- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sibli.lpu dan 215 lainnya memberi reputasi
212
298.1K
Kutip
2.3K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#930
#71 - The Perfectionist
Spoiler for #71 - The Perfectionist:
Dengan sebatang rokok ditangan dan gelas berisi kopi dalam genggaman tangan yang sama, menatap kosong ke arah mesin cuci yang bergetar hebat, tanda mode mengeringkan hampir saja selesai. ‘Ctek!’ Kenop timer pada bagian atas mesin berbunyi, menandakan proses pengeringan selesai. Gua menghisap rokok dalam-dalam sebelum mengeluarkan pakaian dari dalam tabung pengering.
Ponsel gua berdering, suaranya bersahutan dengan kumandang azan subuh yang terdengar saling bersahut-sahutan. Gua menggeser layar, mengaktifkan mode pelantang suara, meletakkannya tepat di atas ember terbalik yang berada tepat disis mesin cuci.
Suara Rossi menyambut gua. Suaranya terdengar pelan, dan seperti tengah tak berdaya. Mungkin ia baru bangun tidur atau bahkan belum tidur.
“Je…”Sapanya dari ujung sana.
“Ya…”
“Kok lo nggak cerita?” Tanyanya.
Gua tentu saja langsung paham tentang apa yang dimaksud oleh Rossi. Ia pastilah baru diberitahu oleh Salsa tentang proses investasi dan akuisisi tanpa melibatkan dirinya.
“Rencananya hari ini gua baru mau cerita…” Jawab gua.
“Yaudah, hari ini jelasin semuanya ke gue. Semuanya ya…”
“Iya…”
“Gua ketempat lo ntar…”
“Jam berapa?”
“Jam tujuh…”
“What?! Pagi amat, ini gua belum kelar nyuci…”
“Ya kelarin. Lagian CEO mana sih yang masih nyuci sendiri?”
“Gua!”
Selesai bicara gua begitu terkejut saat menyadari ada sosok yang tiba-tiba berdiri tepat di sebelah gua; Reni.
“Astaga! Lo ngapain?” Tanya gua sambil mundur beberapa langkah saking terkejutnya.
Reni mendekat, lalu merebut pakaian dari tangan gua; pakaian yang baru saja selesai gua keringkan. “Udah sana, abang siapin sarapan buat Anggi. Sini Reni yang lanjutin…” Ucapnya.
Gua terdiam. Lalu teringat akan ucapan Lady kala itu; ‘Gua harus belajar berbagi beban’. Dalam hal ini tentu saja membagi beban ke Reni.
“Yaudah, thank you ya…” Gua mengusap kepalanya kemudian pergi ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Anggi.
Sebelum bersiap untuk membuat sarapan. Gua menghubungi Aldina, untuk memberinya kabar tentang Rossi yang sudah tau perkara investasi dan akuisisi. “Meeting pagi ini, bisa?” Tanya gua.
“Bisa…” Jawabnya singkat.
—
Gua memberi kabar ke Lady saat tengah menunggu ojek online yang baru saja selesai gua pesan.
‘Gua jalan ke kantor’ isi dari chat yang gua kirim ke Lady.
Nggak berselang lama, ponsel berdering, layarnya menampilkan nama beserta foto Lady; “Halo…” Sapa gua.
“Ngapain? pagi-pagi?” Lady langsung bertanya tanpa berbasa-basi.
“Meeting..”
“Meeting sama siapa?”
“Rossi…” Gua menjawab singkat.
“Tunggu, bareng aja. Gue jemput…” Lady bicara.
“Nggak usah, ini gua udah pesen ojek online…” Gua menjawab, bersamaan dengan pengemudi ojek online yang baru saja tiba di depan rumah dan membunyikan klakson motornya.
Nggak sampai satu jam berikutnya, gua sudah tiba di gedung kantor. Dan langsung bergegas naik ke atas.
Ruang kerja terlihat kosong dan lengang, hanya terlihat dua-tiga karyawan yang mungkin sengaja datang lebih pagi untuk menghindari kemacetan.
Ponsel gua berdering, nama Aldina muncul di layarnya.
“Mmm…”
“Gue di depan..”
“Yaudah masuk aja…” Ucap gua.
“Nggak bisa! nggak ada aksesnya” Jawabnya.
Gua menepuk dahi, teringat kalau staff resepsionis belum hadir, jadi nggak ada yang bisa membukakan akses untuknya.
“Tunggu…” Gua bicara lalu berbalik dan bergegas menjemputnya di pintu masuk.
Gua menekan tombol akses di sisi pintu, menimbulkan bunyi ‘Beep’ singkat. Gua membuka pintu dan mendapati Aldina sudah berdiri, ia mengintip dari kacamata hitamnya yang turun.
Tanpa ucapan, ia lalu mengikuti langkah gua menyusuri lorong, melintasi ruang kerja yang masing lengang, menuju ke ruang meeting di sudut ruangan. Di dalam ruangan terlihat Rossi sudah duduk, melipat kedua tangannya di dada, sambil sesekali menyeruput kopi.
“Morning...” Sapanya.
“Morning…” Aldina membalas sapaan Rossi, lalu duduk di salah satu kursi.
Gua menyusul duduk disebelahnya.
Rossi langsung buka suara; menagih penjelasan.
Gua membuka laptop dan mulai menjelaskan skema yang akan kami jalankan untuk mengakuisisi perusahaan. Disisi lain, Rossi menyimak sambil sesekali menganggukkan kepala. Ada sedikit senyuman di wajahnya saat mendengar penjelasan dari gua. Rossi meletakkan kedua sikunya di atas meja, sementara telapak tangannya ia gunakan untuk menopang dagunya.
“Well, sekarang ini posisi lo ada dimana?” Tanya Rossi ke gua, memotong penjelasan gua.
“On your side…” Jawab gua. Merasa kalau saat ini gua lebih condong ada di pihak calon penerima funding, bukan sebagai investor.
“Ya berarti bukan lo yang harus ngasih penjelasan…” Ucap Rossi.
Gua lalu menoleh, berpaling ke arah Aldina yang langsung menegakkan duduknya. Tanpa pembukaan; Aldina langsung melanjutkan penjelasan gua yang sempat tertunda. Ia bicara seakan semuanya berada di kepalanya, tanpa keraguan, penuh keyakinan. Dengan gaya presentasi yang seperti ini, gua yakin siapapun orang dihadapannya akan luluh.
Selesai Aldina memberi penjelasan, Rossi mulai bertanya tentang semua hal. Pro dan kontranya, untung dan ruginya dan hal-hal kecil lain yang nggak mau sama sekali ia lewatkan.
Saat tengah berdiskusi, mata gua teralih pada sosok yang berdiri tepat di depan pintu kaca ruang meeting; Lady. Sepertinya ia nggak punya cukup nyali untuk ‘menerobos’ masuk ke dalam ruang meeting tanpa tau agendanya. Namun, ia juga merasa ingin mendapat perhatian dari gua sesegera mungkin. Terbukti dari sikapnya yang kini malah bersandar pada dinding; pasang gesture menunggu dan kebosanan.
“Sorry, bentar…” Gua bicara ke Rossi dan Aldina, lalu berdiri, keluar dari ruang meeting dan mendekat ke arah Lady.
“Wait, Lad… ntar gua jelasin ke elo..” Ucap gua.
“Yaudah lo lanjut aja. Biarin gue tunggu disini…” Jawab Lady. Ekspresi wajahnya terlihat kesal dan sedikit kecewa. Mungkin ia masih belum menerima kalau Aldina berada disini, bersama gua.
“Ya gua nggak bisa konsentrasi kalo lo terus ada di pandangan gua…” Gua bicara.
Lady lalu menghentakkan kaki di lantai, kemudian bergegas pergi ke arah meja kerjanya. Sementara gua langsung masuk ke dalam ruangan, melanjutkan diskusi.
“So dari gue oke sih, berarti ini udah urusan kalian berdua as an investor dan penerima funding. Nanti baru balik ke gua lagi untuk urusan legalitas ya…” Ucap Rossi.
Setelah berbincang sebentar, Rossi lalu berpamitan dan pergi. Sementara, Aldina juga melakukan hal yang sama. Sambil membereskan laptopnya, ia bertanya; “Mau makan siang bareng?”
“Gua mau makan sama Lady…” Jawab gua seraya berpaling dan menoleh ke belakang, ke arah meja dimana Lady berada.
“Yaudah gue ikut…” Jawab Aldina.
“Jangan…”
“Ck…” Ia lalu bergegas keluar dari ruang meeting dan pergi.
Nggak lama berselang, Lady masuk ke dalam ruang meeting, ia langsung menutup pintu, menekan tombol untuk memburamkan kaca ruangan agar nggak terlihat dari luar dan mendekat.
Gua mengabaikan semua tindakannya barusan dan bertanya;“Mau makan nggak?”
Bukannya menjawab tawaran gua, Lady justru balik bertanya; “Kenapa gue nggak di ajak?”
Gua berpaling, menatap ke arahnya dan tersenyum, kemudian kembali mengajukan pertanyaan yang sama; “Mau makan nggak?”
Kali ini ia nggak langsung merespon. Hanya terdiam, sesaat kemudian barulah ia mengangguk pelan; setuju dengan ajakan gua.
Saat kami tengah bersiap turun ke bawah untuk makan siang, terlihat Aldina berdiri, bersandar pada dinding. Entah sedang menunggu lift atau sengaja menunggu kami berdua.
Aldina menawarkan kami untuk makan bersama, sementara Lady berkeras menolak. Ya walaupun pada akhirnya keduanya setuju untuk makan siang bersama, namun perdebatan kembali terjadi. Kini yang jadi bahan perdebatan adalah; tempat makan. Keduanya sama-sama nggak sepakat perihal lokasi makan siang, akhirnya gua memutuskan sendiri; Makan di resto yang bukan pilihan Lady maupun Aldina
Dari sudut pandang gua, Aldina dan Lady sama-sama tipikal ‘Alpha’, ‘Dominator’, yang nggak bisa dan nggak mau kalah satu sama lain. Ingin selalu menjadi si pemilik kuasa, nggak suka jadi yang inferior. Jadi, kalau keduanya bertemu, sudah pasti terjadi ‘percikan’ yang mungkin saja disebabkan hal sepele; memilih tempat makan seperti tadi contohnya.
Dan, jauh, jauh di sudut hati gua yang terdalam gua sungguh nggak mau mereka terus-terusan bertemu seperti ini. Aldina, walaupun tampak tegar, gua yakin, disudut hatinya yang terdalam masih terselip rasa sakit akibat kehilangan yang luar biasa. Di sisi lain, menjadi Lady juga bukan perkara gampang; menahan rasa cemburu yang suatu saat nanti mungkin bisa pecah dan membuncah.
Tapi saat ini, hampir nggak ada yang bisa gua lakukan.
—
Sepulangnya dari kantor, gua berencana untuk bertemu dengan Solichin alias ‘Ableh’, suami Desi yang juga sekaligus adik dari Salsa. Tadi, saat makan siang, gua sempat menghubunginya. Dan ia setuju bertemu malam ini untuk membahas pendekatan kami dengan Desi.
“Ntar malem aja, gue free kok…” Ucap Ableh sewaktu gua menanyakan ketersediaan waktunya.
Akhirnya gua dan Ableh sepakat untuk bertemu di salah satu Mall di bilangan Bintaro; lokasi yang nggak begitu jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
Biar gua ceritakan sedikit tentang sosok pria bernama Ableh ini.
Pertama kali gua bertemu dengan cowok eksentrik yang tajir melintir dan punya kecenderungan OCD ini adalah saat gua bekerja sambil menjalani kuliah S2 gua di Kanada. Saat itu, sebenarnya gua sudah membuat janji temu dengan Desi di salah satu cafe yang berlokasi nggak begitu jauh dari kantor. Saat itu, Desi merupakan salah satu teman kuliah gua yang sama-sama berasal dari Indonesia, atau mungkin bisa dibilang, satu-satunya teman kuliah dari Indonesia.
Gua duduk di salah satu meja cafe yang terletak di beranda, persis bersisian dengan jalan kecil yang biasa dilalui pejalan kaki jika ingin menuju ke dermaga. Sambil merokok, ditemani sebatang rokok, gua menunggu Desi. Namun, hampir setengah jam berlalu, yang ditunggu nggak kunjung datang.
Nggak lama, seorang pria dengan kaos polo shirt, celana pendek dan sandal jepit datang menghampiri gua. Dengan tangannya yang penuh tato, ia menepuk pelan lengan gua; “Mas Jeje?” Tanyanya sambil tersenyum.
“Iya…” Jawab gua ragu, seraya menatapnya dari atas ke bawah. Mencoba mengingat, siapa sosok di hadapan gua ini.
“Gue Solichin. Panggil aja Ableh. Gue suaminya Desi.. Desita..” Ucapnya masih sambil tersenyum.
“Oh… Hai” Sapa gua, lalu berdiri dan menjawab tangannya.
“Sorry, Desi nya lagi ada perlu sebentar. Jadi, gue kesini buat ngabarin elo…” Ucapnya.
“Oh.. Kenapa nggak telpon atau SMS aja. Pake repot-repot nyamperin?” Tanya gua.
Ableh lalu menunjuk kursi kosong di hadapan gua, seraya meminta izin untuk duduk; “May I?”
Gua mengangguk. Ia lalu duduk, mengeluarkan bungkusan rokok filter khas Indonesia ke atas meja, meraih sebatang dan mulai menyulutnya. Yang cukup unik dari dirinya adalah, Ableh sempat menata bungkusan rokok dan korek apa yang ia letakkan di atas meja. Kini, kedua barang tersebut terlihat rapi dan sejajar.
“Menurut Desi, gue harus ketemu sama elo. Katanya si Jeje ini, bisa jadi temen ngobrol buat gue…” Ableh lalu mengungkap alasan kenapa ia harus datang kesini.
Gua langsung tertawa begitu mendengar alasan darinya. Sungguh terdengar seperti alasan yang dibuat-buat, sebuah alasan untuk menghindari judgment ‘Suka telat’ dari gua.
“Oh ya? Let's hear your story then..” Ucap gua.
Ableh lalu terdiam, wajah dan ekspresinya terlihat serius, sesaat kemudian tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang merubah cara gua memandang dirinya.
“Binatang, binatang apa yang terdapat tiga huruf ‘E’ di namanya?”
Gua langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar pertanyaan tebakan darinya. Ini semacam tes atau gimana? apa dia mempertanyakan intelegensia gua.
“What!?”
“Binatang, binatang apa yang terdapat tiga huruf ‘E’ di namanya?” Ableh mengulang tebakannya.
Gua berpikir sejenak, lalu menjawab; “Hmmm.. Nggak ada kayaknya”
“Ada..”
“Apa?”
“Kodok…”
“Hah, kok kodok…”
Ableh lalu menarik nafas dan mulai bernyanyi, sebuah potongan lagu dari Benyamin Sueb; “Sang kodok, e, e, e sang kodok, Kenape elu, elu kerak-kerok...”
Gua sebisa mungkin menahan tawa dengan menutupi mulut menggunakan telapak tangan. Namun, usaha gua sia-sia. Gua mulai melepas telapak tangan yang menutupi mulut dan tertawa terbahak-bahak.
Selanjutnya, kami mulai ngobrol, ngalor-ngidul. Tentang hidup, tentang pekerjaan, tentang Indonesia dan tentang hal-hal remeh lainnya. Sesekali, Ableh kedapatan memperbaiki posisi rokok, korek api atau gelas kopi miliknya yang bergeser akibat tersentuh.
“Lo OCD?” Tanya gua.
“Hah, nggak tau deh… gue gatel aja ngeliatnya..”
“Wow…”
“Dulu sebelum gue ketemu Desita, lebih parah lagi, gue sama sekali nggak bisa ngeliat semua yang nggak teratur, bawaannya pengen gue rapihin aja…”
“Terus kenapa bisa berubah pas ketemu Desi?” Tanya gua.
“Dia cewek yang berkebalikan dari gue. Nggak ada aturan, hidupnya bebas. Dan karena gue sayang sama dia, gue berusaha untuk memahaminya, berusaha beradaptasi dengan dirinya…”
“Dan kayaknya nggak 100% berhasil?”
“Memang, karena disisi lain, Desita ternyata juga melakukan hal yang sama, berusaha beradaptasi dengan sikap gue…” Ucapnya.
Gua terdiam.
‘Pasangan macam apa ini? kok bisa-bisanya keduanya sama-sama saling mengerti, keduanya sama-sama mencoba beradaptasi?’ batin gua dalam hati.
Selanjutnya, setelah pertemuan pertama itu. Kami seringkali bertemu saat ada waktu senggang. Atau setidaknya saling bertukar kabar melalui pesan singkat. Kadang, ia hanya mengirimi gua sebuah tebakan.
Kini, pria tersebut terlihat duduk di salah satu kursi di beranda coffee shop. Begitu melihat kedatangan gua bersama Lady, ia tersenyum dan melambaikan tangan, memberi tahu keberadaannya.
Ia terlihat nggak jauh berbeda dengan saat kami terakhir bertemu. Tentu saja mengesampingkan jumlah tatonya yang kini bertambah banyak. Gua lalu memperkenalkan Lady ke Ableh dan mulai berbincang, saling bertanya kabar.
Setelah cukup berbasa-basi, gua mulai mengungkapkan rencana kami tentang niatan untuk mempertahankan Desi sebagai bagian dari perusahaan, in case Salsa ‘pergi’ bersama dengan investasinya.. Ableh, mendengarkan dengan seksama sambil mengetuk-ngetuk ujung jarinya ke meja, sementara matanya sesekali ia pejamkan, seperti tengah membayangkan sesuatu.
Ableh lalu menyeruput kopi hitam miliknya, meletakkannya sejajar dengan bungkusan rokok dan korek di atas meja.
“Lo udah ngomong sama orangnya?” Tanya Ableh, merujuk ke Desi.
“Belum… Karena kita juga belum tau langkah apa yang bakal diambil kakak lo…”
“Hmmm… You know what Je? Desi tuh terlalu cerdas buat diarahkan…”
“I know…”
“But, kalo rencana yang lo jelasin tadi bener-bener works, gue rasa, lo, gue, kita, nggak usah capek-capek membujuk dia deh…”
“Yakin?” Tanya gua, ragu.
“100%...” Jawab Ableh.
Lalu tiba-tiba, Lady menggeser kursinya mendekat dan angkat bicara; “So, Sorry to jump in… Tapi kak, gue mau tanya deh. Plan kita ini, bakal bikin Kak Salsa tersinggung nggak?”
“Well… Tersinggung sih nggak. Tapi, kalau marah sudah pasti…”
“Wah, gawat dong…”
“Gawat lah…”
“...”
“Hidup sama Salsa tuh cuma ada dua kemungkinan; Hidup lo jadi nyaman atau hidup lo jadi hancur karena dia. Dan kayaknya lo udah choose a side ya?…” Jawab Ableh.
“Duh, Je…” Lady menggumam pelan seraya menarik ujung kaos yang gua kenakan, wajahnya terlihat khawatir.
Seakan mampu membaca kekhawatiran pada wajah Lady, Ableh lalu melanjutkan bicaranya; “Tapi jangan khawatir. Lo kayaknya punya sesuatu yang bikin Salsa nggak bakal melakukan hal buruk ke elo deh…” Ucap Ableh sambil tersenyum.
“Anggi?” Lady menggumam pelan.
Gua mengangguk, setuju dengan ucapan Lady.
Salsa begitu jatuh hati dengan Anggi. Saat gua menitipkannya sebentar untuk mengurus masalah gua dengan Aldina saat itu, walau hanya sebentar, tapi sepertinya Anggi berhasil meluluhkan hati Salsa yang biasanya keras.
Menurut Ableh, Salsa nggak mungkin sampai hati untuk ‘menghancurkan’ gua. Yang mana artinya itu juga bisa berdampak ke Anggi, walau nggak secara langsung.
Tapi, gua nggak terbiasa dengan ‘pemberian’. Gua harus bersiap, apapun itu. Persiapan dan rencana yang matang nggak bakal mengkhianati hasil.
—
Boomerang - Bawalah Aku
kuberlari-lari
di atas langit biru
hangat mentari
ramah memelukku
kusapa sang angin
yang belai rambutku
basuhkan peluh
keringat di tubuhku
batasmu yang tak pernah habis janganlah habis
selalu timbulkan sejuk di mataku
misteri yang kau simpan
debarkan jantungku
biarkan aku dalam dekapanmu
reff #
ooh… bawalah aku
selalu ke langit biru
tinggalkan aku di sini
biarkan aku nikmati
belaian mesra mentari
hangatkan jiwaku ini
kan kuc-mbu indah wajahmu
puaskan rasa hatiku
reff.
biarkan aku bernyanyi
di langit biru… wow… oh
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:30
jiyanq dan 63 lainnya memberi reputasi
64
Kutip
Balas
Tutup