orang lain.
Kubawa tubuh ini bangkit.
“Bu Puja ....”
Aku mengangkat satu tangan sebagai isyarat agar Rafi tak banyak bertanya, lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Tak kupedulikan sapaan para karyawan yang berseliweran hendak pulang. Kakiku terus melangkah dengan perasaan yang tak menentu menuju parkiran.
Sesampai di dekat mobil, tiba-tiba ada yang merebut kunci dari tanganku. Aku terkejut bukan main. “Rafi! Kamu apa-apaan, sih?” hardikku.
Dengan sigap pria itu membuka pintu mobil bagian belakang dan mempersilahkanku masuk. “Saya yang akan mengantar ibu pulang,” tegasnya.
“Saya tidak meminta kamu mengantar saya ‘kan?”
“Iya saya tahu, ini amanah Pak Devan. Saya tidak mau dipecat hanya karena membiarkan Ibu yang sedang tidak dalam keadaan baik menyetir mobil sendiri.”
Kuhela napas menahan kesal. Lalu masuk ke dalam mobil, menghempaskan tubuh dengan sedikit kasar.
“Hati-hati, Bu. Ibu lagi hamil!” tegurnya.
Aku tak peduli dengan perhatian pria alim yang mulai melanggar prinsipnya ini.
Selang beberapa menit, mobil pun melaju. Pikiranku tertuju pada Devan. Hasil putusan sidang itu sungguh mengecewakan. Mami dan Ayah sama sekali tak melihat keadaanku sedikit pun. Tak bisakah sedikit saja mengalah demi anaknya? Tak bisakah membiarkanku bahagia? Bahkan saat aku sudah mengatakan kalau aku hamil mereka sama sekali tak menggubris. Di mana letak kasih sayang mereka padaku? Tidakkah mereka berpikir bagaimana jika anakku lahir tanpa seorang ayah?
Kuseka air mata yang mulai menggenang dengan ujung jari.
“Ibu baik-baik saja?” tanya Rafi sembari melihatku melalui kaca spion.
Aku melempar pandangan keluar jendela mobil. “Tidak perlu bertanya. Kamu pasti sudah tahu apa yang saya rasakan.”
Rafi terdiam. Kembali fokus menyetir.
“Raf, kita ke tempat Bapak. Sekarang!” perintahku tiba-tiba.
“Baik, Bu,” sahutnya patuh. Lalu dengan cekatan ia memutar balik mobil melawan arah. Menuju rumah pesakitan tempat Devan berada.
Suasana sore itu sedikit gerimis. Kemacetan karena jam pulang kerja membuat perjalanan sedikit terhambat.
“Boleh saya tanya sesuatu, Raf?” tanyaku memecah keheningan saat mobil berhenti di lampu merah.
“Silakan, Bu!”
“Kamu usianya berapa?”
“Tiga puluh tahun, Bu.”
“Sudah menikah?”
Kulihat dia tersenyum dari kaca spion.
“Kenapa tersenyum?”
“Apa saya terlihat sebagai pria beristri ya, Bu?”
“Mana saya tahu, saya tidak bisa membedakannya.”
Rafi tertawa kecil. “Belum, Bu. Saya masih lajang.”
“Oh, ya? Kenapa belum menikah? Bukankah kamu sudah sangat mapan dan ... tidak mungkin tidak ada perempuan yang mendekati kamu,” ungkapku penasaran.
“Entahlah, Bu. Mungkin karena belum menemukan yang cocok.”
“Mungkin karena kamu terlalu pemilih,” tuduhku.
“Ah, tidak juga, Bu,” bantahnya.
“Pernah jatuh cinta?” Ah, kenapa aku jadi penasaran sih dengan pria ini?
Rafi terdiam sebentar, sebelum akhirnya menjawab, “Saya tidak tahu jatuh cinta itu seperti apa, Bu.”
“Masa, sih?”
“Iya, Bu. Tapi ... saya pernah merasakan sesuatu saat bertemu seorang wanita. Di mana jantung saya berdetak tidak karuan saat melihat dan mendengar suaranya. Saya juga merasa bahagia saat selalu dekat dengannya. Apakah seperti itu yang dikatakan jatuh cinta, Bu?”
Kalimatnya terdengar ganjil di telingaku.
“Benarkah itu yang disebut jatuh cinta, Bu?” Rafi mengulang pertanyaannya.
“Ya, seperti itulah jatuh cinta. Sama seperti saat pertama kali saya bertemu Devan, suami saya,” jawabku pelan.
Hening. Pembahasan berakhir. Kami tak lagi saling bicara hingga sampai ke tempat Devan.
***
Kutatap wajah kuyu itu dengan linangan air mata.
“Bang Dev, aku akan mencoba mencari jalan, agar hukumanmu diringankan. Kalau perlu kita kasih jaminan, walau taruhannya semua harta yang kita miliki. Aku rela, aku rela kalau tidak lagi memiliki apa-apa. Aku rela jika harus memulai dari nol lagi. Aku rela kalau ….”
“Sssttt, Puja tenanglah!” bisiknya. Ia tersenyum meski terlihat patah. “Tidak perlu sampai begitu. Hukuman ini tidak sebanding dengan dosa yang sudah Abang perbuat. Bahkan di akhirat sana siksanya akan lebih pedih dari ini,” ujarnya dengan suara bergetar.
“Tapi aku tidak bisa hidup tanpamu, Bang. Aku tidak sanggup jika berpisah denganmu seperti ini.” Tangisku pecah.
Devan bangkit, lalu duduk di sampingku. Membawaku rebah ke dadanya yang bidang. “Bukankah kita sudah berjanji untuk selalu kuat dalam menghadapi segala ujian?”
“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan bayi yang kukandung? Apakah ia bisa lahir tanpamu? Apakah aku sanggup jika menjalani semua ini seorang diri sementara dirimu berada di rumah pesakitan ini?” Tangisku makin menjadi.
“Puja!” Devan merenggangkan pelukannya, lalu menatapku lekat. “Kamu tidak akan sendiri, ada Mbak Rima yang selalu menemanimu. Juga ada Rafi yang membantumu menjalankan perusahaan kita.”
“Tapi aku butuh Abang!” tampikku.
“Jangan pernah marah pada takdir. Semua sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa, tak ada yang bisa menentangnya.” Mata Devan terlihat berbinar. “Kamu tahu kenapa kita yang dipilih untuk menghadapi ujian yang menurut kita terlalu berat ini?”
Pelan aku menggeleng.
“Itu karena Allah tahu kita mampu, Puja. Allah tahu kita bisa melewati ujian ini. Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. Tidaklah Allah membebani hamba-Nya kecuali yang sesuai dengan kemampuannya. Nah, Allah saja bilang kita mampu, kenapa kita malah bilang tidak mampu?”
Aku terdiam mendengar ucapan Devan. Semenjak berada di sini, ia jauh berubah. Kata-katanya selalu bisa menenangkan hati.
“Kamu tahu, Pu? Setiap malam Abang selalu bangun di sepertiga malam, berdoa agar cinta yang kita miliki bisa sampai ke surga.” Mata Devan berkaca-kaca.
“Apa kamu juga melakukan hal yang sama?”
Lama kutatap matanya, seakan tak percaya bahwa ini adalah Devan, suamiku. “Ya, aku juga berharap seperti itu,” jawabku singkat.
“Jadi ... mulai sekarang, jangan sedih lagi walaupun Abang tidak berada di sisimu. Abang akan selalu menjagamu dan calon anak kita melalui doa-doa.”
Jemarinya menghapus air mata yang masih membasahi pipi.
“Bagaimana kalau kita tak lagi bisa bertemu? Apa yang harus kulakukan?”
Devan kembali tersenyum. “Yang jelas, kita jalani saja skenario Allah. Jangan pernah berprasangka buruk pada-Nya. Itu saja cukup.”
Aku tersenyum getir, kembali memeluk lelaki yang sangat kucintai itu.
“Kamu ini, dari dulu hobi banget ya peluk-peluk, manja banget,” kelakar Devan sambil mengusap kepalaku.
“Biarin, kan yang aku peluk suamiku sendiri, bukan Pak Dosen.”
“Pujaaaaaa!”
Aku tertawa. Lepas. Seperti lepasnya rasa rindu yang selalu membuatku ingin bertemu dengan kekasih pujaanku itu.
“Pu, Abang mau bicara sama Rafi sebentar, boleh? Mumpung waktu besuk masih ada beberapa menit lagi. Ada hal penting yang ingin Abang sampaikan,” pintanya.
“Boleh Bang, sebentar aku panggil, ya?”
Aku bangkit, melangkah ke luar untuk memanggil Rafi.
Sekitar sepuluh menit aku menunggu mereka selesai bicara. Entah apa yang mereka bahas hingga aku hanya bisa melihat wajah keduanya tampak sedikit tegang. Tak sabra akhirnya aku masuk dan mereka menyudahi pembicaraan rahasia mereka.
“Rafi, tolong jaga Puja saat di kantor. Antar dia ke mana pun dia mau. Jangan biarkan lagi dia bawa mobil sendiri dalam kondisi hamil begini. Kalau terjadi apa-apa dengannya, kamu orang pertama yang akan saya tuntut.”
Rafi tertawa kecil. “Baik, Pak Dev.”
Apa-apaan sih Bang Dev ini, nitipin istrinya sama laki-laki lain. Tumben dia tidak cemburu seperti dia cemburu pada Ramzi?
“Oh, ya satu lagi, Raf. Tolong pastikan seorang Dosen bernama Ramzi tidak bertemu dan bicara lagi pada istri saya ini.”
“Abang, apa-apaan sih?” sungutku sambil mencubit lengannya.
Rafi hanya tertawa kecil melihat tingkah kami berdua.
“Ya sudah, kamu pulanglah. Sudah mau magrib. Jangan lupa shalat tepat waktu. Makan yang banyak, jaga kesehatan. Abang nggak mau lagi dengar kamu sakit.” Devan memeluk dan megecup dahiku.
Lagi, air mataku menetes saat beranjak pergi meninggalkannya. Walaupun Devan melepasku dengan senyum hangatnya, tapi tetap saja senyum itu terasa getir buatku.
‘Andai aku bisa menemaninya di sini, di balik jeruji besi ini, maka aku rela menghabiskan sisa umurku di tempat pesakitan ini, asalkan selalu dekat dengannya.’
***
💐Bab 18💐
“Bu Puja, Ibu baik-baik saja?” Suara Rafi menyentakkanku dari lamunan. Entah sudah berapa lama pria itu berada di depanku.
“Eh, iya, Raf. Maaf, saya jadi ngelamun.”
“Sudah waktunya makan siang, Bu.” Rafi mengingatkan.
“Oh iya, silahkan kalau kamu mau makan siang, saya nanti saja.”
“Ibu harus makan tepat waktu, mau saya belikan apa. Bu?”
“Saya belum lapar, nanti saja!” tolakku.
“Tidak bisa, Bu. Ibu harus makan kalau sudah jamnya makan. Ibu sedang hamil, jadi Ibu harus jaga kesehatan.”
Aku menatap tak senang padanya. “Kenapa kamu ngatur-ngatur saya?”
“Maaf, Bu. Bukan saya bermaksud mengatur Ibu, tapi saya harus memastikan kalau Ibu makan tepat waktu. Pak Devan menitipkan Ibu pada saya selama Ibu berada di kantor.” jawabnya polos. “Saya bisa dipecat kalau Pak Devan mendengar Ibu sakit.”
Aku terdiam. Mataku berkabut, cepat-cepat aku mengusapnya sebelum ia menjadi genangan.
“Antar saya ke food counter yang di jalan Ahmad Yani!” perintahku sambil bangkit dan meraih tas tangan di meja.
“Tapi, Bu ... saya ....“
“Jangan membantah! Ini perintah, kamu mau saya beritahu suami saya kalau kamu suka membantah saya?” ancamku. Entah kenapa tiba-tiba sikapku sedikit lebih keras. Apakah ini yang dinamakan bawaan hamil?
“B-baik, baik, Bu!” Rafi akhirnya mengalah.
Aku tak peduli, apakah Rafi harus melanggar prinsipnya tak mau berduaan dengan yang bukan mahram atau tidak, yang jelas aku saat ini butuh teman, itu saja.
“Kita shalat dulu, Raf. Sudah azan Zuhur,” perintahku di tengah perjalanan.
“Baik, Bu.”
Ia pun berhenti di sebuah masjid.
Aku ingin berlama-lama di sini, di rumah Allah. Aku ingin memohon yang terbaik untuk Devan, aku ingin ia diberi kekuatan untuk segala keputusan yang akan dijatuhkan. Walau mungkin, air mata ini takkan bisa mengubah takdir yang sudah ditetapkan Allah. Namun setidaknya aku sudah melayangkan doa pada Sang Maha Pemilik langit dan bumi. Aku yakin, takdir-Nya yang paling indah, walau di mata manusia kadang takdir itu sangat menyakitkan. Tapi aku yakin, akan ada hikmah yang tersembunyi di baliknya.
Hampir satu jam aku memohon di sajadah merah itu. Meluapkan segala isi hati pada Sang Maha Kuasa. Hingga saat aku melangkah keluar dari masjid, aku menemukan Rafi sudah menunggu sambil duduk di teras. Suasana sudah sepi, hanya satu dua orang yang bergantian datang untuk menunaikan kewajiban.
“Maaf, kalau saya kelamaan, Raf,” ucapku sungkan seraya memasang sepatu.
Rafi tampak sedikit kaget dan langsung berdiri. “Eh, iya. Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti.”
“Terima kasih, ayo kita jalan!”
“Ayo, Bu.”
Aku mengekori Rafi sampai ke parkiran. Lalu ia membukakan pintu untukku.
“Tidak usah bersikap begitu, saya bisa buka pintu mobil sendiri kok, kamu kan bukan supir saya,” cegahku karena merasa tak enak diperlakukan manis seperti itu. Cuma Devan yang boleh melakukan hal itu padaku.
“Jangan sungkan, Bu. Bukankah sudah saya katakan, kalau dalam jam kantor, Ibu tanggung jawab saya sepenuhnya.”
Aku tak menimpali, sebab sedang tak ingin berdebat.
***
“Bagaimana Raf, sudah ada kabar tentang putusan pengadilan suami saya?” tanyaku saat jam kantor berakhir. Aku mendatangi ruangannya ketika pria itu tengah bersiap-siap untuk pulang.
Rafi tak menjawab. Malah pura-pura sibuk menyusun berkas-berkas di mejanya.
“Rafi, saya sedang bicara sama kamu!” bentakku sambil menggebrak meja. Biasalah, emosi ibu hamil yang begitu labil.
Pria itu terkejut. Kegugupan jelas terpampang di wajahnya.
“Jawab gitu aja kok repot banget sih, Raf? Katakan saja, kamu nggak usah takut. Saya siap mendengar sepahit apa pun kabar itu!” tegasku.
Rafi menghela napas. “Kita duduk dulu ya, Bu!” ajaknya seraya melangkah ke sofa sudut ruangan. Aku menurut saja, mendaratkan tubuhku di salah satu sofa berwarna biru tua itu.
Pria itu terlihat tegang, ia sibuk menautkan jemari dan mempermainkannya.
“Sekarang kamu katakan, apa hasil keputusannya?” Aku menatapnya dengan tajam.
“Eee ... begini, Bu ....“
“Saya tidak suka bertele-tele Rafi!” Emosiku kembali mencuat.
“Pak Devan di penjara seumur hidup.”
Aku terdiam. Menahan sebuah rasa sakit yang tiba-tiba muncul di dalam dada saat mendengar kenyataan pahit itu. Aku berusaha menguasai diri, mencoba tegar meskipun terasa begitu berat. Tak ingin menangis, setidaknya di depan orang lain.
Kubawa tubuh ini bangkit.
“Bu Puja ....”
Aku mengangkat satu tangan sebagai isyarat agar Rafi tak banyak bertanya, lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Tak kupedulikan sapaan para karyawan yang berseliweran hendak pulang. Kakiku terus melangkah dengan perasaan yang tak menentu menuju parkiran.
Sesampai di dekat mobil, tiba-tiba ada yang merebut kunci dari tanganku. Aku terkejut bukan main. “Rafi! Kamu apa-apaan, sih?” hardikku.
Dengan sigap pria itu membuka pintu mobil bagian belakang dan mempersilahkanku masuk. “Saya yang akan mengantar ibu pulang,” tegasnya.
“Saya tidak meminta kamu mengantar saya ‘kan?”
“Iya saya tahu, ini amanah Pak Devan. Saya tidak mau dipecat hanya karena membiarkan Ibu yang sedang tidak dalam keadaan baik menyetir mobil sendiri.”
Kuhela napas menahan kesal. Lalu masuk ke dalam mobil, menghempaskan tubuh dengan sedikit kasar.
“Hati-hati, Bu. Ibu lagi hamil!” tegurnya.
Aku tak peduli dengan perhatian pria alim yang mulai melanggar prinsipnya ini.
Selang beberapa menit, mobil pun melaju. Pikiranku tertuju pada Devan. Hasil putusan sidang itu sungguh mengecewakan. Mami dan Ayah sama sekali tak melihat keadaanku sedikit pun. Tak bisakah sedikit saja mengalah demi anaknya? Tak bisakah membiarkanku bahagia? Bahkan saat aku sudah mengatakan kalau aku hamil mereka sama sekali tak menggubris. Di mana letak kasih sayang mereka padaku? Tidakkah mereka berpikir bagaimana jika anakku lahir tanpa seorang ayah?
Kuseka air mata yang mulai menggenang dengan ujung jari.
“Ibu baik-baik saja?” tanya Rafi sembari melihatku melalui kaca spion.
Aku melempar pandangan keluar jendela mobil. “Tidak perlu bertanya. Kamu pasti sudah tahu apa yang saya rasakan.”
Rafi terdiam. Kembali fokus menyetir.
“Raf, kita ke tempat Bapak. Sekarang!” perintahku tiba-tiba.
“Baik, Bu,” sahutnya patuh. Lalu dengan cekatan ia memutar balik mobil melawan arah. Menuju rumah pesakitan tempat Devan berada.
Suasana sore itu sedikit gerimis. Kemacetan karena jam pulang kerja membuat perjalanan sedikit terhambat.
“Boleh saya tanya sesuatu, Raf?” tanyaku memecah keheningan saat mobil berhenti di lampu merah.
“Silakan, Bu!”
“Kamu usianya berapa?”
“Tiga puluh tahun, Bu.”
“Sudah menikah?”
Kulihat dia tersenyum dari kaca spion.
“Kenapa tersenyum?”
“Apa saya terlihat sebagai pria beristri ya, Bu?”
“Mana saya tahu, saya tidak bisa membedakannya.”
Rafi tertawa kecil. “Belum, Bu. Saya masih lajang.”
“Oh, ya? Kenapa belum menikah? Bukankah kamu sudah sangat mapan dan ... tidak mungkin tidak ada perempuan yang mendekati kamu,” ungkapku penasaran.
“Entahlah, Bu. Mungkin karena belum menemukan yang cocok.”
“Mungkin karena kamu terlalu pemilih,” tuduhku.
“Ah, tidak juga, Bu,” bantahnya.
“Pernah jatuh cinta?” Ah, kenapa aku jadi penasaran sih dengan pria ini?
Rafi terdiam sebentar, sebelum akhirnya menjawab, “Saya tidak tahu jatuh cinta itu seperti apa, Bu.”
“Masa, sih?”
“Iya, Bu. Tapi ... saya pernah merasakan sesuatu saat bertemu seorang wanita. Di mana jantung saya berdetak tidak karuan saat melihat dan mendengar suaranya. Saya juga merasa bahagia saat selalu dekat dengannya. Apakah seperti itu yang dikatakan jatuh cinta, Bu?”
Kalimatnya terdengar ganjil di telingaku.
“Benarkah itu yang disebut jatuh cinta, Bu?” Rafi mengulang pertanyaannya.
“Ya, seperti itulah jatuh cinta. Sama seperti saat pertama kali saya bertemu Devan, suami saya,” jawabku pelan.
Hening. Pembahasan berakhir. Kami tak lagi saling bicara hingga sampai ke tempat Devan.
***
Kutatap wajah kuyu itu dengan linangan air mata.
“Bang Dev, aku akan mencoba mencari jalan, agar hukumanmu diringankan. Kalau perlu kita kasih jaminan, walau taruhannya semua harta yang kita miliki. Aku rela, aku rela kalau tidak lagi memiliki apa-apa. Aku rela jika harus memulai dari nol lagi. Aku rela kalau ….”
“Sssttt, Puja tenanglah!” bisiknya. Ia tersenyum meski terlihat patah. “Tidak perlu sampai begitu. Hukuman ini tidak sebanding dengan dosa yang sudah Abang perbuat. Bahkan di akhirat sana siksanya akan lebih pedih dari ini,” ujarnya dengan suara bergetar.
“Tapi aku tidak bisa hidup tanpamu, Bang. Aku tidak sanggup jika berpisah denganmu seperti ini.” Tangisku pecah.
Devan bangkit, lalu duduk di sampingku. Membawaku rebah ke dadanya yang bidang. “Bukankah kita sudah berjanji untuk selalu kuat dalam menghadapi segala ujian?”
“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan bayi yang kukandung? Apakah ia bisa lahir tanpamu? Apakah aku sanggup jika menjalani semua ini seorang diri sementara dirimu berada di rumah pesakitan ini?” Tangisku makin menjadi.
“Puja!” Devan merenggangkan pelukannya, lalu menatapku lekat. “Kamu tidak akan sendiri, ada Mbak Rima yang selalu menemanimu. Juga ada Rafi yang membantumu menjalankan perusahaan kita.”
“Tapi aku butuh Abang!” tampikku.
“Jangan pernah marah pada takdir. Semua sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa, tak ada yang bisa menentangnya.” Mata Devan terlihat berbinar. “Kamu tahu kenapa kita yang dipilih untuk menghadapi ujian yang menurut kita terlalu berat ini?”
Pelan aku menggeleng.
“Itu karena Allah tahu kita mampu, Puja. Allah tahu kita bisa melewati ujian ini. Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. Tidaklah Allah membebani hamba-Nya kecuali yang sesuai dengan kemampuannya. Nah, Allah saja bilang kita mampu, kenapa kita malah bilang tidak mampu?”
Aku terdiam mendengar ucapan Devan. Semenjak berada di sini, ia jauh berubah. Kata-katanya selalu bisa menenangkan hati.
“Kamu tahu, Pu? Setiap malam Abang selalu bangun di sepertiga malam, berdoa agar cinta yang kita miliki bisa sampai ke surga.” Mata Devan berkaca-kaca.
“Apa kamu juga melakukan hal yang sama?”
Lama kutatap matanya, seakan tak percaya bahwa ini adalah Devan, suamiku. “Ya, aku juga berharap seperti itu,” jawabku singkat.
“Jadi ... mulai sekarang, jangan sedih lagi walaupun Abang tidak berada di sisimu. Abang akan selalu menjagamu dan calon anak kita melalui doa-doa.”
Jemarinya menghapus air mata yang masih membasahi pipi.
“Bagaimana kalau kita tak lagi bisa bertemu? Apa yang harus kulakukan?”
Devan kembali tersenyum. “Yang jelas, kita jalani saja skenario Allah. Jangan pernah berprasangka buruk pada-Nya. Itu saja cukup.”
Aku tersenyum getir, kembali memeluk lelaki yang sangat kucintai itu.
“Kamu ini, dari dulu hobi banget ya peluk-peluk, manja banget,” kelakar Devan sambil mengusap kepalaku.
“Biarin, kan yang aku peluk suamiku sendiri, bukan Pak Dosen.”
“Pujaaaaaa!”
Aku tertawa. Lepas. Seperti lepasnya rasa rindu yang selalu membuatku ingin bertemu dengan kekasih pujaanku itu.
“Pu, Abang mau bicara sama Rafi sebentar, boleh? Mumpung waktu besuk masih ada beberapa menit lagi. Ada hal penting yang ingin Abang sampaikan,” pintanya.
“Boleh Bang, sebentar aku panggil, ya?”
Aku bangkit, melangkah ke luar untuk memanggil Rafi.
Sekitar sepuluh menit aku menunggu mereka selesai bicara. Entah apa yang mereka bahas hingga aku hanya bisa melihat wajah keduanya tampak sedikit tegang. Tak sabra akhirnya aku masuk dan mereka menyudahi pembicaraan rahasia mereka.
“Rafi, tolong jaga Puja saat di kantor. Antar dia ke mana pun dia mau. Jangan biarkan lagi dia bawa mobil sendiri dalam kondisi hamil begini. Kalau terjadi apa-apa dengannya, kamu orang pertama yang akan saya tuntut.”
Rafi tertawa kecil. “Baik, Pak Dev.”
Apa-apaan sih Bang Dev ini, nitipin istrinya sama laki-laki lain. Tumben dia tidak cemburu seperti dia cemburu pada Ramzi?
“Oh, ya satu lagi, Raf. Tolong pastikan seorang Dosen bernama Ramzi tidak bertemu dan bicara lagi pada istri saya ini.”
“Abang, apa-apaan sih?” sungutku sambil mencubit lengannya.
Rafi hanya tertawa kecil melihat tingkah kami berdua.
“Ya sudah, kamu pulanglah. Sudah mau magrib. Jangan lupa shalat tepat waktu. Makan yang banyak, jaga kesehatan. Abang nggak mau lagi dengar kamu sakit.” Devan memeluk dan megecup dahiku.
Lagi, air mataku menetes saat beranjak pergi meninggalkannya. Walaupun Devan melepasku dengan senyum hangatnya, tapi tetap saja senyum itu terasa getir buatku.
‘Andai aku bisa menemaninya di sini, di balik jeruji besi ini, maka aku rela menghabiskan sisa umurku di tempat pesakitan ini, asalkan selalu dekat dengannya.’
***
0