- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#42
PART 15
💐Bab 15💐
“Abaaang, ayo sarapan! Nasi gorengnya sudah siap!” teriakku dari ruang makan sambil meletakkan semangkuk nasi goreng ke atas meja.
“Bang Deeev!” teriakku sekali lagi, khawatir pria tercintaku itu tak mendengar panggilanku.
“Kemana sih dia? Masih belum selesai ya mematut diri di cemin?” omelku seorang diri sembari hendak melangkah ke arah kamar.
“Non Puja!” suara Mbak Rima menghentikan langkah. “Tuan tidak di rumah, Non lupa?” Wanita itu menyeka air matanya. Mungkin sejak tadi dia sudah memperhatikan gerak gerikku.
Aku terdiam, lalu menghela napas yang tiba-tiba terasa sesak. Membalikkan tubuh, kembali melangkah ke meja makan. Mendaratkan tubuh di sebuah kursi yang biasa kududuki setiap pagi saat menemani Devan sarapan, dan ... tangisku pecah.
Aku lupa, jika Devan tidak di sini. Aku lupa, jika lelaki itu ... lelaki yang telah membunuh Meera itu ... sedang berada di tempat pesakitan untuk menerima hukuman atas perbuatannya.
Devan terkena pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang ia lakukan. Pria itu bisa saja dijatuhi hukuman pidana mati, penjara seumur hidup atau paling lama penjara selama 20 tahun. Aku tahu Mami dan Ayah takkan memafkan Devan begitu saja. Mereka pasti akan menuntut suamiku itu seberat-beratnya. Lalu aku harus apa? Memaafkannya begitu saja setelah dia menghilangkan nyawa Meera? Atau memafkannya atas nama cinta? Tapi jika aku berada di pihak Mami dan Ayah, bagaimana dengan bayi yang sedang kukandung ini? Bagaimana nasib cinta yang baru saja merekah ini?
Mami dan Ayah bersikukuh memintaku bercerai dari Devan. Namun aku masih belum memberi keputusan, masih mencoba berpikir jernih di sini, di rumah Devan. Rumah yang dulu penuh cinta untukku.
Sementara perusahaan Devan aku yang ambil alih, dibantu oleh seorang bawahan yang merupakan orang kepercayaan Devan. Rafi namanya. Dia lelaki yang cukup baik dan jujur. Begitu pertama kali yang bisa kugambarkan saat bertemu dengannya. Aku yang hanya lulusan sastra Bahasa Indonesia merasa sedikit kewalahan menangani perusahaan Devan yang bergerak di bidang properti. Tapi Ayah pernah mengajariku tentang itu, jadi sedikit banyaknya aku paham dan mulai mempelajari lebih dalam bisnis itu saat ini.
“Non!” sentuhan tangan Mbak Rima di bahu membuatku terkesiap. Lalu menghapus pipi yang telah basah oleh air mata. “Non yang kuat, ya? Jangan lupa libatkan Allah dalam segala urusan. Allah pasti akan memberikan jalan terbaik untuk Non dan Tuan Devan.”
Kucoba tersenyum walau mungkin terlihat getir.
“Iya Mbak, terima kasih. Saya ... saya hanya bingung ....“ Aku mengatup kedua bibir, menahan sesuatu yang hendak meloncat kembali dari kedua mata.
“Bingung kenapa, Non?” Mbak Rima duduk di sampingku.
“Saya bingung ... apakah saya harus memberitahu Devan tentang kehamilan saya?”
“Itu wajib Non, Tuan wajib tahu. Itu anaknya.” Mbak Rima mencoba meyakinkanku.
“Tapi ... tapi dia ... dia pembunuh!” ucapku setengah berbisik dengan mata yang kembali basah. “Dia sudah mambunuh kakak saya, istrinya.”
Terdengar helaan napas panjang Mbak Rima.
“Non ... Mbak bukan membenarkan perbuatan Tuan, tapi apakah dengan dia bertaubat, dekat pada Allah dan menyerahkan diri tidak cukup membuktikan keseriusannya dalam menyesali semua perbuatannya? Allah saja Maha pengampun, lalu apa hebatnya kita sebagai manusia tidak mau mencoba memaafkan? Mbak yakin ... jauh di lubuk hati Non, Non Puja masih sangat mencintai Tuan. Non tidak ingin pergi dari Tuan dalam keadaan seperti ini. Bukankah begitu?” Mabak Rima menatapku dengan mata nanar, tapi bibirnya terenyum menguatkan.
Aku terdiam. Mencoba mencerna kata-katanya.
“Mbak Rima benar, saya memang masih mencintainya. Lalu siapa yang mau peduli jika cinta saya masih begitu besar untuk Devan? Bisakah Mami dan Ayah saya mengerti?”
“Katakan tentang kehamilan Non, pasti mereka mengerti.”
“Lalu bagaimana jika mereka memaksa saya menggugurkan?”
“Non belum mencoba bukan? Berhusnuzonlah pada Allah! Karena Allah, sesuai prasangka hambanya.”
Kembali aku terdiam mendengar kata-kata Mbak Rima.
“Non belum menemui Tuan Devan sudah sejak saat itu kan?”
Aku menggeleng.
“Tidak rindu?” Mata wanita itu seolah menggodaku.
“Bohong jika saya bilang tidak rindu.” Aku kembali menangis.
“Ayo kita ke sana, nanti Mbak temani. Bukannya nanti siang Pak Rafi datang mengantarkan laporan? Kita minta tolong antar dia saja. Non jangan nyetir dulu, lagi hamil muda dan lagi banyak pikiran gini, takut kenapa-kenapa lagi,” katanya antusias.
“Hari ini?”
“Iya Non, memangnya mau nunggu sampai kapan?” Mbak Rima membesarkan matanya.
“Tapi ....”
“Sekarang tidak pakai tapi-tapian, minum dulu susunya!” Mbak Rima menyodorkan segelas susu khusus ibu hamil padaku.
“Mbak, saya tidak lapar.”
“Tapi janin Non butuh ini,” ucapnya lugas.
Aku terdiam, sebelum akhirnya mengambil susu itu dan meneguk setengahnya.
“Saya mual, Mbak,” kataku.
“Trimester pertama itu hampir semua wanita merasakan mual, Non. Tapi itu hal biasa, semual apa pun perut harus tetap di isi, biar ibu dan calon bayinya sehat. Bukankah non ingin buah cinta Non dengan Tuan selamat sampai ia melihat dunia?”
Aku mengangguk pelan, dengan seulas senyum yang mungkin masih terlihat hambar. Lalu sekuat tenaga menghabiskan susu itu hingga tak bersisa. Mbak Rima tersenyum melihatku. Dia memang wanita yang sangat baik, mau mendampingiku di saat-saat seperti ini. Sedangkan Mami dan Ayah seperti lupa kalau ada anak perempuannya di sini. Mereka hanya sibuk mencari jalan agar Devan dihukum seberat-beratnya. Mereka juga lupa, bahwa ada seorang istri yang masih begitu mencintai suaminya. Walaupun suaminya telah melakukan sebuah dosa besar di masa lalunya.
***
Sebuah mobil berwarna hitam masuk ke halaman rumah. Mobil milik Rafi. Ya, orang kepercayaan Devan sudah datang. Kulihat dia turun dari mobilnya dan bergegas menuju pintu dengan beberapa berkas di tangan.
“Silahkan masuk, Pak Rafi!” seruku sebelum ia sempat mengetuk pintu yang sengaja dibiarkan terbuka. Aku sudah menunggunya di ruang tamu.
“Assalaamu’alaykum, Bu Puja!” ucapnya sopan.
“Wa’alaykumussalaam, silakan, Pak!”
“Terima kasih, Bu,” sahutnya sembari mendaratkan tubuhnya di sofa putih itu. Lalu kami tenggelam dalam percakapan urusan perusahaan termasuk urusan keuangannya. Rafi orang yang begitu cekatan dan serius dalam bekerja. Tak salah Devan menempatkannya sebagai tangan kanannya.
“Maaf ya Pak Rafi, saya belum bisa hadir ke kantor. Insyaa Allah dalam waktu dekat, saya akan memenuhi kewajiban saya,” ujarku saat semua urusan selesai.
“Iya, Bu. Tidak apa-apa. Saya mengerti kok,” sahutnya tanpa melihatku. Satu-satunya lelaki yang tak pernah mau melihatku secara langsung ya dia ini. Kalau bicara selalu menunduk.
“Oh, ya, habis ini Pak Rafi mau ke mana?”
“Hmm, tidak ada, Bu. Palingan juga nanti mau balik ke kantor. Kenapa, Bu? Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau minta tolong antar saya ke tempat Bapak.”
“Ki-kita berdua, Bu?” Wajahnya seketika pucat, gugup dan agak takut.
Aku tertawa kecil. “Bukan, bertiga sama Mbak Rima.”
“Ooh, iya, iya Bu. Baiklah, saya kira cuma kita berdua.”
“Memangnya kenapa kalau cuma kita berdua?” tanyaku sengaja mengujinya.
“Kita bukan mahram, Bu. Walau bagaimana pun saya takut dosa,” jawabnya lugas.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Ternyata lelaki ini paham agama, pantas saja dia tak mau melihatku.
“Ya sudah, sebentar ya saya ganti pakaian dulu.”
“Baik, Bu. Kalau begitu saya tunggu di teras saja.”
“Baiklah,” ujarku seraya bangkit. Tiba-tiba aku merasakan bumi berputar kencang sekali, ada keringat dingin yang keluar dari pori-pori. Tubuhku terasa melayang. Hanya dalam hitungan detik, aku tak lagi merasakan apa-apa. Semua gelap.
***
💐Bab 15💐
“Abaaang, ayo sarapan! Nasi gorengnya sudah siap!” teriakku dari ruang makan sambil meletakkan semangkuk nasi goreng ke atas meja.
“Bang Deeev!” teriakku sekali lagi, khawatir pria tercintaku itu tak mendengar panggilanku.
“Kemana sih dia? Masih belum selesai ya mematut diri di cemin?” omelku seorang diri sembari hendak melangkah ke arah kamar.
“Non Puja!” suara Mbak Rima menghentikan langkah. “Tuan tidak di rumah, Non lupa?” Wanita itu menyeka air matanya. Mungkin sejak tadi dia sudah memperhatikan gerak gerikku.
Aku terdiam, lalu menghela napas yang tiba-tiba terasa sesak. Membalikkan tubuh, kembali melangkah ke meja makan. Mendaratkan tubuh di sebuah kursi yang biasa kududuki setiap pagi saat menemani Devan sarapan, dan ... tangisku pecah.
Aku lupa, jika Devan tidak di sini. Aku lupa, jika lelaki itu ... lelaki yang telah membunuh Meera itu ... sedang berada di tempat pesakitan untuk menerima hukuman atas perbuatannya.
Devan terkena pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang ia lakukan. Pria itu bisa saja dijatuhi hukuman pidana mati, penjara seumur hidup atau paling lama penjara selama 20 tahun. Aku tahu Mami dan Ayah takkan memafkan Devan begitu saja. Mereka pasti akan menuntut suamiku itu seberat-beratnya. Lalu aku harus apa? Memaafkannya begitu saja setelah dia menghilangkan nyawa Meera? Atau memafkannya atas nama cinta? Tapi jika aku berada di pihak Mami dan Ayah, bagaimana dengan bayi yang sedang kukandung ini? Bagaimana nasib cinta yang baru saja merekah ini?
Mami dan Ayah bersikukuh memintaku bercerai dari Devan. Namun aku masih belum memberi keputusan, masih mencoba berpikir jernih di sini, di rumah Devan. Rumah yang dulu penuh cinta untukku.
Sementara perusahaan Devan aku yang ambil alih, dibantu oleh seorang bawahan yang merupakan orang kepercayaan Devan. Rafi namanya. Dia lelaki yang cukup baik dan jujur. Begitu pertama kali yang bisa kugambarkan saat bertemu dengannya. Aku yang hanya lulusan sastra Bahasa Indonesia merasa sedikit kewalahan menangani perusahaan Devan yang bergerak di bidang properti. Tapi Ayah pernah mengajariku tentang itu, jadi sedikit banyaknya aku paham dan mulai mempelajari lebih dalam bisnis itu saat ini.
“Non!” sentuhan tangan Mbak Rima di bahu membuatku terkesiap. Lalu menghapus pipi yang telah basah oleh air mata. “Non yang kuat, ya? Jangan lupa libatkan Allah dalam segala urusan. Allah pasti akan memberikan jalan terbaik untuk Non dan Tuan Devan.”
Kucoba tersenyum walau mungkin terlihat getir.
“Iya Mbak, terima kasih. Saya ... saya hanya bingung ....“ Aku mengatup kedua bibir, menahan sesuatu yang hendak meloncat kembali dari kedua mata.
“Bingung kenapa, Non?” Mbak Rima duduk di sampingku.
“Saya bingung ... apakah saya harus memberitahu Devan tentang kehamilan saya?”
“Itu wajib Non, Tuan wajib tahu. Itu anaknya.” Mbak Rima mencoba meyakinkanku.
“Tapi ... tapi dia ... dia pembunuh!” ucapku setengah berbisik dengan mata yang kembali basah. “Dia sudah mambunuh kakak saya, istrinya.”
Terdengar helaan napas panjang Mbak Rima.
“Non ... Mbak bukan membenarkan perbuatan Tuan, tapi apakah dengan dia bertaubat, dekat pada Allah dan menyerahkan diri tidak cukup membuktikan keseriusannya dalam menyesali semua perbuatannya? Allah saja Maha pengampun, lalu apa hebatnya kita sebagai manusia tidak mau mencoba memaafkan? Mbak yakin ... jauh di lubuk hati Non, Non Puja masih sangat mencintai Tuan. Non tidak ingin pergi dari Tuan dalam keadaan seperti ini. Bukankah begitu?” Mabak Rima menatapku dengan mata nanar, tapi bibirnya terenyum menguatkan.
Aku terdiam. Mencoba mencerna kata-katanya.
“Mbak Rima benar, saya memang masih mencintainya. Lalu siapa yang mau peduli jika cinta saya masih begitu besar untuk Devan? Bisakah Mami dan Ayah saya mengerti?”
“Katakan tentang kehamilan Non, pasti mereka mengerti.”
“Lalu bagaimana jika mereka memaksa saya menggugurkan?”
“Non belum mencoba bukan? Berhusnuzonlah pada Allah! Karena Allah, sesuai prasangka hambanya.”
Kembali aku terdiam mendengar kata-kata Mbak Rima.
“Non belum menemui Tuan Devan sudah sejak saat itu kan?”
Aku menggeleng.
“Tidak rindu?” Mata wanita itu seolah menggodaku.
“Bohong jika saya bilang tidak rindu.” Aku kembali menangis.
“Ayo kita ke sana, nanti Mbak temani. Bukannya nanti siang Pak Rafi datang mengantarkan laporan? Kita minta tolong antar dia saja. Non jangan nyetir dulu, lagi hamil muda dan lagi banyak pikiran gini, takut kenapa-kenapa lagi,” katanya antusias.
“Hari ini?”
“Iya Non, memangnya mau nunggu sampai kapan?” Mbak Rima membesarkan matanya.
“Tapi ....”
“Sekarang tidak pakai tapi-tapian, minum dulu susunya!” Mbak Rima menyodorkan segelas susu khusus ibu hamil padaku.
“Mbak, saya tidak lapar.”
“Tapi janin Non butuh ini,” ucapnya lugas.
Aku terdiam, sebelum akhirnya mengambil susu itu dan meneguk setengahnya.
“Saya mual, Mbak,” kataku.
“Trimester pertama itu hampir semua wanita merasakan mual, Non. Tapi itu hal biasa, semual apa pun perut harus tetap di isi, biar ibu dan calon bayinya sehat. Bukankah non ingin buah cinta Non dengan Tuan selamat sampai ia melihat dunia?”
Aku mengangguk pelan, dengan seulas senyum yang mungkin masih terlihat hambar. Lalu sekuat tenaga menghabiskan susu itu hingga tak bersisa. Mbak Rima tersenyum melihatku. Dia memang wanita yang sangat baik, mau mendampingiku di saat-saat seperti ini. Sedangkan Mami dan Ayah seperti lupa kalau ada anak perempuannya di sini. Mereka hanya sibuk mencari jalan agar Devan dihukum seberat-beratnya. Mereka juga lupa, bahwa ada seorang istri yang masih begitu mencintai suaminya. Walaupun suaminya telah melakukan sebuah dosa besar di masa lalunya.
***
Sebuah mobil berwarna hitam masuk ke halaman rumah. Mobil milik Rafi. Ya, orang kepercayaan Devan sudah datang. Kulihat dia turun dari mobilnya dan bergegas menuju pintu dengan beberapa berkas di tangan.
“Silahkan masuk, Pak Rafi!” seruku sebelum ia sempat mengetuk pintu yang sengaja dibiarkan terbuka. Aku sudah menunggunya di ruang tamu.
“Assalaamu’alaykum, Bu Puja!” ucapnya sopan.
“Wa’alaykumussalaam, silakan, Pak!”
“Terima kasih, Bu,” sahutnya sembari mendaratkan tubuhnya di sofa putih itu. Lalu kami tenggelam dalam percakapan urusan perusahaan termasuk urusan keuangannya. Rafi orang yang begitu cekatan dan serius dalam bekerja. Tak salah Devan menempatkannya sebagai tangan kanannya.
“Maaf ya Pak Rafi, saya belum bisa hadir ke kantor. Insyaa Allah dalam waktu dekat, saya akan memenuhi kewajiban saya,” ujarku saat semua urusan selesai.
“Iya, Bu. Tidak apa-apa. Saya mengerti kok,” sahutnya tanpa melihatku. Satu-satunya lelaki yang tak pernah mau melihatku secara langsung ya dia ini. Kalau bicara selalu menunduk.
“Oh, ya, habis ini Pak Rafi mau ke mana?”
“Hmm, tidak ada, Bu. Palingan juga nanti mau balik ke kantor. Kenapa, Bu? Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau minta tolong antar saya ke tempat Bapak.”
“Ki-kita berdua, Bu?” Wajahnya seketika pucat, gugup dan agak takut.
Aku tertawa kecil. “Bukan, bertiga sama Mbak Rima.”
“Ooh, iya, iya Bu. Baiklah, saya kira cuma kita berdua.”
“Memangnya kenapa kalau cuma kita berdua?” tanyaku sengaja mengujinya.
“Kita bukan mahram, Bu. Walau bagaimana pun saya takut dosa,” jawabnya lugas.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Ternyata lelaki ini paham agama, pantas saja dia tak mau melihatku.
“Ya sudah, sebentar ya saya ganti pakaian dulu.”
“Baik, Bu. Kalau begitu saya tunggu di teras saja.”
“Baiklah,” ujarku seraya bangkit. Tiba-tiba aku merasakan bumi berputar kencang sekali, ada keringat dingin yang keluar dari pori-pori. Tubuhku terasa melayang. Hanya dalam hitungan detik, aku tak lagi merasakan apa-apa. Semua gelap.
***
0