Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:



KKN Di Dusun Kalimati

Quote:


Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.

Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.

Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.








INDEKS

Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah



Quote:


Quote:


Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.

Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.

Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).

INDEKS

Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end





Quote:


Quote:



INDEKS

Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang

Konten Sensitif


Quote:

Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.

INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu



Quote:


Quote:


INDEKS

part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 14:46
ferist123
kemintil98
arieaduh
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
19.6K
306
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
#184
10. Fandi
Sepulang sekolah, saat aku berjalan seorang diri menuju gerbang sekolah, sebuah mobil merapat padaku. Mobil mewah dan belum pernah aku lihat sebelumnya. Siang ini, Kak Arden memang sedang ada kegiatan ROHIS, dan Radit tidak juga terlihat sejak tadi. Mungkin masih kesal. Jadi, terpaksa aku memutuskan pulang sendirian. Rencananya aku akan naik angkot saja. Tapi pemilik mobil itu ke luar, dan ternyata dia Fendi.

"Aretha!" Panggilnya dengan senyum sumringah.

"Loh, Kak Fendi?"

Fendi kini sudah berdiri di hadapanku. Dengan kaca mata hitam bertenger di hidungnya.

"Jadi ke rumahku, kan? Tadi kamu udah bilang iya, ya udah ayok!" pertanyaannya lebih ke arah memaksa. Karena kini tangan ku hampir ditarik oleh Fendi. Aku baru sadar, seharusnya tadi tidak dengan mudah mengiyakan ajak Fendi. Karena ternyata kini pria yang baru ku kenal tadi, sangat agresif. Aku diam sejenak untuk memikirkan cara menolak ajakan Fendi. Sambil menahan tangannya.

"Tapi, maaf, Kak ...."

"ARETHA!"

Suara keras dari kejauhan membuat kami berdua menoleh. Radit muncul lalu mendekat kepada ku dan Fendi.

"Ke mana aja sih? Aku cariin di kelas, udah kabur aja. Ayok pulang! Arden suruh aku antar kamu, soalnya Bunda mu lagi di rumah Pak dhe. Aku suruh antar ke sana," kata Radit lalu menarik tangan ku begitu saja.

Tangan Fendi otomatis terlepas begitu saja dari ku. Aku yang sedikit bingung lalu menoleh ke arah Fendi berdiri. Ini bagai dejavu bagiku. Kejadian ini hampir sama persis seperti yang pernah ku alami dulu, bedanya sekarang Fendi yang ditinggalkan oleh aku dan Radit. Fendi tidak bereaksi apa pun, hanya menatap kami berdua tajam. Sorot matanya terlihat mengerikan. Berbeda dari Fendi saat di perpustakaan tadi. Lama-lama dia terlihat mengerikan.

Radit menarik tanganku hingga kami sampai pelataran parkir motor siswa. Dia lantas naik ke motornya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku yang menyadari bahwa dia masih kesal, lantas menjadi bingung dan merasa tidak enak. Dalam sikap dia ku, Radit menoleh di tempatku berdiri. Dia lantas menarik tanganku dan kini tubuhku berada lebih dekat dengan dirinya. Radit yang sudah memakai helm, kini mengambil helm lain yang ada di atas motornya dan memakaikan padaku. "Ayok pulang," anaknya lalu kembali melihat ke depan sambil menyalakan mesin motor tersebut.

Dengan ragu aku menuruti perintahnya. Kini aku sudah ada di jok belakang motor Radit. Dia kembali menoleh sedikit ke arah belakang. "Pegangan."

"Hah?" tanyaku lagi, takut salah dengar.

"Aku bilang, pegangan, Aretha." Ia kembali mengulangi kalimat itu dengan menaikkan sedikit nada bicaranya.

Dengan ragu-ragu, aku mengulurkan tangan dan berpegangan pada pinggang Radit. Dia melirik ke bawah, lalu dengan cepat memegang kedua tanganku dan menariknya lebih erat. Kini kedua tanganku sudah berada di perutnya.

Dalam perjalanan tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut kami berdua. Dan jujur, aku takut melihat sikap Radit yang seperti ini. Sepertinya dia benar-benar marah besar.

Sampai di depan gerbang halaman rumahku. Aku kemudian turun. Melepas helm dan memberikan ke Radit. "Makasih," ucapku pelan.

"Aku pulang dulu, ya. Sana kamu masuk," suruh nya dengan nada lembut. Aku mengerutkan kening, masih mencari tau isi hati Radit sekarang. Apakah dia sudah tidak marah, atau ... Ah, dia membingungkan.

"Dit ... Aku ...."

"Udah sana masuk, Tha. Jangan lupa makan," katanya lalu mengelus pucuk kepalaku. Ia lantas pergi meninggalkanku dengan wajah melongo.

======

Pagi ini, jam pelajaran pertama di kelasku kosong, beberapa teman sekelas memutuskan pergi ke lapangan basket karena sedang ada pertandingan basket antar kelas. Aku yang sedang mendapatkan haid dihari pertama, memutuskan diam di kelas saja. Karena rasa nyeri dan tidak nyaman, membuatku memilih diam di kelas.

"Pagi Aretha,"sapa Fendi yang ternyata sudah ada di depan pintu kelas ku. Kepala ku mendongak lalu sedikit terkejut melihat kedatangan Fendi. Aku lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas. Rupanya aku seorang diri sedari tadi. "Kak Fendi?" tanyaku ragu.

Fendi berjalan masuk ke dalam lalu duduk di meja yang ada dihadapan ku. "Kok sendirian aja?"tanya Fendi basa basi.

"Eum, iya. Tapi ini mau ke lapangan basket sih, mau liat temen - temen tanding basket," sahutku.

Saat aku akan beranjak, Fendi menahan tanganku. "Nanti pulang sama aku, ya," pintanya sedikit memohon.

"Eum ... Kayanya aku nanti sama Kak Arden deh ...," tolak ku halus.

"Please ... Aku pengen jalan sama kamu, mau ya."

Sikap Fendi yang makin memaksakan kehendak membuatku sedikit geram.

"Maaf, Kak. Aku nggak bisa, tolong jangan paksa aku!" tukas ku mulai tidak tahan.

"Aku suka sama kamu."

Pernyataan Fendi langsung mendapat tatapan tajam dari ku. Aku tidak menyangka Fendi akan blak - blakan seperti ini. Padahal kami baru saja bertemu. Tentu hal ini menjawab semua sikap agresifnya padaku yang sejak kemarin dia tunjukkan.

"Maaf, aku nggak bisa!"

"Kenapa? Karena Radit?"

"Bukan itu, Kak. Tapi ...."

Fendi menunduk. Aura tubuhnya berubah. Aku mulai takut melihat perubahan sikap Fendi. Saat aku berdiri, Fendi langsung memelukku. Sontak aku mendorong Fendi agar menjauh. Hanya saja tenaga ku tak mampu menyaingi Fendi yang berperawakan tinggi besar.

"Lepas! Kak! Lepasin aku!"

Aku meronta minta dilepaskan. Hanya saja Fendi malah mendekap tubuhku makin erat. Tiba-tiba, Fendi ditarik seseorang hingga jatuh tersungkur. Radit datang dengan badan yang penuh keringat karena baru saja tanding basket. Karena aku lihat dia masih memakai seragam basket kebanggaannya. Sepertinya dia sengaja datang ke sini karena aku tidak muncul melihatnya main basket seperti biasanya. Yah, selain karena alasan haid, aku masih merasa tidak enak dengan kejadian kemarin.

"Berani elu macem - macem! Gue abisin loe!!" ancam Radit dengan menunjuk Fendi.

Radit menggandeng tangan ku pergi meninggalkan Fendi yang terus memegangi wajahnya.

Tangan Radit terus menggenggam tanganku. Sepanjang jalan Radit terus terdiam dengan wajah merah padam. Sesekali aku melirik untuk melihat ekspresi wajahnya itu. Saat melewati kantin, aku menahan tangan Radit. "Sebentar, aku beli minum dulu."

Radit mengangguk dan mengikuti ku ke arah kedai penjual minuman. Segelas coklat dingin aku pesan. Radit menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan kepada ibu kantin sebelum aku mengambil uang dari saku kemejaku. Aku meliriknya dan menarik tipis sudut bibir. Setelah minuman itu selesai dibuat, gelas dingin itu justru kuberikan pada Radit. "Loh kok dikasih aku? Aku pikir kamu haus?" tanya Radit sambil ragu menerima minuman itu.

"Aku juga haus. Tapi kamu minum dulu. Biar emosi kamu reda,"kata ku tersenyum menatapnya. Dahi Radit berkerut, tapi dia meminum es tadi dengan terus menatapku, lalu berakhir dengan senyum. Aku lega, emosi Radit sudah mereda.

"Ke taman aja, yuk," ajak Radit dengan menarik kembali tangan kananku. Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaan kami berdua, saling menggandeng dengan posesif.

Taman di belakang sekolah merupakan salah satu tempat favorit kami. Keadaannya cukup rindang, karena banyak bunga dan rerumputan, dan sebuah pohon beringin membuat beberapa orang nyaman duduk di sini. Terlebih aku dan kawan kawan. Salah satu alasannya juga karena penghuni pohon beringin itu, tidak jahil dan ramah, sehingga aku tidak perlu merasa takut.

"Kamu jangan deket-deket Fendi!" ucap Radit saat kami duduk dihamparan rumput dekat pohon.

"Aku juga heran, dia agresif banget sih!"

Akhirnya keluarlah semua keluh kesahku yang sejak kemarin kusimpan, diiringi omelan panjang lebar menceritakan kejadian tadi.

"Dia itu sengaja bikin aku kesel. Dia nggak serius suka sama kamu," tutur Radit dengan menatap lurus ke depan. Seolah olah Radit sudah mengetahui Fendi sejak lama.

"Maksud kamu?"

"Dia itu ... Kakak tiriku," katanya pelan. Lalu menunduk menatap tanah di bawahnya.

"Hah?! Kakak tiri?" pekikku lalu duduk menghadap Radit yang terlihat malas membahas hal ini. "Oke, ceritain!"

Radit menarik nafas panjang, "Papa dulu pernah menikah sama perempuan lain, sebelum sama Mama. Mereka bercerai, dan Fendi anak Papa sama istri Papa yang dulu. Semalem, Papa bilang dia pindah sekolah ke sini. Sebelumnya mereka tinggal di luar pulau. Aku juga heran, kenapa sekarang Papa pengen aku sama dia deket. Kamu tau, Tha? Gimana sakitnya aku saat mereka tiba-tiba dateng ke rumah kemarin malem? Sakit, Tha! Sakit. Usaha Mama Fendi bangkrut dan mereka minta Papa buat menyekolahkan Fendi di sini. Aku nggak suka sama mereka. Mereka munafik. Di depan Papa, mereka baik. Tapi di belakang Papa, mereka licik."

Aku menepuk bahu Radit, mencoba memberi kekuatan baru pada pria di hadapanku ini.

"Yang sabar ya, Dit."

"Dit! Yaelah, dicariin juga! Malah mojok di mari!" omel Doni yang sedang memegang bola basket di tangannya.

"Apa sih kalian? Ganggu aja deh!" kata Radit jengah.

Kak Arden menatap tajam kami berdua lalu menghampiri kami yang masih duduk santai di kursi kayu taman. Berdiri di depan kami dengan berkacak pinggang.

"Apa-apaan itu? Jangan deket-deket. Jaga jarak aman! Enak aja malah pada pacaran di sini!"

Kak Arden menarik tanganku pergi dari taman, diikuti Radit yang terus mengomel sepanjang jalan.

"Ya ampun, Den. Gitu amat sih. Aretha nggak gue apa-apain juga. Elu mah sensi banget," bujuk Radit dengan terus mengekor sahabatnya itu. Aku terkekeh melihat tingkah Radit dan kakakku. Sementara yang lain hanya memperkeruh keadaan dengan menjadi kompor.

"Jangan percaya, Den. Bahaya ini anak kalau dibiarin," cetus Dedi.

"Bener banget tuh, masih kecil udah pacaran!" tambah Doni.

Plak!

"Emang elu pikir, elu kagak, Pea!" sahut Radit kesal setelah memukul kepala Doni.

Begitulah mereka. Selalu bertengkar setiap saat, tapi persahabatan mereka patut diacungi jempol.

"Kakak ganti baju dulu ya, kamu tunggu sini. Habis itu kita pulang, " ucap Kak Arden menunjuk aku agar menurut dan duduk diam di tempat yang dia tunjuk.

Saat aku menunggu mereka berganti pakaian di koridor dekat toilet, lalu melihat Fendi melintas di lorong depan. Tapi anehnya, ada sesosok bayangan mengikutinya terus. Dan, membuat aku melotot, Awalnya terlihat samar-samar. Namun semakin diperhatikan, sosok itu makin jelas. Sosok pria tinggi besar yang sama seperti Fendi. Perawakannya, wajahnya, setiap detilnya mirip Fendi. Siapa dia?

Karena penasaran, aku mengikuti Fendi yang berjalan ke arah perpustakaan. Langkahku terus mengikutinya sampai masuk kedalam perpustakaan. Hanya saja, jejak Fendi cepat sekali menghilang. Aku terus mencari lorong demi lorong. Rak demi rak. Hingga tiba-tiba, Fendi berdiri di hadapanku.

"Kamu ngikutin aku, Aretha?" tanya Fendi dengan seringai mengerikan. Sosok Fendi yang awalnya ramah dan menyenangkan langsung sirna. Menjadi sosok Fendi yang mengerikan. Keadaan perpustakaan tidak begitu ramai. Terutama di bagian dalam, tempat aku dan Fendi berdiri.

"Ya Allah!" pekikku dengan menekan dada.

Fendi menyilangkan tangan di depan dada dan terus menatap tajam ke arahku. Sementara aku malah menatap sosok di belakang Fendi yang sedang menatap Fendi dengan tatapan benci. Sosok yang mirip dirinya. Sosok itu menyadari bahwa aku bisa melihatnya.

"Aretha? Kamu lihat apa?" tanya Fendi sambil melirik ke belakang.

"Dia bukan Fendi!" cetus sosok itu tanpa menggerakan bibirnya. Aku mencari sumber suara yang menggema barusan. Dan aku baru menyadari kalau sosok itulah yang berbicara.

"Maksud kamu?" spontan pertanyaan itu ke luar dari mulutku.

"Tha? Kamu ngomong sama siapa?" Fendi bertanya sambil menekan tengkuknya. Ia pasti juga menyadari kehadiran sosok di belakangnya itu.

"Apa bener, kamu kakak tiri Radit?" tanyaku mencoba mengalihkan perhatian Fendi.

Dia terdiam sesaat. Seolah sedang berpikir, mencari jawaban dari pertanyaanku barusan.

"Oh, jadi Radit udah cerita? Iya ... Aku kakaknya ... Aku kangen sama dia. Makanya aku pindah ke sini."

"Dia bukan, Fendi!" kata sosok itu lagi.

Aku mulai merasakan kebohongan dalam diri Fendi.

Aura tubuhnya berubah. Sikapnya agak gugup. Fendi berjalan mendekatiku. Dengan sikap yang lebih lembut. Dia benar-benar ... aneh.

"Aretha ...."

"Kamu bukan Fendi, kan?"

Seketika ia melotot dan sedikit tersentak, seolah tidak percaya atas ucapanku barusan.

"Apa maksud kamu!" katanya dengan menaikkan nada bicaranya. Sementara sosok di belakangnya, menatap ku lalu menggeleng pelan. Sikap Fendi kembali berubah.

Aku yang sadar, ucapanku tadi sedikit membahayakan diri ku sendiri, lalu segera pamit ke luar. Fendi menatapku curiga. Tanpa mendapat persetujuan darinya, aku terus keluar perpustakaan.

Langkah kupercepat, sambil sesekali menatap ke belakang. Aku sedikit gentar, karena Fendi sepertinya jauh lebih berbahaya dari perkiraanku. Aku juga takut Fendi mengejar. Karena tidak memperhatikan jalan, aku tersandung dan hampir jatuh ke lantai bawah. Beruntung tangan seseorang segera menangkap lalu memelukku.

"Aargh!" pekikku meronta dari dekapan pria itu.

"Hei. Aretha! Ini aku. Kamu kenapa?" tanya seseorang yang suaranya tidak asing di telingaku. Radit. Dia heran melihat sikap ku yang panik dan ketakutan. Ternyata Radit dan yang lainnya telah selesai berganti pakaian.

Aku menunjuk arah ke belakang dengan tangan bergetar.

"Itu ... Fendi ... Dia ...."

Nafasku tersengal, aku menekan dada sambil menetralkan diri.

"Dek ... Ceritain pelan - pelan," pinta Kak Arden lalu menyuruhku duduk di sebuang bangku panjang tak jauh dari mereka. Aku mulai bercerita dari awal melihat sosok yang mirip Fendi hingga semua yang ku alami tadi di perpustakaan.

"Sebaiknya elu cari tau deh,Dit. Siapa Fendi sebenarnya. Jangan jangan emang bener dia bukan kakak tiri elu !" tebak Doni.

Radit menganggukan kepala setuju dengan saran itu. Sorot matanya tajam dan penuh kebencian.

=====

Ini hari sabtu, istirahat siang ini aku dan Kiki sudah ada di kantin. Beberapa hari tidak masuk, Kiki mempunyai banyak cerita yang sudah membuat telingaku berdengung, karena sejak tadi ia tak henti-hentinya bercerita. Fendi yang terlihat berjalan santai seorang diri menjadi perhatian Kiki, karena memang fisik Fendi yang lumayan. Tak dapat ku pungkiri kalau Fendi cukup tampang dengan penampilan yang terkesan elegan. Sekalipun dia memakai seragam sekolah seperti kami. Tapi sweeter dan sepatunya terlihat mahal dengan warna yang senada.

"Siapa dia? Kok baru lihat?" tanya Kiki sambil menggigit sedotan. Fendi masuk ke kantin dan menatap ku beberapa saat, lalu melemparkan senyum. "Lah dia senyum. Eh, kamu kenal, Tha?" tanya Kiki penasaran.

"Anak baru. Ngakunya kakak tirinya Radit. Tapi, entahlah. Aku nggak yakin, karena ada sosok lain di belakangnya yang juga mirip banget dia," tutur ku sambil mengaduk aduk sedotan di hadapanku.

"Terus."

"Sosok itu bilang, dia bukan Fendi. Aneh, kan? Pasti ada yang bohong di sini. Tapi siapa? Bener-bener membingungkan," desahku lalu bersandar di punggung kursi belakang. Radit, Kak Arden dan yang lainnya juga terlihat menuju ke kantin dari kejauhan.

"Ah, itu mereka! SAYAAAANG!" panggil Kiki. Orang di panggil pun melambaikan tangannya. Mereka mendekat. Fendi mengamati aku dan teman-teman lain. Sedangkan aku terus menatap sosok di belakang Fendi.

"Oh jadi itu yang namanya Fendi? " tanya Danu dengan melirik sekilas pada Fendi lalu kami duduk berkumpul menjadi satu. Aku mengangguk. Kondisi Danu yang sudah membaik akhirnya membuatnya dapat kembali lagi ke sekolah hari ini.

"Terus gimana, Tha? Menurut kamu?" tanya Kak Arden.

"Aku nggak tau. Kalau saja, sosok itu nggak menempel terus sama Fendi, mungkin kita bisa ajak dia ngobrol, " tutur ku lalu menatap arah lain. Namun, begitu aku berpaling sebentar, sosok itu justru kini berdiri di sampingku dan membuat aku terperanjat. "Astagfirulloh!!" aku S E N S O Rik sambil menekan dada. Kak Arden yang bisa melihatnya, hanya mengulum bibir, melihat kelakuan ku yang pasti lucu di matanya.

"Kenapa sih, Tha?" tanya Kiki heran.

"Ngagetin aja!" gumamku pada sosok itu.

"Bukan, kah, kamu ingin bertemu denganku?" tanya sosok itu.

Rupanya mudah sekali memanggil makhluk penguntit Fendi ini. Pikir ku. Huh, kenapa dari tadi aku pusing hanya untuk memikirkan cara ini sih.

Sosok Fendi melirik pada Radit dan menatapnya nanar. Ada kesedihan mendalam yang tengah ia rasakan. "Tolong sampaikan pada Radit, aku minta maaf. Semasa aku hidup, aku jarang bisa mengunjunginya."

Aku melirik Radit dan Fendi yang kini ada di hadapanku. Begitu juga teman temanku. Walau mereka tidak melihat sosok yang hadir di dekat mereka, tapi mereka tetap merasakan ada makhluk halus di sini. Bulu kuduk mereka meremang, bahkan Kiki sesekali menekan tengkuknya.

"Apa maksud kamu mengatakan kalau dia, " aku melirik ke Fendi yang sedang makan, "Bukan Fendi?" tanyaku sambil berbisik. Kak Arden hanya terus mengawasi pergerakan makhluk itu dan selalu waspada.

" Datang saja ke makamku, di Kuburan china, Kober Selatan."

Ia kemudian hilang begitu saja. Aku dan Kak Arden saling lempar pandang dan mengangguk sekali, ini merupakan petunjuk awal untuk kami.

Sepulang sekolah, kami sepakat akan pergi ke makam Fendi. Sebuah pemakaman umum, yang bisa disebut kuburan china. Papa Radit memang keturunan tionghoa, Mamanya Jawa asli. Papanya dan Mama Radit menikah beda agama dan langgeng sampai sekarang.

"Yakin, dia dikubur di sini, Tha?" tanya Dion sambil menatap satu persatu makan di sekitar. Aku mengangguk sambil ikut mencari makam yang dimaksud. Semua berpencar.

"Inget ya, mukanya sama persis kaya Fendi yang di sekolah. Kalian inget, kan? Nama panjangnya?" tanya ku sedikit berteriak.

"Beres, Aretha!"

Satu persatu makam mulai dilihat. Hingga, Danu berteriak memanggil kami. Rupanya tidak sulit mencari makam tersebut, karena tempat pemakaman ini juga tidak cukup besar.

"Gaes! Di sini!"

Sebuah makam dengan foto Fendi memakai setelan hitam terpampang di sana. Nama beserta tanggal lahir, dan tanggal ia meninggal membuat Radit mendekat dengan tubuh lunglai. Ia terlihat sangat terpukul. Radit membelai foto Fendi dengan menitikan air mata.

"Udah setahun, dia meninggal. Kami nggak tau, kalau mereka pindah ke sini. Setau Papa, mereka masih di luar pulau. Dia baik. Beberapa kali, dia sapa aku lewat email. Pantes aja, waktu dia muncul di sekolah, aku ngerasa lain. Itu bukan dia. Ternyata bener," Radit terlihat begitu terpukul. Kak Arden mendekat lalu menepuk bahunya.

"Sabar, Dit. Kita harus ungkap siapa sebenarnya Fendi itu."

"Bener, Dit. Ini tindak kriminal. Mencuri identitas orang," tambah Doni.

"Tapi, wajahnya mirip banget yah. Mungkin nggak sih, kalau dia operasi plastik, biar mukanya mirip Fendi?" pertanyaan Kiki seolah membuka tabir selanjutnya. Kami mengangguk sependapat.

"Jadi gimana langkah kita selanjutnya?" tanya ku.

"Kita ke rumah Fendi!" usul Radit dengan keyakinan penuh.

"Kamu yakin?"

Radit mengangguk, "Kalau memang ini Fendi asli dan yang tadi palsu, pasti ada petunjuk di rumah itu," tukas Radit.

"Ya udah, ayok kita ke sana. Kita berdua aja, biar yang lain nunggu di luar. Siapa tau ada petunjuk di rumah itu," timpal ku memberi saran.

"Kenapa harus kalian berdua?" pertanyaan Ari sedikit menyelidik, ia bertanya dengan mata menyipit.

"Ya kalau elu mau, sono dah. Gue yang nunggu di luar," sahut ku santai.

"Eh, ogah. Tar ketemu demit lagi!" tukas Ari sambil bergidik ngeri.

"Nah itu lu paham, kan cuma Aretha yang bisa lihat Fendi, yah walau Arden juga liat sih. Tapi kan, Aretha yang lebih paham situasi ini," kata Danu menanggapi.

"Ya sudah, ayok ke sana," ajak Kak Arden kepadanya. Ia lantas beranjak dari duduk, lalu pergi meninggalkan mereka. Mereka pun berteriak memanggilnya yang memang kadang suka pergi seenaknya.

=======
johny251976
coeloet
theorganic.f702
theorganic.f702 dan 3 lainnya memberi reputasi
4