- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
284K
Kutip
2.2K
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1086
#79 - Guess I'll have to make it through
Spoiler for #79 - Guess I'll have to make it through:
Nggak lama berselang, Anggi masuk ke dalam kamar dan langsung berseru; “Mommy…”
“Awas lo nggi, nanti gaunnya kusut…”Ucap Aldina seraya mencoba meraih Anggi, namun ia kesulitan karena posisi gaun yang ia kenakan.
Gua mengambil alih tubuh mungil Anggi, mengangkatnya dan membuatnya berdiri di atas ranjang. Anggi yang sejak semalam terlihat sumringah nggak henti-hentinya melompat di atas ranjang sambil berteriak; “Yeay, Papah nikah…”
Aldina lalu mendekat ke arah gua dan berbisik.
“Seandainya Lady ngeliat kita sekarang, gimana ya?”
Gua nggak menjawab, hanya terdiam, lalu teringat akan dirinya.
Tiba-tiba pintu kamar kembali terbuka.
Lady berdiri, langsung bersandar di sisi pintu sambil kedua tangannya ia lipat di dada.
“Wah… wah.. buruan lepas!!” Serunya seraya memberi tatapan tajam ke arah Aldina.
Sementara Aldina langsung menjauh, melepaskan tangan yang sebelumnya berada di pundak gua.
“Tadi kan gue udah nanya. Pengen nyobain pake gaun lo, kata lo gapapa…” Keluh Aldina seraya menatap Lady dengan pandangan yang nggak kalah mematikan.
“Ya nyobain boleh, tapi kan nggak harus disini… Udah gila kali lo ya?” Tanya Lady, ia lalu berpaling ke gua dan kembali bicara; “Elo juga, ngapain mau berduaan sama dia di kamar?” Kini giliran ia bertanya ke gua.
Gua lali menunjuk ke arah Anggi yang masih berdiri di atas ranjang; “Bertiga…” Jawab gua.
Lady kembali menatap Aldina; “Udah buruan lepas gaunnya…”
“Ya kali dah, gue lepas disini?” Aldina menggerutu, lalu mengangkat ujung gaun yang ia kenakan kemudian keluar dari kamar gua menuju ke kamar Anggi untuk berganti pakaian.
Lady mendekat, berdiri tepat di hadapan gua. Ia lalu mendongak, membetulkan kerah kemeja dan jas yang sebelumnya sudah dirapikan oleh Aldina.
Kemudian ia mundur beberapa langkah, memicingkan satu matanya dan membuat gesture mirip frame foto dengan tangannya; memeriksa kecocokan gua dengan pakaian yang sekarang gua kenakan.
“Kayaknya bagian tangannya masih agak ngatung sedikit deh Je?” Tanyanya.
“Masa sih?”
“Iya…”
“Apa karena gua pake baju dobel?”
“Harusnya sih nggak ngaruh…”
“Oh.. terus?” Tanya gua.
“Ya kalo mau nanti balikin aja ke penjahitnya, minta benerin…” Jawab Lady.
“Udah nggak usah lah…”
“Lagian sih lo susah banget dibilangin. Bikin baju nikah tuh harusnya di butik yang keren dan ternama. Ngapain malah bikin di tailor pinggir jalan?” Tanyanya sambil menggerutu dan mengecek bagian kancing di lengan jas gua.
“Tapi lo suka kan sama Gaun buatan si ‘tailor pinggir jalan’ itu?” Gua balik bertanya.
Lady lalu tersenyum dan mengangguk; “Suka banget… Hehehe…”
Nggak seberapa lama, Aldina kembali masuk ke dalam kamar dan meletakkan gaun milik Lady tepat di atas ranjang.
“Thank you udah boleh nyobain…” Gumamnya pelan.
“Sama-sama…” Lady memberi jawaban yang nggak kalah pelan.
Aldina lalu duduk di tepi ranjang, menatap ke arah kami berdua. Ia lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans yang ia kenakan dan bicara; “Kemarin gue udah final cek buat dekorasi dan kelayakan gedung…”
“...”
“... Tapi gue masih sedikit kurang yakin sama cateringnya deh Lad…” Aldina menambahkan, sementara tangannya sibuk menggeser layar ponsel naik turun.
“Lho kemaren kan kita udah nyobain, enak kok…” Jawab Lady.
“Iya kalo rasanya sih emang nggak ada masalah. Tapi, ini gue liat komentar di sosmednya pada ngeluh masalah kualitasnya yang nggak sama dengan pas tester…”
“Yah, terus gimana dong?” Tanya Lady, bingung.
“Mau coba nyari catering lain?” Aldina menawarkan opsi.
“Emang sempet?”
“Nggak tau.. your call…”
Lady lalu menatap gua seakan meminta pendapat. “Gimana Je?”
“Udah pake yang ada aja, nggak usah ribet…” Gua menjawab santai.
“Yaudah… Udah pake yang sekarang aja lah Din…” Lady lalu mengkonfirmasi ke Aldina.
Aldina terlihat memberi ceklist pada layar ponselnya. Kemudian mulai lanjut membacakan poin-poin urusan pernikahan kami, dimana Aldina kebetulan menjadi ‘Ketua Panitia-nya’. Jabatan yang ia buat sendiri, dengan mengangkat dirinya sendiri, dan memilih anggota panitia berdasarkan referensinya sendiri.
Gua sendiri kurang begitu setuju dengan terlalu membesar-besarkan acara pernikahan ini.
Apalagi, ini merupakan pernikahan kedua gua. Tapi, buat Lady ini adalah pernikahan pertama dan terakhirnya. Dan ia nggak mau semuanya berjalan biasa saja; ia mau tampak super keren.
“Terus satu lagi… Ini Rossa nggak available ya di tanggal segitu” Aldina menambahkan.
“Yaah…” Lady terlihat kecewa.
“Udahlah nggak usah pake bayar penyanyi segala…” Gua mengajukan protes.
“Yaelah… Bayar penyanyi juga nggak sampe 1M kali” Lady membalas ucapan gua; ketus. Dan seperti biasa, ia selalu menggunakan kata 1M sebagai senjatanya.
“Dewi Gita mau?” Tanya Aldina.
“Mau… Mau…” Seru Lady seraya melompat.
“Okay noted…”
“Eh, Din.. Boleh nggak kalo sekalian sama Armand Maulana-nya, Hehe..” Ucap Lady.
“Coba gue tanya dulu yah…” Jawab Aldina. Yang lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
Menit berikutnya, ponselnya berdering. Aldina bangkit, menjawab panggilan seraya keluar dari kamar. Samar terdengar ia bicara; “Halo mbak Dew… apa kabar?”
Lady terdiam, lalu menatap gua takjub; “Dia beneran kenal sama Dewi Gita?” Tanyanya.
Gua tersenyum, lalu mengangguk.
“Jangan bilang lo juga kenal?” Tanyanya lagi, kali ini sambil mencengkram kerah pakaian gua.
Gua kembali mengangguk.
—
Menjelang sore, Sebuah sedan mewah berhenti tepat di depan rumah gua. Sedan mewah berwarna hitam yang serupa dengan milik Lady, hanya saja mobil milik Lady sedikit lebih ‘tua’.
Mamay keluar dari pintu bagian pengemudi, lalu disusul Ayah dan Bundanya Lady yang keluar dari pintu penumpang bagian belakang.
Bapak yang sebelumnya tengah sibuk dengan rokok di tangannya langsung berdiri begitu menyadari kehadiran mereka bertiga. Dengan tergopoh-gopoh, tanpa alas kaki, Bapak menghampiri ayahnya Lady dan menyambutnya dengan langsung meraih tangan, kemudian menjabatnya.
Sementara Lady hanya berdiri di belakang gua, menyandarkan kepalanya di punggung dan menghela nafas. “Duh mereka dateng beneran kan…” Keluhnya.
“Lho kenapa? bukannya harusnya lo seneng?” Tanya gua.
“Nggak tau ah…”
Gua langsung menyapa dan menyalami ketiganya, kemudian mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam. Ayah dan Bunda terlihat sedikit bingung. Keduanya tak henti-henti menatap sekeliling, mungkin kaget dengan kondisi tempat tinggal gua yang apa adanya.
“Macet Om?” Tanya gua berbasa-basi.
“Ya lumayan lah.. Namanya juga Jakarta…” Jawabnya. Sementara matanya masih memandang ruang tamu gua.
“Ya beginilah om, rumah gubuk…” Gua bicara, seakan tahu dengan apa yang ada di benaknya.
“Nanti habis nikah kalian mau tinggal disini?” Kini Bunda yang giliran bertanya.
Pertanyaan tersebut lalu dijawab dengan lantang oleh Lady; “Iya!”
“Oh…” Bunda lalu menggumam pelan begitu mendengar jawaban Lady.
Setelah berbincang sejenak. Bapak lalu mengajak Ayah, Bunda dan Mamay untuk makan. Makanan yang sebelumnya sudah dipersiapkan oleh Reni. Iya di rumah ini yang nggak tahu akan kedatangan Ayah, Bunda dan Mamay hanya Lady, sedangkan sisanya, sudah gua beritahu.
Sebelumnya, Mamay memang sudah memberi info akan rencana mereka untuk datang. Ia meminta gua untuk memberikan alamat rumah, karena sudah mencoba bertanya ke Lady dan ia nggak memberikan jawaban.
Selesai makan siang, kami semua bersiap untuk menuju ke makam. Sesuai dengan rencana yang sudah dibuat oleh Ayahnya Lady; ingin mengunjungi makam bokap, nyokap dan kakek gua. Sementara, Bapak dan Aldina juga turut serta, sekalian ingin berziarah ke makam opung boru-nya Anggi.
Reni, Robi dan Anggi sengaja nggak ikut karena cuaca yang cukup terik.
Sebelum berangkat, gua memanggil Aldina untuk masuk ke kamar. Agar nggak menimbulkan kecurigaan, Lady juga turut gua panggil.
Gua membuka laci meja kerja bagian bawah, mengeluarkan amplop coklat besar yang berisi sertifikat rumah milik Bapak dan menyerahkannya ke Aldina.
“Apaan nih?” Tanyanya seraya mencoba membuka amplop tersebut dan membaca isinya.
“Ntar lo kasih Bapak” Jawab gua singkat.
Kedua matanya langsung terbelalak dan menutup mulutnya yang terbuka dengan telapak tangan begitu ia melihat isi di dalam amplop coklat tersebut.
“Ini lo beli?” Tanyanya, masih dengan ekspresi wajah yang terlihat shock.
“Iya…”
“Kok nggak bilang ke gue?” Tanyanya lagi.
“Ini gua bilang… Terus Ce, ini nanti lo kasih Bapak, dan bilang lo yang bayarin rumah ini dari Haji Ramlan…”
Aldina lalu menoleh dan menatap gua. Sesaat berikutnya, masih dengan memegang lembaran sertifikat, ia berusaha untuk memeluk gua. Namun, Lady dengan cepat menarik tubuhnya hingga mundur beberapa langkah.
“Heh, jangan memanfaatkan momen dong…” Ucapnya.
“Yee, gue kan mau meluk untuk berterima kasih…” Balas Aldina.
Lady lalu memeluk Aldina, dan memberi tepukan di punggungnya; “Udah nih peluk gue aja…”
Aldina nggak mengajukan protes. Ia hanya terdiam, menatap gua dari balik bahu Lady dan bicara tanpa suara. Dari gerak bibirnya gua mampu membaca apa yang dikatakan Aldina; “Thank you so much…”
Gua mengangguk pelan.
—
Gua sengaja membawa rombongan menuju ke makam melalui gang sempit yang hanya cukup dilalui satu sampai dua orang. Sebenarnya, jalur paling nyaman untuk menuju ke makam adalah melalui rumah Bapak. Tapi, gua nggak ingin Bapak tahu kalau rumahnya sudah dibeli kembali dan direnovasi. Biarlah ini menjadi kejutan untuknya nanti sepulangnya dari makam.
Keluar dari gang sempit, gua membawa rombongan masuk ke jalan setapak yang kurang lebih sama sempitnya. Namun, kali ini tak ada lagi dinding rumah di kedua sis. Hanya hamparan luas kebun dan tanah lapang berpagar bambu yang menggantikan deretan dinding yang mengapit jalan.
“Masih jauh Je?” Tanya Lady.
“Nggak, itu di depan” Jawab gua seraya menunjuk ke ujung jalan setapak dimana terdapat sebuah gapura tua kecil yang mengarah langsung ke makam.
Rombongan terus mengikuti langkah gua masuk ke area makam, menelusuri gundukan tanah bernisan hingga kami berhenti di sisi nisan marmer hitam bertuliskan nama bokap. Sementara di sebelahnya terdapat nisan serupa milik nyokap dan milik Kakek berada tepat di sisinya.
Gua mengeluarkan lipatan kertas koran dari selipan saku celana yang sengaja gua bawa dari rumah tadi. Membuka lebar lembaran koran dan membentangkannya di atas tanah di sisi makam.
Bapak, Aldina dan Gua langsung duduk bersila di atas permukaan tanah berlapis koran, sementara Lady sekeluarga masih berdiri tepat di belakang gua. Ragu untuk duduk di atas tanah yang hanya berlapis koran.
Gua mendongak, memberi kode kepada mereka agar duduk. Akhirnya mereka semua duduk, kami mengitari makam dan Bapak langsung memimpin doa.
Rumput liar tumbuh subur di atas gundukan tanah, gua membungkuk dan mulai mencabuti rumput-rumput liar tersebut. Lady menurunkan tubuhnya, membungkuk dan ikut mencabuti rumput liar dengan tangannya yang mungil, dengan jari-jarinya yang lentik berkuku indah.
“Udah nggak usah, nanti tangannya kotor”
“Gapapa, ntar bisa cuci tangan” Jawabnya pelan.
Melihat kami berdua sibuk membersihkan permukaan gundukan makam dari rumput liar, Mamay nggak mau kalah. Ia berdiri dari duduknya dan mulai membantu kami mencabuti rumput. Sementara, Ayah dan Bunda hanya berdiam dan menatap kami sambil tersenyum.
Bapak dan Aldina, pamit sebentar untuk menyempatkan diri menuju ke makam Opung Borunya Anggi.
Beberapa menit berlalu, kini gundukan makam bokap dan nyokap terlihat jauh lebih bersih dari sebelumnya. Masih berjongkok di sisi makam, gua mulai menaburkan kembang di atas makam. Dengan tangan kecilnya Lady meraih segenggam kembang dan mulai menyebarnya di atas gundukan.
Gua lalu berdiri dan bersiap untuk menyusul Bapak dan Aldina. Lady ikut berdiri dan menarik ujung kaos yang gua kenakan; “Mau kemana?” Tanyanya pelan.
“Ke makam opung borunya Anggi. Lo disini aja, cuma sebentar kok…” Ucap gua pelan.
Setelah hampir setengah jam berada di area makam. Kami bergegas kembali. Kali ini gua mengajak rombongan untuk melalui jalan yang berbeda, jalan yang bakal melewati rumah Bapak dan Aldina dulu.
Gua membawa mereka menyusuri tepi lapangan sepakbola yang dahulu kerap digunakan sebagai tempat untuk acara hajatan, orkes musik atau layar tancap. Dari lapangan, kami lalu berbelok ke kiri, sebuah jalan beraspal yang cukup lebar langsung menyambut kami.
Dari arah belakang rombongan, terdengar samar suara ayah; “Lah tadi kenapa nggak lewat sini…”
Nggak lama kami berjalan, terlihat di sebelah kiri kami, sebuah rumah berhalaman luas dengan cat putih yang mendominasi. Kini Rumah tersebut terlihat bagus, setelah sebelumnya mirip seperti sarang penyamun.
Bapak langsung menghentikan langkahnya, menoleh sebentar kemudian lanjut berjalan. Sepertinya ia memang belum tahu kalau rumah tersebut sudah kembali kepadanya.
Aldina lalu meraih tangan bapak. Tanpa banyak bicara, ia mengajak bapak untuk masuk ke dalam halaman rumah.
Dari tempat gua berdiri saat ini terlihat, Aldina mengeluarkan amplop coklat berisi sertifikat dari tas yang sejak tadi dibawanya dan menyerahkannya ke Bapak.
Tangan Bapak bergetar begitu menerima amplop coklat tersebut. Mungkin sudah menebak apa isi di dalam amplop.
Gua tersenyum sebentar, kemudian mengajak Lady dan keluarganya untuk kembali ke rumah. Namun, ditengah perjalanan, Mamay mengajukan pertanyaan; “Kak Je, katanya punya toko plastik?”
“Iya” Gua menjawab singkat.
“Oh.. Dimana? Jauh?” Tanyanya lagi.
“Nggak kok, deket.. Kenapa, mau lihat?” Gua balik bertanya.
Mamay lalu memandang ke arah Ayah dan Bundanya, seakan meminta persetujuan. Mereka lalu mengangguk; setuju.
Sementara, Lady sedikit berbeda. Ia menghentakkan kaki ke jalan kemudian menggerutu; “Panas Ih…”
Gua melepas topi dan memakaikannya di kepala Lady. Lalu berjalan tepat di sebelahnya sambil sesekali meniup ke arah tengkuk, agar ia nggak kepanasan.
Sesampainya di Toko kami langsung disambut Rohman yang sedang sibuk dengan ponselnya; “Eh ada tamu agung nih. Apa kabar Om, Tante..”
Ayah dan Bunda hanya mengangguk dan tersenyum saat mendapat sapaan dari Rohman. Sebuah senyum yang terlihat terpaksa.
Sementara gua dan Lady duduk di kursi kayu depan toko, Rohman mulai melakukan ‘Room tour’ ke Ayah, Bunda dan Mamay. Sesekali, ia sesumbar kalau toko ini dibangunnya dengan bersusah payah, tentu saja dengan mengecilkan peran gua disana.
Sinar matahari semakin terik, suhu panas terlihat menguap di atas aspal. Nggak ingin Lady dan yang lain harus panas-panasan saat harus berjalan kembali ke rumah, gua menghubungi Robi untuk menjemput mereka di toko.
“Ok Siap!” Jawab Robi melalui sambungan ponsel.
Nggak seberapa lama, ia datang dengan mobilnya.
“Udah sana lo balik duluan sama yang lain…” Ucap gua ke Lady.
“Terus elo?”
“Ntar gua jalan kaki aja.. atau minta anterin Rohman naik motor…” Balas gua.
“Bareng aja sih…”
“Nggak muat… udah sana…”
Lady sekeluarga lalu masuk ke dalam mobil yang dikendarai Robi dan segera kembali. Sementara, gua masuk ke dalam toko untuk mencuci muka saking panasnya.
Saat hendak berjalan kembali pulang, Bapak dan Aldina datang ke toko.
“Darimana Ce?” Tanya Rohman saat melihat Aldina dan Bapak tiba.
“Dari makam…” Aldina menjawab singkat, sementara matanya menatap ke sekeliling toko. Ini untuk pertama kalinya buat Aldina datang ke toko plastik gua. Sementara, Bapak sudah beberapa kali kesini, sewaktu berkunjung untuk menengok Anggi beberapa tahun yang lalu.
“Oh…”
Bapak menyusul gua duduk di kursi kayu di depan toko. Ia lalu menepuk pelan lutut gua dan bicara dengan suara yang pelan. Agak aneh bagi gua saat mendengar bapak bicara dengan nada suara yang lirih, karena biasanya suaranya menggelegar dan tegas.
“Terima kasih ya Je…” Ucapnya.
“Untuk apa pak?” Tanya gua.
“Untuk semuanya…” Jawab Bapak.
“Bapak harusnya bilang itu ke Dince, bukan ke aku…”
“Ya, Bapak sudah bilang juga ke Dince…”
“...”
“... Kau yang betulkan itu rumah?” Tanyanya.
“Rohman pak…” Jawab gua.
“Iya, tapi pakai uang kau kan?” Tanyanya lagi.
Gua menggeleng.
“Pakai uang Dince…” Jawab gua pelan, berbohong.
Bapak terdiam sebentar, lalu kembali bicara; “Janganlah kau tipu-tipu aku lagi Je.. Sudah akur aku dengan Dince, tak perlu lagi kau berlagak…”
Gua tersenyum, lalu menoleh ke arahnya.
“Makasih ya pak, udah mau kasih maaf ke Dince. Makasih juga udah mau menerima maafnya, Aku sekarang udah lega…”
“Iya. Mulai sekarang, berjalan lah kau ke depan, kalau perlu berlarilah. Biar aku yang menjaga Dince… Tak perlu kau risau dan khawatir lagi akan dirinya…”
Lalu samar terdengar perdebatan Aldina dengan Rohman dari dalam toko.
“Lo yang mandorin renovasi rumah kan?” Tanya Aldina.
“Iya…”
“Ayunannya lo kemanain?” Tanya Aldina lagi.
“Udah rusak ce, gue suru buang…” Jawab Rohman.
“Pasang Lagi!!!” Seru Aldina. Kini dengan nada yang semakin tinggi.
“Lo kan udah gede, emang masih mau maen ayunan…” balas Rohman nggak mau kalah.
“Pokoknya pasang Lagi!!”
“...”
“...Gue nggak mau tau, lo pasang lagi dengan model dan bentuk yang sama. Kalo nggak, gue patahin tangan lo…” Ancam Aldina.
“Ah elah…”
Lalu terdengar teriakan Rohman, meminta bantuan; “Je!...”
Bapak menggelengkan kepalanya kemudian menggumam; "Apalagi yang dibuat sipanggaron satu ini..."
—
Dewi Gita - Penari
Gemulai gerakanmu itu
Menarik semua mata
Lentiknya jemarimu indah
Hadirkan kemesraan
Penari yang terlahir
Sebagai penghibur
Seakan tak mau perduli
Banyak yang mengganggu
Pernahkah engkau terima
Kenyataan hidup
Pernahkah kau coba mengerti
Cintamu semu
Dia yang datang tak hanya untukmu
Dimana s'lalu kau yang kan menunggu U ahh
Apakah engkau masih mencari
Keinginan gemerlapnya dunia
Oh penari
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:26
jiyanq dan 64 lainnya memberi reputasi
65
Kutip
Balas
Tutup