- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
yusrillllll dan 205 lainnya memberi reputasi
202
285.6K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#988
#76 - If it doesn't show give it time
Spoiler for #76 - If it doesn't show give it time:
Satu demi satu permasalahan selesai. Proses akuisisi dan funding yang tanpa di duga malah berjalan dengan smooth, Aldina yang akhirnya berhasil akur dengan Bapak, Anggi yang bisa menerima mommy-nya, Reni yang saat ini mengandung calon anak pertamanya dan Lady yang perlahan mulai berdamai dengan Mamay; adiknya.
Seketika pundak ini terasa ringan.
Gua mengalami perasaan yang berbeda, perasaan yang belum pernah gua alami selama hidup ini. Rasa yang sama sekali nggak bisa digambarkan, entah karena saking bahagianya atau karena ini kali pertama gua merasakan sensasi seperti ini.
“Lo gapapa Je?”Tiba-tiba Lady mendekat, duduk tepat di sebelah gua dan bertanya. Ia lalu meletakkan punggung tangannya di dahi, seperti mencoba mengecek suhu tubuh.
Gua menoleh ke arahnya dan mengernyitkan dahi; “Gapapa… Kenapa?”
Kini gantian Lady yang pasang ekspresi bingung.
“Untuk pertama kalinya gue ngeliat lo duduk, diam, tanpa ekspresi wajah yang datar, nggak kayak biasanya…” Ucapnya.
Gua menarik nafas penuh kelegaan dan menghembuskannya.
“Nggak tau, sekarang gua ngerasa plong aja. Rasanya nggak ada lagi tekanan disini…” Jawab gua seraya menunjuk ke arah dada sendiri.
Lady lalu tersenyum.
“Bayangin aja, dari kecil lo selalu menanggung ‘beban’. Selama ini lo terus berusaha menanggung beban orang lain di pundak lo. Sekarang, saat semuanya berjalan sebagaimana mestinya, wajar kali kalau lo merasa lega…” Lady memberi analisanya.
“Iya kali ya…”
“Tapi bener udah nggak ada yang mengganjal di hati lo saat ini?” Tanyanya.
Gua menatapnya, tersenyum kemudian meraih pipinya.
“Ada…”
“Apa?”
“Menikahi lo…” Gua menjawab pelan.
“Yes!” Lady berseru dan bersiap untuk memeluk gua. Namun saat baru saja ia hendak memberi pelukan, seorang pelanggan datang ke toko.
Hari ini, Rohman tengah memberi instruksi ke para pekerja yang baru saja akan mulai merenovasi rumah Bapak. Sementara Salwa masih sibuk di bagian belakang toko untuk mengepak barang. Iya, sejak Salwa bekerja di toko plastik, mereka berdua berinisiatif untuk membuka toko online di marketplace. Dan saat ini, jumlah order dari marketplace terbilang lebih besar ketimbang dari penjualan secara offline.
Lady berdiri, mendekat ke etalase, bersiap untuk melayani pembeli. Nggak seberapa lama, beberapa pembeli lain ikut berdatangan. Gua bersiap berdiri untuk ikut membantu Lady, namun tiba-tiba Anggi masuk ke dalam toko, ia lantas berlari dan memeluk kaki gua; merengek ingin minta dibelikan pistol air.
Gua lantas menggendong Anggi, dan mencoba merayunya; “Iya nanti kita beli ya…”
Sambil menggendong Anggi, gua mulai membantu Lady melayani pelanggan; mengambil barang yang diminta pembeli dan menghitung jumlahnya. Sementara, Lady mengemasnya seraya menerima uang pembayaran dan memberikan kembalian.
Begitu pelanggan mulai sepi, Anggi kembali merengek. Kali ini rengekannya ditujukan ke Lady. Ia berusaha pindah dari gendongan gua kedalam pelukan Lady.
“Duh, kenapa sih?” Tanya Lady.
“Anggi mau beli pistol air…” Seru Anggi.
“Iya nanti kita beli ya…”
“Yang kayak punya Galih ya Mamah cantik?”
“Kayak apa sis yang punya galih?”
“Yang besar…”
“Ok, nanti kita beli yang besar ya…”
Selang beberapa saat, beberapa pembeli kembali datang, mereka berdiri persis di depan etalase dan mulai bertanya; “Ci, ada sedotan Boba nggak, yang gede?” Mendapat pertanyaan seperti itu Lady langsung pasang tampang bingung dan menatap ke arah gua.
“Ada.. yang item apa putih?” Tanya gua berusaha mengambil alih transaksi.
“Yang item deh, satu pak berapa?”
“12 ribu” Jawab gua seraya mengambil satu pak besar plastik berisi sedotan dan meletakkannya di atas etalase.
Masih sambil menggendong Anggi, Lady dengan cekatan meraih pack sedotan di atas etalase dan memasukkannya ke dalam plastik dan memberikannya kepada si pembeli, sementara si pembeli menyerahkan selembar uang pecahan dua puluh ribuan ke arah Lady.
Begitu selesai, pelanggan lain yang sudah menunggu ingin membeli kemasan makanan Styrofoam. Mendengarnya, gua langsung berusaha mengambil bungkusan plastik besar yang berada di rak belakang bagian paling atas.
“Emang si Rohman kemana Papah Anggi?” Tanya si Ibu pembeli yang memang sudah jadi langganan di toko ini.
“Rohman lagi keluar sebentar” Jawab gua.
“Oh… saya baru liat nih mamah nya Anggi” Ucap si Ibu sambil tersenyum dan mencolek pipi Anggi yang berada di gendongan Lady. Sementara Lady hanya terdiam dan balas tersenyum begitu mendengar ucapan si ibu barusan.
“Berapa banyak bu?” Tanya gua masih sambil berusaha menghitung jumlah Styrofoam di atas rak.
“100 aja deh Papah Anggi” Jawab si Ibu.
Dari posisi gua saat ini terdengar samar, percakapan antara Lady dengan si Ibu pembeli; “Ibu emang dagang apa?”
“Dagang nasi uduk tuh di gang sono…” Jawab si Ibu seraya menunjuk ke arah selatan.
“Oh, deket gang-nya Haji Ramlan?” Tanya Lady lagi sok tahu dan asal tebak.
“Iyak, sonoan lagi dikit” Jawabnya.
Gua membawa tumpukan kemasan makanan Styrofoam ke depan, memasukkannya ke dalam plastik berukuran besar dan menyerahkannya ke si Ibu pembeli. Yang lalu di tukarnya dengan selembar uang 50 ribuan. Lady dengan cepat meraih uang tersebut dan menyiapkan kembalian.
“Makasih ya, duluan ya Mamah Anggi” Ucap si Ibu sebelum pergi.
“Iya sama-sama Bu…” Balas Lady sambil tersenyum. Senyum yang kemudian sulit untuk dihilangkan.
“Ngapain senyum-senyum dari tadi?” Tanya gua.
“Gapapa. Lo tadi denger nggak si ibu itu manggil gue apa?” Lady balik bertanya.
“Apa?”
“Gue di panggil Mamah Anggi”
Dan hingga menjelang Tutup toko, Lady terus berperan sebagai ‘kasir’, sementara gua dan Salwa yang bertugas menyiapkan barang sambil memberi bisikan harga-harganya.
Gua duduk di kursi kayu depan toko, bersama dengan segelas kopi dan sebatang rokok menunggu Rohman kembali dari rumah Bapak dan Lady yang sejak tadi pergi bersama Anggi untuk membeli mainan pistol air di toko mainan yang terletak nggak begitu jauh dari toko.
“Salwa kalau mau pulang duluan gapapa, biar gua yang nunggu Rohman…” Ucap gua ke Salwa yang terlihat baru saja menyerahkan kemasan paket terakhir ke seorang kurir ekspedisi.
“Iya kak, aku tunggu Bang Oman aja…” Jawabnya.
“Oh Ok”
Nggak seberapa lama, yang ditunggu akhirnya datang. Dengan serampangan ia memarkir sepeda motornya, turun, duduk di kursi kayu di sebelah dan langsung menyeruput kopi milik gua.
“Rokok lo mana?” Tanyanya.
Gua mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celana dan menyerahkannya. Cepat, ia meraih sebatang rokok dan menyulutnya.
“Itu, keramiknya pada pecah.. kalo cuma diganti yang pecah, ntar jadinya lesang, soalnya susah nyari motif yang sama…”
“Ganti semua aja..” Jawab gua.
“Terus ayunan yang di depan udah di copot, mau dibuang…” Rohman menambahkan.
Begitu mendengar ucapannya yang terakhir, gua langsung berdiri dan menatapnya tajam.
“Jangan!! Benerin, terus pasang lagi kayak semula…”
“Udah jelek banget Je, udah pada karatan besinya…” Rohman menjawab, memberikan alasan.
“Pokoknya lo cari tau gimana caranya, Man. Mau di benerin kek, dibikin dari ulang kek, yang penting tuh ayunan ada di tempat semula, dengan bentuk yang sama…”
“Hadeuh… Ribet banget..” Rohman menggumam pelan. Lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mencoba menghubungi seseorang; sepertinya mandor yang mengerjakan renovasi rumah Bapak.
“Mang, ayunan jangan dibuang. Pasang lagi. Kalo udah rusak benerin, kalo nggak bisa dibenerin, bikin ulang, diposisi yang sama…”
“...”
“... Udah nggak usah banyak alasan. Iya emang, Bosnya Reseh!!” Ucap Rohman melalui sambungan telepon, kemudian mengakhiri panggilan.
Baru saja Rohman selesai bicara, terdengar suara teriakan Anggi dari kejauhan. Ia berlari seraya mengarahkan sebuah pistol plastik dengan tabung berada di bagian atasnya, ujung pistolnya ia arahkan kepada kami. Sementara, mulutnya terlihat monyong dan mengeluarkan suara khas bunyi tembakan.
Lady jauh tertinggal di belakang, ia berjalan santai sambil tersenyum melihat tingkah Anggi. Gua berdiri, melihat ke arahnya. Menatap wajahnya, matanya, dagunya, bibirnya dan rambutnya yang tergerai tersapu angin.
“Man, menurut lo Lady cantik nggak?” Tanya gua pelan ke Rohman.
“Hah?”
“Menurut lo Lady cantik nggak?” gua mengulang pertanyaan.
“Cantik lah…” Jawab Rohman.
“Yakin?”
“Yakin dong…”
“Cantikan mana sama Dince?” Tanya gua lagi.
“Salwa lah…” Jawabnya.
“Salwa nggak ada dalam pilihan!”
“Yaudah Lady..” Jawabnya lagi.
“Ayunannya buang aja kalo gitu..” Ucap gua, seraya melangkah menghampiri mereka berdua.
“Hah!?”
“Ayunannya buang aja, nggak usah dipasang lagi…” Gua mengulang ucapan sebelumnya, kemudian meraih Anggi kedalam gendongan dan terus berjalan mendekat ke Lady.
Samar terdengar seruan Rohman dari belakang; “Anj*ng!!”
Lady terlihat sedikit kebingungan saat tiba-tiba gua mendekat dengan cepat dan langsung memeluknya.
Kini kami berada di tepi jalan raya, bertiga, saling berpelukan.
“Eh ngapain? malu…” Bisik Lady, masih dalam pelukan.
Gua bergeming. Lalu membalas bisikannya; “I Love you, Lad”
“I Love you too…” Balasnya.
Tiba-tiba, Anggi ikut bicara; "I love you too guys…”
—
Besoknya, kebetulan hari minggu dan kami sudah sengaja merencanakan ini sejak beberapa hari yang lalu. Lady bahkan sempat berkoordinasi dengan Mamay perkara rencana kedatangan kami kembali ke rumah orang tua Lady.
Kini rencananya gua akan melamar Lady secara resmi dan formal. “Biar kayak orang-orang lain” Kata Rohman.
Dan saat ini, gua nggak hanya datang berdua dengan Lady. Bapak, Anggi, Reni dan Robi bahkan Rohman ikut serta.
Sepanjang perjalanan, Lady terlihat sibuk dengan ponselnya.
“Chat siapa, sibuk banget dari tadi?” Tanya gua.
“Mamay…” Lady menjawab singkat.
“Ngapain?”
“Dia nanya, udah pada jalan apa belum, terus berapa orang yang ikut”
“Oh, buat apa?” Tanya gua lagi.
Lady memberi respon dengan mengangkat kedua bahunya; nggak tahu.
Sementara di kursi belakang mobil, Bapak dan Anggi sibuk bercanda seraya tertawa. Mereka tengah membahas ucapan Bapak yang menyebut sepeda motor sebagai ‘Kereta’. Hal yang baru didengar oleh Anggi.
“Itu sepeda motor Opung, bukan kereta..” Seru Anggi, melayangkan protes.
“Bah, kalau di Medan, kereta itu..” Jawab Opung, nggak mau kalah.
“Kereta itu jalannya di rel Opung…” Balas Anggi.
“Yang di rel itu kereta Api…”
“Kereta itu pakai listrik Opung, bukan pakai api”
“Cemana, jaman dulu, kereta api ya pakai api.. Hahaha…”
Perdebatan lucu antara opung dan Anggi terus berlangsung hingga kami tiba di rumah orang tua Lady.
“Ini rumah mamah cantik ya?” Tanya Anggi seraya menunjuk ke arah bangunan besar di hadapan kami.
“Iya…” Jawab Lady.
“Bagus dan besar…” Anggi kembali berkomentar.
Sementara, gua masih mencoba menghubungi Rohman yang berada satu mobil dengan Reni dan Robi, sepertinya mereka tertinggal dan sempat kehilangan arah. Namun, nggak berapa lama berselang, terlihat mobil sedan putih milik Robi muncul di tikungan dan perlahan mendekat ke arah kami.
Lady melangkah dan memposisikan dirinya tepat di depan gua. Ia mendongak, membetulkan posisi kerah kemeja batik yang baru tadi gua kenakan saat keluar dari mobil. Kemeja yang rasanya super nggak nyaman, apalagi di bagian belakang kerah dimana terdapat sebuah label ukuran yang bikin gatel.
Ia lalu menyeka kemeja bagian dada gua dan tersenyum; “Baru kali ini gue liat lo pake batik; ganteng” Ucapnya.
Bi Sum terlihat berjalan cepat dari arah pintu garasi menuju ke depan. Dengan cekatan, ia membuka gembok dan bergegas mendorong pintu pagar untuk membiarkan kami masuk ke dalam.
“Sehat Bi?” Tanya Lady.
“Sehat dong… yuk masuk, masuk.. udah ditungguin..”
“Hah? sama siapa? Ayah?” Lady kembali bertanya, merasa nggak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Iya..”
Kali ini Bi Sum membimbing kami semua masuk melalui pintu depan. Nggak seperti sebelumnya, dimana gua dan Lady diajak masuk melalui pintu garasi.
Baru saja gua mendekat ke arah pintu utama, Ayah dan Bunda nya Lady sudah berdiri, bersiap menyambut kami. Keduanya terlihat tampil formal, Ayahnya mengenakan kemeja yang necis sementara bundanya tampil paripurna dengan kebaya modern.
“Wow..” Terdengar Lady menggumam pelan.
Mereka berdua lalu mempersilahkan kami masuk dan duduk di ruang tamu. Sebelum duduk, gua mulai memperkenalkan satu persatu orang yang datang bersama kami.
“Siang Om, Perkenalkan ini Anggi anak perempuanku…” Ucap gua seraya menunjuk ke arah Anggi yang berdiri tepat di depan Lady.
“Cantiknya…” Gumam Bunda Lady seraya mencubit pipi Anggi yang memang menggemaskan.
“Kasih salam nak..” Ucap Lady ke Anggi, yang lalu maju kedepan, meraih tangan Ayah dan Bunda Lady, lalu bergantian mencium tangan mereka.
Gua lalu beralih ke Bapak; “Ini Bapak…” Ucap gua seraya menunjuk ke arah Bapak. Sempat terlihat Ayah dan Bunda Lady saling pandang; bingung. Lalu mulai menjabat tangan Bapak yang dengan tegas menyebut namanya dengan suara yang menggelegar.
Sempat melihat kebingungan pada wajah Ayah dan Bunda Lady, gua lalu sedikit memberi penjelasan; “Bapak adalah Opungnya Anggi…”
“Oh…” Respon mereka berdua.
“Ini Reni, adikku dan Robi suaminya…” Ucap gua sambil menunjuk ke arah Reni dan Robi.
Mereka berdua tersenyum dan menganggukkan kepala, nggak bisa menjawab tangan karena posisinya berdiri di belakang kami.
“Nah, yang dibelakang itu Rohman..” Gua menambahkan.
Rohman lalu berjinjit, mengangkat tangannya ke atas seraya berseru; “Halo Om!”
Ayah dan Bunda Lady langsung tersenyum begitu melihat Rohman, mereka menunjuk ke arahnya dan menggumam; “Itu kan mas-mas yang nganter mobil waktu itu..”
“Iya, bener! masih inget aja lo berdua..” Seru Rohman lagi.
Proses perkenalan dari sisi gua selesai. Kini giliran Ayah dan Bundanya Lady mulai memperkenalkan diri, lalu mereka memanggil Mamay.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, Mamay lalu muncul dari balik ruang keluarga dan mendekat, bergabung dalam barisan Ayah dan Bundanya.
“Nah ini, putri bungsu kami, adiknya Lady, namanya Mamay…” Ayahnya mencoba memperkenalkan Mamay kepada kami.
“...”
“... Tapi kayaknya Nak Jeje, udah kenal ya sama Mamay, karena sekarang dia kerja di tempat nak Jeje?” Tanya Ayahnya ke gua.
“Oh yaudah dong.. kan waktu pertama kesini aku udah ketemu sama Mamay” Jawab gua.
“Oh iya ya.. sampai lupa”
Kami lalu bicara berbasa-basi sambil sesekali menertawakan hal yang sejatinya nggak terlalu lucu. Namun, Lady terlihat nggak biasa. Ekspresi wajahnya menampilkan kecurigaan tingkat tinggi. Ia bahkan memberi tatapan tajam ke ayah dan bundanya.
Gua menyenggol lengannya, memberi kode agar ia tersenyum.
Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai menulis sesuatu di aplikasi pesan singkat. Kemudian ponselnya ia serahkan ke gua, memberi instruksi agar gua membaca pesan yang baru saja ditulisnya.
‘Ini mencurigakan sih. Kenapa tiba-tiba mereka jadi super baik gini?’
Gua menghapus pesan tersebut dan mulai mengetik jawaban untuknya; ‘Ya kayaknya Mamay udah cerita tentang kondisi kita’
Lady langsung mengangguk setuju begitu membaca pesan gua.
Setelah berbasa-basi sebentar, Bapak lalu berdehem sebentar, pasang tampang serius dan mulai bicara; “Jadi begini. Aku, kita semua datang kesini selain mau bersilaturahmi, ada pulak tujuan lain…”
“...”
“... Nah, Dua-dua ini udah klop lah, cem burung merpati saja mereka dua ini, daripada di tunda-tunda nanti malah jadi fitnah. Ada pulak rencana mereka untuk menikah, Aku mewakili keluarga, mau melamarkan Lady untuk Jeje…”
“...”
“... Cemana tanggapan klean?” Tanya Bapak.
Ayah dan Bunda Lady saling menatap sebentar kemudian tersenyum dan mulai memberi jawaban.
“Jadi gini, pak… Kita sih sebenarnya sudah setuju, saya juga sudah menyampaikan ini sebelumnya ke nak Jeje waktu kemarin kesini.”
“Baguslah tu…” Respon bapak.
“Tapi, sudah umum lah ya pak. Kalau biasanya dari pihak perempuan kita meminta mahar…” Ucap Ayah Lady yang lalu disambut dengan anggukan kepala dari Bundanya.
“Iya, lumrahnya nya itu, kalau di Medan sana adalah itu Marhata Sinamot kami sebut..” Ucap Bapak.
“Nah, betul pak…”
“Berapa pulak yang kau minta? biar Jeje bisa siapkan…”
Ayah dan Bunda Lady kembali saling menatap lalu ayah mengangkat satu jari ke atas seraya bicara dengan suara yang terdengar lirih; “Satu milyar”
---
Led Zeppelin - Immigrant Song
Ah! Ah!
We come from the land of the ice and snow
From the midnight sun where the hot springs flow
The hammer of the gods
Will drive our ships to new lands
To fight the horde, sing and cry
Valhalla, I am coming
On we sweep with threshing oar
Our only goal will be the western shore
Ah! Ah!
We come from the land of the ice and snow
From the midnight sun where the hot springs flow
How soft your fields so green
Can whisper tales of gore
Of how we calmed the tides of war
We are your overlords
On we sweep with threshing oar
Our only goal will be the western shore
So now you'd better stop
And rebuild all your ruins
For peace and trust can win the day
Despite of all your losing
Diubah oleh robotpintar 21-05-2023 13:56
jiyanq dan 51 lainnya memberi reputasi
52
Kutip
Balas
Tutup