- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
284K
Kutip
2.2K
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1030
#78 - I'll never find anyone to replace you
Spoiler for #78 - I'll never find anyone to replace you:
Ayahnya Lady hanya terdiam sambil mengangguk, mendengarkan gua bicara. Sementara, dari arah pintu terlihat Mamay keluar sambil membawa dua mug besar yang berisi kopi. Setelah meletakkan kopi di lantai, di antara gua dan Ayahnya, Mamay ikut duduk bersama dengan kami.
“... Kami yatim piatu sejak kecil, dan sejak saat itu kakek yang merawat aku dan Reni. Di usia belasan, kakek meninggal. Di saat anak seusia aku sibuk belajar sambil bermain, aku masih harus mikirin besok masih bisa makan apa nggak. Sejak saat itu, Aku selalu melihat kebawah, dan somehow merasa beruntung karena masih punya tempat tinggal, masih punya Reni, masih punya sesuatu untuk diperjuangkan. Aku nggak berani melihat ke atas, takut bermimpi, mimpi yang ketinggian, nanti kalau jatuh, sakit…”
“...”
“...Aku juga nggak pernah berdoa agar hidup ini dimudahkan. Aku cuma berdoa agar diri ini yang dikuatkan… Aku juga nggak pernah minta agar jadi kaya dan bergelimang harta. Aku cuma berdoa supaya tuhan bisa mengembalikan orang tua kami…”
“...”
“... Disisi lain, Lady yang terlahir punya keluarga yang lengkap. Ia malah kalian sia-siakan..”
“...”
“... Mohon maaf nih Om kalau aku lancang. Tapi aku mau nanya; apa sih alasannya sampai kalian begitu membenci Lady? apa kesalahannya terlalu besar untuk di maafkan?”Tanya gua.
Alih-alih langsung menjawab, Ayahnya meraih mug berisi kopi, meniup permukaannya yang masih beruap, lalu menyeruputnya perlahan.
“Menurut saya dan Bundanya, Lady tuh bawa sial… Terbukti dari saat mulai mengandung hingga ia lahir, kondisi ekonomi kami jadi terpuruk…” Ayahnya memberi jawaban. Tentu saja jawaban tersebut membuat gua terkekeh. Bagaimana mungkin orang kaya dan berpendidikan seperti mereka bisa punya pola pikir seperti itu.
“Lalu Om, apa indikasi kalau Lady sudah lagi nggak jadi anak pembawa sial?” Tanya gua lagi.
“...”
“... As you may know. I own a company…” Gua menambahkan.
“Ya saya tahu, perusahaan tempat Mamay sekarang bekerja kan?” Tebaknya.
Gua menggeleng; “Bukan… Aku cuma operate perusahaan tempat Mamay bekerja sekarang. Sederhananya, aku sebenarnya juga cuma karyawan, sama seperti Mamay. Bedanya, mungkin aku punya ‘stock and share’ di dalamnya, dan tentu saja salary yang jauh lebih besar…”
“Oh berarti itu bukan perusahaan kamu?”
“Bukan…”
“Tapi aku punya beberapa perusahaan lain. Yang paling besar ada di Kanada. Perusahaan ini lah yang mengakuisisi perusahaan aku yang sekarang, perusahaan tempat Mamay bekerja. And you know what? Belum lama ini aku kasih setengah saham aku ke Lady…”
“Hah!?”
“Like, now on, Lady mungkin lagi tidur dan terlelap, tapi pundi-pundi uangnya disana terus bertambah…”
“Hah!?” Mamay dan ayahnya saling pandang dengan mata terbelalak.
“Kalau tadi Om minta satu milyar, aku bisa kasih 2M, atau 3M, 4M… Tapi, apa hanya segitu ‘harga’ untuk Lady?”
“...”
“... Semua uang dan harta yang aku punya, bisa aja aku kasih ke Om dan Tante. Tapi, apa iya hanya segitu ‘harga’ untuk Lady?”
“...”
“... Buat aku, Lady nggak setara dengan apapun yang ada di dunia ini…” Gua menambahkan, lalu menyeruput kopi yang Mamay sediakan.
Kami bertiga lalu tenggelam dalam diam. Untuk mengisi keheningan, gua mengeluarkan bungkus rokok dari saku celana, meraih sebatang dan mulai menyulutnya.
“Besok aku transfer uangnya ya Om…” Ucap gua, seraya kembali menyeruput kopi dan bersiap untuk pergi.
Saat gua baru saja berdiri, tiba-tiba ayahnya meraih tangan gua, ia lalu memberi kode agar gua kembali duduk. Gua menurut dan duduk di tempat semula.
“Siapa nama bapakmu Je?” Tanya Ayahnya.
Gua lalu menjawab, menyebutkan nama bokap.
“Nama ibumu?” Tanyanya lagi.
Gua kembali menjawab, menyebutkan nama bokap.
“Nama kakekmu?” Tanyanya lagi.
Gua kembali menjawab, menyebutkan nama kakek.
“Dimana makam mereka Je?” Tanyanya lagi.
Gua lalu mengernyitkan dahi begitu mendengar pertanyaan terakhir darinya.
“Kenapa emangnya, Om?” kini gua yang gantian bertanya.
“Besok saya mau kesana, ke makam orang tuamu. Walaupun mereka sudah nggak ada, paling nggak saya mau ‘bertemu’ sebagai calon besan. Mereka pasti bangga bisa punya anak seperti kamu…” Ucapnya.
“Om dan Tante juga seharusnya bangga bisa punya anak seperti Lady…” Ucap gua.
Sebelum pergi gua menyempatkan diri berterima kasih atas kopi dan waktu yang ia berikan.
“Kalau om beneran mau ke makam orang tuaku, nanti bisa mampir ke rumah. Biar aku antar dari rumah…”
“Alamat rumahmu?” Tanyanya.
“Lady tau kok om…”
“Oh…”
Saat gua baru beberapa langkah menjauh. Ayahnya Lady memanggil nama gua. Ia lalu berlari, mendekat.
“Je.. Kamu nggak usah kirim uang yang 1M. Pakai saja uang itu untuk biaya pernikahan kalian…” Ucapnya.
“Gapapa, Om… Walau om nolak, saya bakal tetep kirim uangnya. Hitung-hitung, biaya terima kasih karena sudah melahirkan anak perempuan pembawa keberuntungan seperti Lady…” Ucap gua kemudian pergi.
Sejujurnya, gua agak kurang nyaman dengan pertemuan tadi. Alasan utamanya adalah; gua nggak pernah sekalipun membeberkan apa yang gua miliki ke orang lain. Selain karena itu merupakan salah satu bentuk kesombongan yang sejak lama gua hindari, gua juga nggak mau merasa superior dimata orang.
Takut mereka nanti sakit hati dan malah menyimpan dendam.
Tapi, akhirnya gua lakukan juga.
Demi Lady.
Sejak dulu, gua selalu merasa takut. Gua takut merasa nyaman dalam pelukan kekayaan. Takut terbuai dan nanti nggak bisa kembali menjadi diri gua sebelumnya. Takut, takut merasa tinggi karena kaya, takut nanti gua memandang orang lain kecil.
Padahal orang yang berada di puncak kekayaan lalu memandang orang lain kecil nggak sadar kalau orang yang di bawah juga melihatnya kecil. Dan gua nggak mau menjadi seperti itu.
Gua bisa saja dengan mudah membeli sebuah rumah besar, memiliki mobil keluaran terbaru, pakaian mewah ala desainer kelas atas, pergi plesiran sebulan sekali keluar negeri. Tapi, gua takut nanti nggak bisa kembali lagi. Gua takut nanti nggak lagi doyan makanan warteg, nggak bisa lagi nongkrong bersama Rohman sambil ngopi dan merokok di depan toko dengan satu kaki diangkat ke atas. Takut nggak lagi merasa nyaman saat harus berbelanja ke pasar atau jalan kaki untuk mengantar Anggi ke sekolah.
‘Sejatinya, kekayaan nggak akan merubah seseorang. Kekayaan hanya menguak siapa dia sebenarnya’
—
Saat gua baru saja memasuki pekarangan rumah, terlihat Bapak dan Robi tengah berbincang di kursi bambu di teras rumah. Mereka berdua langsung menutupi mata dengan telapak tangan akibat cahaya lampu mobil yang gua kendarai.
Gua buru-buru mematikan mesin dan turun.
“Lho Bapak sama kesini sama siapa? Sendiri?” Tanya gua seraya mendekat, meraih tangan dan menciumnya.
“Tadi diantar sama Dince…” Jawabnya.
“Terus Dincenya mana?” Tanya gua.
“Langsung pulang. Nggak bisa tidur aku rupanya, Je…” Jelasnya.
“Yaudah tidur disini aja…” Ucap gua.
Robi lalu bangkit dan berdiri, memberi kursinya ke gua.
“Mau ngopi bang?” Tanya Robi.
“Mau, kalo nggak ngerepotin mah…” Jawab gua singkat sambil tersenyum. Robi lalu bergegas masuk. Terdengar samar, Robi bicara pelan ke Reni; “Abang minta kopi…”
“Nggak bawa baju tapi aku Je…” Ucap Bapak.
“Ah, Baju mah banyak…” Jawab gua.
“Je?”
“Ya pak?”
“Masih sayang kau sama Dince?” Tiba-tiba ia bertanya.
“...”
“... Kalau kau masih sayang, coba lah kalian mulai lagi dari awal. Tak ada salahnya beristri dua…”
Jujur, gua cukup terkejut begitu mendengar ucapan Bapak barusan. Biasanya, para orang tua bakal nggak merestui kalau anaknya dimadu atau suami anaknya berpoligami. Ada apa sih dengan para bapak-bapak hari ini? batin gua dalam hati.
Gua lalu mencoba bersikap setenang mungkin dengan menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara.
“Aldina yang nyuruh Bapak ngomong gini?” Gua menebak.
Bapak lalu menggeleng. “Sayang kali aku sama dia. Sayang pulak aku sama kau..”
“Tapi nggak bisa pak. Nggak bisa ada dua matahari dalam satu dunia…” Gua menjawab.
“Iya ya… bisa terbakar kau nanti…” Responnya, lalu tertawa.
“Iya…”
“Tapi, jangan kau lupakan Dince ya Je…” Ucapnya.
“Nggak lah pak…” Jawab gua.
Mana mungkin gua bisa mengabaikan payung yang menemani disaat hujan dan badai lalu meninggalkannya saat melihat pelangi? Gua nggak akan memakai payung tersebut saat langit cerah berpelangi. Tapi, gua juga nggak akan meninggalkannya.
Kemudian kami berbincang perkara toko plastik, tentang Anggi dan masa depannya juga perkara pertemuan kembali gua dengan ayahnya Lady barusan.
Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Gelas-gelas kosong sisa kopi berderet di atas meja. Sementara, asbak kaca berukuran besar sudah dipenuhi dengan abu dan puntung rokok milik kami berdua.
“Udah tidur pak…”
“Iya…”
“Bapak tidur di kamarku aja…”
“Kau dimana nanti?”
“AKu di depan aja…”
“Tak apa rupanya?”
“Gapapa…” Gua menjawab santai.
—
Besoknya, pagi-pagi sekali gua sudah kembali berangkat untuk menjemput Anggi di kostan Lady.
Saat gua tiba, mereka berdua sudah terlihat duduk manis di atas kursi plastik tepat di depan bangunan kost; sedang makan bubur ayam. Terlihat Anggi duduk sambil menggoyang-goyangkan kedua kakinya, sementara Lady sibuk menyuapinya seporsi bubur ayam.
Rupanya, mereka nggak menyadari kehadiran gua, karena gua memarkir kendaraan cukup jauh; biar gampang keluar lagi.
Gua turun dari mobil, menyulut sebatang rokok dan bersandar pada body mobil seraya memperhatikan mereka berdua dari kejauhan. Keduanya tampak serasi, mereka sama-sama menguncir rambutnya, sama-sama mengenakan pakaian berwarna senada dan keduanya tampak begitu mempesona dimata gua.
Setelah habis sebatang rokok, gua berjalan mendekat ke arah mereka.
“Papah…” Seru Anggi begitu melihat gua. Kedua tangannya ia angkat tinggi-tinggi.
Gua membungkuk dan langsung memeluknya. Sementara Lady hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua.
“Mau sarapan dulu nggak?” Tanya Lady.
“Nggak. Udah sarapan tadi…”
“Sarapan apa?” Tanyanya lagi.
“Nasi sama telor dadar”
“Disiapin Reni?”
“Iya… Lo udah sarapan?” Tanya gua seraya menatap ke arah mangkuk berisi bubur yang berada di atas kursi plastik di sebelahnya.
“Nanti abis nyuapin Anggi…” Jawabnya.
“Lo makan aja dulu, sini gua yang suapin Anggi” Ucap gua, lalu meraih porsi bubur ayam milik Anggi dan mulai melanjutkan menyuapi.
Lady lalu berpindah posisi, memberikan kursinya untuk gua dan mulai makan.
“Lo semalem balik lagi ke rumah ayah?” Tiba-tiba ia bertanya.
“Tau darimana?” Gua balik bertanya.
“Gue iseng telpon Reni. Katanya lo belum sampe rumah. Terus gue telpon lo nggak diangkat… Tadinya, gue mau telpon Aldina, eh nggak lama, Mamay chat gue, bilang kalo lo dari sana…” Jelasnya.
“Oh…”
“Ngapain kesana?” Tanyanya lagi.
“Emang Mamay nggak cerita?”
“Cerita sih. Tapi, pengen tau versi lo aja…”
“Cuma ngobrol aja, sekalian minta maaf ke bokap lo…”
“Jangan bilang lo akhirnya ngasih duit yang diminta Ayah?” Tanyanya mewanti-wanti.
“Duh, Anggi jangan belepotan dong nak...” Gua mengalihkan topik, memilih untuk nggak menjawab.
“Jeje…” Panggilnya.
“Ya…”
“Lo ngasih duit yang diminta sama ayah?” Ia mengulangi pertanyaannya.
“Iya…” Gua menjawab pelan, sangat pelan.
“Ih elo mah… Lo pikir duit segitu gampang nyarinya? Lo pikir duit bisa jatoh dari langit…”
“Bokap lo nolak pas gua mau kasih…”
“Masa? Alhamdulillah…”
“Tapi, tetep gua kasih…”
Lady meletakkan mangkuk berisi bubur ayam miliknya yang tersisa setengah lalu memukul gua berkali-kali seraya berseru; “Ih elo mah!”
“Gapapa Lad, duit bisa dicari lagi nanti…”
“Berapa lama hah? berapa lama bisa dapet duit segitu banyak?” Tanyanya ketus.
“Seminggu, juga dapet…” Gua menjawab santai, kemudian melanjutkan menyuapi Anggi.
“What!?”
Hingga di mobil dalam perjalanan pulang, Lady terus menerus menebar terornya ke gua. Tak henti-hentinya ia menghitung jumlah uang yang gua berikan ke ayahnya bisa digunakan untuk apa saja.
Rumah, mobil, biaya pendidikan anak, asuransi kesehatan, biaya kuliah S2 nya dan masih banyak hal lain yang nyaris gua lupakan saking banyaknya yang ia sebutkan.
“Lad, duit bisa dicari. Kalo keluarga, dimana lagi lo bisa dapet…”
“...”
“... Biar begitu, mereka kan juga orang tua lo. Orang yang ngelahirin lo…”
“Iya, tapi kan… Ah udahlah, kesel gue kalo denger lagi…”
“Pokoknya nanti lo beliin gue HP baru…”
“Lah, apa hubungannya?”
“Oh jadi lo mau ngasih ayah duit segitu tapi nggak mau cuma beliin gue HP baru?”
“Iya mau… Tapi..”
“Udahlah, bilang aja kalo nggak mau…”
“Iya mau, mau… Nanti kita beli…”
Tiba-tiba Anggi muncul dari kursi belakang dan bicara; “Nanti HP mamah cantik yang lama, buat Anggi yah?”
“Eh jangan sayang, nanti Papah bakal beliin Anggi HP baru juga kok, soalnya duit Papah kan buanyak. Hp Mamah cantik yang ini nanti mau Mamah lindes pake mobil kok…” Ucap Lady ke Anggi sambil tersenyum dan melirik ke arah gua.
“...”
“... Beli Hp baru buat kita berdua, keluaran terbaru, yang paling canggih, paling juga nggak sampe 50 juta… Masa iya sih papah nggak punya. Ngasih orang 1M aja bisa…” Ia menambahkan, masih sambil tersenyum dan melirik ke arah gua.
“...”
“... Iya kan Je?” Tanyanya.
Gua tersenyum dan menoleh sebentar ke arahnya. “Lo lagi meres gua?”
“IYA!” Jawabnya.
—
Dua bulan berikutnya.
Gua berdiri menatap seorang perempuan di hadapan gua. Ia tengah membetulkan posisi kerah baju gua. Sementara, Aldina terlihat begitu cantik dengan gaun pengantin berwarna putih yang ia kenakan.
Perlahan, ia menyeka helaian bulu halus pada jas abu-abu di dada gua. Lalu mendongak dan merapikan ujung rambut gua.
“Akhirnya…” Gumamnya pelan.
“...”
“... Kita berdiri, bersama-sama dengan pakaian ini…” Tambahnya sambil tersenyum.
Nggak lama berselang, Anggi masuk ke dalam kamar dan langsung berseru; “Mommy…”
“Awas lo nggi, nanti gaunnya kusut…” Ucap Aldina seraya mencoba meraih Anggi, namun ia kesulitan karena posisi gaun yang ia kenakan.
Gua mengambil alih tubuh mungil Anggi, mengangkatnya dan membuatnya berdiri di atas ranjang. Anggi yang sejak semalam terlihat sumringah nggak henti-hentinya melompat di atas ranjang sambil berteriak; “Yeay, Papah nikah…”
Aldina lalu mendekat ke arah gua dan berbisik.
“Seandainya Lady ngeliat kita sekarang, gimana ya?”
Gua nggak menjawab, hanya terdiam, lalu teringat akan dirinya.
—
Chicago - Hard To Say I'm Sorry
Everybody needs a little time away"
I heard her say, from each other
Even lovers need a holiday
Far away, from each other
Hold me now
It's hard for me to say I'm sorry
I just want you to stay
After all that we've been through
I will make it up to you, I promise to
And after all that's been said and done
You're just the part of me I can't let go
Couldn't stand to be kept away
Just for the day, from your body
Wouldn't want to be swept away
Far away, from the one that I love
Hold me now
It's hard for me to say I'm sorry
I just want you to know
Hold me now
I really want to tell you I'm sorry
I could never let you go
After all that we've been through
I will make it up to you, I promise to
And after all that's been said and done
You're just the part of me I can't let go
After all that we've been through
I will make it up to you, I promise to
You're going to be the lucky one
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:26
jiyanq dan 52 lainnya memberi reputasi
53
Kutip
Balas
Tutup