Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:



KKN Di Dusun Kalimati

Quote:


Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.

Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.

Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.








INDEKS

Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah



Quote:


Quote:


Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.

Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.

Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).

INDEKS

Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end





Quote:


Quote:



INDEKS

Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang

Konten Sensitif


Quote:

Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.

INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu



Quote:


Quote:


INDEKS

part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 14:46
ferist123
kemintil98
arieaduh
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
19.6K
306
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
#183
9. Siswa Baru
Karena kondisi aku belum begitu baik aku tidak diperbolehkan sekolah oleh bunda. Sebagai gantinya, bunda memasakkan banyak makanan untukku. Apalagi kata dokter, aku harus banyak mendapat asupan nutrisi untuk memulihkan stamina. Sekalipun aku masih belum fit, tetapi aku bukanlah seorang pasien di rumah sakit yang harus tiduran saja di kamar. Untuk menikmati masa istirahat, aku bersantai di gazebo depan rumah, sambil bermain game di gawai milikku.

Tak lama mobil Radit dan Doni masuk ke halaman rumah. Pasukan Radit dan kawan-kawan turun dari mobil. Hanya Danu saja yang tidak tampak. Karena memang kondisinya belum pulih.

"Wuiiih! Santai ya, Bro. Kaya di pantai," kata Dedi lalu berjalan mendekat padaku diikuti yang lain.

"Iya dong, mau ngapain lagi coba? Kan aku lagi sakit, nggak boleh capek-capek," jawabku dengan nada manja sambil tetap menyantap kudapan di hadapanku.

"Bagi, Tha ...." Ari ikut menyambar camilan, bersama Dedi yang kompak merusuh waktu santai juga makanan ku. Doni malah berbaring di lantai kayu itu sambil membalas pesan di gawainya. Tak peduli suara berisik yang diciptakan oleh kami. Justru ia malah ketawa-ketiwi dengan jari yang sibuk mengetik pesan. Sementara Kak Arden melenggang masuk ke dalam rumah, diikuti Kiki sambil berlari kecil karena menahan kencing katanya.

"Kamu gimana? Udah mendingan belum?" tanya Radit yang kini duduk di hadapanku.

"Udah mendingan. Masih pegel-pegel, tapi nggak kaya kemarin."

"Kamu udah makan?"

Radit memang semakin protektif terhadapku. Tidak ada komitmen di antara kami, namun perhatian Radit dari hari ke hari makin terlihat jelas. Dan aku pun merasakan perasaan dan sikap tulusnya. Dia bahkan rela terluka demi diriku. Itu tidak hanya sekali dia lakukan.

"Uhuk ...." Doni berdeham sambil menatap langit-langit. Lalu bersiul tak jelas. Aku meliriknya tajam. Paham akan keisengan Doni yang memang sengaja ditujukan padaku.

"Aku belum makan, nanti aja. Belum lapar. Kamu?" Pertanyaan itu berbalik ke Radit. Aku tidak peduli akan sindiran teman-teman yang lain.

"Nanti aja. Bareng kamu," ucap Radit sambil senyum-senyum.

"Oh iya, Danu gimana kabarnya?" tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Udah mendingan kok. Tiga hari lagi juga udah boleh pulang," jawab Dion santai. Rupanya dia hanya menyisakan dua potong klapertart dan seiris brownies kukus buatan Bunda. Aku yang menyadarinya, menatap sinis perusuh di depan. Ah, makananku bakal habis beberapa menit lagi.

"Kalian jenguk orang sakit bukannya bawa buah tangan apa gitu, malah ngabisin makananku!" omelku kesal sambil melirik ketiga orang yang telah berhasil menyapu bersih makananku.

"Laper, Tha. Lagian kemarin, Radit udah bawain brownies. Iya, kan?" cerocos Ari dengan mulut penuh makanan.

"Ya beda lah. Itu kan kemarin," ujar ku dengan mengerucutkan bibir.

Radit tertawa melihat tingkahku dan yang lain. Entah apa yang ada di pikirannya. "Ya udah, nanti aku bawain brownies lagi ya," kata Radit sambil membelai pucuk kepalaku lembut.

"Ih, so sweet!" teriak Kiki yang tiba-tiba saja muncul dan kini bergelayut manja pada Doni. Aku melemparnya dengan stoples kosong bekas camilan tadi. Begitulah keintiman kami sebagai sahabat karib. Terkadang saling ejek, saling hina, tetapi tetap saling melindungi satu sama lain.

Sorenya kami berencana menjenguk Danu ke rumah sakit. Danu dirawat di rumah sakit yang cukup besar. Kami berbondong-bondong masuk ke lift karena kamar Danu ada di lantai empat. Walau awalnya Bunda melarang aku ikut, tapi atas bujukan yang lain, aku berhasil ke rumah sakit ini bersama mereka.

Setelah semua masuk, pintu lift tidak juga menutup. Aneh. Padahal tombol penutup sudah beberapa kali ditekan oleh Dedi. Aku menatap tajam ke salah satu sisi pintu. Ada sebuah tangan hitam yang menahan lift itu.

"Ini pintu kenapa nggak ketutup sih? Apa rusak, ya?" tanya Dedi menggumam, sambil terus menekan tombol memperhatikan sekitar pintu. Aku yang berdiri di samping Radit lalu menenggelamkan kepala di belakang bahu Radit. Aku sedang tidak ingin melihat hal yang aneh.

"Kenapa, Tha?" tanya Radit yang menyadari kegelisahanku. Cengkeraman tangan ku di lengannya, membuat Radit paham bahwa aku sedang gusar. Kak Arden sekilas melirik ke arahku. Entah apa yang telah terjadi, sosok tadi lenyap dan pintu lift berhasil menutup. Pasti Kak Arden yang sudah membuat makhluk tadi pergi.

Kami langsung menuju kamar rawat inap Danu. Kebetulan Mama Danu yang sedang menemani anak semata wayangnya itu di rumah sakit.

"Assalamualaikum, Tante ...," sapa Ari, lalu menjabat tangan Mamanya Danu bergantian dengan yang lain. Danu dirawat di ruangan kelas satu, jadi hanya ada dirinya saja di sini. Tidak hanya itu, ada fasilitas lain seperti televisi dan AC. Lalu kasur untuk keluarga yang menunggu pasien juga tersedia di ruangan ini.

"Tante sendirian saja?" tanya Kak Arden basa-basi lalu menempatkan diri duduk tak jauh dari Mama Danu. Sementara yang lain malah mengerubungi Danu karena ingin melepas rindu.

"Iya, Arden. Papanya Danu masih kerja. Paling ke sini kalau sudah malam," sahut Wanita paruh baya berjilbab lebar itu.

"Kamu gimana, Dan?" tanya ku sambil meletakkan bungkusan yang sudah kami beli di nakas sampingnya. "Mendingan kok, Tha, tapi jahitannya belum kering," ucapnya masih terlihat lemas.

"Kata dokter udah membaik kok. Mungkin lusa sudah boleh pulang. Lagian Danu ini mana bisa diam sih, Aretha. Mana betah di sini," tutur sang ibunda. Aku menanggapi dengan senyum, lalu melirik ke nakas yang ada di sudut ruangan. Tampak makanan dari rumah sakit yang belum disentuh Danu sama sekali.

"Kamu belum makan, Dan?" tanya ku menyelidik. Mataku menyipit seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi penjahat.

"Belum. Nantilah, belum lapar," katanya malas-malasan. Bukannya bangkit dari tidur, dia malah mengubah posisi dengan membelakangi nasi beserta lauk pauk yang tidak menggugah selera itu. Semua orang tahu, makanan rumah sakit terkenal tanpa rasa. Bahkan asin pun tidak.

"Sini, aku suapin. Kamu itu harus makan, biar bisa minum obat, jadi cepat sembuh!" tukas ku menyambar nampan itu. Melihat itu, Radit tiba-tiba segera berdiri di samping ku.

"Mau ngapain?" tanyanya datar sambil merebut nampan di tangan ku.

"Nyuapin Danu. Kasian dia, masih susah gerak, kan?" tanyaku cuek dengan kembali merebut nampan dari tangan Radit.

"Ya udah, sini aku aja. Kamu duduk aja di sana, tuh! Sama Kiki," tunjuk Radit ke ranjang kosong yang diduduki Kiki dan Mama Danu.

"Uhuukkk! Ada yang cemburu," sindir Dedi menggumam, "keluar ah." lalu berjalan keluar ruangan diikuti Ari.

"Mau ke mana, woi!" teriak Kak Arden menanggapi.

"Kantin. Haus," sahut Dedi, sedangkan Ari hanya terkekeh lalu merangkul Dedi yang berjalan di sampingnya.

Nampan sudah ada di tangan Radit. Ia mengisyaratkan aku duduk di samping Kiki. Aku mendengus sambil memutar bola mata. Kadang Radit terlalu mengatur. Danu tersenyum melihat tingkah Radit yang sangat pencemburu. Apalagi jika aku didekati pria lain. Padahal kami tidak berpacaran. Walau semua orang tahu, kalau kami berdua memiliki perasaan yang sama.

Mama Danu pamit akan pulang ke rumah. Karena itu, untuk sementara kami menemani Danu sampai mamanya kembali. Seketika kamar Danu sedikit bising karena ulah kami. Segala ocehan mulai dari A sampai Z terlontar dari mulut satu dan yang lainnya. Ternyata hobi menggosip tidak hanya dilakukan oleh kaum wanita saja, tetapi juga kaum pria. Pukul sembilan malam mama Danu kembali bersama papanya. Alhasil, kami pun pamit.

Jam besuk sudah habis. Sepanjang koridor rumah sakit terlihat tampak sepi. Hawa dingin mulai terasa di sekujur tubuh. Saat akan masuk ke lift, ada petugas cleaning service yang sedang mengepel lantai, tepat di depan pintu lift.

"Permisi, Mas," ucap Kiki sambil berusaha masuk ke dalam lift, anehnya selalu dihalangi oleh orang itu. Aku memperhatikan pria itu dengan penuh curiga. Lantai terlihat bersih, jadi apa yang dia lakukan itu aneh. Aku menahan tangan Kiki dan menggeleng pelan. Rasanya ini tidak beres. Apalagi koridor ini terasa sangat sepi sekali. Ponsel Kak Arden berdering. Ia memperlambat langkahnya.

"Kak ...," panggil ku dengan melirik kak Arden  yang sedang menerima panggilan telepon. Cleaning service itu menghentikan pekerjaannya diikuti batuk-batuk yang tak kunjung reda. Ia seperti tersedak, merogoh ke dalam mulut. Kami diam, lalu mundur selangkah, memperhatikan apa yang dilakukan oleh pria di hadapan kami itu dengan sedikit ngeri. Tangannya menarik sesuatu dari dalam mulutnya. Suara yang ditimbulkan, bagai tenggorokan yang digorok. Tak lama cairan kental keluar dari mulutnya, disertai gumpalan benda berwarna hitam, yang makin ditarik makin lama makin panjang. Seperti tidak ada ujungnya. Benda itu terlihat basah dan lengket. Mirip segulung rambut. Kami makin mundur perlahan karena merasa hal ini tidak wajar. Tapi aku yakin kalau mereka semua lihat makhluk di depan kami ini.

"Apaan tuh?" tanya Doni setengah berbisik ke Kiki yang ada di depannya berdiri bersamaku. Kiki menggeleng pelan sambil terus menatap orang itu. Aku pun tidak mau banyak bicara. Dan tentu rasa penasaran membuatku ingin tau, siapa dan apa yang sedang dia lakukan.

"Kok mirip rambut, ya," ucap Dedi menanggapi dengan bergidik ngeri. Sementara Ari langsung menutup mulutnya, dan menjauh sambil muntah-muntah.

"Dia makan rambut?" tanya Doni menanggapi ucapan sahabatnya barusan. Dia segera menarik tangan kekasihnya lalu menjauh.

"Nggak beres nih!" pekik Radit yang juga menarik tangan ku dan segera pergi dari tempat itu, menyusul Doni dan Kiki. "Lewat tangga aja!" teriak Doni.

Saat yang lain masih tertegun di tempat mereka berdiri, tiba-tiba pria tadi memuntahkan apa yang ada di dalam mulutnya. Benar saja! Segumpal rambut keluar dengan cairan kental berwarna merah kehitaman. Baunya anyir dan busuk. Ia mendongak dan menyeringai pada mereka. Mereka spontan berteriak sambil menyusul ku dan Radit yang sudah berjalan lebih dahulu ke arah tangga. Berkali kali aku menoleh ke pria tadi untuk memastikan dia masih di sana dan tidak mengejar kami. "Kak! Ayok!" jeritku ke Kak Arden yang baru saja menyelesaikan panggilan teleponnya.

Kak Arden menoleh, lalu melongo sesaat. "Ya Allah," pekiknya yang baru menyadari kejadian aneh di dekatnya. Ia lalu ditarik oleh Dedi yang berbalik arah karena sadar Kak Arden tertinggal.

Tangga darurat adalah jalan keluar satu-satunya. Kami terus berjalan cepat bahkan setengah berlari. Sekalipun kami berteriak, tidak ada seorang pun yang menyadarinya atau bahkan mendengarnya. Hingga sampai di lantai satu, kami berpapasan dengan seorang wanita yang terlihat mencari sesuatu dengan terus meraba lantai. "Nyari apa, Bu?" tanya Ari penasaran. Sambil ikut melihat ke bawah. Kami terpaksa berhenti karena iba melihat wanita tua itu. Ibu tadi terus meraba lantai tempatnya berpijak. Tanpa menjawab sepatah kata pun. Ari mendekat. Aku mulai merasa ada keanehan lagi. Wanita itu terlihat aneh.

"Ri, udah yuk. Buruan," suruh Dedi. Hanya saja Ari yang terlihat penasaran terus mendekati wanita itu dan seketika ia langsung terkejut hingga terjungkal ke belakang.

"Setan!" teriaknya lalu berlari lebih dahulu meninggalkan yang lain. Kami melihat ke arah ibu tadi yang masih duduk di lantai.

Wanita tua itu mendongak, "Mata saya mana?" tanyanya dengan tangan terulur pada kami. Seolah meminta kembali matanya. Rongga matanya bolong. Semua ikut berlari seperti Ari tadi hingga keluar dari tangga darurat itu. Kami menjadi pusat perhatian semua orang saat sampai di lobi.

"Sssttt ... Jangan berisik, Mas, Mba!" tegur satpam jaga. Kami langsung tertegun, dan menutup mulut rapat-rapat.

Kak Arden segera meminta maaf lalu mengajak yang lain pergi meninggalkan rumah sakit. "Gila! Nggak lagi-lagi ke sini, kapok gue!" sesal Dedi sambil mengatur napasnya yang hampir habis. Yah, aku pun sama. Inilah alasan aku paling malas kalau harus ke tempat ini.

____

Hari ini Kiki izin tidak masuk sekolah karena singgah ke rumah Neneknya yang sedang sakit di kampung. Alhasil aku merasa kesepian karena Danu juga belum bisa masuk sekolah. Sekalipun Dion sangat cerewet, tetap saja ada yang kurang bagiku tanpa kehadiran Danu dan Kiki. Di kelas kami berempat sangat kompak, entah dari pelajaran atau kabur di jam pelajaran. Di luar juga sama.

Saat istirahat pertama, aku dengan setelan rambut berkuncir kuda untuk tema hari ini, berjalan menuju perpustakaan sekolah. Membaca merupakan salah satu hobiku. Rasanya malas ke kantin jika sendirian. Lagi pula Dion ada kepentingan sendiri. Aku segera mencari novel yang menjadi favoritku. Novel Agatha Christie. Novel yang kumaksud rupanya berada di rak paling atas. Aku berjinjit mencoba meraih buku itu. Namun, tubuhku rupanya kurang bisa menggapai rak paling atas, hingga ada sebuah tangan kekar yang dengan mudahnya meraih buku berwarna cokelat tua tersebut.

"Hati-hati, nanti kamu jatuh," ucap pria tinggi, kekar, dan berhidung mancung di depanku. Aku sempat diam sejenak karena terkesima. Sekaligus bingung, siapa gerangan pria ini. Wajahnya terlihat begitu asing bagi ku. Rasanya aku belum pernah melihat orang ini sebelumnya. Apa mungkin dia siswa baru?

"Hallo ...," panggil pria itu sambil melambaikan tangan di depan wajahku yang sedari tadi melongo, menatap pria asing di hadapan, dengan banyak pertanyaan di kepala.  "Eh, maaf," sahutku gugup.

"Aku Fendi. Anak kelas 3. Pindahan dari luar kota. Kamu?" Ah, benar, kan, dia adalah siswa baru. Pantas saja wajahnya sangat asing buatku.

"Oh, eum. Aretha, kelas 1, Kak."

Dia mengulurkan tangan, dan alhasil aku menyambutnya. Sehingga kami saling menjabat diiringi senyum tipis di antara kami berdua. Tatapan mata Fendi tak lepas dari ku. Hal ini membuat ku risih. Dan berusaha memalingkan wajah.

"Kamu suka baca novelnya Agatha Christie?"tanyanya memulai pembicaraan.

"Mm ... Iya Kak, lumayan."

"Aku punya banyak lho. Aku juga suka novel itu. Kalau kamu mau, nanti aku pinjemin. Gimana?"

"Eum, boleh," sahutku sedikit ragu.

Akhirnya kami mengobrol bersama di perpustakaan. Fendi banyak bercerita tentang dirinya. Sehingga aku yang awalnya risih, kini mulai beradaptasi dengan pria ini. Aku pun tidak sungkan untuk menceritakan kondisi sekolah, dan semua hal yang mungkin informasi ini akan berguna baginya. Sikap Fendi yang supel, membuat ku makin lama makin nyaman.

"Kantin di mana ya? Makan yuk, aku laper,"ajaknya lalu berdiri merapikan seragam yang agak kusut karena terlalu lama duduk. Aku mendongak, lantas mengangguk, mengiyakan ajak kan nya.

Suasana kantin biasanya  agak lenggang di jam seperti sekarang. Mungkin karena jam istirahat sudah agak lama berlalu, dan memang sebentar lagi bel masuk berdering. Suasana sepi membuat kami berdua lebih nyaman berbincang. Aku pun tidak bisa menolak permintaan Fendi, karena perutku memang sudah memberikan alarm untuk diisi. Absennya Kiki dan Danu membuatku jarang jajan seperti biasanya.

Sampai di kantin, rupanya benar sesuai dugaanku. Kami pun masuk dan menempatkan diri di meja yang masih kosong. Tapi rupanya di tengah ruangan sudah ada Doni dan Radit yang sedang makan sambil mengobrol santai. Hingga saat aku muncul, mereka seketika diam. Melihat itu, aku hendak menghampiri mereka, tetapi Fendi malah menarik sebuah kursi, mengisyaratkan aku untuk duduk.

Radit terlihat tidak suka melihat kami. Ia terus menatap tajam diriku. Doni sesekali menepuk bahu Radit. Aku pun mulai merasa tidak enak dengan keadaan ini. Tapi rasanya untuk menolak Fendi itu sangat sulit kulakukan.

Fendi kemudian memesan makanan dan minuman. Ia sangat baik dan sopan sejauh ini. Bahkan seolah sangat tau bagaimana cara memperlakukan orang lain, terutama wanita. Aku yang awalnya ragu dan tidak nyaman karena dia orang asing, kini perlahan menjadi lebih lembut. Walau sesekali netraku melirik ke arah di mana Radit duduk. Tetapi tak lama setelahnya, Radit beranjak dan menghampiri kami.  "Tha, aku mau ngomong!" Sorot mata Radit tajam menatap ku dan Fendi bergantian.

"Kalau gitu, aku duluan ya, Tha. Sampai ketemu lagi. Ah iya, nanti aku tunggu diparkiran. Jadikan kita ke rumahku nanti?" tanya Fendi yang seperti sengaja mengatakan hal itu di depan Radit.

"Oh, eum ... Iya, Kak. Insha Allah," sahutku kikuk. Beberapa kali aku melirik ke Radit, ingin tau bagaimana reaksinya.

Fendi pergi melenggang ke luar dari kantin. Meninggalkan Radit dengan tatapan kesal.

"Dit ...," panggil ku pelan sambil meraih tangannya.

"Siapa dia?" tanya Radit spontan. Namun dia tidak menepis tanganku.

"Oh, Kak Fendi. Pindahan baru," tukas ku santai. Berusaha mendinginkan situasi.

"Kamu akrab banget sama dia," sindir Radit sinis.

"Tadi ketemu di perpus, terus ngobrol. Kenapa?" tanya ku sambil mendekatkan wajah ke Radit. Mataku berkedip-kedip bermaksud mencandai pria di depanku ini. Ternyata hal ini berhasil meluluhkan amarah Radit. "Oh ya udah, tapi kamu jangan terlalu deket sama dia ya," pinta Radit melembut.

"Kenapa? Kamu cemburu, ya?" sindir ku sambil mencolek pinggang Radit yang wajahnya sudah merah, mirip kepiting rebus.

"Tau ah!" tukas Radit lalu pergi begitu saja. Melepaskan tanganku.

Doni mendekat lalu menoyor kepalaku. "Demen bener elu bikin cemburu si Radit," hardiknya sambil cengengesan.

"Biarin, wek!"

Aku pergi sambil menjulurkan lidah ke Doni. Kembali ke kelas karena bel masuk baru saja berdering.
johny251976
coeloet
theorganic.f702
theorganic.f702 dan 3 lainnya memberi reputasi
4