- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#37
ANGKUHNYA CINTA (BAB 10)
LENY KHAN
💐Bab 10💐
Pukul empat pagi aku terbangun. Tersenyum menemukan tubuh ini masih dalam pelukan Devan. Menatap wajah lelapnya yang begitu terlihat tenang, dengkuran halus terdengar menghias sunyinya suasana.
Kukecup pelan dahinya, lalu menepis tangannya dari tubuhku sebelum beringsut turun dari ranjang. Lalu melangkah menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan menggosok gigi.
Kemudian aku keluar dari kamar menuju dapur. Langkahku terhenti di depan pintu kamar Mbak Rima, sayup kudengar suaranya melantunkan ayat-ayat Alqur’an. Begitu menenangkan dan menyejukkan.
Entah berapa lama aku berdiri di sana, menyandarkan tubuh di dinding, terhanyut dengan suara bacaan wanita itu.
“Non Puja?” Aku terkejut saat tiba-tiba saja Mbak Rima sudah berdiri di ambang pintu. Saking terhanyutnya aku tidak tahu kalau ia sudah selesai membaca Alqur’an dan membuka pintu.
“Eh, Mbak Rima.” Kuusap air mata yang ternyata sudah mengalir menuruni pipi tanpa kusadari.
“Non kenapa berdiri di sini? Ada perlu sama Mbak? Kenapa tidak panggil saja?” Mbak Rima tampak sungkan.
“Ah, enggak apa-apa Mbak. Saya senang mendengar Mbak mengaji.”
“Non mau mengaji juga?”
“Iya Mbak, dulu saya juga pernah mengaji, dan saya juga ... pernah meraih juara satu dalam mengkhatamkan Alqur’an sewaktu SD. Tapi ... sejak SMP, saat usaha Ayah semakin maju, harta kami berlimpah, kami melupakan Tuhan,” lirihku.
“Sudah Non, jangan sedih, belum terlambat untuk memulai semuanya kembali,” hiburnya seraya tersenyum. “Sebentar lagi azan Subuh, Non mau ikut shalat sama Mbak?”
“Boleh Mbak, saya mau. Sebentar saya ambil mukena dulu di kamar.” Tanpa menunggu tanggapan Mbak Rima aku berlari ke kamar, membuka lemari, mengambil mukena yang juga merupakan salah satu mahar dari Devan saat pernikahan kami. Sepasang mukena berwarna pink muda, warna yang sangat aku sukai. Ada bordiran khas Padang menghias sekelilingnya. Kudekap dan kucium mukena itu sebelum bergegas menuju kamar Mbak Rima.
Aku berwudhu’. Bersyukur aku tak lupa caranya, bahkan gerakan shalat aku masih ingat, sedang bacaannya aku juga masih ingat. Hanya lupa sedikit-sedikit saja.
Air mata mengalir saat aku baru saja selesai menunaikan kewajibanku setelah sekian tahun aku melupakan Sang Maha Pencipta. Ada perasaan tenang menghampiri. Dada terasa lapang, aku seperti menemukan diriku yang baru. Aku juga sempat membaca Alqur’an beberapa ayat dengan disimak oleh mbak Rima. Alhamdulillaah, lidahku masih lumayan fasih membacanya, hanya beberapa kali saja aku salah melafazkan hurufnya.
“Mbak, kita masak untuk sarapan pagi yuk!” ajakku begitu kembali dari kamar untuk menaruh mukena.
“Non mau masak? Tumben!”
“Saya ingin membuat suami saya bahagia Mbak, meskipun ... meskipun hanya dengan cara sederhana.”
Mbak Rima tersenyum. “Alhamdulillaah, baik kalau begitu. Ayo kita berjuang!”
“Apaan sih Mbak? Lebay ih!”
Kami pun tertawa bersama. Mbak Rima ini tidak seperti asisten rumah tangga bagiku, tapi seperti kakak yang mengayomi. Dia tak pernah sungkan menasehatiku tentang kebenaran, dan aku juga tidak pernah tersinggung dan marah kalau ia sedang menasehati. Mungkin karena tutur katanya yang begitu sopan dan cara bicaranya yang beradab membuatnya begitu bersahaja. Hingga semuanya bisa kuterima dengan lapang dada.
“Mbak Rima, saya pagi ini begitu bahagia,” ucapku sembari mengiris-iris daun bawang. Rencananya pagi ini aku ingin membuatkan nasi goreng untuk Devan.
“Oh ya? Kalau Mbak boleh tahu, apa yang membuat Non begitu bahagia?” tanyanya sembari menyeduh secangkir teh hangat dan segelas susu.
“Dia bahagia karena saya sangat mencintainya, Mbak,” celetuk Devan yang tiba-tiba muncul di dapur.
Aku terkejut. Wajahku pias, mungkin saat ini warnanya sudah merona merah menahan malu. Mbak Rima melirikku sambil mengulum senyum.
“Abang, apa-apaan sih? Udah mandi belum? Sana mandi dulu!” titahku tanpa menoleh padanya.
Devan tertawa, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan kami.
“Non Puja berhasil?” Mbak Rima mencolek pinggangku.
“Saya berhasil membuatnya mengakui apa yang seharusnya dia akui dari dulu. Tapi ... ada satu hal yang belum saya ketahui tentangnya, dan saya pasti akan membongkarnya lambat laun. Sebab saya penasaran, kenapa bukan saya yang dia lamar waktu itu, kenapa harus Meera?”
“Meera?” Mbak Rima tampak terkejut dengan nama yang baru saja kusebutkan.
“Meera adalah kakak kandung saya, Mbak. Dia istri Devan, meninggal dua tahun lalu dalam kecelakaan mobil tunggal, saat usia pernikahan mereka baru berjalan tiga bulan.”
“Berarti ....“
Aku tersenyum. “Ya, saya turun ranjang. Menerima lamaran Devan, karena saya sangat mencintainya semenjak pertama kali bertemu. Sayangnya, Meera lebih beruntung,” pikiranku menerawang ke beberapa tahun silam.
“Allah Maha Adil, hingga meskipun dengan cara seperti ini, Non dan Tuan disatukan kembali.”
“Iya Mbak, meskipun ... saya harus berusaha keras untuk membuatnya menerima saya sepenuh hati.”
“Insyaa Allah, Mbak yakin ... kalau Non dan Tuan Devan akan bahagia suatu saat nanti.”
“Aamiin, terima kasih doanya Mbak!”
“Sama-sama Non, yang penting Non selalu berdoa dan jangan pernah meninggalkan shalat. Teruslah mendekatkan diri pada Sang Pemilik Cinta.” Mbak Rima menyodorkan segelas susu hangat padaku. Kuterima dengan senang hati, lalu duduk dan meneguk sepertiga dari isinya. Kemudian kembali melanjutkan pekerjaanku, membuat sarapan untuk Devan.
***
“Enak nggak, Bang?” tanyaku sambil memperhatikannya makan.
“Lumayan,” sahutnya cuek tanpa berhenti memindahkan nasi goreng itu ke mulutnya.
“Lumayan enak maksudnya?” ledekku.
Devan tertawa kecil, lalu aku membiarkan dia menghabiskan sarapannya.
“Tanganmu udah nggak sakit lagi ‘kan?” Pria itu melirik tangan kiriku.
“Udah enggak, Bang. Buktinya aku bisa bikin sarapan ‘kan?”
“Baguslah kalau begitu.” Devan bangkit dari duduknya. Berjalan ke ruang tengah, memasang jas abu-abu tuanya. “Abang berangkat dulu ya, Pu?” Lelaki itu melenggang ke arah ruang tamu.
Aku mengejarnya. “Tunggu!”
Devan berhenti. “Ada apa lagi Pu? Abang sudah telat ini, Sayang.”
‘Sayang? Dia menyebutku Sayang?’
“Abang lupa sesuatu,” ujarku saat tubuh kami saling berhadapan.
Dahinya berkerut. “Apa?”
Aku tersenyum, lalu menghambur ke dalam pelukannya, menikmati wangi aroma tubuhnya. Devan bergeming tanpa membalas pelukanku.
“Kamu belum mandi ya, Pu? Bau bawang!” celetuknya.
Aku terkesiap, melepas pelukanku. Baru kusadari kalau aku belum mandi sejak tadi.
“Belum, Bang,” sahutku sambil cengar-cengir.
“Sana mandi dulu kalau mau peluk-peluk!”
“Tapi walau pun bau, takkan mengurangi cinta Abang padaku kan?”
“Dasaaar anak kecil!” Devan mencubit pipiku gemas.
“Ya sudah, Abang berangkat ya?” Sebuah ciuman kecil mendarat di dahiku. Senyumku mengembang, pagi pertama yang begitu mesra. Semoga pagi-pagi selanjutnya ada suasana yang jauh lebih hangat dari sekedar ciuman di dahi.
“Pukul sebelas Abang jemput. Jangan sampai saat Abang datang kamu masih belum siap-siap.” Devan mengingatkan.
“Siap, Bos!”
Devan tertawa, melangkah meninggalkanku setelah sebelumnya menyentuh lembut pipiku.
‘Ah, cinta itu memang indah, saaangat indah!’
***
LENY KHAN
💐Bab 10💐
Pukul empat pagi aku terbangun. Tersenyum menemukan tubuh ini masih dalam pelukan Devan. Menatap wajah lelapnya yang begitu terlihat tenang, dengkuran halus terdengar menghias sunyinya suasana.
Kukecup pelan dahinya, lalu menepis tangannya dari tubuhku sebelum beringsut turun dari ranjang. Lalu melangkah menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan menggosok gigi.
Kemudian aku keluar dari kamar menuju dapur. Langkahku terhenti di depan pintu kamar Mbak Rima, sayup kudengar suaranya melantunkan ayat-ayat Alqur’an. Begitu menenangkan dan menyejukkan.
Entah berapa lama aku berdiri di sana, menyandarkan tubuh di dinding, terhanyut dengan suara bacaan wanita itu.
“Non Puja?” Aku terkejut saat tiba-tiba saja Mbak Rima sudah berdiri di ambang pintu. Saking terhanyutnya aku tidak tahu kalau ia sudah selesai membaca Alqur’an dan membuka pintu.
“Eh, Mbak Rima.” Kuusap air mata yang ternyata sudah mengalir menuruni pipi tanpa kusadari.
“Non kenapa berdiri di sini? Ada perlu sama Mbak? Kenapa tidak panggil saja?” Mbak Rima tampak sungkan.
“Ah, enggak apa-apa Mbak. Saya senang mendengar Mbak mengaji.”
“Non mau mengaji juga?”
“Iya Mbak, dulu saya juga pernah mengaji, dan saya juga ... pernah meraih juara satu dalam mengkhatamkan Alqur’an sewaktu SD. Tapi ... sejak SMP, saat usaha Ayah semakin maju, harta kami berlimpah, kami melupakan Tuhan,” lirihku.
“Sudah Non, jangan sedih, belum terlambat untuk memulai semuanya kembali,” hiburnya seraya tersenyum. “Sebentar lagi azan Subuh, Non mau ikut shalat sama Mbak?”
“Boleh Mbak, saya mau. Sebentar saya ambil mukena dulu di kamar.” Tanpa menunggu tanggapan Mbak Rima aku berlari ke kamar, membuka lemari, mengambil mukena yang juga merupakan salah satu mahar dari Devan saat pernikahan kami. Sepasang mukena berwarna pink muda, warna yang sangat aku sukai. Ada bordiran khas Padang menghias sekelilingnya. Kudekap dan kucium mukena itu sebelum bergegas menuju kamar Mbak Rima.
Aku berwudhu’. Bersyukur aku tak lupa caranya, bahkan gerakan shalat aku masih ingat, sedang bacaannya aku juga masih ingat. Hanya lupa sedikit-sedikit saja.
Air mata mengalir saat aku baru saja selesai menunaikan kewajibanku setelah sekian tahun aku melupakan Sang Maha Pencipta. Ada perasaan tenang menghampiri. Dada terasa lapang, aku seperti menemukan diriku yang baru. Aku juga sempat membaca Alqur’an beberapa ayat dengan disimak oleh mbak Rima. Alhamdulillaah, lidahku masih lumayan fasih membacanya, hanya beberapa kali saja aku salah melafazkan hurufnya.
“Mbak, kita masak untuk sarapan pagi yuk!” ajakku begitu kembali dari kamar untuk menaruh mukena.
“Non mau masak? Tumben!”
“Saya ingin membuat suami saya bahagia Mbak, meskipun ... meskipun hanya dengan cara sederhana.”
Mbak Rima tersenyum. “Alhamdulillaah, baik kalau begitu. Ayo kita berjuang!”
“Apaan sih Mbak? Lebay ih!”
Kami pun tertawa bersama. Mbak Rima ini tidak seperti asisten rumah tangga bagiku, tapi seperti kakak yang mengayomi. Dia tak pernah sungkan menasehatiku tentang kebenaran, dan aku juga tidak pernah tersinggung dan marah kalau ia sedang menasehati. Mungkin karena tutur katanya yang begitu sopan dan cara bicaranya yang beradab membuatnya begitu bersahaja. Hingga semuanya bisa kuterima dengan lapang dada.
“Mbak Rima, saya pagi ini begitu bahagia,” ucapku sembari mengiris-iris daun bawang. Rencananya pagi ini aku ingin membuatkan nasi goreng untuk Devan.
“Oh ya? Kalau Mbak boleh tahu, apa yang membuat Non begitu bahagia?” tanyanya sembari menyeduh secangkir teh hangat dan segelas susu.
“Dia bahagia karena saya sangat mencintainya, Mbak,” celetuk Devan yang tiba-tiba muncul di dapur.
Aku terkejut. Wajahku pias, mungkin saat ini warnanya sudah merona merah menahan malu. Mbak Rima melirikku sambil mengulum senyum.
“Abang, apa-apaan sih? Udah mandi belum? Sana mandi dulu!” titahku tanpa menoleh padanya.
Devan tertawa, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan kami.
“Non Puja berhasil?” Mbak Rima mencolek pinggangku.
“Saya berhasil membuatnya mengakui apa yang seharusnya dia akui dari dulu. Tapi ... ada satu hal yang belum saya ketahui tentangnya, dan saya pasti akan membongkarnya lambat laun. Sebab saya penasaran, kenapa bukan saya yang dia lamar waktu itu, kenapa harus Meera?”
“Meera?” Mbak Rima tampak terkejut dengan nama yang baru saja kusebutkan.
“Meera adalah kakak kandung saya, Mbak. Dia istri Devan, meninggal dua tahun lalu dalam kecelakaan mobil tunggal, saat usia pernikahan mereka baru berjalan tiga bulan.”
“Berarti ....“
Aku tersenyum. “Ya, saya turun ranjang. Menerima lamaran Devan, karena saya sangat mencintainya semenjak pertama kali bertemu. Sayangnya, Meera lebih beruntung,” pikiranku menerawang ke beberapa tahun silam.
“Allah Maha Adil, hingga meskipun dengan cara seperti ini, Non dan Tuan disatukan kembali.”
“Iya Mbak, meskipun ... saya harus berusaha keras untuk membuatnya menerima saya sepenuh hati.”
“Insyaa Allah, Mbak yakin ... kalau Non dan Tuan Devan akan bahagia suatu saat nanti.”
“Aamiin, terima kasih doanya Mbak!”
“Sama-sama Non, yang penting Non selalu berdoa dan jangan pernah meninggalkan shalat. Teruslah mendekatkan diri pada Sang Pemilik Cinta.” Mbak Rima menyodorkan segelas susu hangat padaku. Kuterima dengan senang hati, lalu duduk dan meneguk sepertiga dari isinya. Kemudian kembali melanjutkan pekerjaanku, membuat sarapan untuk Devan.
***
“Enak nggak, Bang?” tanyaku sambil memperhatikannya makan.
“Lumayan,” sahutnya cuek tanpa berhenti memindahkan nasi goreng itu ke mulutnya.
“Lumayan enak maksudnya?” ledekku.
Devan tertawa kecil, lalu aku membiarkan dia menghabiskan sarapannya.
“Tanganmu udah nggak sakit lagi ‘kan?” Pria itu melirik tangan kiriku.
“Udah enggak, Bang. Buktinya aku bisa bikin sarapan ‘kan?”
“Baguslah kalau begitu.” Devan bangkit dari duduknya. Berjalan ke ruang tengah, memasang jas abu-abu tuanya. “Abang berangkat dulu ya, Pu?” Lelaki itu melenggang ke arah ruang tamu.
Aku mengejarnya. “Tunggu!”
Devan berhenti. “Ada apa lagi Pu? Abang sudah telat ini, Sayang.”
‘Sayang? Dia menyebutku Sayang?’
“Abang lupa sesuatu,” ujarku saat tubuh kami saling berhadapan.
Dahinya berkerut. “Apa?”
Aku tersenyum, lalu menghambur ke dalam pelukannya, menikmati wangi aroma tubuhnya. Devan bergeming tanpa membalas pelukanku.
“Kamu belum mandi ya, Pu? Bau bawang!” celetuknya.
Aku terkesiap, melepas pelukanku. Baru kusadari kalau aku belum mandi sejak tadi.
“Belum, Bang,” sahutku sambil cengar-cengir.
“Sana mandi dulu kalau mau peluk-peluk!”
“Tapi walau pun bau, takkan mengurangi cinta Abang padaku kan?”
“Dasaaar anak kecil!” Devan mencubit pipiku gemas.
“Ya sudah, Abang berangkat ya?” Sebuah ciuman kecil mendarat di dahiku. Senyumku mengembang, pagi pertama yang begitu mesra. Semoga pagi-pagi selanjutnya ada suasana yang jauh lebih hangat dari sekedar ciuman di dahi.
“Pukul sebelas Abang jemput. Jangan sampai saat Abang datang kamu masih belum siap-siap.” Devan mengingatkan.
“Siap, Bos!”
Devan tertawa, melangkah meninggalkanku setelah sebelumnya menyentuh lembut pipiku.
‘Ah, cinta itu memang indah, saaangat indah!’
***
0