- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#44
PART 17
💐Bab 17💐
“Non, Tuan Devan Non, Tuan ....“ Tergopoh Mbak Rima menyambut saat aku baru saja sampai di rumah.
“Ada apa, Mbak?” tanyaku sambil menelisik wajah cemasnya.
“Tuan Devan ... Tuan ... masuk rumah sakit!”
“Apa?” Aku begitu terperanjat. Rasa lelah setelah seharian di kantor sirna seketika. Tanpa banyak tanya aku berlari ke luar, masuk ke mobil dan kembali menyalakan mesinnya.
“Non Puja! Hati-hati jangan ngebuuuuuut!” teriak Mbak Rima sebelum aku melajukan mobilku dengan kencang.
Menembus jalanan yang sedikit macet karena sudah berada pada jam pulang kantor membuatku bertambah risau. Pikiranku kacau, aku takut Devan sudah melakukan hal buruk. Aku takut dia kehilangan akal sampai ... ah tidak! Devan tak mungkin berbuat sampai ke sana.
Kecepatan laju mobil kutambah saat sudah berada di kawasan yang jauh dari macet. Sekitar hampir satu jam aku sampai di sana. Sebuah rumah sakit yang tak jauh dari rumah tahanan. Jalanan macet membuat perjalanan dua kali lipat lamanya.
Aku memarkirkan mobil, dan bergegas menuju bagian informasi untuk menanyakan ruangan tempat Devan dirawat. Setengah berlari aku menuju lift untuk naik ke lantai tiga. Menjumpai sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh beberapa orang polisi.
‘Ah, keterlaluan! Kenapa suamiku dijaga seperti seorang teroris?’ batinku kesal.
Untuk masuk ke ruangannya saja aku sampai diperiksa oleh seorang polwan. Di mana aku harus menunjukkan KTP dan identitas lain yang kupunya. Baru setelah itu aku boleh masuk.
Devan tampak terbaring tak berdaya. Tampaknya ia sedang terlelap. Ada jarum infus yang menancap di pergelangan tangannya. Wajahnya terlihat sedikit pucat, dan lebih tirus dari terakhir kali aku bertemu dengannya.
Pelan kusentuh tangannya, Devan terkesiap. Matanya langsung terbuka.
“Pu ... Puja?”
Aku tersenyum, mencium dahinya.
“Assalaamu’alaykum, Bang Dev!” ucapku lirih.
“Wa-wa’alaykumussalaam. Puja? Kamu ....“
Devan ingin bangkit tapi kucegah.
“Abang kenapa?” tanyaku setengah berbisik. “Apa yang sakit?”
Ia menggeleng.
“Abang tidak apa-apa. Semua baik-baik saja. Abang hanya kelelahan.”
“Kelelahan kenapa? Apa para aparat itu menyuruhmu bekerja tanpa henti?” tanyaku mulai berprasangka.
Devan tertawa tanpa suara. “Bukan Puja, hanya ... dalam beberapa hari ini Abang tidak tidur.”
“Apa yang Abang pikirkan? Memikirkan tentang hukuman itu?”
“Bukan, bukan itu.”
“Lalu?”
Ia menatapku lekat, diraihnya jemariku dan menggenggamnya dengan erat. “Abang hanya takut meninggalkanmu sendirian. Itu saja.”
“Jangan menakutiku seperti itu. Tidak akan ada yang pergi dan tidak akan ada yang meninggalkan. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Jalani semua dengan ikhlas apa pun keputusan yang telah ditetapkan Allah. Aku istrimu ... akan selalu menemanimu, meski raga kita saling berjauhan.” Satu persatu bulir-bulir bening itu berlarian di pipiku.
“Jangan menangis, Puja! Bagaimana Abang bisa tenang jika air matamu selalu menetes?” Diusapnya air mataku dengan ujung jari.
Aku mengatup kedua bibir, mencoba menghentikan tangis yang begitu susah untuk ditahan.
“Kamu ke mana saja sudah seminggu tidak datang menemui Abang?” Devan mencoba mengalihkan pembicaraan. Kali ini matanya sedikit membulat menatapku.
“Aku sibuk di kantor. Maaf, jika aku sampai lupa,” sesalku.
“Ya Allah, Puja. Kenapa kamu harus repot-repot begitu, biarkan saja kantor itu, yang penting kesehatanmu dan calon bayi kita. Kenapa tak membiarkan Rafi mengurus semuanya?”
“Maaf, Bang. Aku hanya ingin menyibukkan diri. Aku takut larut dalam perasaan.”
Devan tertawa kecil. “Kegigihanmu masih tak berubah, sama seperti saat dirimu membuktikan cintamu pada Abang.”
“Aaah, jangan ingat-ingat itu lagi, aku maluuu,” sungutku pura-pura tidak suka.
Kami tertawa berdua, melepaskan rasa rindu yang telah menggunung dengan cara kami sendiri. Bernostalgia tentang awal pernikahan kami yang penuh drama.
Aku tahu, semua takkan pernah kembali seperti semula. Akan tetapi aku yakin, apa yang sedang kujalani ini adalah sebuah ujian dari proses hijrah kami yang masih seujung kuku. Menemani pria ini dalam suka dan duka, dengan melupakan perbuatan keji yang telah ia lakukan pada Meera juga sebuah ujian buatku sendiri, karena aku harus berusaha keras untuk mengalahkan egoku dan melupakan kesalahannya.
“Waktu besuknya sudah habis, aku pulang dulu ya, Bang? Aku mau ke rumah Ayah untuk meminta keringanan hukuman untuk Abang.”
“Tidak perlu, Puja. Biarkan saja!” cegahnya.
“Tidak, aku harus bicara dengan mereka. Mereka harus tahu semua yang telah terjadi. Agar mereka tak menyalahkan Abang secara keseluruhan,” sahutku lugas.
Devan tak menjawab, sepertinya ia hanya bisa pasrah dengan keinginanku.
“Jaga dirimu baik-baik, dan juga calon anak kita. Abang tidak mau lagi mendengarmu jatuh sakit,” pesannya saat aku hendak pulang.
“Iya, Bang. Insyaa Allah,” sahutku singkat.
Aku meninggalkan ruangan tempat ia dirawat dengan perasaan campur aduk. Jujur, sebenarnya aku takut jika Devan benar-benar dijatuhi hukuman mati. Aku belum siap kehilangan dia. Aku belum siap hidup tanpanya. Aku ... aku sangat mencintainya.
‘Ya Allah, aku mohon, jangan ambil dia secepat ini dariku, aku masih butuh dia, aku masih ingin bersamanya menjalani hidup ini. Tolong berikan waktu untuk kami sebentaaaar lagi!’
Kuusap air mata sambil melangkah menuju parkiran. Aku harus segera menemui Mami dan Ayah. Besok adalah sidang putusan hukuman buat Devan, dan aku harus bisa membujuk Mami dan Ayah agar mereka mau mencabut gugatan atau setidaknya meringankan hukuman buat Devan.
***
“Tidak! Mami dan Ayah tidak akan pernah mencabut tuntutan itu! Devan sudah membunuh Meera, tapi kamu masih saja membelanya. Di mana letak hati nuranimu?” bentak Mami penuh amarah dan mata nyalang menatapku.
Aku hanya diam, menunduk.
“Puja! Ayah juga sudah bilang, bercerai dari pembunuh itu!” Ayah ikut bicara.
Teriris rasanya hati saat kata pembunuh itu disematkan pada pria yang sangat kucintai.
“Apa Ayah dan Mami tahu bagaimana perlakuan Meera terhadap Devan dulu?” tanyaku lirih.
“Apa maksudmu?” tanya Ayah heran.
“Asal Mami dan Ayah tahu, Meera tak pernah menganggap Devan sebagai suaminya, Meera tak pernah mau disentuh oleh Devan. Karena apa? Karena Meera punya kekasih, orang bawahan Ayah di kantor. Bahkan sampai mereka menikah pun, Meera tetap menjalin hubungan dengan pria itu, sampai akhirnya ... Meera hamil dengan kekasihnya itu.”
Ayah dan Mami terperanjat, menatapku tak percaya.
“Kamu jangan mengada-ada, Puja!” bentak Ayah.
“Tidak, aku tidak mengada-ada, Yah! Semua ini fakta!”
Aku menelan saliva yang tersekat di tenggorokan.
“Meera juga mengancam akan membunuhku, kalau Devan berani menceraikannya dan memberitahu semua yang terjadi pada kalian.”
“Membunuhmu?”
“Iya, karena dia tahu, kalau sebenarnya Devan mencintaiku, bukan Meera. Devan menerima perjodohan dengan Meera hanya karena ingin berbakti pada orang tuanya.”
“Ah, omong kosong apa ini Puja? Kamu percaya dengan pembunuh itu dari pada kakakmu sendiri?”
“Devan membunuh Meera, karena dia ingin melindungiku,” ujarku datar.
“Puja! Kamu sudah tidak waras ya? Apa laki-laki itu sudah mencuci otakmu?” geram Ayah.
“Entahlah, Yah ... yang jelas, aku sangat mencintai Devan. Aku memaafkan semua yang telah dia lakukan, karena dia sudah bertaubat, dan berani menyerahkan diri. Aku tak punya alasan untuk membencinya,” lirihku.
“Yah ... bolehkah aku memohon untuk yang terakhir kali?” pintaku mengiba.
Ayah dan Mami membuang muka, mereka tampak begitu marah denganku.
“Aku mohon, tolong berikan kesempatan untuk Devan sekali lagi. Aku yakin dia sebenarnya lelaki baik, hanya karena cintanya terlalu dalam untukku, hingga dia melakukan kekhilafan itu. Tolong lakukan demi aku ... anak kalian.” Air mata mulai jatuh membasahi pipi.
Mami melirikku. Aku tahu sesungguhnya Mami mulai luruh, karena Mami sangat menyayangiku. Akan tetapi, karena tak berani melawan Ayah, dia memilih diam.
“Baiklah, jika permohonanku tidak diterima.” Aku bangkit dari duduk. Mendekati mereka satu persatu, mengambil tangan mereka dan menciumnya penuh takzim.
“Jika tidak bisa melakukannya untukku, setidaknya tolong lakukan untuk janin yang ada di dalam rahimku ini!” pungkasku sebelum beranjak pergi meninggalkan rumah megah itu. Sempat kutangkap raut keterkejutan di wajah keduanya, tapi mereka tetap bergeming. Hingga kakiku melangkah pergi dari hadapan mereka.
***
Pagi ini langit terlihat mendung, angin bertiup begitu dingin. Perlahan gerimis mulai turun membelai bumi. Aku duduk termenung di meja makan. Tak menyentuh sama sekali sarapan yang telah dihidangkan Mbak Rima. Pikiran tertuju pada Devan dan keputusan sidang hari ini. Aku tahu, Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk kami, walau itu akan sangat menyakitkan. Akan tetapi, tetap saja ada gelisah dan sesak di dada kala membayangkan jika keputusan terburuk itu dijatuhkan. Mampukah aku?
“Non, hari ini nggak ke kantor? Atau mau ke persidangan?” Suara Mbak Rima mengagetkanku.
“Iya Mbak, sebentar lagi saya berangkat ke kantor. Saya nggak mau ke persidangan, saya takut mendengar apa yang akan dikatakan majelis hakim,” jawabku pelan.
“Saya doakan yang terbaik buat Tuan dan Non Puja.”
“Terima kasih, Mbak,” ucapku sambil tersenyum. Lalu meneguk segelas susu hangat yang baru saja disodorkan Mbak Rima padaku.
***
💐Bab 17💐
“Non, Tuan Devan Non, Tuan ....“ Tergopoh Mbak Rima menyambut saat aku baru saja sampai di rumah.
“Ada apa, Mbak?” tanyaku sambil menelisik wajah cemasnya.
“Tuan Devan ... Tuan ... masuk rumah sakit!”
“Apa?” Aku begitu terperanjat. Rasa lelah setelah seharian di kantor sirna seketika. Tanpa banyak tanya aku berlari ke luar, masuk ke mobil dan kembali menyalakan mesinnya.
“Non Puja! Hati-hati jangan ngebuuuuuut!” teriak Mbak Rima sebelum aku melajukan mobilku dengan kencang.
Menembus jalanan yang sedikit macet karena sudah berada pada jam pulang kantor membuatku bertambah risau. Pikiranku kacau, aku takut Devan sudah melakukan hal buruk. Aku takut dia kehilangan akal sampai ... ah tidak! Devan tak mungkin berbuat sampai ke sana.
Kecepatan laju mobil kutambah saat sudah berada di kawasan yang jauh dari macet. Sekitar hampir satu jam aku sampai di sana. Sebuah rumah sakit yang tak jauh dari rumah tahanan. Jalanan macet membuat perjalanan dua kali lipat lamanya.
Aku memarkirkan mobil, dan bergegas menuju bagian informasi untuk menanyakan ruangan tempat Devan dirawat. Setengah berlari aku menuju lift untuk naik ke lantai tiga. Menjumpai sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh beberapa orang polisi.
‘Ah, keterlaluan! Kenapa suamiku dijaga seperti seorang teroris?’ batinku kesal.
Untuk masuk ke ruangannya saja aku sampai diperiksa oleh seorang polwan. Di mana aku harus menunjukkan KTP dan identitas lain yang kupunya. Baru setelah itu aku boleh masuk.
Devan tampak terbaring tak berdaya. Tampaknya ia sedang terlelap. Ada jarum infus yang menancap di pergelangan tangannya. Wajahnya terlihat sedikit pucat, dan lebih tirus dari terakhir kali aku bertemu dengannya.
Pelan kusentuh tangannya, Devan terkesiap. Matanya langsung terbuka.
“Pu ... Puja?”
Aku tersenyum, mencium dahinya.
“Assalaamu’alaykum, Bang Dev!” ucapku lirih.
“Wa-wa’alaykumussalaam. Puja? Kamu ....“
Devan ingin bangkit tapi kucegah.
“Abang kenapa?” tanyaku setengah berbisik. “Apa yang sakit?”
Ia menggeleng.
“Abang tidak apa-apa. Semua baik-baik saja. Abang hanya kelelahan.”
“Kelelahan kenapa? Apa para aparat itu menyuruhmu bekerja tanpa henti?” tanyaku mulai berprasangka.
Devan tertawa tanpa suara. “Bukan Puja, hanya ... dalam beberapa hari ini Abang tidak tidur.”
“Apa yang Abang pikirkan? Memikirkan tentang hukuman itu?”
“Bukan, bukan itu.”
“Lalu?”
Ia menatapku lekat, diraihnya jemariku dan menggenggamnya dengan erat. “Abang hanya takut meninggalkanmu sendirian. Itu saja.”
“Jangan menakutiku seperti itu. Tidak akan ada yang pergi dan tidak akan ada yang meninggalkan. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Jalani semua dengan ikhlas apa pun keputusan yang telah ditetapkan Allah. Aku istrimu ... akan selalu menemanimu, meski raga kita saling berjauhan.” Satu persatu bulir-bulir bening itu berlarian di pipiku.
“Jangan menangis, Puja! Bagaimana Abang bisa tenang jika air matamu selalu menetes?” Diusapnya air mataku dengan ujung jari.
Aku mengatup kedua bibir, mencoba menghentikan tangis yang begitu susah untuk ditahan.
“Kamu ke mana saja sudah seminggu tidak datang menemui Abang?” Devan mencoba mengalihkan pembicaraan. Kali ini matanya sedikit membulat menatapku.
“Aku sibuk di kantor. Maaf, jika aku sampai lupa,” sesalku.
“Ya Allah, Puja. Kenapa kamu harus repot-repot begitu, biarkan saja kantor itu, yang penting kesehatanmu dan calon bayi kita. Kenapa tak membiarkan Rafi mengurus semuanya?”
“Maaf, Bang. Aku hanya ingin menyibukkan diri. Aku takut larut dalam perasaan.”
Devan tertawa kecil. “Kegigihanmu masih tak berubah, sama seperti saat dirimu membuktikan cintamu pada Abang.”
“Aaah, jangan ingat-ingat itu lagi, aku maluuu,” sungutku pura-pura tidak suka.
Kami tertawa berdua, melepaskan rasa rindu yang telah menggunung dengan cara kami sendiri. Bernostalgia tentang awal pernikahan kami yang penuh drama.
Aku tahu, semua takkan pernah kembali seperti semula. Akan tetapi aku yakin, apa yang sedang kujalani ini adalah sebuah ujian dari proses hijrah kami yang masih seujung kuku. Menemani pria ini dalam suka dan duka, dengan melupakan perbuatan keji yang telah ia lakukan pada Meera juga sebuah ujian buatku sendiri, karena aku harus berusaha keras untuk mengalahkan egoku dan melupakan kesalahannya.
“Waktu besuknya sudah habis, aku pulang dulu ya, Bang? Aku mau ke rumah Ayah untuk meminta keringanan hukuman untuk Abang.”
“Tidak perlu, Puja. Biarkan saja!” cegahnya.
“Tidak, aku harus bicara dengan mereka. Mereka harus tahu semua yang telah terjadi. Agar mereka tak menyalahkan Abang secara keseluruhan,” sahutku lugas.
Devan tak menjawab, sepertinya ia hanya bisa pasrah dengan keinginanku.
“Jaga dirimu baik-baik, dan juga calon anak kita. Abang tidak mau lagi mendengarmu jatuh sakit,” pesannya saat aku hendak pulang.
“Iya, Bang. Insyaa Allah,” sahutku singkat.
Aku meninggalkan ruangan tempat ia dirawat dengan perasaan campur aduk. Jujur, sebenarnya aku takut jika Devan benar-benar dijatuhi hukuman mati. Aku belum siap kehilangan dia. Aku belum siap hidup tanpanya. Aku ... aku sangat mencintainya.
‘Ya Allah, aku mohon, jangan ambil dia secepat ini dariku, aku masih butuh dia, aku masih ingin bersamanya menjalani hidup ini. Tolong berikan waktu untuk kami sebentaaaar lagi!’
Kuusap air mata sambil melangkah menuju parkiran. Aku harus segera menemui Mami dan Ayah. Besok adalah sidang putusan hukuman buat Devan, dan aku harus bisa membujuk Mami dan Ayah agar mereka mau mencabut gugatan atau setidaknya meringankan hukuman buat Devan.
***
“Tidak! Mami dan Ayah tidak akan pernah mencabut tuntutan itu! Devan sudah membunuh Meera, tapi kamu masih saja membelanya. Di mana letak hati nuranimu?” bentak Mami penuh amarah dan mata nyalang menatapku.
Aku hanya diam, menunduk.
“Puja! Ayah juga sudah bilang, bercerai dari pembunuh itu!” Ayah ikut bicara.
Teriris rasanya hati saat kata pembunuh itu disematkan pada pria yang sangat kucintai.
“Apa Ayah dan Mami tahu bagaimana perlakuan Meera terhadap Devan dulu?” tanyaku lirih.
“Apa maksudmu?” tanya Ayah heran.
“Asal Mami dan Ayah tahu, Meera tak pernah menganggap Devan sebagai suaminya, Meera tak pernah mau disentuh oleh Devan. Karena apa? Karena Meera punya kekasih, orang bawahan Ayah di kantor. Bahkan sampai mereka menikah pun, Meera tetap menjalin hubungan dengan pria itu, sampai akhirnya ... Meera hamil dengan kekasihnya itu.”
Ayah dan Mami terperanjat, menatapku tak percaya.
“Kamu jangan mengada-ada, Puja!” bentak Ayah.
“Tidak, aku tidak mengada-ada, Yah! Semua ini fakta!”
Aku menelan saliva yang tersekat di tenggorokan.
“Meera juga mengancam akan membunuhku, kalau Devan berani menceraikannya dan memberitahu semua yang terjadi pada kalian.”
“Membunuhmu?”
“Iya, karena dia tahu, kalau sebenarnya Devan mencintaiku, bukan Meera. Devan menerima perjodohan dengan Meera hanya karena ingin berbakti pada orang tuanya.”
“Ah, omong kosong apa ini Puja? Kamu percaya dengan pembunuh itu dari pada kakakmu sendiri?”
“Devan membunuh Meera, karena dia ingin melindungiku,” ujarku datar.
“Puja! Kamu sudah tidak waras ya? Apa laki-laki itu sudah mencuci otakmu?” geram Ayah.
“Entahlah, Yah ... yang jelas, aku sangat mencintai Devan. Aku memaafkan semua yang telah dia lakukan, karena dia sudah bertaubat, dan berani menyerahkan diri. Aku tak punya alasan untuk membencinya,” lirihku.
“Yah ... bolehkah aku memohon untuk yang terakhir kali?” pintaku mengiba.
Ayah dan Mami membuang muka, mereka tampak begitu marah denganku.
“Aku mohon, tolong berikan kesempatan untuk Devan sekali lagi. Aku yakin dia sebenarnya lelaki baik, hanya karena cintanya terlalu dalam untukku, hingga dia melakukan kekhilafan itu. Tolong lakukan demi aku ... anak kalian.” Air mata mulai jatuh membasahi pipi.
Mami melirikku. Aku tahu sesungguhnya Mami mulai luruh, karena Mami sangat menyayangiku. Akan tetapi, karena tak berani melawan Ayah, dia memilih diam.
“Baiklah, jika permohonanku tidak diterima.” Aku bangkit dari duduk. Mendekati mereka satu persatu, mengambil tangan mereka dan menciumnya penuh takzim.
“Jika tidak bisa melakukannya untukku, setidaknya tolong lakukan untuk janin yang ada di dalam rahimku ini!” pungkasku sebelum beranjak pergi meninggalkan rumah megah itu. Sempat kutangkap raut keterkejutan di wajah keduanya, tapi mereka tetap bergeming. Hingga kakiku melangkah pergi dari hadapan mereka.
***
Pagi ini langit terlihat mendung, angin bertiup begitu dingin. Perlahan gerimis mulai turun membelai bumi. Aku duduk termenung di meja makan. Tak menyentuh sama sekali sarapan yang telah dihidangkan Mbak Rima. Pikiran tertuju pada Devan dan keputusan sidang hari ini. Aku tahu, Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk kami, walau itu akan sangat menyakitkan. Akan tetapi, tetap saja ada gelisah dan sesak di dada kala membayangkan jika keputusan terburuk itu dijatuhkan. Mampukah aku?
“Non, hari ini nggak ke kantor? Atau mau ke persidangan?” Suara Mbak Rima mengagetkanku.
“Iya Mbak, sebentar lagi saya berangkat ke kantor. Saya nggak mau ke persidangan, saya takut mendengar apa yang akan dikatakan majelis hakim,” jawabku pelan.
“Saya doakan yang terbaik buat Tuan dan Non Puja.”
“Terima kasih, Mbak,” ucapku sambil tersenyum. Lalu meneguk segelas susu hangat yang baru saja disodorkan Mbak Rima padaku.
***
0