Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:



KKN Di Dusun Kalimati

Quote:


Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.

Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.

Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.








INDEKS

Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah



Quote:


Quote:


Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.

Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.

Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).

INDEKS

Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end





Quote:


Quote:



INDEKS

Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang

Konten Sensitif


Quote:

Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.

INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu



Quote:


Quote:


INDEKS

part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 14:46
ferist123
kemintil98
arieaduh
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
19.6K
306
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
#180
6. Lukisan
Sampai di lantai atas, Arden dan Radit mulai mencari Aretha ke seluruh ruangan, sambil meneriakkan nama Aretha mereka memasuki ruang demi ruang. Hingga sampai di sebuah kamar terakhir yang belum mereka buka. Radit membuka perlahan pintu ini, matanya terbelalak melihat Aretha tidur dalam keadaan terikat. Di sampingnya ada Tomy sedang memegang pistol dan mengarahkannya ke Aretha. Seolah tahu, ia sedang dicari, persiapan Tomy cukup baik sebagai seorang peculik yang menyekap sanderanya.
"Maju satu langkah, gue pecahin kepala dia!" ancam Tomy tak main-main. Aretha ditarik hingga berdiri di depan Tomy. Tangan kirinya melingkar di leher Aretha, sementara tangan kanannya menodongkan pistol ke kepala Aretha. Tangan Aretha terikat ke belakang tubuhnya sendiri. Mulut disumpal kain, penampilannya acak-acakan. Aretha menangis ketakutan. Sorot matanya menunjukkan rasa takut yang teramat sangat.
"Tom ... Lepasin Aretha, please. Kita bisa omongin ini baik-baik, kan?" tanya Arden sedikit membujuk. Sementara Radit terus siaga, jika ada kesempatan, ia harus menyelamatkan Aretha terlebih dahulu.
"Enak banget kalian bilang gitu? Kalian nggak akan keluar dari sini hidup-hidup!"
"Jadi, elu yang bunuh Friska?" pertanyaan Radit makin menyulut emosi Tomy, pistol ditodongkan ke arah Radit.
"Apa loe bilang?" Perhatian Tomy teralih.
Kaki Tomy langsung diinjak kuat-kuat oleh Aretha. Saat pegangan Tomy mengendur, Aretha berlari menjauh. Nahas, Tomy menarik pelatuknya dan tembakan pun tak terelakkan lagi. Dengan cepat, Radit berlari mendekap Aretha dan peluru menembus punggungnya.
"Radit!" teriak Aretha yang sedang dalam pelukan Radit. Radit tersenyum sambil menahan sakit. Ia menggeleng untuk menenangkan Aretha sambil meringis kesakitan. Tubuhnya makin lama melemas. Sementara itu, suara langkah kaki mendekat ke kamar itu, dan sebuah tembakan lain terdengar dari arah pintu, tepat mengenai tangan Tomy. Sekelompok polisi masuk meringkus Tomy yang kini sudah terkapar sambil mengerang memegangi kakinya.
Indra juga datang untuk menjemput putrinya. Semua orang mendekat ke Radit.
"Cepat kalian bawa Radit ke Rumah sakit!" perintah Indra.
"Kalian pakai mobil gue, gue di sini aja, urus Tomy. Gimana pun, dia sepupu gue."
Billy menyerahkan kunci mobil ke Arden. Radit segera dibawa ke mobil, menuju rumah sakit terdekat.
"Den, buruan napa sih nyetirnya, keburu gue keabisan darah di jalan. Nyetir kok kaya siput sih," ejek Radit yang duduk di belakang Arden.
"Enak aja! Kalau elu yang nyetir, bisa-bisa kita semua masuk rumah sakit bareng-bareng," sahut Arden sinis, ia mendengus lalu melirik ke sampingnya. Gadis itu gemetaran. Radit lantas menggenggam tangan Aretha.
"Tha, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Radit memeriksa setiap inci wajah Aretha. Namun sebuah pukulan melayang ke lengan Radit. "Kamu nih, malah khawatirin aku! Jelas-jelas kamu yang butuh dokter sekarang!" omel Aretha. Seketika Radit memeluk Aretha untuk menenangkannya.
"Aku nggak apa-apa, Tha," bujuk Radit membelai punggung Aretha. Ia tahu kalau Aretha syok atas kejadain tadi. Kiki yang duduk di kursi depan, berdeham. Arden melirik kaca depan.
"Eh eh eh! Lepas. Lepas. Pakai acara pelukan segala," omel Arden tanpa menoleh ke belakang. Karena dari kaca spion saja, Arden sudah bisa melihat mereka dengan jelas.
Radit melepas pelukannya, sementara Kiki tertawa kencang melihat mereka salah tingkah. "Elu pelit banget, Den. Sesekali nyenengin teman napa!" tutur Radit dengan mengerucutkan bibirnya.
"Nggak boleh! Jaga jarak aman."
"Yaelah ...."
Sampai rumah sakit Radit langsung dibawa menuju ruang IGD. Ia perlu operasi untuk mengambil peluru di tubuhnya. Beruntung, Radit cukup tangguh.
.
.
.

Satu bulan berlalu sejak insiden penculikanku. Tomy ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penculikan dan pembunuhan. Ia terbukti telah membunuh Friska secara tidak sengaja. Tomy memang menaruh hati pada Friska, tetapi Friska lebih tertarik pada Billy. Hal itu yang membuat emosinya memuncak. Mayat Friska dikuburkan di halaman belakang rumahnya. Hal ini membuat heboh satu sekolah juga lingkungan tempat tinggal Tomy. Orang tua Tomy sangat malu atas perbuatan anaknya. Bahkan sang ayah tidak pernah mau mengunjungi putranya selama di tahanan.

"Eh ... Nanti ke rumahku dulu ya. Aku belum bawa sepatu sama seragam basket," pinta Radit sedikit memaksa.

Sore ini jadwal Kak Arden, Radit, Doni, Dedi dan Ari latihan basket. Kami pun mengiyakan ajakan Radit. Dan ini juga hal yang kutunggu, karena aku belum pernah berkunjung ke rumahnya.

Kondisi Radit sudah lebih baik dari sebelumnya. Alhasil setelah pulang sekolah kamu ikut Radit ke rumahnya. Aku memang merengek minta ikut, karena bosan di rumah sendirian. Kedua orang tuaku sedang pergi ke luar kota. Sedangkan Kiki, jangan tanya mengapa ingin ikut mereka latihan basket di sekolah. Tentunya karena ada Doni. Danu dan Dion juga memang aktif basket, sama seperti Kak Arden, Radit, Doni, Dedi, dan Ari. Dengan menaiki dua mobil, kami berpencar. Satu mobil ke rumah Radit, satu mobil ke rumah Doni. Karena hanya mereka berdua yang belum membawa perlengkapan latihan.

Sampai di rumah Radit, semua sedikit takjub dengan pemandangan di depan kami. Kecuali Kak Arden. Rumah Radit terbilang cukup mewah. Pintu gerbangnya tinggi, dengan halaman yang sangat luas, lebih luas dari halaman rumah Kiki, tetapi tidak denganku. Ia malah merasa tidak nyaman saat melihat rumah ini. Ada sesuatu yang lain.

"Melongo aja," sindir Dion padaku yang duduk di sampingnya, bersebelahan juga dengan Danu, sedangkan kursi depan ditempati oleh Kak Arden. Aku hanya melotot ke Dion yang biasa usil.

"Kalian masuk dulu. Aku langsung ke kamar ya," kata Radit, melepas sabuk pengaman, turun dari mobil. Ia berlari kecil masuk ke dalam meninggalkan kami.

"Yuk, masuk. Gerah di sini," ajak Kak Arden turun lebih dahulu.

"Kak ..." panggilku lalu menyusul langkah kakakku dengan melingkarkan tangan di lengannya.

"Kenapa? "tanya Kak Arden santai.

"Kakak udah pernah ke sini sebelumnya?"

"Udah. Kenapa? Ada yang nggak beres ya?" tanya Kak Arden serius sambil menatap gelagatku yang aneh sejak sampai.

Itulah Kak Arden, dia bisa bersikap seperti manusia normal pada umumnya jika tidak ingin menggunakan kemampuannya. Kak Arden bisa mengatur sesuai keinginannya. Kapan ia ingin melihat makhluk astral atau tidak. Kak Arden bisa merasakan aura gelap di sekitarnya yang ditandai dengan demam di tubuhnya, tetapi hanya jika aura itu sudah terasa gelap pekat. Sedangkan aku bisa langsung tahu dan merasakan jika ada makhluk gaib di suatu tempat.

"Aku belum yakin sih, Kak. Cuma gimana ya. Aku nggak suka di sini," ucapku makin mengeratkan pelukannya di lengan kakakku.

"Ya udah, lagian kita di sini cuma sebentar aja, kan?"

Sampai di ruang tamu yang pintunya terbuka lebar, kami masuk dan hanya berdiri menatap beberapa furnitur yang memang antik di ruangan ini. Dion mengamati setiap sudut ruangan, lalu terpaku pada sebuah lukisan seorang wanita. Wanita dengan memakai pakaian adat Jawa yang terlihat sangat cantik. Setiap detail warnanya seperti hidup. Hal ini pula yang membuatku terkesima dan menjajari Dion.

"Keren ya, Tha," cakap Dion dengan menatap takjub lukisan di hadapan kami.

Aku mengulurkan tangan, menyentuh lukisan itu. Namun, hanya dalam hitungan detik, langsung aku menarik kembali tangan. Dahiku berkerut. Menatap lukisan ini aneh. Seperti ada sengatan listrik dengan siluet gambaran sebuah kejadian. Sebuah penyiksaan yang masih buram. Tidak jelas siapa korbannya dan siapa pelakunya.

Rumah Radit memang banyak lukisan dan patung ukiran. Sepertinya orang tua Radit sangat menyukai seni. Ada juga guci-guci besar dan mewah, yang pasti harganya cukup mahal. Hal ini menambah kesan horor di rumah Radit. Patung sangat tidak direkomendasikan untuk keluarga kami. Bunda tidak suka dengan pajangan seperti itu. Bahkan untuk lukisan dan foto juga sangat sedikit di rumah kami.

"Kenapa, Dek?" tanya Kak Arden yang melihat ku aneh.

Aku menggeleng pelan, karena tidak yakin dengan apa yang kulihat barusan.

Radit yang sudah siap dengan seragam basket pun, heran melihat aku. Dia mendekat. Seperti yang lain yang kini mengerubungiku.

"Kamu kenapa?" tanya Radit bingung. Semua akhirnya ikut menatap lukisan itu. Kalau aku atau Kak Arden bertingkah aneh, mereka pasti langsung curiga kalau ada sesuatu yang tidak beres.

"Kamu dapat lukisan ini dari mana, Dit?" tanyaku terus menatap lukisan ini dengan perasaan tidak nyaman.

"Oh itu, Papaku dapat pas lagi ke Bali. Baru sebulan di sini. Kenapa, Tha?" tanya Radit menyelidik.

"Nggak apa apa ... Yuk kita langsung ke sekolah," ajakku lalu segera berjalan ke depan diikuti yang lain. Walau ada rasa yang masih mengganjal, aku berusaha menepis semua itu agar teman-teman tidak khawatir, terutama Radit.

Sampai di sekolah, segera kami ke ruang basket. Di sana sudah ada Kiki dan Doni yang makin mesra saja. Suasana sekitar juga sudah ramai oleh beberapa anak yang akan bermain basket.

===

Latihan basket pun dimulai. Ini juga ajang tanding antar tim. Aku dan Kiki duduk di tempat duduk paling atas. Ada beberapa penonton juga di sekitar. Sehingga pertandingan sore ini cukup ramai.

"Eh, Tha, lihat tuh cewek yang bertiga di sana," tunjuk Kiki dengan mengangkat dagunya.

"Kenapa?" tanya ku santai. Dengan mata terus mengikuti pergerakan pemain.

"Risma kan naksir berat sama Radit," bisik Kiki sengaja mengatakan hal itu.

"Terus? Masalahnya apa buat gue?" tanya ku santai sedikit sinis, namun mataku melirik ke arah Risma. Aku penasaran dan memperhatikan tiap detail gadis di seberang dengan tatapan tidak suka.

"Yaelah, Aretha! Nggak usah sok cuek deh. Gue tahu elu naksir Radit," ujar Kiki ceplas-ceplos.

"Kata siapa, ngawur!" elakku lalu fokus melihat pertandingan basket.

"Hmm, gue kenal elu itu berapa lama sih, Aretha? Apa sih yang gue nggak tahu dari elu, hah?" tanya Kiki dengan nada sinis.

"Ya biar aja lah, Ki. Lagian aku sama Radit juga nggak ada hubungan apa-apa," ujarku dingin.

Latihan basket selesai diakhiri dengan tepuk tangan dari pelatih dan para penonton. Aku pun sangat antusias memberikan aplous pada mereka.

Tim Kak Arden mendekat ke tempat aku dan Kiki duduk. Tas mereka memang ada di sini karena kami selain menjadi penonton juga sekaligus penjaga tas mereka. Cukup berguna juga, kan. Aku menyodorkan botol air minum ke Kak Arden. Kak Arden langsung meneguk air itu hingga tandas.

Sementara itu, Risma mendekati Radit yang sedang mencari sesuatu di tasnya. Dengan keringat yang masih mengalir di sekujur tubuh. Bahkan bajunya juga sudah basah sebagian. Ia tidak memedulikan keringat yang mulai menetes jatuh ke lantai.

"Radit ... Nih aku bawain kamu jus. Pasti kamu haus, kan?" tanya Risma yang tiba-tiba saja sudah ada di antara kami. Dan cukup memberikan kebingungan pada kami, dengan saling melempar pandang satu sama lain.

"Nggak usah. Gue nggak minum es kalau abis latihan baskset."

Radit melirik ke arahku sambil meneguk air minum yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas. Semua orang melirik ke arah Risma dan Radit lalu beralih kepadaku yang agak salah tingkah melihat Radit didekati Risma. Entah kenapa aku mulai gerah. Risma sedikit mati kutu mendapat penolakan dari Radit, tetapi usahanya tentu tidak hanya sampai di sini.

"Dit, nanti pulang bareng yuk. Rumah kita kan searah," ajak Risma sedikit manja.

"Maaf, aku balik sama Aretha nanti."

Radit menatapku tajam, Aku melotot, dan kaget dengan pernyataan Radit barusan. Radit mengedipkan sebelah matanya kepadaku tanpa diketahui Risma. Dan aku mengerti maksud perkataannya.

"Bukannya Aretha pulang sama Arden, ya?" Risma melirik ke arahku, sinis. Sepertinya ia tidak ingin gagal dalam menarik perhatian Radit.

"Aku mau pergi sama Dedi nanti, jadi Aretha pulang sama Radit," kata Kak Arden berkomplot dengan rencana Radit. Kompak sekali mereka, ya. Risma agak kesal, tetapi mampu ia tutupi agar tidak terlalu kentara.

"Oh ya udah, lain kali aja deh, Dit. Aku balik sama Angel aja," ujarnya lalu berlalu pergi meninggalkan Radit yang masih cuek.

Kami lantas hanya menanggapi dengan senyum kecut melepas kepergian dua wanita tadi.

"Ya udah sono, pada pulang duluan," suruh Kak Arden melirik kepadaku dan sahabatnya.

"Kakak mau ke mana sama Dedi?" tanyaku penasaran.

"Biasa, urusan cowok," sahut Kak Arden santai. Aku mengerucutkan bibir, lalu menarik tangan Radit.

"Ciee," canda Danu lalu tertawa bersama yang lain.

"Eh! Jangan iseng ya!" ancam Radit sambil mengulum bibirnya dengan wajah sedikit memerah.

"Wooo! Seneng juga!"

Sampai di parkiran, Radit menahan tangan ku lalu menatap kedua bola mataku lekat-lekat. Sejak tadi aku hanya terus menarik tangan Radit dengan mulut terkunci.

"Tunggu sebentar. Kamu kenapa?" tanya Radit padaku yang berdiri di hadapannya. Aku sadari, kalau Sikap ku sedikit lebih manja dari biasanya dengan terus menekuk wajah dan menatap kaki sendiri yang terus digesek-gesekkan ke tanah. Tak menjawab pertanyaannya Radit, dia malah mengacak-acak rambut ku sambil tersenyum tipis. "Aretha ..." panggil Radit lagi karena tidak mendapat respon dariku.

"Enggak apa-apa," sahutku akhirnya buka suara sambil memalingkan wajah ke arah lain. Radit terdiam. Dia terlihat bingung. "Ya udah, yuk aku anter pulang."

Saat Radit berbalik dan menggandeng ku menuju mobil, Aku malah menahan tangan tangan Radit yang berjalan di depan. Ada seseorang di dalam mobil Radit. Wanita dalam lukisan tadi. Ia sangat cantik dengan tatapan mata yang tajam dan dingin.

Radit berbalik. "Ada apa?"

"Eum .... " Aku tergagap dan bingung bagaimana harus menjelaskan ke Radit. Aku sangat gusar. Beberapa kali melihat ke arah mobil Radit yang terparkir tak jauh dari kami, dan itu pasti disadari oleh Radit.

Radit mendekatkan wajahnya dekat sekali dengan wajahku. "Hei ... Ada apa? Kamu lihatin apa?" tanyanya sambil menoleh ke mobil. Ia sadar ada hal aneh yang dilihat ku tadi. Aku menunduk lalu menatap wajah Radit sambil menelan ludah berkali-kali. Saat aku menoleh lagi ke dalam mobil Radit, sosok itu hilang. Aku menyapu pandang ke sekeliling, dan tidak ada siapa pun di sekitar kami.

"Nggak apa-apa. Yuk, pulang," ajakku lalu masuk begitu saja ke mobil. Radit hanya garuk-garuk kepala melihat tingkahku yang memang suka aneh. Aku yakin dia berpikiran demikian.

Sepanjang perjalanan Radit ngoceh ngalor-ngidul. Sementara Aku hanya diam mendengarkan. Aku masih penasaran dengan sosok wanita tadi. Bagaimana bisa sosok wanita itu sangat mirip objek di lukisan itu. Apakah wanita itu keluar dari dalam lukisan? Ini terdengar aneh jika diutarakan.

"Radit."

"Iya, Tha?"

"Mmm ... Kamu selama tinggal di rumah sendirian ... nggak takut?"

"Takut? Takut apaan?" Radit malah balik bertanya.

"Ya apa gitu, setan ... misalnya," ucap ku memelankan nada bicara, sambil melihat jalanan sekitar.

Radit diam sejenak. Seperti ada yang hendak ia ceritakan namun masih ragu.

"Mmm ... Kenapa kamu nanya gitu? Kamu lihat sesuatu di rumahku?"

Aku menatap Radit dalam, "Entahlah, Dit. Aku kurang nyaman aja sama rumah kamu," jelas ku lalu beralih menatap keluar jendela.

"Mungkin kamu harus sering-sering ke rumah aku deh."

"Ngapain?"

"Ya ... Ngapain kek gitu. Main kelereng kek, atau main petak umpet," ujar Radit terkekeh mendengar jawabannya sendiri.

Aku tak menanggapi, dan hanya melipat kedua tangan di depan dada. Kami terdiam beberapa saat. Tak lama setelah itu aku meraba tengkuk. Dan menoleh ke belakang. Rupanya, sosok wanita tadi sedang duduk di jok belakang. Wajahnya pucat, diam tanpa ekspresi. Aku sontak melihat ke depan lagi dengan makin gusar. berusaha mengabaikannya, menganggap sosok itu tidak ada. Hanya saja, sikapku berbanding terbalik dengan pemikiranku. Sosok tadi mulai mempermainkan Aretha dengan meniup pelan di bagian telinganya. Itu tidak berlaku untuk Aretha saja, tetapi Radit juga. Radit ikut memegang tengkuknya lalu menoleh ke belakang. Lalu kembali melihat Aretha yang makin salah tingkah. Ia terus memejamkan mata dengan wajah menghadap jendela. Bukan hanya itu saja, suara berdecak mulut yang sedang mengunyah terdengar berisik sekali.

Dari ujung ekor mata Aretha, ia melihat sosok itu memuntahkan apa yang dia kunyah, diiringi bau anyir yang cukup menyengat. Muntahannya berupa gumpalan daging yang berwarna merah darah. Aretha tidak kuat lagi. "Berhenti!" teriaknya. Radit seketika menghentikan laju mobil. Aretha segera keluar. Kejadian tadi berhasil membuat Aretha memuntahkan seluruh isi perutnya. Radit ikut turun dari mobil lalu menghampiri Aretha yang masih muntah-muntah. Ia memijat tengkuk Aretha dengan lembut. "Kamu sakit, Tha?" tanyanya.

"Jangan, Dit. Kamu ke sana aja dulu," pinta Aretha dengan kondisi tubuh yang mulai lemas. Ia tidak nyaman jika Radit melihatnya dalam keadaan seperti ini.

"Enggak apa-apa kok," kata Radit lembut dan terus menemani Aretha.

Setelah semua isi perutnya keluar, Aretha mencoba duduk di sebuah kursi bambu terdekat. Radi kembali ke mobilnya, mengambil minyak angin untuk memijat Aretha." Gimana? Mendingan nggak?"

Aretha yang sudah lemah hanya mampu mengangguk.

"Ya udah, kita pulang. Biar kamu bisa istirahat," kata Radit lalu menggandeng tangan Aretha. Namun, saat sampai di dekat mobilnya, aretha kembali menahan tangan Radit. Radit sadar, memang ada yang tidak beres dengan mobilnya. Ia menoleh,"Kenapa, Tha?"

"Itu, Dit. Di mobil kamu ..." ucap Aretha berbisik.

Radit memincingkan mata, melihat ke dalam mobil. Seketika matanya membulat, ia mundur satu langkah, lalu berbalik menghadap Aretha dengan wajah pucat." Jadi itu yang kamu lihat?" tanyanya pelan. Aretha mengangguk menanggapinya. Radit menarik napas dalam. "Nanti juga dia pergi kok,udah biasa," tutur Radit. Seolah hal seperti ini sudah biasa terjadi. Beberapa menit berlalu, Aretha kembali melihat mobil Radit yang sudah kosong. Akhirnya mereka bisa pulang juga, kondisi Aretha juga sudah lebih baik. Namun, sikap Radit yang kini aneh.

=====

Suara pintu yang diketuk dengan kasar dan terburu-buru, membangunkan tidur Aretha. "Siapa sih yang datang malam-malam gini," batin Aretha. Ia melirik jam beker yang berada di meja nakas.

"Astagfirullah!" Aretha terkejut saat melihat jam menunjukkan pukul satu dini hari. Ia diam sesaat sambil menajamkan pendengarannya. Rupanya memang pintu rumahnya sedang digedor-gedor seseorang. Pasti ada tamu yang datang dengan urusan yang sangat penting.

Ia segera beranjak keluar kamar dengan kesal. Saat sudah di luar, Aretha melihat Arden yang juga terganggu dengan tamu tengah malam itu. "Siapa ya, Kak?" tanya Aretha.

Arden mengangkat kedua bahunya dan terus menatap ruang tamu. Mereka berdua tampak enggan membuka pintu. Tak lama Indra dan Nisa juga keluar dari kamar.

"Siapa sih itu? Coba dilihat dulu! Kok malah pada bengong," perintah Indra.

"Takut tamu tak kasat mata, Ayah," sahut Aretha menutup mulutnya yang terus menguap menahan kantuk.

"Masa masih takut sama yang nggak kasat mata."

"Emang Ayah nggak takut?"

"Sedikit."

Aretha melirik tajam sang ayah, yang ditanggapi senyum tipis pria empat puluh tahun itu.
johny251976
coeloet
theorganic.f702
theorganic.f702 dan 3 lainnya memberi reputasi
4