- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
A Man and The Lady
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412071043.jpg)
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/03/29/6448808_20230329092951.jpg)
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/01/6448808_20230401071833.jpg)
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
![yusrillllll](https://s.kaskus.id/user/avatar/2013/12/19/avatar6234452_5.gif)
yusrillllll dan 205 lainnya memberi reputasi
202
285.6K
Kutip
2.2K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#1134
#81 - Love is You
Spoiler for #81 - Love is You:
Jeje baru saja kembali dari rumah sakit tempat Aldina dirawat. Saat ia datang, ada pancaran kelegaan begitu melihat Anggi yang ini sudah baik-baik saja. Namun, sesaat kemudian barulah gua menyadari ada guratan penuh kecemasan di wajahnya, matanya dan gerak-geriknya.
Melalui ekspresinya, gua bisa tahu kalau Aldina sedang dalam kondisi yang ‘gawat’.
Gua menguatkan hati, lalu memaksanya untuk kembali ke rumah sakit untuk menemani Aldina. Besar harapan gua agar Jeje menolak dan tetap berada disini, bersama dengan gua dan Anggi. Tapi, gua juga enggan bersikap egois dan merasa kalau Jeje hanya milik gua seorang.
Jeje pun kembali untuk menemani Aldina.
Sementara gua kini merasa menyesali keputusan barusan. Seharusnya gua nggak memintanya, seharusnya gua bersikap egois. Buat apa gua memintanya untuk menemani Aldina, sementara hati ini malah terasa sakit.
—
Gua berbaring di tepi ranjang, seraya menggenggam tangan Anggi. Lalu samar terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamar dan pintu perlahan terbuka. Gua pura-pura tertidur dan memejamkan mata.
Terasa sentuhan lembut membelai kepala, disusul suara bisikan Jeje menyebut nama gua; “Lad…”
Gua membuka mata dan menatapnya.
“Gue tadi ngeliat mata lo pas baru balik ke dari tempat Aldina dan saat mau balik kesana. Ada kekhawatiran di sana. Kekhawatiran yang mendalam…”Gua buka suara.
“...”
“... Dari mata lo, gue tau kalo lo masih sayang sama dia. Iya kan?” Tanya gua.
“...” Jeje terdiam sejenak. Ia lalu meraih bahu dan mulai memeluk gua. Nggak banyak protes, gua membaringkan kepala di dadanya, sementara ia mulai membelai kepala gua.
“Tadi bukannya lo yang maksa gua buat kesana?” Tanyanya dengan lembut dan perlahan, tak ada nada yang meninggi, tak ada kata-kata yang penuh penghakiman.
“Iya sih. Tapi abis itu gue nyesel…” Gua bicara; jujur.
“Lad, Biar bagaimanapun, dia tetap orang yang pernah nemenin gua. Dari susah, sampai gua bisa berada di posisi sekarang ini. Gua nggak bisa mengabaikan dia gitu aja Lad…”
Gua mendongak dan menatap wajahnya.
“Kalau nanti kita udah nikah, lo bakal tetep memperlakukan dia kayak gini terus?” Tanya gua.
Jeje nggak langsung menjawab. Ia malah tersenyum dan kembali memeluk dan membelai kepala gua.
“Tergantung…”
“Tergantung apa?”
“Tergantung, lo ngasih ijin apa nggak..” Jawabnya.
Gua melepaskan diri, keluar dari pelukannya. Lalu menyandarkan kepala di bahunya.
“...Apa perlu kita buat kesepakatan sebelum nikah. Just in case you don’t believe in me…” Jeje menambahkan.
Dengan cepat gua menggelengkan kepala; “Nggak, nggak perlu… Mulai sekarang gue bakal berusaha untuk percaya 100% ke elo. Nggak, nggak, 110%...” Ucap gua penuh keyakinan.
“Hahaha… Ok. Gua juga bakal mencoba 110% untuk nggak mengecewakan lo…” Balasnya.
—
Gua duduk menatap ke arah cermin berukuran besar dengan frame berlampu. Hanya ada gua, seorang perempuan si makeup artist dan beberapa asistennya, juga seorang staf EO yang terlihat sibuk dengan Handy Talky di genggamannya.
Sementara semua orang yang gua kenal, yang sebelumnya menemani gua di ruang rias ini baru saja berbondong-bondong keluar untuk menyaksikan prosesi akad nikah.
Staf EO yang berada di dalam ruangan rias lalu menggeser tiang besi yang menyangga layar televisi berukuran besar mendekat ke arah gua dan mulai menyalakannya.
“Mau liat akadnya kak?” Tanya si staf EO ke gua, yang tentu saja langsung gua jawab dengan anggukan kepala.
Staf EO mulai menghubungkan layar televisi dengan sambungan nirkabel. Seketika layar yang sebelumnya hitam kini berubah, menampilkan deretan tamu undangan yang tengah duduk rapi. Kamera lalu beralih ke bagian depan. Terlihat sosok Jeje mengenakan pakaian serba putih, lengkap dengan peci yang berwarna sama. Ia duduk di salah satu kursi menghadap ke arah meja dengan Ayah berada tepat di seberangnya. Sementara, tepat di sebelahnya duduk Rohman yang hari ini juga tampil berbeda; kali ini Rohman terlihat rapi dengan Kemeja putih bergaris yang dibalut jas abu-abu.
Sepatah, dua patah kata diucapkan oleh penghulu yang lalu disusul dengan persiapan prosesi akad nikah.
Nggak lama kemudian, prosesi pun siap dilaksanakan.
Gua memejamkan mata, seraya meremas tangan, berharap prosesi ini berjalan dengan lancar, tanpa adanya gangguan apapun. Takut kejadian seperti di sinetron drama picisan, dimana ada ‘orang ketiga’ yang datang tepat menjelang akad nikah. Atau seperti video yang banyak beredar di internet dan sosial media; dimana prosesi akad nikah jadi kocak dan lucu saat si calon mempelai pria malah salah menyebut nama.
Nafas gua tertahan, tenggorokan terasa tercekat saat Jeje memegang microphone, sementara tangannya menjabat tangan ayah, disusul suaranya yang lantang terdengar mengucapkan akad.
“Sah!!” Terdengar seruan para hadirin. Seruannya bahkan terdengar dari ruang tempat gua menunggu saat ini.
Saat itu pula rasa kelegaan langsung terasa.
Beberapa staff EO lalu masuk ke dalam ruangan. Salah satunya menggandeng tangan Anggi yang terlihat cantik dan menggemaskan. Ia mengenakan gaun dengan model dan warna seperti yang gua kenakan.
“Mamah cantik…” Panggilnya seraya melambai dan mendekat, lalu meraih tangan gua.
“Ayo kak…” ucap salah satu staff EO seraya membuka pintu lebar-lebar dan menuntun gua dan Anggi keluar dari ruangan.
Gua berjalan pelan, sedikit kesulitan melangkah dengan gaun yang saat ini gua kenakan, ditambah masih harus bergandengan tangan dengan Anggi. Sementara, seorang staff EO masih membantu gua dengan memberikan pegangan tangannya. Lalu, dari ujung lorong terlihat Mamay berjalan cepat mendekat. Mamay mengenakan gaun berwarna hijau mint, yang senada dengan gaun yang dikenakan oleh Reni, Aldina dan Salwa. Ia lalu menggantikan peran si staff EO dan mulai menuntun gua menyusuri lorong.
Begitu keluar dari lorong, gua langsung disambut dengan banyak kilatan cahaya dari kamera yang tertuju ke gua. Mamay, menyenggol lengan gua dan berbisik; “Senyum…”
Ia lalu beralih ke Anggi dan membisikkan kata-kata yang sama; “Anggi, senyum…”
Kami berdua mengikuti instruksinya dan pasang senyum terbaik.
Gua terus berjalan pelan menuju ke salah satu kursi yang dibiarkan kosong tepat di sebelah mempelai pria. Jeje berpaling dan menoleh, menatap ke arah gua sambil tersenyum. Saat posisi gua sudah cukup dekat, ia lalu berdiri, menghampiri dan mengambil alih tangan gua dari Mamay. Gua lalu duduk, dan bersiap untuk membubuhkan tanda tangan pada buku nikah dan beberapa dokumen lainnya.
Selesai dengan dokumen dan buku nikah, staff EO mengarahkan kami untuk berfoto berdua.
Namun, gua dengan cepat menolak instruksi mereka. Gua memanggil, Anggi agar mendekat dan berfoto bersama kami berdua.
“Nggak! hari ini nggak ada foto berdua. Semua foto kita, harus ada Anggi-nya…” Ancam gua ke staff EO dan kameraman.
“Bener, nggak mau ada foto yang berdua?” Tanya Jeje seraya berbisik dekat telinga gua. Tanpa berpaling gua mengangguk penuh keyakinan. Lalu pasang senyum terbaik; bersiap di foto.
Foto bersama selesai, ini beberapa rekan dan keluarga terdekat mulai bergantian berfoto dengan kami berdua. Mulai dari Reni dan Robi, Bapak, Ayah, Bunda juga Mamay, Rohman dan Salwa hingga Haji Ramlan sekeluarga. Terakhir, Gua mencari-cari sosok Aldina yang sama sekali nggak terlihat sejak gua keluar dari ruang rias tadi.
Nggak berselang lama, Rohman terlihat menarik lengan Lady dari sudut ruangan. Aldina terlihat cantik dengan gaun hijau mint-nya. Namun, kecantikannya agak sedikit ternoda dengan kedua matanya yang sembab. Hingga saat Rohman membawanya ke depan untuk berfoto, terlihat Aldina masih sesenggukan; menangis.
Saat posisinya menyisakan beberapa langkah dari kami, Aldina menepis tangan Rohman. Ia lalu menghentikan langkah dan menatap kami bertiga bergantian dengan matanya yang berlinang. Aldina melangkah pelan ke arah gua dan mulai memberikan pelukan.
“Lama gua memimpikan berada di posisi lo saat ini. Dengan gaun cantik yang sekarang lo pake, bersebelahan bersama Jeje terlihat keren dengan baju pengantinnya. Ya paling nggak mimpi gue terkabul setengah; gue bisa ngeliat Jeje tersenyum dengan baju pengantin, walau orang disebelahnya bukan gue. Gue titip Jeje dan Anggi ya Lad… Make sure mereka terus sehat… Selamat Ya” Ucapnya sambil berbisik.
“Iya.. Thank you udah mau berbesar hati buat gue, buat mereka berdua…” Gua membalas juga dengan berbisik.
Aldina lalu membungkuk dan mengecup kening Anggi. Setelahnya, ia langsung memposisikan dirinya di antara gua dan Jeje; bersiap untuk di foto.
Saat tengah berpose, gua mengajukan pertanyaan ke Aldina; “Lo nggak ngucapin selamat buat Jeje?”
Tanpa berpaling, Aldina lalu menjawab; “Lo mau gue nangis guling-gulingan di lantai?”
“Jangan. Yaudah nggak usah kalo gitu…”
Selesai dengan sesi foto, Staff EO Lalu mengarahkan kami berdua (dan Anggi tentunya) untuk duduk di atas pelaminan. Sementara, seorang MC langsung membuka sesi berikutnya; yaitu sesi ucapan dari keluarga terdekat.
Mamay berdiri, ia menghadap ke arah Microphone mengeluarkan lembaran kertas yang sejak tadi di genggamnya dan mulai bicara. Kata-katanya terdengar puitis, beberapa bagian bahkan memiliki rima yang mirip seperti pantun atau puisi. Jika, yang mendengar nggak tau tentang latar belakang gua dan keluarga, pastinya akan merasa terharu dengan surat yang dibacakan oleh Mamay.
“Nyari dari internet paling dia…” Bisik gua ke Jeje, begitu Mamay selesai membacakan surat yang ditujukan untuk gua.
Mamay selesai, gini Reni yang berdiri menghadap ke microphone. Nggak seperti Mamay, Reni sama sekali nggak membawa contekan dalam bentuk apapun. Ia berdiri dengan penuh percaya diri, sebelum memulai, ia tersenyum sebentar, berdehem dan bicara; “Abang…” Panggilnya dengan nada manja yang dibuat-buat.
“Abang itu ayah, sekaligus Ibu buatku… Abang itu kakak sekaligus sahabat buat Reni. Buat anak kayak aku yang hidup tanpa kedua orang tua, Abang itu segalanya buatku…”
“...”
“... Rasanya seperti baru kemarin, saat abang mengajari aku cara menulis, berhitung, menggambar bahkan bernyanyi lagu anak-anak. Dan abang lakukan itu dengan mengabaikan lelahnya, mengabaikan letihnya setelah bekerja ”
“...”
“... Rasanya seperti baru kemarin, saat aku duduk di teras rumah, menanti abang pulang dari pasar dengan membawa seporsi bakso untuk kita makan berdua. Reni makan baksonya, sementara abang hanya menikmati kuahnya…”
“...”
“... Abang selalu mendahulukan Reni di atas segalanya, abang yang bahkan rela kehilangan masa mudanya karena harus bekerja; buat aku. Abang bahkan membelikan baju-baju yang bagus, mainan dan membayar biaya sekolah Reni yang mahal. Kalau mau berhitung, seluruh uang di dunia ini rasa-rasanya nggak mampu mengganti semua yang sudah abang kasih ke Reni…”
“...”
“... Dengan kedua tangan abang yang kasar dan kapalan, Reni bisa hidup enak, bisa jajan banyak, bahkan bisa bersekolah hingga S2. Bisa dibilang hidup Reni sekarang ini di dapat dari kerja keras, keringat dan air mata abang…”
“...”
“... Now on, Reni memohon ke abang untuk sedikit melambatkan langkah agar Kak Lady bisa mengejar abang yang terlalu tinggi untuk kami gapai. Dan, untuk terakhir kalinya, Reni ingin meminta sesuatu dari abang. Bolehkah bang?”
Gua berpaling menoleh ke arah Jeje yang kini terlihat menyeka matanya nya yang mulai berlinang. Ia lalu mengangguk sambil tersenyum.
Reni balas tersenyum, kemudian melanjutkan bicaranya; “Reni mau minta abang untuk mulai membahagiakan diri sendiri. Reni mau minta abang agar mau membagi beban hidup abang dengan Kak Lady. Dengan berdua, beban hidup pasti terasa lebih ringan..”
“...”
“... Again, terima kasih udah mau menjadi ayah, sekaligus Ibu buatku. Menjadi kakak sekaligus sahabat buat Reni. Tetaplah begitu, tetaplah menjadi ayah, ibu, kakak dan sahabat buat Aku…”
“...”
“... Reni sayang sama abang…” Ucapnya. Tangisnya pun pecah.
Mengabaikan air matanya yang mulai mengalir deras, Reni berjalan cepat naik ke atas pelaminan dan langsung menerjang Jeje kemudian memeluknya.
Setelah puas berpelukan dengan abangnya, Reni beralih ke gua dan gantian memberikan pelukan ke gua.
“Titip abang ya Kak…” Bisiknya, masih sambil terisak.
“Iya Ren…”
“Tolong jaga abang layaknya abang menjaga Reni. Tolong jaga abang seperti tak ada lagi yang layak dijaga lagi di dunia ini…” Tambahnya.
Saat masih tenggelam dalam nuansa sedih-sedihan, tiba-tiba terdengar suara Rohman melalui pengeras suara; “Udah yuk mari kita berpesta… Ren, Ren, udah ren.. yang lain juga mau bersalaman, mau ngasih selamat…”
—
Seminggu berikutnya.
Kami berdua berjalan, menyusuri jalan berbatu, sambil berpegangan tangan dan sama-sama menatap ke arah matahari yang hampir terbenam. Sementara, beberapa orang turis terlihat sibuk berfoto dengan mercusuar menjadi latarnya.
Jeje menghentikan langkah. Ia lalu duduk di atas bebatuan dengan kedua kaki diluruskan. Gua mengikuti apa yang dilakukannya; duduk di sebelahnya seraya meluruskan kedua kaki, menatap ke arah laut, ke arah matahari yang bersiap menghilang.
Gua menyandarkan kepala di bahunya.
“Lo percaya sama teori konspirasi nggak Je?” Gua bertanya.
“Namanya aja masih teori. Ngapain harus percaya” Jawabnya santai.
“...”
“... Emang lo percaya?” Kini gantian ia yang bertanya.
Gua lalu mengangguk.
“... How come?” Tanyanya lagi.
“I Believe that the entire universe conspired to help me find you…” Jawab gua.
“Hahaha…”
“Bagaimana mungkin sih, dua orang yang nggak saling kenal bisa bertemu disini, berada dalam satu frame foto masing-masing, lalu dipertemukan kembali…”
“Ya, kita buktinya…”
“Sekarang lo percaya kan kalau teori konspirasi itu ada?”
“Nggak…”
“Ih…”
“Gua percaya ini kebetulan semata…” Jawab Jeje.
“Kebetulan masa presisi banget…” Gua memprotes.
“Gua pernah denger cerita, ada dua orang muda-muda, masing-masing nggak saling mengenal tapi mereka bermimpi tentang hal yang sama, di waktu yang sama. Keduanya bertemu di dalam mimpi…”
“Terus, terus…”
“Akhirnya keduanya sama-sama ketemu dan berjodoh…”
“Wew…”
“Dibandingkan dengan kebetulan di cerita itu, kebetulan yang kita alami nggak ada apa-apanya kan?” Tanyanya.
“Iya…”
Kami lalu terdiam. Duduk bersisian dengan semilir angin membelai wajah dan rambut kami berdua.
Tiba-tiba Jeje mendekatkan wajahnya dan mulai mencium gua.
“Bahagia ini nggak sempurna jika itu tanpa elo…” Ucapnya pelan. Ia lalu tersenyum.
---Tamat
![](https://img.youtube.com/vi/6QSSHa-E5Oc/0.jpg)
PADI - Ternyata Cinta
Ingin sungguh aku bicara
Satu kali saja
Sebagai ungkapan kata perasaanmu padaku
Telah cukup lama kudiam
didalam keheningan ini
Kubekukan di bibirku
Tak berdayanya tubuhku
Dan ternyata cinta yang menguatkan aku
Dan ternyata cinta (tulus mendekap jiwaku)
Kau yang sungguh selalu setia
Menemani kesepianku
Menjaga lelap tidurku
Membasuhku setulusnya
Merekahnya fajar hatiku
Menghangatkan luruhku
Dan resapkan keharuman
Engkau yang mencintaiku
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:24
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
![junti27](https://s.kaskus.id/user/avatar/2023/08/28/avatar11452757_1.gif)
junti27 dan 63 lainnya memberi reputasi
64
Kutip
Balas
Tutup