- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#40
PART 13
💐Bab 13💐
Aku membuka mata, saat kudengar azan Subuh berkumandang. Aku tersenyum, mendapati Devan masih memelukku dalam hangat tubuhnya. Terlihat ada gurat bahagia di wajah lelapnya. Kukecup dahinya pelan, Devan menggeliat dan melepas pelukan, hingga ia kembali terlelap. Lalu aku bangkit, turun dari ranjang. Melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sunggingan senyum tak lepas dari bibir, saat membayangkan apa yang sudah terjadi semalam.
Baru saja aku selesai shalat Subuh dan berdoa ketika melihat Devan tengah memandangku dari tepi ranjang.
“Abang sudah bangun?” sapaku sambil membuka mukena, lalu berjalan mendekatinya.
“Kamu berdoa tentang apa?”
“Aku sedang memintamu pada Allah, agar selalu di sini bersamaku. Lalu aku meminta, agar suatu hari, setiap subuh menjelang, ada pria bernama Devan yang menarikku bangun untuk shalat.”
Jawabanku membuat Devan terdiam. Lalu ia berdiri, melangkah menuju kamar mandi. Gemericik air menandakan ia tengah membersihkan diri. Tak sampai sepuluh menit ia pun keluar dengan menggunakan handuk yang hanya menutupi pinggang dan pahanya. Membuat kejadian semalam terbayang lagi di ingatanku. Cepat-cepat aku memalingkan wajah, dan pura-pura membereskan ranjang.
Pria itu membuka lemari, mengenakan sarung dan baju koko miliknya. Membentang sajadah, dan mulai mendirikan shalat. Aku seakan tak percaya menyaksikannya. Tak ada gerakan shalatnya yang terlihat canggung, seolah selama ini dia adalah laki-laki yang tak pernah meninggalkan shalat.
Saking terpananya aku hanya bisa terpaku duduk di ranjang hingga ia tunaikan kewajibannya. Begitu selesai, ia pun bangkit dan berjalan ke arahku.
“Bagaimana bisa?” tanyaku dengan mata yang membulat.
“Abang ingin seperti kamu, Abang ingin menyeimbangi dirimu, belajar taat pada perintah agama.”
Aku tersenyum sangat bahagia hingga tak mampu berkata apa-apa.
“Kalau begitu, aku mau bantu Mbak Rima nyiapin sarapan dulu ya, Bang?” Aku hendak beranjak ketika tangan Devan menarikku.
“Masih jam setengah enam, nanti saja!” cegahnya.
“Terus?”
Devan menatapku dengan tatapan menggoda, lalu ia berbisik, “Mari kita ulang momen indah kita semalam.”
Aku tersipu. Tangan Devan langsung menarikku, hingga keindahan itu kembali terulang. Menghangatkan udara pagi yang terasa begitu dingin menusuk tulang.
***
“Ada yang bangun dengan rambut basah nih!” ledek Mbak Rima begitu aku sampai di dapur.
“Mbak Rima apaan sih!” sahutku tersipu. Wajahku pasti sudah memerah. “Jangan menggoda saya seperti itu!”
“Iya deeeh, buat Non Puja yang sedang berbunga-bunga.” Wanita itu tertawa sambil menyodorkan segelas susu hangat. Aku duduk dan menyesapnya sedikit.
“Hari ini mau sarapan apa, Non?”
“Hmm, kayaknya nasi goreng lagi deh Mbak, Bang Dev sukanya itu doang buat sarapan. Kalau saya bosan, mau makan roti saja nanti.”
“Oke Non, mau Mbak yang bikinin atau Non sendiri?”
“Saya saja, Mbak.”
“Baiklah. Kalau gitu, Mbak mau nyapu sama ngepel teras dulu ya, Non?”
“Oke.”
Mbak Rima berlalu, dan aku mulai meracik bahan untuk kujadikan nasi goreng favorit suamiku.
Aku terkejut saat tiba-tiba tubuh wangi itu mendekapku dari belakang, ketika aku sedang menata meja makan.
“Bang Dev, apa-apaan sih! Nanti Mbak Rima lihat kita!” Aku berusaha melepaskan diri darinya. Seperti tersadar kalau di rumah ini ada orang lain, Devan pun melepas pelukannya, setelah sebelumnya mengecup pipiku.
“Maaf, Abang lupa.” Devan cengengesan.
“Makanya jangan genit!”
“Genit sama istri sendiri itu bukannya wajib?” kilahnya.
Aku mencebik sambil berlalu ke dapur dan kembali membawa segelas teh manis hangat untuknya.
“Puja, thank’s for everything.” Devan menatapku penuh cinta.
“Masih pagi, tidak usah menggombaliku! Ayo buruan sarapan, pagi ini aku mau ke kampus, Abang anterin ya?” kataku sambil memberikan sepiring nasi goreng untuknya.
“Mau ngapain ke kampus? Bukannya jadwal kuliahmu besok, ya?”
“Aku ada urusan sedikit sama dosenku.”
“Ramzi?” tebaknya dengan raut tak suka.
Aku mengangguk. “Iya.”
Devan mendengkus, lalu meneguk tehnya beberapa kali. “Kamu berhenti saja kuliahnya, jadi ibu rumah tangga saja sudah cukup.” Ia mulai menyantap nasi goreng yang kuberikan.
“Tapi kan nanggung, Bang. Hanya beberapa bulan lagi kan?”
“Tapi Abang tak suka dengan dosenmu itu!”
“Jangan cemburu tak beralasan seperti itu, cukup beri aku kepercayaan. Itu akan sangat membantu.”
Devan terdiam.
“Ayolah, Bang! Please!”
“Terserah kamulah!”
“Terima kasih, Bang Dev,” ucapku sumringah meskipun wajah pria itu masih ditekuk.
***
Akhirnya, kuliahku selesai. Menyandang gelar S2 meskipun akhirnya tempatku adalah di rumah. Devan begitu senang, karena tak perlu lagi cemburu dengan dosen keren itu. Cintanya terasa semakin besar, meskipun terkadang terkesan posesif, tetapi aku bahagia.
Siang ini aku baru saja selesai memasak dengan Mbak Rima.Tiba-tiba terdengar ada yang memencet bel, Mbak Rima bergegas ke depan untuk membukanya. Sayup kudengar suara Mbak Rima bercakap-cakap dengan seseorang.
Aku mengenakan jilbab. “Siapa, Mbak?” tanyaku sambil melangkah menuju ruang depan. Tidak biasanya ada tamu tengah hari begini. Lagian aku juga tidak ada janji dengan siapa pun hari ini.
Jantungku berdetak kencang, menduga-duga apa yang terjadi saat melihat dua orang berseragam polisi tengah berdiri di depan pintu.
“Ada apa, ya, Pak?” tanyaku cemas.
“Selamat siang, dengan Ibu Puja, istri dari Bapak Devan Maulana?” Salah seorang membuka suara ketika melihatku.
“Iya, saya sendiri.”
“Maaf Bu Puja, silahkan ikut kami ke kantor polisi, karena suami Ibu sedang berada di kantor saat ini.”
“Ada apa dengan suami saya?” Hampir saja aku kehilangan keseimbangan saat mendengar berita itu.
Mbak Rima memegang lenganku.
“Nanti saja kami jelaskan di kantor, Bu.”
Aku dan Mbak Rima berpandangan. “Ayo Non, Mbak temani, sebentar Mbak kunci pintu dulu.” Wanita itu bergegas masuk ke dalam. Sementara lututku gemetar, membayangkan kemungkinan terburuk yang tengah menimpa suamiku.
Ada apa ini? Apa yang telah Devan lakukan? Apa dia menabrak orang atau melakukan hal kriminal lainnya?
💐Bab 13💐
Aku membuka mata, saat kudengar azan Subuh berkumandang. Aku tersenyum, mendapati Devan masih memelukku dalam hangat tubuhnya. Terlihat ada gurat bahagia di wajah lelapnya. Kukecup dahinya pelan, Devan menggeliat dan melepas pelukan, hingga ia kembali terlelap. Lalu aku bangkit, turun dari ranjang. Melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sunggingan senyum tak lepas dari bibir, saat membayangkan apa yang sudah terjadi semalam.
Baru saja aku selesai shalat Subuh dan berdoa ketika melihat Devan tengah memandangku dari tepi ranjang.
“Abang sudah bangun?” sapaku sambil membuka mukena, lalu berjalan mendekatinya.
“Kamu berdoa tentang apa?”
“Aku sedang memintamu pada Allah, agar selalu di sini bersamaku. Lalu aku meminta, agar suatu hari, setiap subuh menjelang, ada pria bernama Devan yang menarikku bangun untuk shalat.”
Jawabanku membuat Devan terdiam. Lalu ia berdiri, melangkah menuju kamar mandi. Gemericik air menandakan ia tengah membersihkan diri. Tak sampai sepuluh menit ia pun keluar dengan menggunakan handuk yang hanya menutupi pinggang dan pahanya. Membuat kejadian semalam terbayang lagi di ingatanku. Cepat-cepat aku memalingkan wajah, dan pura-pura membereskan ranjang.
Pria itu membuka lemari, mengenakan sarung dan baju koko miliknya. Membentang sajadah, dan mulai mendirikan shalat. Aku seakan tak percaya menyaksikannya. Tak ada gerakan shalatnya yang terlihat canggung, seolah selama ini dia adalah laki-laki yang tak pernah meninggalkan shalat.
Saking terpananya aku hanya bisa terpaku duduk di ranjang hingga ia tunaikan kewajibannya. Begitu selesai, ia pun bangkit dan berjalan ke arahku.
“Bagaimana bisa?” tanyaku dengan mata yang membulat.
“Abang ingin seperti kamu, Abang ingin menyeimbangi dirimu, belajar taat pada perintah agama.”
Aku tersenyum sangat bahagia hingga tak mampu berkata apa-apa.
“Kalau begitu, aku mau bantu Mbak Rima nyiapin sarapan dulu ya, Bang?” Aku hendak beranjak ketika tangan Devan menarikku.
“Masih jam setengah enam, nanti saja!” cegahnya.
“Terus?”
Devan menatapku dengan tatapan menggoda, lalu ia berbisik, “Mari kita ulang momen indah kita semalam.”
Aku tersipu. Tangan Devan langsung menarikku, hingga keindahan itu kembali terulang. Menghangatkan udara pagi yang terasa begitu dingin menusuk tulang.
***
“Ada yang bangun dengan rambut basah nih!” ledek Mbak Rima begitu aku sampai di dapur.
“Mbak Rima apaan sih!” sahutku tersipu. Wajahku pasti sudah memerah. “Jangan menggoda saya seperti itu!”
“Iya deeeh, buat Non Puja yang sedang berbunga-bunga.” Wanita itu tertawa sambil menyodorkan segelas susu hangat. Aku duduk dan menyesapnya sedikit.
“Hari ini mau sarapan apa, Non?”
“Hmm, kayaknya nasi goreng lagi deh Mbak, Bang Dev sukanya itu doang buat sarapan. Kalau saya bosan, mau makan roti saja nanti.”
“Oke Non, mau Mbak yang bikinin atau Non sendiri?”
“Saya saja, Mbak.”
“Baiklah. Kalau gitu, Mbak mau nyapu sama ngepel teras dulu ya, Non?”
“Oke.”
Mbak Rima berlalu, dan aku mulai meracik bahan untuk kujadikan nasi goreng favorit suamiku.
Aku terkejut saat tiba-tiba tubuh wangi itu mendekapku dari belakang, ketika aku sedang menata meja makan.
“Bang Dev, apa-apaan sih! Nanti Mbak Rima lihat kita!” Aku berusaha melepaskan diri darinya. Seperti tersadar kalau di rumah ini ada orang lain, Devan pun melepas pelukannya, setelah sebelumnya mengecup pipiku.
“Maaf, Abang lupa.” Devan cengengesan.
“Makanya jangan genit!”
“Genit sama istri sendiri itu bukannya wajib?” kilahnya.
Aku mencebik sambil berlalu ke dapur dan kembali membawa segelas teh manis hangat untuknya.
“Puja, thank’s for everything.” Devan menatapku penuh cinta.
“Masih pagi, tidak usah menggombaliku! Ayo buruan sarapan, pagi ini aku mau ke kampus, Abang anterin ya?” kataku sambil memberikan sepiring nasi goreng untuknya.
“Mau ngapain ke kampus? Bukannya jadwal kuliahmu besok, ya?”
“Aku ada urusan sedikit sama dosenku.”
“Ramzi?” tebaknya dengan raut tak suka.
Aku mengangguk. “Iya.”
Devan mendengkus, lalu meneguk tehnya beberapa kali. “Kamu berhenti saja kuliahnya, jadi ibu rumah tangga saja sudah cukup.” Ia mulai menyantap nasi goreng yang kuberikan.
“Tapi kan nanggung, Bang. Hanya beberapa bulan lagi kan?”
“Tapi Abang tak suka dengan dosenmu itu!”
“Jangan cemburu tak beralasan seperti itu, cukup beri aku kepercayaan. Itu akan sangat membantu.”
Devan terdiam.
“Ayolah, Bang! Please!”
“Terserah kamulah!”
“Terima kasih, Bang Dev,” ucapku sumringah meskipun wajah pria itu masih ditekuk.
***
Akhirnya, kuliahku selesai. Menyandang gelar S2 meskipun akhirnya tempatku adalah di rumah. Devan begitu senang, karena tak perlu lagi cemburu dengan dosen keren itu. Cintanya terasa semakin besar, meskipun terkadang terkesan posesif, tetapi aku bahagia.
Siang ini aku baru saja selesai memasak dengan Mbak Rima.Tiba-tiba terdengar ada yang memencet bel, Mbak Rima bergegas ke depan untuk membukanya. Sayup kudengar suara Mbak Rima bercakap-cakap dengan seseorang.
Aku mengenakan jilbab. “Siapa, Mbak?” tanyaku sambil melangkah menuju ruang depan. Tidak biasanya ada tamu tengah hari begini. Lagian aku juga tidak ada janji dengan siapa pun hari ini.
Jantungku berdetak kencang, menduga-duga apa yang terjadi saat melihat dua orang berseragam polisi tengah berdiri di depan pintu.
“Ada apa, ya, Pak?” tanyaku cemas.
“Selamat siang, dengan Ibu Puja, istri dari Bapak Devan Maulana?” Salah seorang membuka suara ketika melihatku.
“Iya, saya sendiri.”
“Maaf Bu Puja, silahkan ikut kami ke kantor polisi, karena suami Ibu sedang berada di kantor saat ini.”
“Ada apa dengan suami saya?” Hampir saja aku kehilangan keseimbangan saat mendengar berita itu.
Mbak Rima memegang lenganku.
“Nanti saja kami jelaskan di kantor, Bu.”
Aku dan Mbak Rima berpandangan. “Ayo Non, Mbak temani, sebentar Mbak kunci pintu dulu.” Wanita itu bergegas masuk ke dalam. Sementara lututku gemetar, membayangkan kemungkinan terburuk yang tengah menimpa suamiku.
Ada apa ini? Apa yang telah Devan lakukan? Apa dia menabrak orang atau melakukan hal kriminal lainnya?
0