Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:



KKN Di Dusun Kalimati

Quote:


Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.

Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.

Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.








INDEKS

Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah



Quote:


Quote:


Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.

Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.

Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).

INDEKS

Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end





Quote:


Quote:



INDEKS

Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang

Konten Sensitif


Quote:

Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.

INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu



Quote:


Quote:


INDEKS

part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 14:46
ferist123
kemintil98
arieaduh
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
19.6K
306
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
#185
11. Eyang Prabumulih
Sebuah rumah bercat merah maroon, kini menjadi target kami. Aku dan Radit masuk dan mengetuk pintu. Seorang wanita patuh baya, muncul. Wanita berambut ikal itu seperti terkejut akan kedatangan kami berdua. "Eh, Radit. Tumben ke sini, " sapa wanita itu, yang tidak lain adalah mantan isteri Papanya. Aku sangat yakin itu. Menurut penuturan Radit mereka hanya tinggal berdua saja di rumah, apalagi dengan langsung mengenali Radit, aku bisa langsung menebaknya. Radit juga menatap wanita itu sinis. Aku menyenggolnya dengan siku, dia yang awalnya hanya diam saja, tidak menanggapi kini mulai bereaksi.

"Iya, tante. Tadi nggak sengaja lewat, terus mampir deh. Kak Fendi di rumah?" tanya Radit basa basi sambil menyapu pandang ke ruang tamu.

"Baru aja sampai, lagi makan tuh. Ayok masuk, makan sekalian, " ajak wanita itu. Sikapnya agak gugup dan kurang nyaman. Itu terlihat jelas sekali.

"Nggak usah repot- repot tante, kami ...."

Aku kembali menyikut Radit lalu melotot mengisyaratkan sesuatu.

"Tante masak apa? Kebetulan Aretha lapar, hehe," tukas ku sambil memegangi perut.

Mendengar hal itu Radit melotot lalu mengikuti saja permainan ku.

"Oh ini yang namanya Aretha? Fendi sering cerita, bener-bener cantik ya," ucap Mama Fendi lalu menggandeng ku masuk ke dalam. Beberapa pigura sempat menyita perhatian kami. Ada foto Mama Fendi dan Fendi terpampang di sana. Ada satu foto yang benar - benar membuat kami mengernyitkan kening. Mama Fendi, Fendi dan seorang pria yang seumuran dengan Fendi. Wajahnya memang hampir mirip Fendi. Aku dan Radit saling lempar pandang. Sampai di ruang makan, Fendi yang sedang makan, agak terkejut melihat kedatangan ku dan Radit. Ia segera beranjak dan menarik sebuah kursi di sampingnya.

"Aretha? Duduk, Tha," ucapnya dengan ramah. Sikapnya sering berubah - ubah. Ia bisa menjadi sosok yang ramah dan santun, tapi dalam beberapa detik, ia bisa menjadi sosok yang mengerikan. Terbukti, kan?

Aku yang kurang nyaman, berkali-kali melihat ke arah Radit. Radit memberikan isyarat, dengan mengerdipkan matanya, agar aku bisa lebih tenang.

Kami makan bersama diiringi obrolan santai. Fendi terlihat mencoba ramah dengan Radit. Walau terlihat sekali Radit selalu mengelak dan bersikap acuh padanya.

"Ah iya, Aretha. Mumpung kamu ada di rumahku, yuk, aku tunjukin buku yang kemarin aku mau pinjemin."

Fendi langsung saja menggandeng tanganku. Sedangkan Radit hanya mengatupkan rahang, dengan wajah yang sangat tidak suka melihatku di gandeng Fendi. Tapi, ia terus menahannya. Aku dan Fendi berjalan ke sebuah kamar. Kamarnya cukup luas, dengan sebuah rak buku yang cukup besar. Fendi sangat gembira melihat aku ada di rumahnya. Matanya terus berbinar dengan senyum mengembang. Ia terus memberikan beberapa koleksi buku miliknya sambil menceritakan isi buku buku itu. Mataku malah mencari sesuatu yang lain di kamar ini. Hingga, aku menatap lurus ke sebuah buku di meja belajar. Sebuah buku sketsa, tertulis nama Fendi Gunawan dibubuhi tanda tangan. Radit juga bilang kalau Fendi asli sangat suka melukis. Dan lukisannya sangat bagus.

"Kak, aku boleh minta minum? Sambil cari buku yang mau aku pinjem, aku haus, " kataku sedikit memohon.

"Oh, oke. Sebentar ya."

Fendi pergi ke luar kamar. Setelah dirasa keadaan aman. Aku segera mengambil buku itu. Dan terus membuka buku itu, semua hasil lukisan tangan Fendi. Rupanya benar kalau Fendi pintar melukis. Ada beberapa sketsa wajah, disertai nama pemilik wajahnya. Papanya, Mamanya, Radit, dan wajah seorang pria yang memang mirip dirinya, Ferdi. Aku berpikir keras, siapa Ferdi ini.

Hingga tercium bau harum di kamar, sosok Ferdi muncul. Aku menatap lukisan di tanganku lalu beralih ke sosok itu.

"Dia, Ferdi, sepupuku. Ferdi, lah, yang sekarang menjadi diriku."

Kalimat Fendi benar - benar mengejutkanku.

"Tapi, wajahnya ... Wajah kalian, sama!" gumamku dengan membandingkan sketsa wajah di tanganku dengan sosok Fendi yang berdiri tak jauh dariku.

"Dia mengoperasi wajahnya agar mirip denganku. Mereka mau mengambil harta Papaku, mereka licik!" kata Fendi dengan menahan amarah.

"Jadi, dia Ferdi?" pertanyaanku terlontar begitu saja, tanpa mengetahui kalau Ferdi sudah ada di belakangku.

"Jadi kamu sudah tau, Aretha?"

Suara itu mampu menggetarkan hati ku. Tubuhku bergetar hebat. Aku berbalik perlahan. Ferdi menutup pintu lalu menguncinya. Ia menyeringai dengan seringai yang menakutkan. Perlahan Ferdi mendekatiku. Aku beringsut mundur. Entah kenapa kini aku ketakutan. Keinginan untuk menendang manusia di depanku ini seolah terkubur dengan ketakutanku.

"Kamu jahat!"

"Aku jahat? Oh, tidak, Aretha! Aku cuma disuruh, justru Mama Fendi yang jahat. Dia gila harta!" tutur Ferdi.

Aku melirik ke arah Fendi yang terus menatap Ferdi tajam.

"Toloooong! Radiiiiit!" jeritku spontan.

"Heh! Diam!!" Ferdi makin marah, lalu mendekati ku dan membungkam mulutnya. Rambutku dijambak kasar. Aku menggigit tangan Ferdi lalu menginjak kakinya. Ia mengerang kesakitan, selagi cengkeraman Ferdi terlepas, Aku segera berlari ke arah pintu. Dengan gusar aku berusaha membuka pintu. Namun, tiba-tiba tangan Ferdi kembali menjambak rambutku, lalu mendorongku kasar hingga menghantam lemari.

"Augh!" aku mengerang. Tubuhku makin melemah. Ferdi kembali mendekat, tapi, tiba-tiba beberapa pigura serta pajangan jatuh berhamburan bahkan ada yang terlempar ke arahnya.

"Aretha!! Aretha!!"

Suara Radit terdengar dari luar pintu. Ia berusaha mendobrak pintu itu. Suara Kak Arden dan yang lainnya juga terdengar jelas. Merasa dirinya terpojok, Ferdi berusaha kabur lewat jendela.

"Ah, sial! Kenapa susah dibuka sih!" umpatnya kesal.

Braaak!

Pintu berhasil dibuka dengan paksa. Mereka merangsek masuk ke dalam dan langsung menarik Ferdi hingga tersungkur ke lantai. Radit mendekat lalu tanpa tendeng aling-aling langsung memukul Ferdi dengan membabi buta.

"Ini buat Fendi!"

Pukulan mendarat ke pipi kanan.

"Ini buat Aretha!"

Berganti ke pipi kiri.

Perut pun berkali-kali dipukulnya dengan keras. Kak Arden berusaha melerai Radit, dibantu yang lain.

"Udah, Dit! Udah! Biar polisi aja yang ngurus!" cetus Dion sambil menepuk nepuk wajah Radit.

"Mending elu cek Aretha, biar orang ini kita yang urus!" kata Danu menambahkan.

Aku sudah terduduk dengan kondisi lemah, Kiki menyodorkan segelas air minum padaku. Radit yang awalnya bersikeras ingin memukul Ferdi terus menerus, lalu mendekat padaku setelah dibujuk oleh Kak Arden.

"Aretha? Kamu nggak apa-apa, Sayang?" cetus Radit dengan panik.

"Uhuk! Sayang?" sahut Kiki sambil terkekeh pelan.

Tapi, Radit tak menghiraukan ocehan Kiki. Malah langsung membopongku, ke luar dari kamar itu. Di ruang tamu sudah ada Mama Fendi yang menangis, dengan pengawasan Dedi dan Ari. "Aretha kenapa?" tanya mereka cemas.

Radit tak menjawab, malah terus membawaku ke luar menuju mobilnya. Kiki membiarkan kami berdua pergi. Karena ia yakin, Radit pasti akan menjaga ku dengan baik.


Pagi ini aku masih malas-malasan di atas ranjang dengan mendengarkan musik di ponselku. Aku baru selesai salat subuh dan rasanya masih enggan untuk beranjak. Lagi pula di luar masih agak gelap.

Tiba-tiba pintu kamarku dibuka. Kak Arden muncul dari balik pintu, menatapku dingin dengan sudah memakai seragam sekolah. Dia terlihat sudah rapi dan siap sekarang. Padahal baru pukul 05.30 pagi.

"Ya ampun, ini anak sebiji. Masih santai aja. Nggak sekolah? Mandi gih, aku tinggal nanti nih," ancam Kak Arden.

"Iya kak. Baru juga jam segini. Lagian kakak yang kepagian. Jam di kamar kakak mati?" tanyaku masih  santai.

"Ta ... Kakak mau berangkat pagi nih, ada urusan OSIS." Kak Arden lalu masuk dan membopongku ke kamar mandi di kamar. Tidak peduli jeritanku yang menolak untuk mandi sepagi ini.

"Udah jangan bawel. Mandi situ. 10 menit harus udah selesai!! Awas kalo lama. Kakak tinggal!" ancam nya benar benar serius.

Aku mengerucutkan bibir dan pasrah pada ucapan Kak Arden itu. Dia lalu keluar kamar mandi dan menutup nya.

Alhasil aku mandi dengan cara cepat. Terlebih suasana sepagi ini sangat dingin. Pemanas air di kamar mandi ku sedang rusak. Air dingin ini yang menyentuh kulit tubuhku, membuatku menggigil. Aku bahkan sampai gemetaran sambil meraih piyama mandi.

Kini aku sudah siap memakai seragam sekolah dan akan menikmati sarapanku. Di meja makan semua sudah berkumpul. Ayah juga akan berangkat kerja hari ini. Sementara Bunda akan pergi ke rumah Pak de.
Baru segigit roti tawar yang masuk ke mulutku, Kak Arden memakai tasnya dan menarik tanganku.

"Yuk, berangkat."

"Buset! Aku belum selesai, Kak," gerutuku.
Bunda hanya geleng geleng melihat kami. "Bun, berangkat, assalamualaikum," kata Kak Arden mencium punggung tangan Bunda dan Ayah. Aku pun mengikuti apa yang dia lakukan. Ini memang kebiasaan kami setiap akan pergi ke mana pun. Dan merupakan Kegiatan rutin kami setiap pagi.
Aku akhirnya makan roti tawarku di jalan, sambil menggerutu sebal sekaligus heran, kenapa Kak Arden sangat buru-buru pagi ini. Biasanya kami berangkat setengah jam lagi. Bahkan jalanan masih sangat lenggang sekarang. Kabut tipis masih dapat kurasakan menerpa wajahku. Karena kaca helm tidak kututup dan membiarkannya terbuka, agar udara pagi terasa meresap ke pori-pori wajahku.

Sampai di sekolah, setelah mematikan mesin motor, Kak Arden langsung pergi.
"Kakak duluan. Dah." Dia mengecup pucuk keningku, dan pergi begitu saja. Meninggalkanku yang masih melongo atas sikapnya pagi ini

"Kesambet setan mana itu, ya?" batinku.

"Tha!!" panggil Radit yang ternyata sudah ada di belakangku. Aku yang tidak menyadari keberadaannya karena terlalu asyik berdiskusi dengan diri sendiri tentang keanehan Kak Arden, lantas menoleh. Dia sudah berdiri di belakangku dengan jarak cukup dekat.

"Eh, Dit. Baru berangkat juga?" tanyaku basa basi.

"Iya, si Arden kenapa buru buru gitu?" tanya Radit heran sambil melihat ke arah sudut Kak Arden menghilang.

"Nggak tau tuh. Aku aja belum sarapan udah di seret gitu aja. Ngeselin, kan? Mana pagi buta aku udah di bopong masuk kamar mandi. Kan masih dingin banget," gerutuku.

"Ya udah, yuk kita sarapan," ajaknya dengan langsung menggandeng tanganku.
Dan aneh nya, aku mau saja digandeng begitu.

Sampai di kantin Radit masih menggandengku, dan kami duduk di meja yang masih kosong.
"Mau sarapan apa?" tanyanya dengan mendekatkan wajahnya satu jengkal dekat padaku.

"Eum ... Apa ya," sahutku bingung.
Tambah grogi juga sebenarnya. Rasanya setiap aku berada di dekat Radit, maka akan ada perubahan aneh di tubuhku. Jantungku makin berdegup cepat, tanganku gemetaran, panas dingin tidak karuan.

"Gimana kalau mie goreng aja? Kamu suka, kan?" tanya Radit sambil melihat papan menu yang ditempel di dinding kantin.

"Kamu tau dari mana aku suka mie goreng?" tanyaku heran.

"Tau lah. Bentar, ya." Dia lalu beranjak dan segera memesan makanan.

Tak lama kembali lagi dengan segelas susu coklat hangat.
"Minum dulu, sambil nunggu makanan dateng," ucapnya antusias. Dia terus saja tersenyum. Membuatku merasa aneh melihatnya. "Loh kamu mana?" tanyaku mencoba mencairkan kegugupanku sendiri.

"Aku udah sarapan kok."

Saat menikmati susu cokelat hangat milikku, Doni dan Kiki datang
"Cie ... Udah nangkring di sini aja. Ehem," ledek Kiki lalu langsung duduk di sampingku. Sementara Doni duduk di samping Radit.

"Kenapa? Nggak boleh? Laper!"
Makanan datang, aku langsung makan tanpa basa basi lagi. Tak mengurusi ejekan dua makhluk menyebalkan ini. Lagi pula aku takut bel masuk berdering sebelum aku menghabiskan semua makanan ini.

Suara ramai terdengar memasuki pintu kantin. Rupanya datang lagi Dedi dan Ari. Mereka langsung menempatkan diri duduk di meja tempat kami duduk.

"Dion sama Danu ke mana?" tanyaku ke Kiki, karena hanya mereka berdua yang belum datang. Kalau Kak Arden aku sudah tau sedang ada di mana.

"Ngurusin OSIS kayak Arden," sahut Kiki santai. Aku sampai lupa kalau mereka juga pengurus OSIS inti.

Saat kami asyik ngobrol, tiba-tiba ada teriakan yang membuat kami diam sambil mengerutkan dahi. Lalu menoleh dan menyapu pandang ke sekitar. Di luar kantin terlihat banyak orang berlarian. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.

"Ada apa, ya?" tanya Kiki sambil menggumam pelan. Netranya terus menatap orang-orang di luar sana.

Radit berdiri lalu keluar kantin dan menarik satu orang yang terlihat histeris.
"Ada apa sih?" tanya Radit.

"Ada yang kesurupan. Di aula!" jawabnya. Tangan Radit merenggang setelah mendapat penjelasan itu. Dia lantas menoleh ke arahku. "Aula, lagi?" tanyaku dalam hati.

Kami lalu pergi ke aula sekolah.
Dan benar saja, di sana ramai sekali yang kesurupan. Di antara kerumunan di dalam, aku melihat Kak Arden yang ada di antara mereka.

Dia sedang mencoba menolong dengan beberapa orang yang kutau adalah anggota ROHIS sekolah. Tapi kondisi Kak Arden cukup mengkhawatirkan. Mungkin karena banyaknya orang yang kesurupan di sini. Melihat hal itu, aku langsung menerobos masuk kedalam.
"Ta! Aretha!" jerit Radit. Yang tidak kuperdulikan. Yang kutau, aku harus mendekat ke Kak Arden. Tenaganya sudah terkuras habis.

Sampai dekat Kak Arden, aku langsung memeluknya, tepat saat tubuh Kak Arden hampir jatuh.

Kak Arden terlalu lelah, tenaga nya terkuras banyak karena membantu korban kesurupan di sini. Aku saja hampir rubuh jika saja Radit tidak memegang ku.

"Sini ku bantu," ucap Radit lalu memapah Kak Arden ke pinggiran aula.

Aku mengenggam tangan Kak Arden. Badannya sudah sangat panas. Aku khawatir sekali.

"Dek, kamu bantu mereka aja," ucapnya dengan napas yang pendek-pendek.

"Enggak! Kakak lebih penting. Aku pastiin dulu kakak baik-baik aja. Baru aku bantu yang lain," kataku kesal.
Radit tidak berani berkomentar, hanya menatap kami berdua bergantian.

Sekitar beberapa menit berlalu, Kak Arden mulai kembali normal.
"Yuk, Bantu mereka, dek," ajak Kak Arden.

Di aula ini, ada banyak yang kesurupan, dan beberapa siswa yang bisa menangani kesurupan, ikut membantu. Atau hanya memegangi temannya saja, agar tidak lepas kendali. Para guru juga hampir semua ada di sini.

Aku dan Kak Arden menolong satu persatu dari korban di sana.
Beberapa berhasil dengan mudah disadarkan, namun ada juga yang sulit.

Radit yang terus mengekor pada ku juga ikut membantu.
Namun, aku berhenti sebentar lalu menatap Radit.
"Kamu di luar aja, Dit," pintaku.

"Tapi, Tha ...." Dia hendak melawan permintaanku, namun ku pegang tangannya dan menatap matanya dalam. "Please ... kali ini aja, Dit. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa lagi. Kalau yang dihadapi manusia, aku bakal bersembunyi di belakang kamu, tapi ini lain," pintaku.

Dia menarik nafas dalam lalu mengangguk dan keluar aula. Namun terus menunggu di depan pintu bersama beberapa orang lainnya.

"Kak, Ini gimana sih? Kok bisa gini?" tanyaku ke Kak Arden.

"Di sini emang gudang nya, Tha. Kakak juga nggak tau awal mula nya gimana."

Setelah hampir setengah jam, korban kesurupan tak kunjung habis.
Tenagaku dan Kak Arden sudah hampir terkuras, begitu juga teman teman yang lain yang sejak tadi ikut membantu.

"Kak... Aku nggak sanggup. Panggil Eyang aja deh. Aku capek," kataku lalu duduk begitu saja di lantai.

Kak Arden mengangguk, dan mulai memanggil dan meminta bantuan Eyang.

Suara geraman harimau, merupakan pertanda kemunculan eyang. Aura yang tadi panas, perlahan mulai sejuk. Di sudut lain aula, kami mulai merasakan kedatangan Eyang. Eyang Prabumulih. Dan hanya kami berdua saja yang bisa melihatnya.
Dalam hitungan menit saja, semua sudah dapat dikondisikan. Eyang hanya melintas dan menembus tubuh-tubuh yang sedang kesurupan. Seolah mengambil makhluk-makhluk tersebut dengan mudahnya.

Keadaan kembali tenang, dan beberapa siswa masuk ke aula membantu teman mereka yang menjadi korban kesurupan.

Radit dan teman temanku juga masuk menghampiriku dan Kak Arden.
"Tha ... Kamu nggak apa-apa, kan?capek, ya?" tanyanya. Yang ikut duduk di lantai sepertiku. Dia terus menatap wajahku yang penuh peluh.

"Lumayan, Dit." aku pun mulai mengatur nafasku yang tadi berantakan.

Kak Arden mendekat, dan Eyang  sudah tidak ada lagi.

Kami saling duduk berhadapan dan saling berpegangan tangan. Mencoba menetralkan tubuh kami setelah kejadian barusan.

Entah bagaimana menjelaskannya, namun aku dan kak Arden memang saling membutuhkan.
Keadaan kami akan lebih membaik jika kami terus bersama. Jika kak Arden demam, hanya dengan memegang ku pasti tak lama demamnya turun. Itu jika demam karena kehadiran makhluk astral, ya.

Dan karena kejadian ini, sekolah dipulangkan lebih awal.
Kami pulang ke rumahku, karena mereka tidak mau pulang ke rumah mereka.

Ini seolah sudah kebiasaan kami, rumahku adalah basecamp untuk kami.

=======

Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar untuk ganti baju.
Kiki juga ikut, karena katanya dia mau meminjam bajuku juga.
Kiki jika sedang berada di rumahku, memang seperti ini. Bagai di rumah sendiri saja. Begitu juga denganku, saat berada di rumah Kiki.

Setelah ganti baju, aku dan Kiki kembali berkumpul dengan mereka yang sedang ngobrol di halaman depan.

Radit dan Bunda keliatan ngobrol berdua, dan setelah aku muncul mereka senyum senyum. Aneh. Jangan jangan ngomongin aku nih.

"Tha! Aku udah bilang Bunda mu," kata Radit, membuatku melotot lalu melihat ke teman teman yang ada di halaman.

"Bilang apa?" aku pura pura tidak paham, dan kini ikut duduk bersama mereka.

Bunda senyum senyum.
"Bunda nggak larang, tapi alangkah lebih baiknya untuk sekarang kalian berteman dulu. Saling mengenal satu sama lain lagi...." Dan bla bla bla, Bunda mulai memberikan kultum.

Kak Arden senyum-senyum. Sementara Radit malu-malu.

Aku mending pakai earphone dan pura pura nggak denger aja deh.
johny251976
coeloet
theorganic.f702
theorganic.f702 dan 3 lainnya memberi reputasi
4