- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
yusrillllll dan 205 lainnya memberi reputasi
202
285.6K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#973
#75 - And Drifting All Alone
Spoiler for #75 - And Drifting All Alone:
Gua dan Aldina berjalan bersisian, keluar dari lobby gedung kantor, menyusuri trotoar menuju ke hotel yang terletak di sebelah kantor. Sepanjang perjalanan, tak ada obrolan di antara kami berdua, hanya terdiam sambil sesekali saling menatap satu sama lain.
Setelah hampir tiba di hotel, barulah Aldina mulai buka suara.
“Je…”
“Ya…”
“Boleh nggak kalo Anggi ikut sama gue?”Tanyanya. Ia bicara tanpa menatap gua, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana sementara kakinya sibuk menendang kerikil kecil di atas trotoar.
Gua langsung menghentikan langkah begitu mendengar permintaan darinya barusan. Mau nggak mau, Aldina juga ikut berhenti. Ia lalu berpaling dan menatap gua.
“Nggak, jangan” Jawab gua singkat. Karena jujur, gua nggak tau gimana hidup ini kedepannya tanpa Anggi berada di sisi gua.
“Tapi lo kan udah ada Lady. Dan lo masih mau Anggi juga…”
“...”
“... Sementara, disini gue sendirian tanpa siapa-siapa..” Aldina menambahkan.
Gua melanjutkan langkah yang langsung diikuti oleh Aldina.
“Jangan bilang lo sendirian sekarang. Bapak, Gua, Reni bahkan Anggi masih ada disini, masih ada buat lo…”
“Iya, tapi nggak cukup.. gue pengen ‘memiliki’... Gue pengen memiliki Anggi…” Jawabnya.
“Buat apa?”
“...”
“... Buat apa lo pengen memiliki sesuatu yang sudah lo miliki?” Tambah gua.
“...”
“... Dari dulu, Anggi ‘punya’ lo, punya kita. Dia anak lo, anak kita… Kalo lo mau ajak dia pergi, silahkan. Kalo lo mau ajak dia nginep di tempat lo; silahkan. Gua nggak bakal ngelarang, karena lo juga punya hak atasnya. Tapi, please jangan ‘ambil’ dia dari gua… Please…”
“Janji? Janji kalo gue masih boleh ketemu dia kapan aja?” Tanyanya.
“Iya. Janji… Tapi,”
“Tuh kan, pasti ada tapi-nya…” Gumam Aldina pelan.
“Tapi, asal jangan ganggu urusan sekolah dan belajarnya…” Jawab gua.
“Iya.. Gue janji..”
Kami lalu tiba di kamar Bapak. Gua masuk, sementara Aldina menyusul dan segera membereskan barang-barang milik bapak dan memasukkannya ke dalam tas. Gua duduk di tepi ranjang di dalam kamar sambil menatapnya.
“Gimana tadi sama Bapak?” Tanya gua.
Aldina menghentikan kegiatannya sesaat, menatap ke arah gua, ia nggak memberikan jawaban, hanya terdiam.
“... Udah cerita aja, nggak usah malu…” Gua menambahkan.
Ia lalu tersenyum.
“Gue baru inget, kalau ternyata elo tuh emang mengenal banget gue yah…” Ucapnya.
“Siapa yang minta maaf duluan?” Tanya gua, penasaran.
“Gue…” Jawab Aldina singkat.
“...”
“... Tapi, abis itu Bapak juga langsung minta maaf juga” Aldina menambahkan, seakan nggak mau kalah.
Gua nggak mampu menahan tawa. Bahkan disaat seperti ini saja, ia nggak mau terdengar inferior.
“Tuh kan lo malah ketawa…” Gumamnya sambil pasang tampang kesal.
Gua langsung menutup mulut dengan tangan, berusaha untuk menghentikan tawa.
Aldina baru saja selesai dengan tas milik Bapak. Ia lalu berdiri dan duduk di tepi ranjang, tepat di sebelah gua. Kedua tangannya ia letakkan di pangkuannya, sementara jemarinya yang lentik terlihat sedikit bergetar.
“Je…”
“Ya…”
“Gue mau tanya sama lo, dan lo harus jawab dengan jujur, sejujur-jujurnya…”
“Apa?”
Aldina terdiam sebentar, ia lalu menoleh dan menatap gua. Lama, cukup lama hingga akhirnya ia kembali bicara; “Masih ada nggak rasa sayang lo buat gue, walaupun sedikit?”
Gua menggeleng.
Sambil tersenyum.
Sambil menatapnya.
Matanya mulai berkaca-kaca, ia tampak berusaha sekeras mungkin agar tidak menangis. Namun sepertinya usahanya gagal. Tangis Aldina akhirnya pecah, sementara matanya masih menatap gua.
“In the end, we were just like two strangers who knew everything about each other, right?” Tanyanya sambil terisak.
“Two person who knew everything about each other…” Gua meralat ucapannya barusan, merasa kata ‘strangers’ yang berada dalam kalimatnya nggak mencerminkan keinginan gua untuk selalu berada untuknya; sebagai sahabatnya.
“...”
“... Mulai sekarang, jaga hubungan lo sama Bapak. Jangan kecewain dia… lagi…” Gua menambahkan.
“Iya…”
“Terus satu lagi..”
“Apa?” Tanyanya.
“Please, jangan memulai pertengkaran dengan Lady, apapun alasannya…”
“Iya… Tapi, lo juga harus ngomong hal yang sama ke Lady..” Pintanya.
“I Will…”
Dengan perlahan, gua mulai menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya, membelai rambutnya dan kemudian memberikan pelukan.
“Tenang aja, suatu hari nanti lo pasti dapet seseorang yang jauh lebih baik dari gua kok..” Gua berbisik seraya memberi tepukan lembut di punggungnya.
“Nggak mau, lagian emang ada yang lebih baik dari elo?” Aldina malah balik bertanya.
“Banyak” Jawab gua singkat.
Sebelum kembali ke Coffee Shop, Aldina menyempatkan diri untuk membersihkan wajahnya dari maskara dan make-up yang berantakan karena tangisannya.
Saat ia tengah sibuk menghadap ke arah cermin, gua bicara; “Gua penasaran deh, pas lo minta maaf sama bapak, apa yang lo omongin?”
Ia lalu berpaling sebentar, kemudian mendengus; Pasang tampang kesal.
Tiba-tiba, tanpa ada angin, hujan apalagi petir, Aldina mulai bercerita ke gua tentang pertemuan pertama setelah bertahun-tahun dengan Bapak. Dan tentu saja cerita tentang bagaimana ia langsung bersimpuh di kaki bapak kemudian menangis tersedu-sedu. Bapak pun melakukan hal yang sama, langsung memeluk anak semata wayangnya itu sambil menangis dan sama-sama meminta maaf.
“Wah, berarti hari ini udah nangis dua kali, udah benerin make-up dua kali dong ya?” Tanya gua berusaha menggodanya.
“IYA!... Puas lo?” ucapnya ketus.
“Iya, gua puas…”
“Hah!?”
“Paling nggak usaha gua buat menyatukan lo sama bapak kan berhasil…” Jawab gua.
“Iya tapi usaha gue untuk menyatukan kita yang gagal…” Aldina mengguman pelan, sangat pelan.
“Apa?” Tanya gua, berlagak nggak mendengar ucapannya barusan.
—
Aldina mengenakan kacamata hitamnya sebelum kami kembali ke coffee shop. Gua berjalan lebih dulu sementara entah kenapa ia memilih berjalan beberapa langkah di belakang gua.
Gua menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.
“Kenapa? nggak mau jalan di sebelah gua?” Tanya gua.
Aldina lalu tersenyum.
“Gapapa, ini mengingatkan gue akan banyak hal tentang lo. Tentang lorong sekolah, tentang kardus berisi rapot yang lo bawakan, tentang rumah di Halifax, tentang kita…”
“...”
“... Udah sana lo jalan aja terus, gue bakal ngikutin dari belakang” Tambahnya.
Gua mengangguk, lalu kembali melanjutkan langkah. Tentu saja, gua sesekali menoleh ke belakang, terlihat Aldina masih mengikuti langkah gua di belakang. Sementara matanya menatap ke arah punggung gua.
Dan sebelum masuk kembali ke lobby gedung kantor, gua menghentikan langkah, menunggu hingga kami berdua sejajar.
Alih-alih berjalan bersama bersisian masuk ke dalam gedung, Aldina justru mendorong tubuh gua agar posisi kami seperti ini seterusnya. Hingga akhirnya, kami berdua tiba di coffee shop dengan posisi gua di depan sementara Aldina berjalan di belakang gua.
Gua baru saja kembali duduk di kursi saat Bapak akhirnya bicara; “Je, aku ke tempat Dince aja ya?”
“Oh oke pak… Gapapa..” Jawab gua.
Gua lalu menoleh ke arah Anggi dan mendapati ekspresi wajahnya yang terlihat sedikit kecewa karena harus berpisah dari opungnya.
“Anggi mau ikut opung?” Tanya gua ke Anggi.
“Mau…” Jawab Anggi.
“Mau nginep di rumah Mommy?” Tanya gua lagi.
Kini Anggi nggak langsung menjawab, ia malah mendongak dan menatap Lady seakan meminta persetujuan. Lady yang menyadari hal tersebut lalu menganggukkan kepala, memberikan restunya.
Barulah setelah mendapat ‘persetujuan’ Lady, Anggi mengangguk setuju; “Mau…”
“Tapi ambil baju dulu di rumah ya… Nanti Papah anterin ke tempat Mommy..” Gua bicara, yang lalu kembali di respon dengan anggukan kepala Anggi.
Menyadari hal tersebut, Aldina langsung terlihat riang. Ia melepas kacamata hitam miliknya lalu membungkuk tepat di sebelah Anggi. “Bener Anggi mau nginep di rumah Mommy?”
“Mau..” Jawab Anggi.
Aldina lalu beralih ke gua dan bicara; “Biar langsung ikut gue aja Anggi. Ntar bajunya lo anterin aja…” Aldina memberikan saran.
“Oh Yaudah…” Jawab gua.
Lady lantas ikut nimbrung; “Kali ini gue ikut..”
“Iya…” Balas gua.
—
Gua berdiri, menatap kosong ke arah ruangan super kecil yang mirip seperti kubikal wartel jaman dahulu. Terdapat beberapa ruangan yang hanya berukuran 1 m persegi. Didalamnya terdapat sebuah kursi lengkap dengan meja kecil yang menempel langsung dengan dinding. Sementara seluruh panel pintunya terbuat dari kaca yang mirip seperti ruang meeting; bisa diburamkan dengan sebuah tombol yang tersedia di bagian dalam kubikal.
“Ngapain?” Tanya Lady saat menyadari gua sejak tadi memandangi deretan ruang kecil di hadapan gua ini.
“Ini dari kapan ada ruangan sekecil ini disini?” Tanya gua, masih sambil menatap ke deretan ruang kecil.
“Lah, udah lama kali Je. Emang lo nggak nyadar?” Lady balik bertanya.
“Nggak…” Jawab gua.
Baru saja gua hendak memanggil Sari, tapi yang ditunggu lebih dulu hadir.
“Je, ada tamu…” Ucapnya.
“Bentar Sar.. ini ruangan kecil-kecil begini buat apaan?” Tanya gua.
“Buat kalo karyawan mau meeting online tapi sendiri, buat yang mau fokus kerja tanpa diganggu, buat orang yang mau menelpon atau terima telepon”
“Oh, gua kira buat apa…”
“Lah, emang lo nggak tau kalo di kantor kita ada ruang kayak gini?” Tanya Sari.
“Nggak…”
“Dih… aneh…” Lady menggumam pelan.
“Buruan ada tamu..” Ucap Sari.
“Siapa?” Tanya gua.
“Yang kemaren lo suru approach, kandidat GA..” Sari memberi jawaban.
“Dimana?”
“Di ruang meeting 2…”
“Yaudah nanti gua kesana, sebentar lagi…” Gua menjawab singkat. Sari kemudian bergegas pergi, sementara gua berpaling menatap ke Lady.
“Handover ke Mamay udah selesai semua?” Tanya gua ke Lady.
“Udah..”
“Hari ini berarti lo udah free dong?” Tanya gua lagi.
“Harusnya sih udah…”
“Boleh minta tolong satu kerjaan terakhir?”
“Hahaha, boleh asal nggak ribet dan banyak…”
“Minta tolong untuk bikinin deskripsi job vacancy untuk PPC Specialist, SEO sama Socmed Manager…”
“Oke.. ini berarti standar dan kualifikasinya sesuai yang gua mau ya?”
“Iya… Yang sesuai dengan kriteria lo aja. Jadi, nanti Mamay tinggal interview aja..”
Selesai ngobrol dengan Lady, gua lalu bergegas menuju ke ruang meeting 2.
Gua membuka pintu dan mendapati, Sari tengah ngobrol dengan seorang perempuan berhijab yang tampak cantik dan mempesona.
“Nah, ini CEO kita…” Ucap Sari seraya berdiri dan mencoba memperkenalkan gua.
Perempuan berhijab itu menoleh ke arah gua lalu tersenyum.
“Apa kabar Kak?” Tanyanya.
“Baik, you look different, in a good way of course..” Gua menjawab.
Lalu duduk di kursi kosong di hadapannya, di sebelah Sari yang lantas menyodorkan lembaran kertas berisi portofolio dan CV milik perempuan berhijab di hadapan kami.
“Lo apa kabar?” Gua balik bertanya.
“Baik…” Perempuan itu menjawab singkat.
“Abang lo sehat?” Tanya gua lagi.
“Sehat… Lho, emang Kak Je, jarang ketemu sama Abang?”
“Mmm.. Kalo ketemu jarang, paling telponan aja. Terakhir gue telpon abang lo ya pas kemarin minta referensi orang GA. Terus dia nyuru gue reach elo deh…”
“Oh…”
“Jadi gimana? lo sekarang masih kerja kan?” Tanya gua.
“Masih..”
“Dengan datang kesini sekarang, gua assume lo mau cari tau lebih banyak tentang perusahaan ini dong?”
“Sedikit banyak, iya…” Jawabnya.
“Ok, so Sari udah jelasin kan tentang perusahaan ini?”
“Udah tadi sekilas, tapi aku juga semalem udah cari tau lewat internet kok…”
“Menurut lo gimana prospek perusahaan ini?” Tanya gua.
“Hmmm… Jujur, aku sebenarnya agak sedikit skeptis ya kak. Maksudku gini; buat apa ada perusahaan semacam agensi untuk para micro influencers? bukannya mereka bisa cari klien sendiri ya?”
“Good question..”
“...”
“... Sebenarnya ini bukan cuma agensi digital aja. So, kita buat aplikasi yang membuka kesempatan nano atau micro influencer untuk menambah penghasilan sebagai brand ambassador, KOL/Influencer dari berbagai brand…” Gua menambahkan.
“I See, jadi aplikasi kalian yang bakal mempertemukan brand dengan para influencers?”
“Yes correct… Dan buat para micro influencers, kita juga kasih pelatihan dan workshop, buat para brands; mereka bisa langsung bikin campaign melalui aplikasi yang nantinya bakal kampanyekan oleh para influencers ini…”
“...”
“... Now on, kita lagi launch banyak fitur lainnya juga. Dan ada rencana untuk pindah kantor, jadi gua butuh lo kedepannya buat bantu Sari pegang General Affair. Karena sekarang ini, Sari masih pegang HR sama GA…” Ucap gua seraya menunjuk ke arah Sari.
“Kakak nggak mau review CV aku dulu?” Tanyanya, seraya menunjuk ke arah lembaran kertas di atas meja yang sejak tadi gua abaikan.
“Gua udah dapet reviewnya langsung dari abang lo…”
“Abang pasti nggak bilang hal yang baik-baik tentang aku dong?”
“Haha, iya lagi..” Jawab gua.
“Hmmm…”
“Let's talk about numbers. lo dapet salary berapa di kantor lo yang sekarang dan berapa yang lo expect kalo seandainya lo mau kerja disini?…” tanya gua.
Perempuan berhijab itu lalu meraih pena dari dalam tasnya, dan mulai menulis deretan angka di atas kertas yang berisi CV miliknya.
Sari lalu sedikit membungkuk, mencoba melihat dengan jelas angka yang baru saja di tulisnya. Kemudian ia menoleh, menatap gua dan mengangguk. Sebuah kode dari Sari kalau salary yang dimintanya masih masuk dalam budget divisi HR & GA.
“Ok cool.. ini berarti tinggal keputusan lo aja gimana. Kalo lo setuju yaudah langsung di proses sama Sari..”
“Mmm.. kasih aku satu bulan ya kak. Karena di kantor sekarang harus ngajuin one month notice sebelum resign..”
“Gimana Sar?” Tanya gua ke Sari.
“Ya gapapa. Berarti aku siapin dokumennya aja sekalian ya?”
“Boleh…” Jawabnya.
“Okay then…” Gua lalu berdiri dan bersiap untuk keluar dari ruang meeting.
Sebelum pergi gua berhenti sejenak, teringat akan sosok Kakaknya.
“Salam buat abang lo ya Ka…” Ucap gua, kemudian keluar.
Tepat di luar pintu ruang meeting, Lady sudah berdiri, ia sepertinya baru saja bersiap untuk masuk ke dalam ruang meeting dengan laptop dalam kondisi terbuka berada di tangannya.
“Ngapain?”
“Ini butuh buat kapan?” Tanyanya, merujuk ke tugas yang tadi sempat gua delegasikan kepadanya.
“EOD?”
“Oke.. terus satu lagi? Elo beneran butuh PPC Specialist?” Tanyanya.
“Hmmm.. Nggak tau, menurut lo?”
“Now on, belum perlu sih..”
“Yaudah cancel untuk yang PPC Specialist”
“Baiklah…” Ucapnya lalu bergegas kembali ke meja kerjanya.
Sementara gua mengikutinya dari belakang, hingga ia duduk di kursinya. Ia berpaling, menoleh dan bertanya; “Udah sana, ngapain ngikutin, kayak nggak ada kerjaan aja..”
“Nggak mau makan siang?”
“Ntar, tanggung…”
—
Sepulangnya bekerja, gua dan Lady langsung menuju ke apartemen tempat Aldina tinggal. Sudah sejak kemarin, semalam, pagi, siang dan sore tadi, Lady nggak henti-hentinya bertanya tentang Anggi; Rindu setengah mati.
“Telpon lah kalo kangen…” Ucap gua saat semalam ia merengek meminta untuk gua segera menjemput Anggi saat itu juga.
“Ih ogah ah…” Jawabnya.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Gue kan masih bukan siapa-siapanya Je. Kalau seandainya Aldina nanti bilang ‘Eh, gue nyokapnya ya’ gue harus jawab apa?”
Gua terdiam, nggak tau harus memberikan jawaban apa. Lalu teringat akan percakapan gua dengan Aldina beberapa hari yang lalu tentang sikap mereka berdua. Dan gua sudah berjanji untuk mengatakan hal yang sama ke Lady.
"Lad...
"Ya..."
"Bisa nggak kalo seandainya Aldina nyoba memprovokasi lo dan lo nggak langsung tersulut?" Tanya gua.
Lady terdiam sebentar.
"Dia nyuruh lo ngomong begitu ke gue?" Ia balik bertanya.
"Nggak"
"Bener?"
"Justru gua udah minta ke dia lebih dulu agar nggak lagi terus-terusan berdebat dengan lo"
"Oh Okay. Kalo dia nggak ganggu gue, gue juga nggak ada niat ganggu dia. Tapi, sekali dia 'nyenggol' gue, awas aja..." Jawabnya seraya mengepalkan tangannya dan menggeram.
"Oh iya, satu lagi..."
"Apa?"
"Lo ada kartu keluarga atau harus ngambil dulu ke rumah bokap lo?" Tanya gua.
"Ada di kosan, emang buat apaan?"
"Besok kan hari terakhir lo kerja. Lusa lo urus dokumen-dokumen ya..." Pinta gua.
“Hah!? Dokumen buat apa?”
“Buat pernikahan!”
—
Staind - It's Been Awhile
And it's been awhile
Since I could hold my head up high
And it's been awhile
Since I first saw you
And it's been awhile
Since I could stand on my own two feet again
And it's been awhile
Since I could call you
And everything I can't remember
As fucked up as it all may seem
The consequences that are rendered
I've stretched myself beyond my means
And it's been awhile
Since I could say that I wasn't addicted
And it's been awhile
Since I could say I love myself as well
And it's been awhile
Since I've gone and fucked things up just like I always do
And it's been awhile
But all that shit seems to disappear when I'm with you
And everything I can't remember
As fucked up as it all may seem
The consequences that I've rendered
I've gone and fucked things up again, again
Why must I feel this way?
Just make this go away
Just one more peaceful day
And it's been awhile
Since I could look at myself straight
And it's been awhile
Since I said I'm sorry
And it's been awhile
Since I've seen the way the candles light your face
And it's been awhile
But I can still remember just the way you taste
And everything I can't remember
As fucked up as it all may seem to be I know it's me
I cannot blame this on my father
He did the best he could for me
And it's been awhile
Since I could hold my head up high
And it's been awhile
Since I said I'm sorry
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:28
jiyanq dan 61 lainnya memberi reputasi
62
Kutip
Balas
Tutup