Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:



KKN Di Dusun Kalimati

Quote:


Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.

Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.

Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.








INDEKS

Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah



Quote:


Quote:


Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.

Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.

Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).

INDEKS

Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end





Quote:


Quote:



INDEKS

Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang

Konten Sensitif


Quote:

Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.

INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu



Quote:


Quote:


INDEKS

part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 14:46
ferist123
kemintil98
arieaduh
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
19.6K
306
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
#178
4. Kencan
Kiki terlihat terus melebarkan senyum sejak pagi. Apalagi jika sedang melihat ponselnya dengan foto Kiki dan Doni tentunya. Aku hanya memperhatikannya, lalu mendengus sebal tatkala tingkah Kiki yang makin menggila.

"Senyum teruuus!" Sadar akan kalimatku yang sengaja menyindirnya, Kiki hanya menjulurkan lidah.

Kami sedang ada di kantin. Karena jam pelajaran pagi ini sedang kosong. Padahal tugas ada di depan mata, tetapi cacing di perut yang mulai berontak, membuat kami lebih memilih mengisi perut daripada mengerjakannya. Apalagi dengan dukungan Danu dan Dion. Kami memang kelompok yang sangat cocok dalam hal meninggalkan kelas di jam pelajaran.

"Siwon mana?" pertanyaanku mampu membuat Danu dan Kiki mengerutkan kening.

"Siwon lagi konser di Korea," jawab Kiki sekenanya, sambil asyik membalas chat Doni.

"Ngigau ya, Tha?" tanya Danu sambil memegang keningku.

Kiki yang melihat keanehan ini langsung menepuk punggung Danu. Kesal.

"Ngigau kok megang kening? Itu demam, bego!" umpat Kiki lalu melirikku yang masih celingukan. "Ngapain nyari Siwon sih, Tha? Gila yah?"

"Suruh pesenin bakso, aku males bangun, " jawabku santai. Kedua orang di depanku itu hanya diam, dan terus menatap ke arahku aneh.

"Ih, masa kalian nggak tahu Siwon? Itu tadi ke toilet sama Danu, kenapa belum balik juga?"

Danu mendengus kesal, "Dion kalee, Arethaaa!"

Aku pun tertawa senang. Apalagi setelah melihat Siwon, eh Dion muncul. Hanya saja, tawaku seketika berhenti karena gerombolan pria di belakang Dion. Aku lantas melirik ke arah Kiki yang memasang wajah sok imut dengan menampilkan puppy eyes. Selain Dion, ada Doni, Radit, Kak Arden dan yah, semua anak-anak itu.

"Dek? Kok di kantin?" tanya Kak Arden menunjukku dengan telunjuk kanan, sementara tangan kirinya berkacak pinggang.

"Jam kosong, Kak. Lagian laper, ya udah deh. Kakak sendiri ngapain? Minggat ya? Minggat berjemaah!" selidikku dengan menyipitkan mata menginterogasi mereka satu-satu. "Enggak dong. Enak aja. Jam kosong juga," bela Kak Arden lalu menyeret kursi kosong di dekatku.

Kami semua duduk di meja yang sama lalu memesan makanan. Doni langsung duduk di samping Kiki. Tingkah mereka tidak bisa disembunyikan lagi. Tapi aku yakin belum banyak yang tau tentang gosip ini.

"Eh, makan-makan, ya!" tuding ku ke arah mereka berdua. Sebuah kalimat yang mengandung banyak arti. Dan aku yakin mereka mengerti arah pembicaraan ku.

"Makan-makan dalam rangka apa, Tha?" tanya Dedi.

"Noh! Temen elu, jadian sama teman gue!"

"Hah!" seru mereka lalu mendekat ke Doni dan mengapit kepala Doni. "Jadian nggak bilang-bilang ya, pantesan sikap lu aneh dari kemarin. Kampret!" umpat Ari. Sekalipun penyiksaan tadi terlihat kejam, tetapi satu per satu menyalami Doni. Pertanda bahagia. Akhirnya Doni menjadi satu-satunya anggota yang tidak jomblo, atau bahkan berkurang dua anggota yang berstatus jomblo.

"Thanks, Bro! Sesuai kata Aretha ... Gue yang traktir!" kata Doni bangga. Cih, sombong sekali dia. Tapi lumayan, uang jajanku utuh.

Bakso menjadi penyumpal mulut kami sekaligus menyumpal cacing di perut tentunya. Hubungan Kiki dan Doni mendapat restu dari kami semua. Radit sesekali melirik ke arah ku, begitu juga denganku. Kejadian kemarin cukup berkesan. Tiba-tiba Kak Arden berdeham dan melirik kami.

"Kenapa, Den? Baksonya diabisin, nanti dingin nggak enak," sergah Radit sok baik. Kak Arden hanya melirik sambil terus menyantap bakso pedas di hadapannya.

===========

Kelasku berbondong-bondong menuju ke aula. Ada penyuluhan kesehatan dari puskesmas terdekat mengenai pergaulan anak remaja zaman sekarang. Bahaya seks bebas hingga narkoba. Penyuluhan ini akan terus dilakukan perangkat kesehatan desa di tiap sekolah.

Sejak masuk Aula, Aku sering menekan kepala. Rasa berat dan pusing terus kurasakan. Apalagi dengan bisingnya suara teman-teman, membuat ku makin tidak nyaman.

"Tha? Kenapa?" tanya Kiki dengan berbisik.

"Pusing banget, Ki." Tengkuk terus kutekan, tubuhku juga terasa makin berat. Tiba-tiba seseorang berteriak. Temanku yang duduk paling depan menangis histeris membuat semua orang bingung. Awalnya beberapa orang mendekat karena ingin membantu, tetapi Siwi, malah mengamuk dan mencakar orang-orang itu. Ia menggeram dan bertingkah layaknya macan.

"Tha ..." panggil Kiki tanpa melepaskan pandangannya ke Siwi. Ia ketakutan namun masih bersikap tenang. Terlihat sekali dari cengkeraman tangannya di lenganku. Dan langkah seribu belum juga ia lakukan. Biasanya Kiki akan langsung kabur jika bertemu hal seperti ini. Semua orang sudah tahu kalau Siwi kerasukan.

"Kabarin Kak Arden," sahutku lalu berjalan mendekat. Baru beberapa langkah, siswi lain ikut histeris. Kini ada sekitar lima siswi yang kesurupan. Bersamaan. Aku menoleh ke Kiki yang terlihat masih melongo.

"Kiki! Buruaaan!" teriakku kesal.

Kiki meraih gawai di sakunya, lalu menekan panggilan. Sementara Aku, mendekat ke Siwi yang makin menjadi.

"Pegangin, Woi! Jangan diam aja!" omelku ke Danu dan Dion yang ada di dekatku. Seolah kembali ke kesadaran, mereka bergegas membantu. Aku mulai melantunkan doa-doa rukiah yang sudah dipelajari sejak dulu. Didikan Pakde Yusuf, membuat kami lebih kuat jika harus menghadapi hal seperti ini. Itu karena kami sendiri adalah anak indigo, jika kemampuan kami tidak diasah dan diarahkan maka hidup kami akan kacau. Tidak semua orang mempunyai kemampuan unik melihat makhluk astral, dan bertahan dengan keadaan mereka. Jika tidak kuat dengan keadaan itu, mereka bisa gila. Begitulah kata Pakde Yusuf.

"Aaawww!" Danu melepaskan tangannya karena Siwi menggigit hingga sedikit mengeluarkan darah. Hal itu membuatku yang masih melantunkan ayat suci terlempar jauh karena tendangan Siwi yang cukup kuat. Namun aku segera berdiri kembali dan mendekat ke Siwi. Aku yang tidak memperhatikan sekitarnya, dan hanya fokus pada Siwi saja, hampir terkena lemparan kursi dari arah belakang.

Tubuhku jatuh ke lantai karena dorongan seseorang yang sekaligus juga memelukku. Radit meringis kesakitan karena punggungnya membentur tembok dengan cukup keras. Kami berdua saling melempar pandangan. Hampir aja aku mati, pikirku. Dan sejak kapan dia muncul di sini.

Di belakang Radit muncul Kak Arden dan yang lainnya. Mereka sudah paham apa yang harus dilakukan, hingga tanpa mendapat komando lagi, Dedi, Ari, dan Doni, sudah membantu yang lain. Kebanyakan anak Rohis yang ada di sini, membantu siswa yang kesurupan.

"Kamu nggak apa apa, Dek?" tanya Kak Arden langsung memeriksa keadaanku. Aku menggeleng sambil memeluk tubuhku sendiri karena rasa sakit yang cukup kuat. Setidaknya dengan begini sedikit tertahankan. Perutku pun sedikit nyeri karena tendangan Siwi. Hanya saja apa yang aku rasakan tidak seberapa, karena hal ini adalah hal yang kerap terjadi dahulu.

"Kakak ngecek yang lain dulu, ya. "

Aku mengangguk lalu berjalan menuju Radit yang sedang memeriksa punggungnya. "Coba aku lihat," kataku lalu menaikkan baju Radit. Punggung Radit memar dan ada beberapa luka gores. Aku menghampiri Diah untuk meminta obat. Diah adalah anak PMR yang sudah bersiap di luar aula. Rupanya anak PMR harus cekatan, seperti Diah. Ia tahu akan terjadi banyak korban dan segera mengambil kotak P3K di UKS .

Aku mengobati luka Radit dengan perlahan. "Pelan, Tha. Sakit."

"Iya. Ini juga pelan kok."

"Tha ... kamu ... nggak apa-apa, kan?"

Aku menghentikan gerakan sambil tersenyum tipis. Lalu kembali mengambil obat oles di samping, melanjutkan mengobati luka Radit. "Aku nggak apa-apa. Makasih ya, Dit."

"Sama-sama, Tha."

Pak Idris datang dengan seorang pria berpeci putih. Saat memasuki aula, pria berpeci itu tersenyum, melirik padaku yang memang berada tidak begitu jauh darinya. Aku mengernyitkan kening, dan diam tak mengucapkan apa pun. Satu per satu siswa yang kerasukan mulai sadar. Kegiatan penyuluhan akhirnya dihentikan.

"Aretha!" Radit berlari kecil berteriak di sepanjang koridor sekolah menuju padaku yang hampir masuk ke ruang kelas. Aku menatapnya heran. Hingga saat kami hanya berjarak satu meter saja, Radit menekuk tubuhnya dengan bertumpu pada lutut. Napasnya tak beraturan. Seperti dikejar setan saja.

"Kenapa?" tanyaku dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Nanti sore. Kita ... nonton, yuk," ajak Radit sambil mencoba menetralkan napasnya.

"Nonton?" tanyaku melihat ke langit-langit mencari jawaban yang sebenarnya mudah, tetapi bayangan sosok di bioskop kemarin, masih terngiang jelas.

"Eh, tapi kalau emang kamu nggak mau, ya udah. Kita ke mall aja yuk, atau makan. Terserah kamu deh pokoknya, yang penting kita pergi besok sore." Kalimat Radit agak kacau membuatku terkekeh.

"Jadi, mau nonton, ke mall atau makan?"

"Tiga-tiganya juga boleh."

"Oke, jam tiga jemput aku," sahutku, lalu melenggang masuk ke dalam kelas. Samar tapi pasti, aku mendengar jeritan suara Radit yang  bersorak tertahan, mungkin sambil menutup mulut. Di sisi lain, aku juga menahan senyum karena ajakkan barusan. Kuakui hati ku berbunga-bunga, bagai ada kupu-kupu yang ingin keluar dari jantung dan terbang. Ini adalah kencan pertama seumur hidupku. Pergi berdua dengan laki-laki selain keluargaku, dan tentu aku memang menyukai laki-laki itu.

==0==

Mobil Radit masuk ke halaman rumahku. Suaranya terdengar sampai kamarku yang kebetulan dekat halaman. Aku menengok ke jendela dan melebarkan senyum. Kebetulan, ayah dan bunda ada di teras sedang bersantai sambil menikmati secangkir kopi dengan kue. Bunda pandai memasak. Bahkan sekarang membuka katering di rumah.

"Deeek! Ada Radit nih!" seru Kak Arden yang suaranya terdengar pelan.

Aku yang sudah siap lantas berlari kecil keluar kamar guna bertemu Radit. Sampai di teras kedua orang tuaku saling bertukar pandang. "Nyari Aretha?" tanya mereka bersamaan dengan sedikit heran.

Aku yang baru sampai teras hanya melongo tidak paham. Sementara Radit hanya mengangguk sungkan. Bunda menaikkan sebelah alisnya menatap ayah. Sementara ayah hanya mengedikkan kedua bahunya. Yah, ini pertama kalinya anak gadis mereka kencan. Begitulah yang bisa kutebak dari raut wajah kedua orang tuaku. 

"Bilang dong, kalau cari Aretha," seru bunda menepuk bahu Radit pelan. Aku pun ikut duduk bersama mereka. Radit hanya menatapku tegang. Sepertinya akan ada wawancara ekslusif dahulu, terlihat dari sikap ayah.

"Bapak kerja di mana, Nak Radit?" tanya ayah serius. Mendengar pertanyaan ayah, Kak Arden menahan tawa sambil mengambil kue di meja. Seakan-akan sedang meledek Radit. Kak Arden hanya diam saja sambil mendengarkan interviu dari ayah kepada kawannya itu.

"Papa cuma wirausaha saja, Om. Membuka toko keramik di luar kota. Kalau Mama, desainer."

Ayah manggut-manggut paham. Lalu menutup koran yang ia baca tadi. Kedua tangannya dilipat ke dada dengan terus menatap Radit. Radit hanya menunduk menatap kedua kakinya di bawah. Baru kali ini ia terlihat sangat gugup.

"Toko keramik apaan? Lu mah merendah. Ayah, dia ini anak juragan keramik terkenal loh," timpal Kak Arden sambil menepuk bahu Radit, "Tenang aja, bokap gue nggak galak kok, cuma sadis," bisik Kak Arden pelan. Namun masih dapat kudengar dari tempatku duduk. Radit memukul lengan Kak Arden lalu tersenyum ke ayah

"Bohong, Om. Juragan apaan sih?"

Ayah tersenyum lalu menarik napas dalam. "Saya tahu siapa Papa kamu."

"Tahu dari mana, Om?" tanya Radit sedikit terkejut.

"Nama Papa kamu Sandy Wiratama, kan?"

Radit mengangguk pelan dengan wajah sedikit bingung. Begitu pula denganku. Darimana ayah tau? Sementara ayah malah tersenyum.
"Hati-hati ya, jangan macam-macam sama anak saya, saya tahu semua soal kamu!" hardik ayah dengan nada mengancam. Wajah Radit memucat, Kak Arden mendekatkan wajahnya ke Radit.

"Jangan main-main sama bokap gue, kalau Aretha sampai kenapa-kenapa ...." jari telunjuk Kak Arden diletakkan di lehernya, lalu membentuk garis melintang sebagai ancaman. Mulut Kak Arden mengucap kata 'mati' tanpa mengeluarkan suara apa pun. Hanya gerak bibirnya saja yang terlihat.

Glekk! Radit terlihat menelan ludah. Dan membuatku menahan tawa. Mereka ini bisa saja mengerjai Radit sampai seperti ini. Seketika Kak Arden tertawa terbahak-bahak.

"Serius banget, Dit! Becanda kali," seru Kak Arden tanpa berhenti tertawa.

"Kampret lu! Nakut-nakutin aja!" umpat Radit berbisik.

Bunda mengantarku sampai halaman. Wanita di samping ku ini memang selalu menempatkan dirinya bukan hanya sebagai ibu, tetapi juga teman, dan sahabat. Di saat anak gadisnya dilirik temannya, mereka tidak akan melarang, hanya saja gerakan ayah lebih cepat dari dugaanku. Mungkin, kah, ayah selalu memantau tiap orang yang dekat dengan anak-anaknya, ya. Mulai dari siapa orang tua mereka, pekerjaan, bibit, bebet, dan bobot. Buktinya ayah tau tentang ayah Radit.

"Hati-hati ya, Nak Radit," pinta bunda ramah yang masih memeluk lenganku. Bagi bunda, mengenal pria yang sedang mendekati anaknya adalah hal yang tepat, agar bunda tahu bagaimana perilaku pria itu. Tentunya, agar aku mendapat pasangan yang baik. Begitulah kata bunda beberapa waktu lalu. Katanya setelah masuk SMU bunda sangat yakin kalau aku akan bertemu laki-laki yang mungkin menyukaimu atau aku menyukainya. Atau keduanya. Bunda memang paham sekali.

Kami berpamitan lalu segera pergi meninggalkan rumah. Selama perjalanan Radit banyak diam. Aku yang melihat keanehan itu, akhirnya angkat bicara. "Kamu kenapa?"

"Ah, aku? Aku ... Nggak apa-apa kok, Tha." Radit cengengesan menutupi kegelisahannya. Sesekali pandangannya tertuju ke arah jendela di samping. Gerak gerik nya terlihat aneh. Dan itu terlihat jelas sekali.

"Jangan bohong!" hardikku dengan lirikan tajam. Merasa ditatap begitu, Radit pura-pura fokus pada kemudinya. Aku menyentuh lengan Radit pelan, "Radit."

Radit menoleh pelan, lalu memaksa melebarkan bibir. "Aku cuma grogi dikit tadi. Ayah kamu mirip intel, ya?" tanya Radit

Aku mengernyitkan kening lalu tertawa lepas. Radit yang bingung lalu berkali-kali menoleh ke Aretha yang terus tertawa.

"Kok ketawa?" tanya Radit dengan nada bicara yang sedikit dinaikkan.

"Ayahku emang intel kali, Dit. Pppfff ...."Aku menutup mulut, merasa lucu melihat reaksi Radit.

"Pantesan, Ayah kamu tahu nama papaku, terus semuanya," cetus Radit semangat. "Padahal, kan aku nggak pernah cerita ke kalian selama ini."

"Iya, ya? Aku juga baru tau tadi malah. Hahaha ... Papaku mirip dukun ya? Serba tahu," candaku.

"Dih, kamu malah ketawa mulu."

Tak terasa kami sampai di mall. Setelah memarkirkan mobil, kami segera menuju lantai empat, wahana hiburan timezone ada di lantai itu. Selama satu jam kami mencoba berbagai permainan. Dari basket, balap mobil, naik kereta mini, sampai photo box dengan mimik wajah bermacam-macam.

"Udah mau magrib, kamu nggak salat dulu?" tanya Radit sambil menatap jam di pergelangan tangannya.

"Eum, kamu gimana?"

"Aku nunggu di depan nggak apa-apa kok, Tha," ujarnya. Radit memang non muslim.

Aku pun mengiyakan tanpa banyak berkomentar. Mall ini juga disediakan musala di tiap lantai. Beberapa orang sudah mulai berwudu. Ada juga yang sudah bersiap akan salat.

Aku masih duduk menunggu mukena yang disediakan di musala. Karena mukena hanya beberapa saja, maka untuk wanita harus mengantre. Aku menyapu pandang ke sekeliling. Beberapa kali juga, ia menatap Radit yang sedang menunggu di luar. Ia tersenyum. 

Giliranku salat. Aku memutuskan berada di karpet hijau paling depan. Di sini khusus wanita saja. Dan untuk pria ada di ruangan sebelah. Saat salat, aku mencium bau wangi. Dan dari ujung ekor mataku, ada seseorang yang menjejeri shaf ku. Tapi entah kenapa dia terlihat bersinar terang. Hingga aku sedikit tidak fokus. Namun saat rakaat terakhir dan salam, orang itu tidak ada di samping ku.

"Mba? Saya pinjam mukenanya, ya?" tanya seseorang di sampingku yang membuat perhatiannya teralih, aku mengangguk lalu menyunggingkan senyum melepaskan mukena dan memberikan pada ibu tersebut. Aku menoleh ke Radit, dia yang sejak tadi melihatku bertanya dengan bahasa isyarat. Dan aku hanya menggeleng. Sosok tadi tidak ada sekarang.

Selesai salat kami makan dahulu di sebuah kedai yang ada di mall lantai atas. Radit memilih meja yang berdekatan dengan jendela. Pemandangan kota terlihat dari tempat mereka duduk. Gemerlapan lampu membuatku terus menatap pemandangan itu sambil tersenyum.

"Kamu suka?"

"Suka. Aku suka daerah tinggi, soalnya aku bisa lihat keadaan di bawah dengan gampang, tapi aku nggak suka tempat sempit. Karena aku takut. Aku bisa langsung nggak bisa napas kalau gitu."

"Kamu tahu nggak, kalau dulu aku paling takut setan."

"Masa sih? Tapi kemarin-kemarin kamu ...."

"Iya. Sejak ada kamu, aku jadi berani. Aku pikir, kalau aku takut, terus gimana sama kamu. Gimana cara aku melindungi kamu nanti. Padahal tiap hari kamu harus berurusan sama makhluk-makhluk itu, kan? Jadi aku nggak boleh takut. "

Aku tersenyum tipis saat pelayan kedai datang, kami akhirnya menyantap makan malam di atas gedung tinggi ini. Dan hal ini adalah hal paling romantis seumur hidupku. Dan juga pertama kali.

__
3.maldini
coeloet
theorganic.f702
theorganic.f702 dan 2 lainnya memberi reputasi
3