Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Leny.KhanAvatar border
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)

LENY KHAN

Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.

Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam  selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku  sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
 
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
 
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
 
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
 
“Pu?”  Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
 
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
 
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
 
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
 
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
 
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
 
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.
 
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
 
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
 
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
 
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
 
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
 
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
 
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
 
“Aku ....“
 
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
 
Mataku membesar. “Benarkah?”
 
Devan mengangguk seraya tesenyum.
 
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
 
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
 
 Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
 
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
 
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
 
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
 
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?” 
 
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
 
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
 
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
 
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
 
“Katakan, Puja!”
 
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
 
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
 
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
 
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
 
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.”  Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
 
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
 
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya. 

Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
 
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?

Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131

Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240

Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f

Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e

Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e

Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e

Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e

Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d

Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399

Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d

Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf

Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380

Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179

Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad

Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31

Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a

Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41

Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96

Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43

Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213

Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
Entin088
ariesfastes
bukhorigan
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
Leny.KhanAvatar border
TS
Leny.Khan
#41
PART 14

💐Bab 14💐

“Apa yang terjadi, Bang?” tanyaku antusias sambil memegang tangannya.

Ruangan itu sepi, hanya ada aku, Devan dan seorang penjaga. Sementara Mbak Rima menunggu di luar.

Devan menatap dalam, menggenggam erat tanganku. “Maafkan, Abang,” bisiknya.

“Maaf untuk apa? Memangnya apa yang telah Abang lakukan? Kenapa sampai seperti ini?” Mataku menelisik pakaian berwarna dongker khas tawanan yang melekat pada tubuhnya.

“Terima kasih telah membersamai Abang selama ini, walau pun tak lama. Tapi segala cinta yang kamu berikan, membuat Abang semakin yakin dengan keputusan yang Abang ambil. Mencintai dan memilikimu, adalah hal terindah yang pernah Abang rasakan seumur hidup. Kamu rela menerima segala kekurangan Abang, kamu pun bisa membuat hidup Abang jauh lebih baik dan lebih dekat dengan Sang Pencipta.”

“Bang, aku tidak mengerti, tolong bicara lebih jelas. Ada apa ini?” Aku mulai merasa ada yang tidak beres.

Devan tersenyum, getir terlihat. “Abang ingin bertaubat, dengan cara menyerahkan diri ke tempat pesakitan ini. Abang rela menjalani hukuman di dunia, dari pada di neraka nanti.” Matanya terlihat berkaca.

“Bang, kejahatan apa yang telah Abang lakukan sehingga membuat Abang ingin menyerahkan diri?” tanyaku dengan nada yang mulai meninggi.

Devan tertegun, matanya nanar menatapku.
“Meera.”

“Meera? Ada apa dengannya? Apa yang Abang sembunyikan?” Aku mulai panik.

Pria itu semakin mengeratkan genggaman tangannya.
“Kecelakaan mobil itu, Abang yang menyebabkannya.”

Datar, namun terdengar bagai suara petir yang menyambar di tengah siang yang terik. Mataku terbelalak tak percaya.

“Dia mengancam akan membunuhmu, jika Abang menceraikan dan memberi tahu semua orang tentang anak yang dia kandung, dan Abang sama sekali tidak terima. Sehingga diam-diam, Abang merusak rem mobilnya ... dan dia berhasil Abang singkirkan. Demi menjagamu tetap bisa melihat dunia ini.” Devan tersenyum dengan air mata yang mengalir deras membasahi pipi.

Aku terpaku dengan napas yang begitu sesak memenuhi rongga dada. Semua penuturan Devan terdengar begitu menyentak kesadaran. Tubuhku gemetar. ‘Bagaimana mungkin Meera seperti itu? Bagaimana mungkin dia bisa punya keinginan untuk membunuhku, adiknya sendiri?’

“Abang sedang bercanda kan? Abang sedang mengerjaiku bukan?” cecarku penuh harap.

Devan menggeleng. “Semua benar, Abang yang membunuh Meera.”

Kutepis tangan Devan dengan kasar. Dia tak seperti Devan yang kukenal, dia terlihat begitu berbeda. Dia bagaikan musuh di mataku saat ini.

“Bagaimana bisa Abang melakukan tindakan sekeji itu? Meera itu kakakku, apa pun yang dia lakukan, Abang tidak berhak menghakiminya.”

“Semua untukmu. Abang tak ingin ada seorang pun yang mencelakaimu, termasuk Meera kakakmu.”

Aku terdiam, menatapnya tajam penuh rasa benci. Entah kemana rasa cinta yang masih bersemi beberapa saat lalu? Mungkin menguap saat mendengar pengakuan pria ini.

“Jangan benci Abang!” pintanya. Kembali tangannya hendak meraih jemariku, tetapi segera kutepis.

“Jangan sentuh aku!” bentakku.

“Maaf ... maaf untuk semua yang telah terjadi. Maaf jika kebahagiaanmu telah Abang renggut dengan paksa. Maaf jika ....“ Devan terisak, “jika cintamu harus berakhir seperti ini. Abang sangat mencintaimu, semua demi kamu. Demi menjagamu dari tangan-tangan jahat.”

“Tapi caramu salah, Bang! Tidak harus seperti ini!”

“Iya, Abang tahu. Hanya saja ....“

“Sudahlah! Hentikan!” Kupotong ucapannya. Lalu aku bangkit dari duduk, mencoba tetap bersikap tenang meskipun hatiku tercabik-cabik setelah mendengar semuanya. Bergegas Devan ikut berdiri, melangkah mendekatiku. Hingga kini tubuh kami saling berhadapan.

“Puja ... Abang sangat mencintaimu. Karena cinta itulah yang membuat Abang mau melakukan semua ini. Karena cintalah Abang mau menyerahkan diri dan mengakui kejahatan beberapa tahun lalu. Maafkan jika kamu harus Abang tinggalkan seorang diri. Pergilah, jalani hidupmu yang baru. Sebab Abang tidak tahu, apakah masih bisa melihatmu esok atau tidak. Mungkin ini terakhir kalinya, Abang bisa memelukmu. Abang sudah tak bisa menjagamu lagi.”

Devan memegang kedua pipiku. Tenggorokanku sakit rasanya saat ia membaku ke dalam pelukan. Aku hanya diam, tak membalas pelukan yang ia berikan. Mematung, tanpa ekspresi, tanpa air mata. Detakan jantung Devan tak lagi terdengar indah di telinga, dan tubuhku tak lagi merasakan apa-apa, saat hangat bibir Devan mendarat di dahiku.

“Puja!” Sempat kudengar suara cemasnya sebelum semua menjadi gelap.

***

Sayup terdengar suara isak tangis ketika aku mencoba membuka mata dengan perlahan. Bau minyak kayu putih terasa menyengat menusuk rongga hidung. Aku menemukan diri telah berada di sebuah ruangan serba putih.

“Puja, Puja kamu tidak apa-apa, Nak?” Mami langsung menghujaniku dengan ciumannya. Mengusap-usap rambutku degan lembut. Mata basahnya menatapku nanar, penuh kekhawatiran.

Aku tak menjawab, mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi. Saliva yang kutelan terasa sangat pahit, saat pengakuan Devan terngiang di telinga.

“Mi,” lirihku.

“Ya, Sayang. Ada apa? Kamu mau apa?” tanya Mami dengan air mata yang terus berderai.

“Dev ....”

“Sudahlah, jangan sebut-sebut lagi namanya. Dia sudah menghancurkan semuanya, menghancurkanmu dan juga Meera.” Mami tampak begitu membenci suamiku. “Ayah sedang mengurus semuanya, kita akan menuntutnya dengan hukuman seberat-beratnya!” geram Mami.

Tak terasa air mataku mengalir, Mbak Rima ternyata sejak tadi sudah ada di sini. Ia pun mendekat, menatapku dengan mata basah.

“Mbak Rima ....” Kuulurkan tanganku padanya.

“Iya Non, saya di sini.” Mbak Rima memegang tanganku. “Non Puja yang sabar ya, semua pasti ada hikmahnya,” ujarnya pelan.

“Saya mencintai, Dev,” ucapku setengah berbisik.
Wanita itu mengangguk. “Iya, Mbak tahu.” Ia membekap mulutnya menahan tangis.

“Pria itu sudah tak pantas lagi kamu cintai, Puja!” ucap Mami setengah membentak. “Sudahlah! Lupakan dia! Jangan sampai nyawamu juga melayang di tangannya!” Mami tampak begitu kesal, ia kemudian melangkah ke luar dari ruangan itu sambil menangis.

“Apa yang harus saya lakukan, Mbak?” tanyaku setelah melihat punggung Mami hilang dari pandangan.

“Bersabar dan shalat. Hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini. Mintalah kekuatan pada Allah, Non.”

Aku mengangguk pelan. “Temani saya terus ya, Mbak. Karena tak ada seorang pun yang akan mengerti saya, selain Mbak Rima,” pintaku dalam tangis.

“Insyaa Allah, Non. Insyaa Allah,” sahutnya. Lalu ia mengambil sesuatu dari saku gamisnya. Sebuah kertas putih yang sudah ia lipat-lipat, dan ia sodorkan padaku. Senyumnya mengembang.

“Apa ini, Mbak?”

“Tadi, sewaktu Non pingsan, saya membawa Non ke rumah sakit. Lalu sebelum orang tua Non datang, dokter memanggil saya, dan memberikan kertas ini pada saya. Saya tidak berani memberi tahu mereka, takut sesuatu terjadi pada Non.”

Masih dengan tangan yang sedikit gemetar kuterima kertas itu. Membukanya perlahan, dan aku terbelalak. Sebuah kertas hasil tes laboratorium, yang menyatakan bahwa aku tengah hamil lima minggu. Pantas saja bulan ini aku belum haid.

Tiba-tiba dadaku kembali sesak, sesak karena aku tidak tahu apakah aku harus bahagia atau sedih. Saat nyaris kehilangan pria yang sangat kucintai, Allah menitipkan sebuah amanah di rahim ini. Meskipun dulu Devan pernah bilang kalau dia bukan lelaki sempurna, tetapi tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Hari ini aku menyaksikan sendiri bukti nyata kekuasaannya.

Lalu apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku harus bersikap? Apakah aku harus melepas cintaku begitu saja? Apakah aku harus menghukum Devan dengan segala yang telah ia lakukan sementara ia telah berusaha untuk bertaubat?

***
0