janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
Ibuku di guna-guna

Sumber gambar : planetbiz.org

Telah genap satu bulan, tapi Ibuku belum juga menunjukan tanda-tanda kesembuhan. Semua ini terasa seperti mimpi bagiku. Semuanya terjadi begitu cepat. Terasa baru kemarin aku berbincang via telepon bersama Ibu. Membahas rencananya untuk menambah modal usaha warung. Tapi, lihatlah sekarang, Ibu terbaring lemah tak berdaya, kesakitan, menyedihkan. Seumur aku hidup, aku tidak pernah melihat Ibu sakit separah ini.

Untuk beberapa saat, aku merasa marah dan kecewa kepada Tuhan. Aku merasa Tuhan tidak menyayangi kami. Aku merasa bahwa Tuhan menciptakan kami dan mengirim kami ke dunia ini hanya untuk dijadikan contoh kesengsaraan yang akan jadi bahan tertawaan dan cemo'ohan banyak orang.

Bahkan saat menulis ini, aku masih merasa marah dan kecewa.

Aku ingin bercerita sedikit tentang Ibuku, mungkin setelah ini, siapapun yang membaca threadku kali ini, bisa memberiku masukan yang positif sehingga perasaan negatif dalam diriku bisa mereda. Semoga.

Jadi gini...

Genap setelah empat tahun menjada, tiba-tiba ibuku mengabarkan dan memutuskan untuk menikah lagi. Ada pro dan kontra dari pihak keluarga; baik anak, sodara, termasuk keluarga istri pertama almarhum Ayah.

Beberapa orang mempertimbangkan kondisiku, satu-satunya anak perempuannya yang sampai saat ini belum menikah padahal masa jombloku sudah hampir jatuh tempo.

Sebagian yang lain mempertimbangkan calon suami Ibu yang ternyata memiliki reputasi yang kurang baik. Tapi apalah daya, saat panah asmara telah menancap di dada manusia. "Samsudin yang dulu bukan Samsudin yang sekarang." Begitu jawab Ibu saat membela calon suaminya.

Tidak lama dari kabar itu, Ibu memintaku pulang untuk berkenalan dengan calon suaminya, calon ayah baruku. Akupun tidak tega untuk menolaknya. Saat itu aku datang bersama seorang sahabat. Sebut saja namanya Enab.

Kesan pertama aku bertemu Pak Samsudin, dia mengingatkanku pada almarhum Ayah. Dan aku langsung setuju jika Ibu menikah dengan Pak Samsudin itu.

"Mamah, maaf. Ini perasaan Enab aja apa emang bener tangan Pak Samsudin kasar, penuh koreng gitu? Maaf-maaf, hawatirnya Pak Samsudin punya penyakit kulit." Tiba-tiba Enab mengajukan pertanyaan yang jelas sekali langsung menyinggung perasaan Ibu.

"Ah, enggak. Kalo kasar mah, namanya juga pekerja kasar, Neng." tukas Ibu dengan tatapan tidak nyaman pada Enab.

"Iya, maaf, Mah. Enab cuma hawatir Mamah seperti tante Enab yang sakit karena tertular dari suaminya." Kata Enab tidak enak hati.

Enab itu seperti sensor untuk hal-hal sensitif yang tak kasat mata. Dia memiliki intuisi yang sangat tajam. Di beberapa moment, dia bisa melihat mahluk goib. Dan, saat itu, aku, Ibu, juga sodara-sodaraku yang lain tidak menyadari bahwa perkataan Enab itu semacam alarm atau peringatan pertama. Sayang, kami yang skeptis ini, abai. 

Tidak sampai dua bulan dari perkenalanku dengan calon ayah baruku itu, tibalah waktu ijab kobul sumpah suci pernikahan antara Ibu dan Pak Samsudin.

Rumah Ibu terasa ramai meskipun tanpa dekorasi pernikahan. Keluarga pada kumpul dan sibuk hilir mudik menyiapkan jamuan untuk menjamu kedatangan keluarga Pak Samsudin.

Aku si jomblo yang sudah jatuh tempo memilih duduk sendiri di kamar, menghindari guyonan soal lagi-lagi kesalip nikah. Tidak cukup hanya kesalip sama adik laki-laki, adik-adik sepupu, kini aku juga harus ke salip oleh Ibu. Nasib, nasib.

Tiba-tiba Ibu masuk ke dalam kamar. "Coba hubungi adik kamu, kenapa lama sekali?"

Tanpa bertanya lagi, aku langsung menghubungi adikku yang jadi panitia pernikahan. Dia mendapat tugas mencari penghulu. Rupanya, penyebab lamanya adikku itu karena Sang Penghulu tidak bersedia menikahkan Pak Samsudin di karenakan Pak Samsudin masih tercatat resmi menikah di data kemenag.

"Mah, mungkin ini petunjuk dari Allah. Saran aku jangan terburu-buru. Gak apa-apa, malam ini cukup pertemuan keluarga aja, gak usah ijab qobul dulu." Kataku mencoba menghibur Ibu yang langsung memasang wajah pucat dan kecewa saat adikku mengabarkan kabar dari Sang Penghulu.

"Aduh... gimana, ya?" keluh Ibu dengan wajah terlihat sedih dan mulai menangis.

Tiba-tiba telpon berdering, adikku menelpon.

"Bilang ke Mamah, gak usah hawatir. Pokoknya Mamah pasti jadi nikah. Ini mau di coba ke penghulu yang lain,"

 

"Juki, apa baiknya jangan di lanjut dulu, ya." Kataku.

"Harus jadi, kalo gak jadi, Mamah pasti malu, Ju. Lagi pula Pak Samsudin bener sudah cerai, hanya saja belum di urus ke pengadilan."Jawab adikku.

"Malu, mah, paling seminggu dua minggu, Juki. Tapi kalo ada apa-apa di  kemudian hari, gimana? Udah kejadian nikah mah, udah susah untuk mundur." Kataku gemas. Mau sudah cerai mau belum, tetap aja, nyatanya status Samsudin di data kemenag masih suami orang. "Yaudah! terserah!" kataku, malas untuk bedebat lagi.

Yang harus terjadi, terjadilah. Sah! Ibuku di peristri Samsudin yang masih tercata suami orang itu. 

Dengan penuh rasa kecewa, aku pulang ke Jakarta meninggalkan Ibuku yang tersenyum bahagia bersama suami barunya. Yang tidak aku sangka sama sekali, senyum itu akan menjadi senyum bahagia Ibu terakhir yang aku lihat.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Ibu mulai mengeluhkan kondisi usahanya. Menjelang satu tahun, Ibu mulai menggadai tanahnya. Di akhir tahun kedua pernikahannya, Ibu menjual hampir semua warisan dari almarhum ayah.

Memasuki awal tahun ke tiga pernikahannya, saat itu lebaran, aku sempatkan pulang kampung menjenguk Ibu setelah dua tahun tidak pulang. Bukan aku tidak ingin pulang, tapi kebetulan ada pandemi covid, jadi aku tidak bisa pulang.

Kondisi rumah Ibu sudah banyak berubah. Sayangnya bukan perubahan yang lebih baik, justru lebih buruk. Sudah sejak bersama alamarhum ayah, Ibuku memiliki usaha rental PS, warung kelontong dan depot air isi ulang. Saat aku pulang, warung Ibu sudah habis, hanya menjual gorengan, beberapa minuman kemasan dan rokok. Yang paling parah, smart TV, PS 3, PS 2, semua sudah tidak ada. Ibuku bangkrut.

Sementara itu, Samsudin terlihat santai, tidur seharian. Bangun hanya untuk makan dan merokok.

Ingin sekali aku bertanya, apakah pernikahannya baik-baik saja, tapi rasanya malas sekali, teringat bagaimana Ibu mengabaikan saranku dulu.

Aku kembali pulang ke Jakarta, meninggalkan Ibu yang menatapku penuh harap. Tidak ada lagi senyum bahagia di wajahnya.

Sejak saat itu, Ibu sering menelponku dan mengeluhkan kondisi pernikahannya, menyesali keputusannya dan berujung meminta tolong kebutuhan uang dan lainnya kepadaku. Dan, aku tidak pernah bisa benar-benar tega kepadanya. Semampuku, aku bantu masalah keuangannya.

Tapi, sepertinya yang aku berikan kepada Ibu tidak pernah cukup. Tiba-tiba Ibu punya gagasan untuk menjadi TKW ke Arab Saudi. Tentu saja, aku dan sodara-sodaraku tidak setuju. Ibuku sudah tua, usianya sudah menjelang 60 tahun. Bagaimana bisa dia menjadi TKW. Dan aku baru tau, alasannya ingin jadi TKW, karena dia terbebani dengan cicilan Bank. Astaghfirullah...

Setelah berunding dengan sodara-sodaraku, akhirnya kami menyarankan untuk menggadaikan salah satu ruko milik ibu untuk melunasi hutang Bank nya. Dan ibu setuju. Tergadailah sudah ruko yang dulunya tempat rental PS.

Tapi, masalahnya tidak selesai di situ. Tiba-tiba Ibu sakit parah.

Beberapa hari menjelang Ibu sakit, Ibu sempat menelponku dan minta tolong untuk menambah modal warung. Aku pun sudah setuju dan janji akan membantunya. 

Saat aku mengabarkan bahwa aku sudah siapkan uang untuk menambah modal usaha warung Ibu, suara ibu terdengar bahagia. Aku rasa, ini waktu yang tepat untuk aku bertanya terkait kondisi rumah tangganya. Disinilah aku tau, bahwa rumah tangganya tak sebaik yang aku kira. Bahkan ibu menyampaikan gagasan ingin bercerai dengan Samsudin.

"Kemarin Ibu sudah bilang, Ibu mau pisah aja." Kata Ibu. "Padahal awalnya dia udah bilang 'Yaudah kalau sudah gak butuh saya, saya pulang ke anak-anak saya', tapi gak jadi pulangnya," lanjut Ibu.

"Sabar, Mah..." kataku tidak tau harus merespon apa lagi.

Dua hari setelah percakapan itulah, Kakakku mengabarkan bahsa ibu sakit, parah. Ternyata sakitnya sudah seminggu dan sudah di obatin ke dua dokter, tapi belum juga ada perubahan. Ibu kenapa gak cerita soal sakitnya kepadaku. Gak tega, akupun segera pulang, sekalian ingin memberikan uang yang Ibu minta.

Ibu terlihat lemah, badannya bergetar hebat, ibu tidak sanggup berjalan lebih dari 5 langkah. Yang anehnya, Samsudin terlihat santai aja bahkan seolah tak perduli dengan kondisi Ibu. Untung saja ada Uwak yang mau menemani dan menjaga Ibu.

Umumnya, orang yang sakit akan semakin mendekat sama Tuhan, semakin giat beribadah, berdzikir dan memohon kesembuhan pada Tuhan. Tapi, ibuku berbeda. Ibu malah males solat, tidak mau beristighfar dan begitu antusias meneriam uang dariku. Matanya langsung berbinar nyalang, mengambil amplop uang dariku dan menghitungnya.

Aku kira, sakitnya ibu hanya karena mencari perhatianku saja. Buktinya dia begitu ceria ketika menerima uang. Aku kembali pulang dan meninggalkan Ibu dalam pengawasan uwak.

Beberapa hari setelah itu, sakit ibu semakin parah. Tapi ibu tidak mau berobat. Padahal aku sudah bilang untuk memakai uang yang aku kasih kemarin untuk berobat. Dia tetep keukeuh tidak mau berobat. 

Sampai akhirnya aku mengurus BPJS Kesehatannya, memberi tahu Ibu bahwa layanan BPJS Kesehatan Ibu sudah bisa di pakai, lalu aku minta tolong pamanku untuk membujuk Ibu ke rumah sakit. Alhamdulillah, ibu mau kerumah sakit.

Hasil pemeriksaan di rumah sakit, ternyata jantung ibu sudah terendam air. Beruntung Ibu segera di bawa kerumah sakit.

Besoknya aku langsung meluncur pulang dan langsung ke rumah sakit untuk menjaga Ibu. Aku masuk ruang rawat kelas 1 yang terisi penuh oleh 4 pasien. Uwak terlihat duduk kelelahan sambil mengipasi Ibu yang terbaring lemas dengan tatapan menerawang ke langit-langit rumah sakit.

Ibu terlihat kaget tapi tetap tersenyum saat menyadari kedatanganku. Uwak terlihat lega lalu memelukku. Dia pasti lelah sekali. 

Uwak menceritakan kondisi ibu. Katanya, semalaman ibu tidak tidur, badannya terasa panas sampai harus di kompres dengan handuk basah. Selain itu, badannya pegal-pegal terus terutama di bagian tungkai kaki dan punggung. Kasiahn sekali uwak, dia pasti benar-benar lelah.

Aku mengantar Uwak untuk pulang dan ganti menjaga Ibu di rumah sakit. Malam itu, sehabis solat tahajud, tiba-tiba, "Panas! panas! kasih handuk basah!" seru Ibu.

Aku bergegas membasahi handuk lalu mengompres seluruh badan Ibu.

"Pegel! pegel! pijitin! tonjokin!" seru Ibu sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Akupun bergegas memijit kaki nya. Hal ini berlangsung sampai waktu subuh. Panas lagi, kompres lagi. Pegel lagi, pijit lagi. Aku tidak bisa tidur sama sekali semalaman itu. Setelah adzan subuh, Ibu mulai terlihat kelelahan dan mulai tertidur pulas.

Dimalam kedua jaga, tiba-tiba badan ibu demam tinggi. Tinggi banget, aku rasa 40 derajat lebih suhu nya. Aku panik dan bergegas memanggil perawat yang jaga malam itu. Seorang perawat datang membawa alat termometer digital. Saat di test, suhu ibu di alat itu menunjukan suhu normal 36 koma sekian.

"Mungkin, alatnya rusak, Suster." Kataku masih panik.

Salah satu suster pergi dan tidak lama kembali dengan alat pengukur suhu yang lain. Di test lagi masih tetap neromal. "Aduh gimana, ya. Saya gak bisa kasih ibunya obat demam, karena alat ini menunjukan suhu normal." kata Suster itu dengan wajah bingung lalu permisi pamit meninggalkan aku dan ibu.

"Mah, istighfar ya... kita berdoa." Kataku. Akupun bingung harus gimana. Tapi Ibu menggeleng tanda tidak mau. Aku memberinya tasbih, sebentar dia pegang tasbih itu sebelum dia lempar. Menjelang dini hari, kembali ibu mengeluh kepanasan dan sakit di seluruh badan terutama pinggang, punggung dan tungkai kaki.

Di malam ketiga, Kakak tiriku datang bersama suaminya. Bukan rahasia lagi, kalau suami kakak aku itu memiliki kelebihan dalam bidang spiritual. 

"Mah, jangan banyak pikiran, ya. Lekas sehat," kata kakakku.

"Kenapa sih, semua orang bilang mamah tuh sakit karena pikiran. Mamah gak banyak pikiran, emang udah waktunya sakit aja." kata Ibu dengan nada ketus.

"Kalau manusia hidup, sudah pasti banyak pikiran," kakak iparku yang bersahaja tiba-tiba menengahi. "Jadi masalahnya bukan di 'banyak pikiran' nya. Tapi, apakah pikiran kita selalu positif atau negatif. Nah, kalau pikiran kita positif, insyaAllah kita akan selalu tenang hatinya, bahagia, dan biasanya akan jauh dari sakit. Tapi, kalau pikiran kita negatif, kita akan selalu gelisah, resah, tidak bisa tidur, tidak mau makan, akhirnya tensi darah naik, asam lambung naik, jantung kena. Bener gak?"

Aku langsung mengangguk takdzim menyimak wejengan kakak iparku itu. "Betul, pak. Ini mamah juga tiap malam seperti gelisah tidak bisa tidur. Bahkan tubuhnya selalu terasa panas dan sendi-sendinya pada sakit." kataku.

"Nah, ini maaf-maaf... Mamah kan sering bertanya dan mendatangi orang pinter, salah satu faktor pikiran kita negatif, jadi mikir yang jelek-jelek, bahkan kadang jadi suudzon sama orang lain, itu hasil dari bertanya sama orang pinter.

"Bukan tidak boleh. Kan ada istilah 'malu bertanya sesat di jalan'. Tapi... harus tau dulu, yang kita tanya itu siapa? tujuan bertanya itu untuk apa? dan bagaimana cara bertanya nya." Kakak iparku menarik napas panjang. Sementara Ibu menatapnya tidak suka.

"Nanti lah ngobrolnya kalo mamah sudah sehat, ya. Sudah malam juga." kakak iparku menutup wejengannya.

Sebelum pulang, Kakak iparku memanggilku untuk mengobrol sebentar di luar ruangan. Beliau bilang, selain medis, ada gangguan non medisnya juga. Kasarnya di guna-guna. Sebelum pamit pulang, kakak iparku menyarankanku untuk sering-sering mencasakan surah al fajr kepada Ibu.

***************************************************************************************

Sementara sampai disini dulu... selebihnya aku mohon doa dari teman-teman pembaca, semoga ibuku segera sehat dari sakitnya, baik itu sakit fisik maupun batin nya.

Terimakasih.

Maaf, aku belum fokus untuk melanjutkan cerita Komala. Terimakasih kepada kalian yang masih setia mampir ke Thread aku ini. 

Salam,

Jane

 

Diubah oleh janahjoy35 18-08-2022 08:50
carioverkredit
SupermanBalap
sukhhoi
sukhhoi dan 7 lainnya memberi reputasi
8
2.7K
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
sukhhoiAvatar border
sukhhoi
#14
Sekarang kondisi ibunya gimana sis?
0
Tutup