Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Leny.KhanAvatar border
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)

LENY KHAN

Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.

Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam  selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku  sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
 
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
 
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
 
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
 
“Pu?”  Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
 
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
 
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
 
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
 
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
 
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
 
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.
 
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
 
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
 
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
 
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
 
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
 
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
 
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
 
“Aku ....“
 
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
 
Mataku membesar. “Benarkah?”
 
Devan mengangguk seraya tesenyum.
 
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
 
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
 
 Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
 
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
 
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
 
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
 
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?” 
 
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
 
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
 
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
 
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
 
“Katakan, Puja!”
 
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
 
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
 
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
 
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
 
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.”  Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
 
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
 
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya. 

Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
 
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?

Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131

Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240

Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f

Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e

Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e

Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e

Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e

Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d

Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399

Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d

Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf

Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380

Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179

Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad

Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31

Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a

Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41

Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96

Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43

Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213

Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
Entin088
ariesfastes
bukhorigan
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
Leny.KhanAvatar border
TS
Leny.Khan
#35
ANGKUHNYA CINTA (BAB 8)
LENY KHAN

💐Bab 8💐

“Puja, sudah mau pulang?” sapa Ramzi saat aku baru ke luar dari perpustakaan. Sengaja kuhabiskan waktu di sana, dengan niat setelah ini pergi ke rumah Ayah untuk mengambil mobil.

“Eh, Bapak … iya, Pak.”

“Suamimu menjemput?”

Aku menggeleng. “Tidak.”

“Mau naik angkutan umum lagi?” tanyanya sambil tertawa kecil. Ah, raut wajahnya terlihat begitu keren saat tertawa begitu.

Aku jadi ikut tertawa. “Saya juga nggak tahu, Pak. Bapak mau antar saya lagi?” tantangku. Entah keberanian dari mana aku bertanya begitu padanya.

“Boleh kalau mau,” jawabnya.

“Bapak berani bawa istri orang?”

“Kenapa tidak?” sahutnya lagi sambil terbahak.

“Ayo kalau gitu, Pak. Antar saya ke rumah orang tua saya, ya?”

“Oke, ke mana pun kamu mau saya antar.”

“Aduh, ada yang gombalin saya nih kayaknya.”

“Whatever!” Ramzi mengibaskan tangannya. “Let’s go!”

Aku tersenyum semringah sambil mensejajari langkahnya. Tak kupedulikan tatapan berpasang mata yang memandang aneh. Mungkin mereka berpikir aku ada sesuatu dengan dosen keren ini. Ah, masa bodoh! Yang jelas aku dapat tumpangan gratis siang ini.

Sayangnya keberuntungan tidak berpihak padaku, dari kejauhan kulihat Devan sudah menunggu. Tampak ia berdiri menyandarkan tubuh di samping mobil.

“Sepertinya suamimu sudah menunggu, Puja. Kalau begitu saya duluan ya, saya takut suamimu marah lagi,” ujar Ramzi sambil mengulum senyum.

Aku menghela napas kecewa, sebelum akhirnya mengangguk dan membiarkan pria itu jalan duluan.

‘Devan, buat apa dia datang kemari? Bukankah aku sudah bilang tidak usah menjemput?’ batinku kesal.

Aku beranjak memutar arah sebelum pria itu menangkap kehadiranku, mencoba mencari jalan lain agar tak bertemu dengannya.

Aku tiba di belakang kampus. Setahuku di sini ada jalan kecil yang akan tembus ke jalan raya, melewati gang sempit milik warga. Belum pernah sih lewat sana, cuma dengar cerita teman-teman saja, dan tidak ada salahnya mencoba.

‘Huh! Gara-gara pria itu aku jadi seperti buronan saja!’

Susah payah aku mencoba memanjat pagar setinggi satu setengah meter itu, benar-benar persis penjahat yang sedang melarikan diri.

“Puja!” Sebuah tangan kekar menarik tubuhku saat satu kaki berhasil naik ke pagar. Ia menarikku hingga kembali menginjak tanah.

“Bang Dev?”

“Lagi ngapain? Pakai manjat-manjat segala kayak buronan.”

“Aku ... aku ….“

“Ayo pulang!”

Dia menarik tanganku. Berusaha menepis tapi tak kuasa, tenaganya lebih kuat.

“Bang Dev, lepaskan! Aku nggak mau pulang!”

Akan tetapi pria itu tak peduli, ia terus menarikku.

“Lepaskan! Aku mau sendiri!”

“Sssttt, diamlah! Kamu mau jadi pusat perhatian di sini?” ancamnya setengah berbisik.

Akhirnya aku terdiam, mencoba mengikuti apa maunya. Dari pada nanti jadi pusat perhatian dan bahan gunjingan di kampus ini. Kami terus berjalan menuju mobil. Cekalan tangan Devan sedikit membuatku meringis.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam sambil mengelus pergelangan tangan yang sedikit memerah.

“Maaf,” ucapnya setelah melirikku.

Aku tak menanggapi. Hening menghias suasana hingga mobil yang dikendarai Devan memasuki gerbang rumah kami.

“Hidup seperti apa ini, Bang?” tanyaku saat mesin mobil sudah mati.

“Apa yang kamu inginkan?” Devan balik bertanya.

“Lepaskan aku, biarkan aku dengan hidupku. Meskipun cintaku seluas langit dan bumi, takkan pernah bisa menggantikan Meera di hatimu. Jadi untuk apa aku terus mendampingimu?”

Devan diam.

“Aku perempuan, aku juga punya perasaan. Hargai juga keinginanku. Mencintaimu, bukan berarti aku bisa diperlakukan sesuka hati. Aku sudah bilang, biarkan aku mencintaimu dalam diam, tapi apa? Abang bersikeras menikahiku karena permintaan orang tua kita. Lalu Abang membawaku ke lembah duka, hidup di bawah bayang-bayang Meera. Membiarkanku kesepian setiap kali aku menyadari kalau aku sudah memiliki suami. Aku tak berharap Abang membalas cintaku, tapi tolong, hargai aku. Jangan buat aku hidup dalam kebimbangan dalam menyikapi perlakuan Abang. Perlakuan yang teramat manis ... namun terasa menyakitkan!”

Devan tetap bergeming meskipun aku sudah bicara panjang kali lebar. Dengan kesal aku turun dari mobilnya, dan setengah berlari masuk ke rumah. Mengunci diri dalam kamar. Melempar tas dan buku yang kubawa. Melempar semua barang yang ada di meja rias, berikut membongkar alas ranjang yang sudah begitu rapi beserta bantal-bantalnya hingga berserakan di lantai.

“Bodooooooooooh!” teriakku. “Kenapa kamu jadi perempuan sebodoh ini Puja? Kamu sudah tahu Devan tidak mencintaimu, tapi kenapa kamu dulu mau menerima pinangannya? Apa yang kamu harapkan, ha? Cinta? Cinta seperti apa? Sedang dia tak pernah peduli denganmu, sedang bibirnya tak pernah menyatakan cinta untukmu. Bodoooooh!”

“Non Puja! Non Puja, buka pintunya!” Terdengar suara cemas Mbak Rima dari luar menggedor-gedor pintuku. “Non, ada apa Non? Non baik-baik saja?”

“Ada apa, Mbak?” kudengar suara Devan bertanya.
Hening beberapa saat, mungkin Mbak Rima sudah pergi.

“Puja! Buka pintunya, Pu!” Kali ini Devan yang memanggil.

Aku tak menjawab, menangis di sudut kamar, menangisi kebodohanku. Andai dulu aku menolak keras pernikahan ini, tentu aku tidak akan menderita seperti ini. Batinku terasa begitu sakit. Lelah menjalani hari-hari yang begitu memuakkan.
Entah berapa lama aku menangis, hingga akhirnya aku lelah, dan tertidur di lantai.

***

“Kamu tahu Pu, sungguh aku sangat mencintaimu.” Sayup, terdengar antara mimpi dan nyata saat telingaku mendengar ucapan itu. “Jauh sebelum aku tahu, kalau kamu juga sangat mencintaiku. Maafkan ... maafkan aku yang tak mampu mengatakan semuanya. Karena suatu saat, kamu juga akan tahu dan mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.”

Perlahan aku membuka mata yang terasa berat, sembab karena tangis yang terlalu lama. Ternyata aku sudah berada di atas ranjang. Kutemukan Devan tengah menatap dengan mata yang basah. Ia terkesiap, dan buru-buru menghapus air matanya.

“Bang Dev ….” Serak suaraku menyebut namanya.

Devan kembali menatap. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa tidak memukul Abang saja? Lampiaskan semuanya pada Abang, Abang rela!”

“Kenapa? Apakah karena Abang juga mencintaiku?”

Ia terdiam sejenak.

“Sudah pukul tujuh malam, bangunlah! Sebentar lagi kita makan malam, sana mandi dulu!” kilahnya.

Devan bangkit, lalu berjongkok memungut beberapa pecahan kosmetikku di lantai, lalu memasukkannya ke tong sampah. “Biar Mbak Rima yang membersihkan semuanya nanti,” ujarnya sambil kembali berdiri. Lalu melangkah gontai ke luar dari kamar.

“Bang Dev!”

Ia berhenti, menoleh padaku. “Ada apa, Pu?”

“Maaf,” lirihku.

Pria itu tersenyum. “Tidak apa-apa, Pu.”

Aku memaksa tubuh lelahku bangun, lalu beringsut turun dan mengejar Devan, berlari memeluknya. Aku tak peduli dia suka atau tidak.

“I love you,” ucapku.

Detak jantungnya bisa kudengar, ada irama indah di dalam sana. Meskipun dia takkan pernah mengakui rasa itu. Yang dia ucapkan saat aku terlelap tadi, bisa kudengar dengan jelas dan itu bukanlah mimpi.
Devan tak membalas pelukanku. Hanya mematung, membiarkanku menikmati aroma dan hangat tubuhnya.

“Sudah peluknya?” tanyanya datar.

“Belum,” jawabku sambil mengeratkan pelukan.

Jantung Devan berdetak lebih cepat, napasnya terdengar naik turun, lalu dengan segera tangannya menjauhkan tubuhku. Iris kami beradu. Seolah saling membaca isi hati masing-masing.

“Aku mendengar semua yang Abang ucapkan tadi saat aku tidur, apakah itu benar?”

Devan menjauh. “Sana mandi, bau!” ucapnya sambil melangkah meninggalkanku, dan aku hanya tersenyum.

Ada setetes kebahagiaan yang menyelimuti, setelah mendengar pengakuannya tadi, walaupun aku tidak tahu apa yang membuatnya tak mampu mengungkapkannya secara langsung.

‘Mungkin ini saatnya bagiku, membuat Devan menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Aku akan membuat gunung es itu meleleh. Kita lihat saja nanti, Dev! Sampai kapan kamu mau jual mahal begitu di hadapanku?’

Kututup pintu kamar, dan segera membersihkan diri. Malam ini aku akan tampil cantik di depannya. Tak peduli apakah dia akan terpukau atau tidak, yang jelas aku akan terus berusaha membuatnya benar-benar mengakui semuanya secara langsung dihadapanku, dan itu akan dimulai malam ini. ‘Wait for me, Dev!’

***

Saat aku sedang berdandan, Mbak Rima datang untuk membersihkan kamar.

“Mbak, apakah saya cantik dengan baju ini?” Aku berputar-putar dengan gaun merah hati tanpa lengan, dengan potongan leher berbentuk huruf V.

“Non Puja itu cantik pakai baju apa saja,” sahutnya dengan senyum mengembang sembari mengumpulkan sisa-sisa make up yang masih berserakan.

“Ah, Mbak bisa saja!” Aku tersipu. “Tapi sayangnya ... make up saya hancur semua,” ujarku sedih.

“Tanpa make up pun Non tetap kelihatan cantik kok. Jangan khawatir!” hiburnya.

“Mbak lagi menghibur saya?” tanyaku sambil tertawa kecil.

“Bukan Non, saya sungguh-sungguh,” jawabnya sambil tersenyum begitu tulus. Entah kenapa, setiap kata-katanya begitu menyejukkan buatku.

Kuperhatikan wanita itu sambil duduk di ranjang, dia selalu memakai gamis dan jilbab lebar, berikut kaos kaki. Lekuk tubuhnya tak sedikit pun terlihat. Apa pakaian seperti ini yang di maksud Ramzi kemarin?

“Mbak Rima, boleh saya bertanya?”

“Boleh Non, tanyalah apa saja yang ingin Non tanyakan. Insyaa Allah akan saya jawab jika saya mampu.”

“Duduk dekat saya, Mbak!” pintaku.

Lalu wanita itu ikut duduk di sisi ranjang.

“Mbak kenapa selalu berpakaian seperti ini? Mbak tidak merasa gerah? Ini kan di dalam rumah, kan bisa di buka jilbabnya!”

Mbak Rima tersenyum. “Menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah. Aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan ada sebagian pendapat yang mengatakan kalau wajah termasuk aurat, jadi harus ditutupi dari laki-laki yang bukan mahram. Nah, itulah yang sering kita lihat ada muslimah yang menggunakan cadar, untuk menjaga dirinya.”

“Bahkan di rumah pun kita harus menutup aurat?”

“Ya kalau Non sih nggak masalah, sebab di rumah ini Tuan Devan adalah suami Non, dia mahram buat Non. Sedangkan Mbak tidak ada hubungan apa-apa dengan suami Non, jadi Tuan Devan bukan mahram Mbak, jadi Mbak wajib selalu menutup aurat. Kalau soal gerah, di sini mana ada gerahnya Non, rumah full AC begini."
Mbak Rima tertawa kecil. “Lagian, lebih gerah di neraka Non, na’uudzubillahi min dzaalik!”

Aku tertegun.

“Menutup aurat juga menyelamatkan ayah, suami dan kakak laki-laki kita dari panasanya neraka. Sebab selangkah saja kita keluar dari rumah membuka aurat, maka selangkah pula kaki mereka mendekati neraka.”

“Benarkah? Berarti pakaian saya yang saya gunakan keluar rumah itu salah ya, Mbak?”

Mbak Rima tersenyum memandangku. “Menurut Non Puja?”

Aku terdiam, seketika ada gundah menguasai hati.

“Sepertinya salah,” jawabku pelan.

“Lalu? Apa yang akan Non lakukan?”

“Saya tidak tahu harus mulai dari mana, Mbak.”

Mbak Rima memegang bahu kananku. “Mulailah dari yang Non mampu, berproseslah! Jalankan shalat lima waktu, membaca Alqur’an, dengan begitu ... kewajiban-kewajiban lain akan mudah dilaksanakan. Sebab shalat adalah tiangnya.”

“Shalat?”

Mbak Rima mengangguk.

“Saya ... saya lupa bacaan shalat Mbak, terakhir shalat ... saya lupa kapan ... hanya sekali setahun waktu shalat Ied.” Aku menunduk malu.

“Non mau belajar lagi?”

Aku mengangkat kepala sambil menatap mata bening wanita itu. ”Mbak mau mengajari saya?”

“Dengan senang hati, Non. Waktu saya selalu ada buat Non.”

“Baiklah, terima kasih, Mbak.”

“Sama-sama, Non. Ya sudah, saya mau nyiapin makan malam dulu ya, Non.”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu ia beranjak, melangkah keluar dari kamarku. Mbak Rima memang enak diajak ngobrol, sepertinya dia orang yang memiliki pengetahuan agama yang sangat bagus. Menasehati tanpa menggurui.

Aku bangkit menuju meja rias, menatap wajahku di cermin. “Sepertinya memang tak butuh make up,” pujiku pada diri sendiri sambil tertawa geli. “Tapi … benarkah aku menggoda buat para lelaki? Kalau begitu berdosakah aku?”

Tetiba saja hatiku gelisah, ada sebuah perasaan tak tenang yang menyergap.

***
0