- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#43
PART 16
💐Bab 16💐
Aroma khas obat-obatan yang menusuk indra penciuman saat perlahan aku membuka mata yang terasa berat. Merasakan slang oksigen menempel di hidung, ada jarum infus juga yang masih menyisakan rasa ngilu menusuk tangan. Tetapi ... ada jemari hangat yang menggenggam tanganku begitu erat.
“Puja ....“
Suara itu ... suara itu ....
Aku menoleh ke kanan, memastikan jika tak salah dalam mengenali pemilik suara itu. Mataku terbelalak, tanpa sadar aku langsung bangkit dan menghambur ke dalam pelukannya.
“Bang Dev!”
Tangisku pecah. Kerinduan mendalam yang tak lagi mampu kubendung saat melihatnya hadir di sini. Aku semakin mengeratkan pelukan. Devan pun ikut menangis. Tapi tangannya, kenapa tidak membalas pelukanku? Tidakkah dia rindu pada kekasihnya ini?
Kurenggangkan pelukan. Baru sadar, ternyata ada borgol di kedua tangannya. Di depan pintu sana ada beberapa orang polisi yang berjaga. Di sini aku baru paham situasinya.
“Berbaringlah, kamu masih lemah, Pu!”
Hanya bisa mengangguk dan mengikuti perintahnya. “Abang apa kabar?” tanyaku lirih.
“Alhamdulillaah, Abang baik. Kamu sendiri?” Bibirnya mengecup hangat dahiku.
“Aku juga baik, seperti yang Abang lihat.”
“Bohong! Kalau kamu baik tidak mungkin ada di sini,” tukasnya sambil tertawa pelan.
Ah, tawa itu ... rindu sekali melihatnya.
“Maafkan ... jika kamu kesepian tanpa Abang,” bisiknya, “tapi kamu harus kuat, Abang juga tidak keberatan kalau ... kalau kamu ingin berpisah dari Abang. Abang ikhlas.” Matanya terlihat berkaca-kaca. “Abang ingin melihat kamu bahagia. Abang takut jika penjara itu membuatmu tak lagi percaya pada Abang, walaupun cinta di hati ini, tak pernah berkurang sedikit pun untukmu, Puja.” Air mata Devan mengalir deras.
“Iya ... aku kesepian. Rumah itu sepi sekali tanpamu. Aku juga kerepotan mengurus perusahaanmu. Aku benci ketika pagi datang, tak kutemukan dirimu di sampingku. Aku benci ketika aku rindu padamu, aku tak dapat memelukmu. Aku benci hal itu, aku benci!”
Aku terisak, menatapnya dalam. Menyampaikan segala rasa yang kupendam.
“Sudah kucoba melupakan dan berusaha membencimu, tapi aku tak bisa. Semakin aku lupakan, semakin besar rasa cintaku padamu. Aku benci itu!” pekikku tertahan. “Kenapa sulit sekali membencimu? Kenapa?”
“Puja, tenanglah!”
Devan mencoba meraih tanganku walaupun ia tampak kesulitan. Erat ia menggenggamnya, seolah enggan melepaskan.
‘Ya Allah! Aku tidak tahu harus apa, aku sangat mencintainya. Aku tak ingin berpisah dengannya, aku ingin dia kembali ke sisiku. Aku ingin dia selalu menemaniku hingga akhir hayatku. Bagaimana caraku bahagia tanpanya? Sedang dia adalah sumber kebahagiaanku.’
“Maaf, Pak Devan, waktu sudah habis, kita harus kembali sekarang juga!”
Seorang pria berseragam tiba-tiba masuk dan muncul di tengah-tengah kami.
Aku tertegun. Mata kami saling menatap. “Jangan tinggalkan aku, Bang!” pintaku lirih.
Devan menggeleng. “Maafkan Abang, Puja. Maafkan Abang!”
Pria itu melangkah mundur, lalu ia membalikkan badan, melangkah menuju pintu ke luar. Aku bangkit, dan duduk di atas ranjang. Ada sesak di rongga dada, ketika melihatnya di gandeng dua pria berseragam itu, berikut beberapa orang lainnya untuk mengawal.
“Aku akan menunggumu bersama calon anak kita!” teriakku menggema ke setiap sudut ruangan.
Langkah Devan terhenti. Dengan tatapan tak percaya, ia menoleh ke belakang.
Kuanggukkan kepala. “Ada anakmu di rahimku,” ujarku sambil memegang perut.
“Puja,“ lirihnya. “Pak, sebentar, satu menit saja,” pinta Devan pada polisi itu. Beberapa detik sebelum mereka menyetujuinya, lalu Devan kembali mendekatiku.
“Anak ... kita?” Gugup ia bertanya. Susah payah mencoba mengusap pipiku.
Aku mengangguk pelan. “Iya, anak kita. Buah cinta kita.”
”Bagaimana bisa?”
“Allah Maha Kuasa, tak ada yang tak mungkin baginya,” sahutku setengah berbisik.
Tatapan Devan begitu dalam, tatapan penuh cinta yang membuatku semakin tak mampu melupakannya.
“Katakan bagaimana caraku membencimu jika bersamaku ada buah cintamu?” bisikku sambil meraihnya ke dalam pelukan.
Devan menggeleng. “Apa pun yang terjadi ... jaga dia untuk Abang, meskipun nanti kita tak lagi bersua.” Devan merenggangkan tubuhnya, hingga pelukanku terlepas.
Aku menempelkan telunjuk ke bibirnya. “Jangan berkata seperti itu. Mintalah pada Allah agar kita diberi jalan terbaik. Jangan pernah tinggalkan Allah. Aku yakin, kita bisa melewati semua ini.”
Pria itu menghela napas, tersenyum getir, mengecup pipi kiriku dengan lembut.
“I love you, Puja,” ucapnya.
“I love you too … Bang Dev.”
Lalu ia kembali melangkah menjauhiku. Pergi bersama para aparat berseragam tadi. Aku hanya bisa menatap hingga punggungnya menghilang dari pandangan.
Kuhapus sisa air mata yang membasahi pipi dengan punggung tangan. Saat itulah Mbak Rima dan Rafi masuk. Mbak Rima mendekat, dan memelukku. Sementara Rafi hanya bisa berdiri terpaku di ujung tempatku berbaring.
“Apa yang terjadi, Mbak? Bagaimana aku bisa di sini?”
“Tadi Non pingsan di rumah, karena khawatir, Mbak sama Pak Rafi membawa Non ke sini. Kata Dokter, Non kelelahan dan terlalu banyak pikiran.”
Kuhela napas sejenak, melepas slang oksigen yang terasa sedikit mengganggu.
“Lalu bagaimana bisa Devan datang ke sini? Siapa yang memberitahunya?”
“Saya, Bu,” jawab Rafi.
Mataku mengarah pada lelaki berperawakan tinggi dengan tubuh proposional itu. Tampak ia sedang menunduk.
“Saya yang menjamin pada polisi untuk membawa Pak Rafi kemari. Saya khawatir karena ibu pingsan begitu lama. Hingga saya berinisiatif sendiri. Walau bagaimanapun, Pak Devan harus tahu keadaan ibu,” jelasnya.
“Terima kasih,” ucapku.
“Sama-sama, Bu. Ini sudah menjadi kewajiban saya.”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, walaupun mungkin lelaki itu takkan melihatnya.
“Apakah Mami dan Ayah tahu, Mbak?” tanyaku khawatir.
“Tidak Non, Mbak tidak memberitahu siapa-siapa.”
“Alhamdulillaah.”
***
Tergopoh wanita berpenampilan glamour itu turun dan setengah berlari masuk ke rumah diikuti seorang lelaki yang selalu berpenampilan eksklusif meski usia tak lagi muda. Mereka mertuaku, orang tua Devan.
“Puja, Puja kamu tidak apa-apa? Kenapa tidak bilang kalau kamu sakit?” cecar Mama sambil memegang kedua pipiku.
Aku tersenyum, mengambil tangannya dan menciumnya. Lalu Papa mendekat, kulakukan hal yang sama.
“Kita duduk dulu yuk, Ma, Pa!” ajakku sambil menarik pelan tangan wanita dengan gincu merah merona itu.
“Mama sama Papa apa kabar? Sehat?”
“Kamu ini, harusnya yang perlu ditanyai itu kamu, bukan kami.” Papa angkat bicara. Ada sedikit nada kesal campur khawatir dalam ucapannya.
“Maafkan aku, Ma, Pa. Tapi aku tidak apa-apa kok, hanya kurang istirahat saja,” hiburku.
Keduanya terdiam, menatapku iba.
“Maafkan anak Mama ya, Nak, Mama tidak menyangka kalau ....“
“Sudahlah Ma, tidak usah dipermasalahkan. Semua sudah terjadi.”
“Tapi ... tapi Devan ... bagaimana dengan tuntutan keluargamu? Bagaimana jika Devan dihukum mati?” Mama mulai terisak.
Aku bergeming.
“Kamu masih mencintai Dev kan, Nak?”
“Kalau bukan karena cinta, mungkin saat ini Mama dan Papa takkan melihatku di sini ... di rumah ini,” jawabku pelan dengan seulas senyum. “Apalagi ....“ Aku memegang perutku, sambil menatap mereka bergantian. “Ada buah cinta yang Devan titipkan di sini.”
Mama terbelalak, begitu juga dengan Papa.
“Kamu hamil, Pu?” tanya Mama tak percaya.
Aku mengangguk sambil tersenyum semringah.
“Alhamdulillaah.” Wanita itu memelukku begitu erat. Wajah sedihnya berubah begitu bahagia.
“Orang tuamu sudah tahu?” tanya Papa saat Mama melepas pelukannya.
“Belum, Pa. Aku masih nyari waktu yang tepat untuk mengatakannya. Aku takut kalau ... kalau mereka menyuruhku menyingkirkan janin ini. Sebab saat ini mereka tengah marah, biarkan marah mereka reda dulu. Aku akan bicarakan perlahan.”
Mereka mengangguk mengerti.
“Lalu ... Devan sudah tahu?”
“Sudah, Ma.”
“Kamu mau mempertahankan anak Mama? Sedangkan dia sudah membunuh ....“
“Sssttt, Ma, aku istrinya Devan saat ini. Aku yang tahu bagaimana dia. Dia memang sudah melakukan kejahatan di masa lalu, tapi bukan berarti dia berhak dihakimi tanpa mencoba memaafkan dan memberinya kesempatan. Dia punya alasan sendiri atas kejahatan itu. Yaaah, bukan bermaksud membenarkan perbuatannya, tapi ... memaafkan adalah jalan untuk membantunya menuju taubat. Insyaa Allah, Bang Dev sudah jauh lebih baik dari sebelumnya,” uraiku panjang lebar.
Mama dan Papa saling berpandangan. Entah apa yang ada dipikiran mereka berdua.
“Terima kasih, Pu. Mama sayang sama kamu!” Lagi-lagi ia memelukku.
“Sama-sama, Ma.”
“Bantu Devan untuk melewati semua ini ya, Nak?” pintanya.
“Insyaa Allah, Ma.”
Setidaknya rumah ini tidak terlalu sepi karena ada mereka yang datang sesekali melihat keadaanku. Tak jarang mereka mengirimkan makanan atau buah-buahan. Katanya buat calon cucu mereka biar sehat.
Sebenarnya aku begitu ingin Mami dan Ayah juga tahu tentang kehamilanku ini. Tapi aku masih takut. Takut kalau berita yang seharusnya membuat mereka bahagia ini malah mengundang amarah mereka. Apa yang harus kulakukan? Sampai kapan kusimpan semua ini dari mereka?
***
💐Bab 16💐
Aroma khas obat-obatan yang menusuk indra penciuman saat perlahan aku membuka mata yang terasa berat. Merasakan slang oksigen menempel di hidung, ada jarum infus juga yang masih menyisakan rasa ngilu menusuk tangan. Tetapi ... ada jemari hangat yang menggenggam tanganku begitu erat.
“Puja ....“
Suara itu ... suara itu ....
Aku menoleh ke kanan, memastikan jika tak salah dalam mengenali pemilik suara itu. Mataku terbelalak, tanpa sadar aku langsung bangkit dan menghambur ke dalam pelukannya.
“Bang Dev!”
Tangisku pecah. Kerinduan mendalam yang tak lagi mampu kubendung saat melihatnya hadir di sini. Aku semakin mengeratkan pelukan. Devan pun ikut menangis. Tapi tangannya, kenapa tidak membalas pelukanku? Tidakkah dia rindu pada kekasihnya ini?
Kurenggangkan pelukan. Baru sadar, ternyata ada borgol di kedua tangannya. Di depan pintu sana ada beberapa orang polisi yang berjaga. Di sini aku baru paham situasinya.
“Berbaringlah, kamu masih lemah, Pu!”
Hanya bisa mengangguk dan mengikuti perintahnya. “Abang apa kabar?” tanyaku lirih.
“Alhamdulillaah, Abang baik. Kamu sendiri?” Bibirnya mengecup hangat dahiku.
“Aku juga baik, seperti yang Abang lihat.”
“Bohong! Kalau kamu baik tidak mungkin ada di sini,” tukasnya sambil tertawa pelan.
Ah, tawa itu ... rindu sekali melihatnya.
“Maafkan ... jika kamu kesepian tanpa Abang,” bisiknya, “tapi kamu harus kuat, Abang juga tidak keberatan kalau ... kalau kamu ingin berpisah dari Abang. Abang ikhlas.” Matanya terlihat berkaca-kaca. “Abang ingin melihat kamu bahagia. Abang takut jika penjara itu membuatmu tak lagi percaya pada Abang, walaupun cinta di hati ini, tak pernah berkurang sedikit pun untukmu, Puja.” Air mata Devan mengalir deras.
“Iya ... aku kesepian. Rumah itu sepi sekali tanpamu. Aku juga kerepotan mengurus perusahaanmu. Aku benci ketika pagi datang, tak kutemukan dirimu di sampingku. Aku benci ketika aku rindu padamu, aku tak dapat memelukmu. Aku benci hal itu, aku benci!”
Aku terisak, menatapnya dalam. Menyampaikan segala rasa yang kupendam.
“Sudah kucoba melupakan dan berusaha membencimu, tapi aku tak bisa. Semakin aku lupakan, semakin besar rasa cintaku padamu. Aku benci itu!” pekikku tertahan. “Kenapa sulit sekali membencimu? Kenapa?”
“Puja, tenanglah!”
Devan mencoba meraih tanganku walaupun ia tampak kesulitan. Erat ia menggenggamnya, seolah enggan melepaskan.
‘Ya Allah! Aku tidak tahu harus apa, aku sangat mencintainya. Aku tak ingin berpisah dengannya, aku ingin dia kembali ke sisiku. Aku ingin dia selalu menemaniku hingga akhir hayatku. Bagaimana caraku bahagia tanpanya? Sedang dia adalah sumber kebahagiaanku.’
“Maaf, Pak Devan, waktu sudah habis, kita harus kembali sekarang juga!”
Seorang pria berseragam tiba-tiba masuk dan muncul di tengah-tengah kami.
Aku tertegun. Mata kami saling menatap. “Jangan tinggalkan aku, Bang!” pintaku lirih.
Devan menggeleng. “Maafkan Abang, Puja. Maafkan Abang!”
Pria itu melangkah mundur, lalu ia membalikkan badan, melangkah menuju pintu ke luar. Aku bangkit, dan duduk di atas ranjang. Ada sesak di rongga dada, ketika melihatnya di gandeng dua pria berseragam itu, berikut beberapa orang lainnya untuk mengawal.
“Aku akan menunggumu bersama calon anak kita!” teriakku menggema ke setiap sudut ruangan.
Langkah Devan terhenti. Dengan tatapan tak percaya, ia menoleh ke belakang.
Kuanggukkan kepala. “Ada anakmu di rahimku,” ujarku sambil memegang perut.
“Puja,“ lirihnya. “Pak, sebentar, satu menit saja,” pinta Devan pada polisi itu. Beberapa detik sebelum mereka menyetujuinya, lalu Devan kembali mendekatiku.
“Anak ... kita?” Gugup ia bertanya. Susah payah mencoba mengusap pipiku.
Aku mengangguk pelan. “Iya, anak kita. Buah cinta kita.”
”Bagaimana bisa?”
“Allah Maha Kuasa, tak ada yang tak mungkin baginya,” sahutku setengah berbisik.
Tatapan Devan begitu dalam, tatapan penuh cinta yang membuatku semakin tak mampu melupakannya.
“Katakan bagaimana caraku membencimu jika bersamaku ada buah cintamu?” bisikku sambil meraihnya ke dalam pelukan.
Devan menggeleng. “Apa pun yang terjadi ... jaga dia untuk Abang, meskipun nanti kita tak lagi bersua.” Devan merenggangkan tubuhnya, hingga pelukanku terlepas.
Aku menempelkan telunjuk ke bibirnya. “Jangan berkata seperti itu. Mintalah pada Allah agar kita diberi jalan terbaik. Jangan pernah tinggalkan Allah. Aku yakin, kita bisa melewati semua ini.”
Pria itu menghela napas, tersenyum getir, mengecup pipi kiriku dengan lembut.
“I love you, Puja,” ucapnya.
“I love you too … Bang Dev.”
Lalu ia kembali melangkah menjauhiku. Pergi bersama para aparat berseragam tadi. Aku hanya bisa menatap hingga punggungnya menghilang dari pandangan.
Kuhapus sisa air mata yang membasahi pipi dengan punggung tangan. Saat itulah Mbak Rima dan Rafi masuk. Mbak Rima mendekat, dan memelukku. Sementara Rafi hanya bisa berdiri terpaku di ujung tempatku berbaring.
“Apa yang terjadi, Mbak? Bagaimana aku bisa di sini?”
“Tadi Non pingsan di rumah, karena khawatir, Mbak sama Pak Rafi membawa Non ke sini. Kata Dokter, Non kelelahan dan terlalu banyak pikiran.”
Kuhela napas sejenak, melepas slang oksigen yang terasa sedikit mengganggu.
“Lalu bagaimana bisa Devan datang ke sini? Siapa yang memberitahunya?”
“Saya, Bu,” jawab Rafi.
Mataku mengarah pada lelaki berperawakan tinggi dengan tubuh proposional itu. Tampak ia sedang menunduk.
“Saya yang menjamin pada polisi untuk membawa Pak Rafi kemari. Saya khawatir karena ibu pingsan begitu lama. Hingga saya berinisiatif sendiri. Walau bagaimanapun, Pak Devan harus tahu keadaan ibu,” jelasnya.
“Terima kasih,” ucapku.
“Sama-sama, Bu. Ini sudah menjadi kewajiban saya.”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, walaupun mungkin lelaki itu takkan melihatnya.
“Apakah Mami dan Ayah tahu, Mbak?” tanyaku khawatir.
“Tidak Non, Mbak tidak memberitahu siapa-siapa.”
“Alhamdulillaah.”
***
Tergopoh wanita berpenampilan glamour itu turun dan setengah berlari masuk ke rumah diikuti seorang lelaki yang selalu berpenampilan eksklusif meski usia tak lagi muda. Mereka mertuaku, orang tua Devan.
“Puja, Puja kamu tidak apa-apa? Kenapa tidak bilang kalau kamu sakit?” cecar Mama sambil memegang kedua pipiku.
Aku tersenyum, mengambil tangannya dan menciumnya. Lalu Papa mendekat, kulakukan hal yang sama.
“Kita duduk dulu yuk, Ma, Pa!” ajakku sambil menarik pelan tangan wanita dengan gincu merah merona itu.
“Mama sama Papa apa kabar? Sehat?”
“Kamu ini, harusnya yang perlu ditanyai itu kamu, bukan kami.” Papa angkat bicara. Ada sedikit nada kesal campur khawatir dalam ucapannya.
“Maafkan aku, Ma, Pa. Tapi aku tidak apa-apa kok, hanya kurang istirahat saja,” hiburku.
Keduanya terdiam, menatapku iba.
“Maafkan anak Mama ya, Nak, Mama tidak menyangka kalau ....“
“Sudahlah Ma, tidak usah dipermasalahkan. Semua sudah terjadi.”
“Tapi ... tapi Devan ... bagaimana dengan tuntutan keluargamu? Bagaimana jika Devan dihukum mati?” Mama mulai terisak.
Aku bergeming.
“Kamu masih mencintai Dev kan, Nak?”
“Kalau bukan karena cinta, mungkin saat ini Mama dan Papa takkan melihatku di sini ... di rumah ini,” jawabku pelan dengan seulas senyum. “Apalagi ....“ Aku memegang perutku, sambil menatap mereka bergantian. “Ada buah cinta yang Devan titipkan di sini.”
Mama terbelalak, begitu juga dengan Papa.
“Kamu hamil, Pu?” tanya Mama tak percaya.
Aku mengangguk sambil tersenyum semringah.
“Alhamdulillaah.” Wanita itu memelukku begitu erat. Wajah sedihnya berubah begitu bahagia.
“Orang tuamu sudah tahu?” tanya Papa saat Mama melepas pelukannya.
“Belum, Pa. Aku masih nyari waktu yang tepat untuk mengatakannya. Aku takut kalau ... kalau mereka menyuruhku menyingkirkan janin ini. Sebab saat ini mereka tengah marah, biarkan marah mereka reda dulu. Aku akan bicarakan perlahan.”
Mereka mengangguk mengerti.
“Lalu ... Devan sudah tahu?”
“Sudah, Ma.”
“Kamu mau mempertahankan anak Mama? Sedangkan dia sudah membunuh ....“
“Sssttt, Ma, aku istrinya Devan saat ini. Aku yang tahu bagaimana dia. Dia memang sudah melakukan kejahatan di masa lalu, tapi bukan berarti dia berhak dihakimi tanpa mencoba memaafkan dan memberinya kesempatan. Dia punya alasan sendiri atas kejahatan itu. Yaaah, bukan bermaksud membenarkan perbuatannya, tapi ... memaafkan adalah jalan untuk membantunya menuju taubat. Insyaa Allah, Bang Dev sudah jauh lebih baik dari sebelumnya,” uraiku panjang lebar.
Mama dan Papa saling berpandangan. Entah apa yang ada dipikiran mereka berdua.
“Terima kasih, Pu. Mama sayang sama kamu!” Lagi-lagi ia memelukku.
“Sama-sama, Ma.”
“Bantu Devan untuk melewati semua ini ya, Nak?” pintanya.
“Insyaa Allah, Ma.”
Setidaknya rumah ini tidak terlalu sepi karena ada mereka yang datang sesekali melihat keadaanku. Tak jarang mereka mengirimkan makanan atau buah-buahan. Katanya buat calon cucu mereka biar sehat.
Sebenarnya aku begitu ingin Mami dan Ayah juga tahu tentang kehamilanku ini. Tapi aku masih takut. Takut kalau berita yang seharusnya membuat mereka bahagia ini malah mengundang amarah mereka. Apa yang harus kulakukan? Sampai kapan kusimpan semua ini dari mereka?
***
0