- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
yusrillllll dan 205 lainnya memberi reputasi
202
285.6K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#917
#70 - Just Another Storm
Spoiler for #70 - Just Another Storm:
Gua masih berbaring di ranjang dalam kamar kos saat menerima pesan dari Jeje; ‘Gua jalan ke kantor’ Gua bangkit, duduk di tepi ranjang, lalu menatap ke arah jam yang masih menunjukkan angka 6.30 pagi.
‘Pagi2 gini?’ balas gua. Kemudian berusaha untuk menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali hingga suara datarnya menyambut gua; “Halo…”
“Ngapain? pagi-pagi?”Tanya gua.
“Meeting..”
“Meeting sama siapa?”
“Rossi…” Jeje menjawab singkat.
“Tunggu, bareng aja. Gue jemput…”
“Nggak usah, ini gua udah pesen ojek online…” Jawab Jeje.
Selesai bicara dengannya melalui sambungan ponsel, gua langsung bersiap-siap, untuk berangkat ke kantor.
‘Kalau agenda meetingnya perkara akuisisi perusahaan, kenapa Jeje nggak melibatkan gua?’ gua bertanya-tanya dalam hati. Sekarang kan gua udah jadi bagian dari rencana akuisisi tersebut.
Begitu tiba di kantor, gua berjalan cepat, menyusuri koridor dan langsung menuju ke ruang kerja.
Di sudut terjauh ruangan, di salah satu ruang meeting kecil dengan dinding kaca transparan, terlihat Jeje dan Rossi berada di dalamnya. Satu sosok lagi; Aldina, duduk tepat di sebelah Jeje.
Ketiganya tengah pasang tampang serius sambil membahas sesuatu. Gua mendekat ke arah ruang meeting. Jeje sempat melirik ke arah gua sebentar, kemudian kembali beralih ke Rossi dan melanjutkan diskusinya. Sementara, Aldina terlihat sesekali ikut bicara dengan tangannya membuat gestur seperti tengan menjelaskan sesuatu.
Rossi yang duduk di seberang mereka juga terlihat serius. Ia melipat kedua tangannya di dada, sementara matanya menatap tajam ke arah Jeje dan Aldina.
Gua sengaja memposisikan diri di tempat dimana Jeje bisa dengan mudah melihat gua. Lalu bersandar pada dinding dan menunggu.
Mungkin kehadiran gua tepat diluar ruang meeting dan dengan posisi tepat dalam jangkauan pandangannya, mulai mengganggu konsentrasinya. Jeje lalu berdiri lalu melangkah keluar dari ruang meeting.
“Wait, Lad… ntar gua jelasin ke elo..” Ucapnya.
“Yaudah lo lanjut aja. Biarin gue tunggu disini…” Jawab gua sambil pasang tampang cemberut. Tentu saja karena merasa kecewa nggak dilibatkan dalam meeting ini.
“Ya gua nggak bisa konsentrasi kalo lo terus ada di pandangan gua…” Jawabnya.
Gua menghentakkan kaki pada lantai, lalu bergegas pergi ke meja kerja, berharap Jeje menahan kepergian gua. Namun, saat gua pergi menjauh, Jeje malah langsung kembali masuk ke ruang meeting.
“Ih…” Seru gua.
Duduk di kursi meja kerja, gua nggak langsung membuka laptop untuk bekerja. Melainkan memutar kursi agar menghadap ke ruang meeting, memandangi mereka bertiga yang masih terlihat serius berdiskusi.
Namun, hal itu nggak berlangsung lama. Begitu melihat gua datang, Paul langsung menghampiri, meletakkan laptop miliknya di atas meja gua dan memperlihatkan hasil dari campaign research yang baru saja selesai dikerjakannya.
Mau nggak mau fokus gua teralih, dan mulai meninggalkan perhatian dari Jeje, Aldina dan Rossi ke arah layar laptop milik Paul.
Berjam-jam kemudian, menjelang makan siang, setelah ratusan kali gua melongok ke arah ruang meeting, barulah pintu ruang meeting terbuka, disusul Rossi yang langsung keluar dari ruang meeting. Ia berjalan cepat menuju ke arah koridor, keluar dari ruang kerja. Sementara, Aldina menyusul nggak lama setelahnya. Seperti biasa, ia terlihat cantik, modis dan anggun. Bahkan saat ia tengah dalam perjalanan keluar dari ruangan, hampir semua mata karyawan menatap ke arahnya, yang pria memandang dengan takjub, sementara yang wanita memberi tatapan kekaguman.
Gua buru-buru berdiri, mengabaikan pekerjaan yang belum selesai dan bergegas menuju ke ruang meeting.
Jeje terlihat tengah membereskan laptop miliknya dan bersiap keluar saat gua masuk ke dalam ruang meeting. Gua buru-buru menutup pintu, menekan tombol untuk memburamkan kaca ruangan agar nggak terlihat dari luar dan mendekat ke Jeje.
“Mau makan nggak?” Tanyanya tanpa menatap gua.
“Kenapa gue nggak di ajak?” Gua balik bertanya, mengabaikan ajakan makan darinya.
Jeje menatap gua lalu tersenyum.
“Mau makan nggak?” Tanyanya lagi.
Gua terdiam sebentar, kemudian mengangguk.
Saat kami berdua baru saja keluar dari ruangan, terlihat Aldina berdiri sendirian. Ia bersandar pada dinding tepat di seberang pintu lift. Gua menghentikan langkah, lalu menarik ujung kaos Jeje dan berbisik; “Pokoknya gue nggak mau makan bareng sama dia..”
“Iya…” Jeje menjawab pelan.
Aldina melirik ke arah kami berdua. Sementara Jeje menekan tombol di sisi pintu lift, gua berdiri menatap Aldina. Ia membalas pandangan gua lalu menyeringai sebentar kemudian bertanya; “Mau makan siang?”
“...” Gua nggak menjawab.
“... Yuk gue traktir…” Ucapnya.
Ajakannya tersebut bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Tanpa aba-aba, Aldina langsung maju, meraih lengan Jeje dan memaksanya masuk. Melihat hal tersebut, gua buru-buru menyusul keduanya.
Gua merangsek, memposisikan diri diantara mereka berdua. ‘Enak aja lo sebelah-sebelahan sama Jeje’ Batin gua dalam hati.
“Mau makan dimana?” Tanya Aldina. Entah, pertanyaan tersebut ia tujukan ke siapa, ke gua atau ke Jeje.
Ia lalu menoleh dan mengulang pertanyaannya; “Mau makan dimana, Je?”
“Nggak tau nih…” Jeje menjawab singkat, kemudian melirik gua.
Gua lalu angkat bicara; “Warung padang…”
“Duh, bosen gue.. nggak ada tempat lain? Ramen yuk Je..” Ucap Aldina.
“Dih, siapa yang ngajak lo…” Gua merespon, ketus.
“Gue ngajak Jeje kok, kalo lo mau makan di warung padang yaudah sana. Gue mau ngajak Jeje makan ramen…”
“Nggak! enak aja… Lo kalo mau makan ramen, makan aja sendiri. Sana ajak temen lo, itu juga kalo punya…”
Perdebatan kami berdua berhenti saat pintu lift terbuka di lantai lain, disusul beberapa orang yang masuk ke dalam. Kondisi di dalam lift kini nggak memungkinkan kami untuk melanjutkan debat.
Begitu keluar dari lift, di lobby gedung. Kami berdua kembali bicara. Namun, Jeje dengan cepat melerai. “Kalo masih mau debat, cari tempat yang nyaman aja… Mau warung padang atau ramen terserah. Nanti gua makan, kalian lanjutin debatnya. Jangan disini, Malu…” Ucap Jeje sambil berlalu.
Gua mendengus pelan ke arah Aldina kemudian bergegas menyusul Jeje.
Akhirnya tempat yang kami tuju adalah restoran Jepang yang terletak nggak begitu jauh dari gedung kantor. Selesai memesan Jeje menatap kami berdua lalu kembali buka suara; “Udah silahkan, lanjutin aja debatnya…” Ucapnya seraya memberikan gestur tangan ‘mempersilahkan’
Gua meraih buku menu dan ikut memesan, begitu pula dengan Aldina.
Sambil menunggu pesanan kami tiba, Jeje lalu mulai menjelaskan isi tentang diskusi meeting dengan Rossi tadi.
“Intinya, gua mau ngasih tau ke Rossi perkara akuisisi perusahaan. Daripada Rossi tau lebih dulu dari Salsa…”
“Terus kenapa harus ada dia?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah Aldina.
“Meeting tadi kan juga sekaligus negosiasi awal. Dari pihak calon pemberi dana yang mana dalam hal ini diwakili Aldina dan calon penerima dana, dalam hal ini gue dan Rossi. Nggak mungkin dong, meeting cuma gua sama Rossi doang…”
“Ya kan gue juga bisa, nggak perlu dia…” Jawab Gua.
Kini Aldina yang buka suara; “Tolong di ingat ya dik… saham gue lebih gede jadi kuasanya ada di gue. Lagian, ngerti apa sih lo dalam hal beginian…”
Gua menggeram, lalu menunjuk wajahnya sembari menebar ancaman. Namun, Jeje dengan cepat meraih tangan gua dan menggenggamnya. Ia lalu berpaling ke Aldina dan bicara; “Udah lah ce…”
Mendapat teguran dari Jeje, Aldina menghela nafas kemudian terdiam.
Setelah cukup lama terdiam, ia lalu kembali buka suara.
“Posisi Rossi sebenarnya cukup diuntungkan dengan kondisi ini. Siapapun yang bakal masuk jadi investor, Rossi nggak bakal rugi. Begitu juga dengan Jeje as a CEO. Tapi, Rossi punya concern lain; kalau Salsa cabut, si Desi juga bakal ikut cabut. Dan posisinya Desi kan cukup krusial sebagai kontrol keuangan. Takutnya, begitu Desi cabut, perusahaan bakal morat-marit..” Aldina menjelaskan ke gua. Kali ini nadanya terdengar rendah dan tenang. Sudah lama gua nggak mendengarnya bicara seperti ini, terakhir kali mendengarnya adalah saat ia memberikan brief campaign waktu di perusahaan sebelumnya.
“Terus gimana solusinya?” Tanya gua.
“Tergantung langkah Salsa.. Dia bisa aja beneran cabut bersama dengan investasi dan Desi. Atau, bisa aja dia malah tambah investasi biar valuenya dia lebih gede lagi.. atau, kemungkinan terakhir; dia tetap dengan value investasinya, ngalah, dengan membiarkan ada investor lain masuk, walau valuenya lebih gede darinya…” Aldina kembali menjelaskan.
“Berarti sekarang ini, kita nggak bisa ngapa-ngapain dong?” Tanya gua lagi.
“Bisa… Prediksi gue. Salsa bakal tetep di opsi pertama; cabut. So, kita harus sebisa mungkin menahan Desi supaya nggak ikutan cabut..”
“How?” Tanya gua.
Aldina lalu melirik ke arah Jeje. Sementara, uang dilirik hanya sibuk menatap layar ponselnya tanpa sama sekali menggubris kami berdua.
“Jeje…” Seru Aldina saat mengetahui Ia malah asyik dengan ponselnya.
“One moment” Balas Jeje pelan.
Ia mendekatkan ponselnya ke telinga, berdiri, lalu sedikit menjauh. Sepertinya tengah mencoba menghubungi seseorang.
“Halo, cuy.. Apa kabar?” Terdengar suara Jeje menyapa melalui ponselnya. Selanjutnya, kami sama sekali nggak mendengar isi percakapan karena Jeje yang semakin menjauh.
Beberapa menit berikutnya, Jeje kembali. Ia duduk dan bersikap seperti biasa, layaknya tak terjadi apa-apa. Padahal, disini, kami berdua menunggu respon darinya perkara rencana untuk menahan Desi agar nggak ikut pergi bersama dengan Salsa dan investasinya.
“Kenapa?” Tanya Jeje saat menyadari kami berdua tengah menatap ke arahnya.
“Gue kan tadi tanya, lo belum jawab…” Ucap gua pelan.
“Tanya apa?”
“Gimana cara meyakinkan Desi supaya bertahan…” Aldina bicara, mencoba mewakili gua.
“Ooh.. Gampang, gua barusan telpon orang yang bisa bikin Desi tetap ikut kita..”
“Siapa?” Gua dan Aldina bertanya, hampir bersamaan.
“Suaminya…” Jawab Jeje singkat.
“Lo kenal?” Tanya gua, yang lalu dijawab Jeje dengan anggukan kepala.
—
Urusan pekerjaan yang ‘njelimet’ tentu bikin pusing, menguras tenaga dan waktu. Gara-gara proses akuisisi ini pula, rencana pernikahan kami malah acak adul nggak karuan. Takut, kedua rencana malah berakhir buruk, maka kami memutuskan untuk ‘membuat prioritas’.
“Kita selesaikan urusan akuisisi dulu, baru abis itu ngurusin pernikahan…” Ucap gua ke Jeje.
“...”
“... Atau, Kita nikah dulu, abis itu habis-habisan limpahkan waktu dan tenaga buat kerjaan..” Gua menambahkan.
Jeje menoleh dan menatap gua.
Kala itu, kami baru saja pulang bekerja. Terjebak dalam kemacetan Jakarta yang nggak ada obatnya, ditambah hujan cukup deras mengguyur sejak sore tadi. Lengkap sudah penderitaan para pekerja seperti kami.
Saat Jeje baru saja membuka mulut hendak bicara, gua keburu memotongnya; “Awas aja lo kalo bilang terserah…” Ancam gua.
Ia lalu menggaruk kepalanya sambil meringis.
“Let’s do the acquisition first…” Gumamnya.
“Ok.. Let’s do it… Eh tapi lo nggak masalah kan, kalau kita menunda pernikahan. Takutnya lo udah ngebet banget?” Tanya gua. Membolak-balik keadaan, padahal sudah terlihat jelas sedari awal kalau gua yang nggak sabar ingin melangsungkan pernikahan. Gua bahkan pernah mengancam Jeje, ingin menikah sebelum Rohman dan Salwa.
Ia tertawa.
Masih sambil menahan tawa, ia lalu menjawab; “Nggak, no problem… nunggu sebentar nggak masalah buat gua. Asal nikahnya tetep sama elo…”
“Ya sama gue lah, emang mau sama siapa lagi??” Respon gua ketus.
Baru selesai gua bicara, Jeje membawa mobil tetap lurus kedepan, menjauh dari jalan yang seharusnya berbelok ke kiri membawa kami pulang. Gua mengernyitkan dahi, menoleh ke arahnya lalu bertanya; “Lho kok lurus Je?” Tanya gua.
“Gua mau ngobrol sebentar sama suaminya Desi…” Jawab Jeje.
“Sekarang? hari ini?”
“Iya, mumpung masih ada Reni yang jaga Anggi di rumah.. Kalau besok-besok, belum tentu ada yang jaga Anggi kan..” Jeje menjelaskan.
“Oh ok…”
Setelah menempuh lebih dari satu jam, bergelut dengan kemacetan lalu lintas pusat kota, kami akhirnya tiba di pinggiran kota, perbatasan antara Jakarta dengan Tangerang Selatan. Jeje memutar kemudi, masuk ke area parkir sebuah mall di bilangan Bintaro.
Jeje melepas sabuk pengaman, berpindah dari kursi depan ke kursi belakang dan mengambil sebuah payung yang berada di balik kursi. Ia lalu keluar dari mobil, membuka payung dan memutar hingga ke pintu sisi penumpang; menjemput gua.
Kami lalu berjalan, bersisian di bawah naungan sebuah payung, diiringi rintik hujan yang kini tak sederas sebelumnya. Jeje nggak membawa gua masuk ke dalam mall, melainkan ke sebuah coffee shop yang terletak tepat di sisi halaman mall.
Dari kejauhan terlihat seorang pria menatap kami berdua, lalu mengangkat salah satu tangannya, memberi kode ke Jeje tentang keberadaan dan posisinya. Jeje balas melambai dan menganggukkan kepala.
“Wuidih… Jeje My Man… Apa kabar?” Tanya pria tersebut ke Jeje, begitu kami masuk ke beranda coffee shop.
“Baik.. Lo apa kabar?” Tanya Jeje.
“Baik..”
Gua menarik ujung kaos Jeje, memberinya kode kalau gua ingin bicara dulu dengannya berdua sebelum bertemu dengan pria tersebut. Jeje nggak menggubris isyarat dari gua, ia malah langsung memperkenalkan gua ke pria tersebut.
“Kenalin, ini Lady…” Ucap Jeje seraya menunjuk ke arah gua yang berdiri tepat di sebelahnya.
“Oh, hai… Gue Ableh…” Pria tersebut memperkenalkan diri, seraya mengulurkan tangannya.
Gua tersenyum, lalu menjawab tangannya seraya menyebut nama; “Lady…”
“Lo tunggu sini, gua pesen minum dulu ya…” Ucap Jeje.
Gua buru-buru mencegahnya.
“Gue aja yang pesen.. lo sini aja..” Ucap gua, seraya pergi masuk ke dalam coffee shop untuk memesan kopi.
Dari dalam coffee shop, gua menatap pria yang memperkenalkan diri dengan nama ‘Ableh’ tersebut. Wajahnya sangar, tubuhnya penuh dengan tato, mulai dari leher, kedua lengannya bahkan hingga kedua kakinya yang terlihat karena ia mengenakan celana pendek. ‘Bagaimana mungkin, pria seperti itu adalah suami dari Desi. Yang artinya, adik dari Salsa?’ Batin gua dalam hati.
Setelah selesai memesan kopi, gua kembali ke beranda coffee shop. Meletakkan kopi panas milik Jeje tepat di depannya dan segelas teh berukuran besar untuk gua sendiri. Sedangkan pria bernama Ableh tersebut sudah punya dua gelas kopi di hadapannya; keduanya sama-sama masih terisi penuh.
Jeje dan Ableh lalu mulai berbincang. Keduanya terlihat cukup akrab walau sepertinya sudah lama tidak bertemu.
Tanpa berbasa-basi, Jeje lalu mengungkapkan rencana kami. Ableh, mendengarkan dengan seksama sambil mengetuk-ngetuk ujung jarinya ke meja, sementara matanya sesekali ia pejamkan, seperti tengah membayangkan sesuatu.
Selesai Jeje memberi penjelasan, Ableh lalu menyeruput kopi hitam miliknya, menyulut sebatang rokok, menghisapnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya ke udara. Ia menggeser bungkusan rokok beserta korek apa yang ada di atas meja ke arah Jeje; “Lo nggak ngerokok?”
Jeje lalu mengeluarkan kemasan rokok dari saku celananya dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Ableh.
“Lo udah ngomong sama orangnya?” Tanya Ableh, merujuk ke Desi.
“Belum… Karena kita juga belum tau langkah apa yang bakal diambil kakak lo…” Jawab Jeje.
“Hmmm… You know what Je? Desi tuh terlalu cerdas buat diarahkan…”
“I know…”
“But, kalo rencana yang lo jelasin tadi bener-bener works, gue rasa, lo, gue, kita, nggak usah capek-capek membujuk dia deh…”
“Yakin?” Tanya Jeje.
“100%...” Jawab Ableh.
Gua lalu angkat bicara. “So, Sorry to jump in… Tapi kak, gue mau tanya deh. Plan kita ini, bakal bikin Kak Salsa tersinggung nggak?” Tanya gua ke Ableh.
“Well… Tersinggung sih nggak. Tapi, kalau marah sudah pasti…”
“Wah, gawat dong…”
“Gawat lah…”
“...”
“Hidup sama Salsa tuh cuma ada dua kemungkinan; Hidup lo jadi nyaman atau hidup lo jadi hancur karena dia. Dan kayaknya lo udah choose a side ya?…” Jawab Ableh.
“Duh, Je…” Gua menggumam pelan dan menatap Jeje yang masih pasang tampang datar.
“Tapi jangan khawatir. Lo kayaknya punya sesuatu yang bikin Salsa nggak bakal melakukan hal buruk ke elo deh…” Tanya Ableh sambil tersenyum.
“Anggi?” Gua menggumam pelan.
Jeje mengangguk pelan, setuju dengan gumaman gua sebelumnya.
“So, kalo gitu, besok gua bakal ngobrol sama Desi deh di kantor…” Ucap Jeje.
“Ngapain besok.. Tunggu aja, sebentar lagi juga dia kesini” Jawab Ableh seraya mengecek jam tangannya.
—
KLa Project - Tak Bisa Ke Lain Hati
Bulan merah jambu, luruh di kotamu
Kuayun sendiri, langkah-langkah sepi
Menikmati angin,menabuh daun-daun
Mencari gambaranmu, di waktu lalu
Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi
Tercipta nelangsa, merengut sukma
Terwujud keinginan yang tak pernah terwujud
Aku tak bisa pindah, pindah ke lain hati
Begitu lelah sudah, kuharus menepi
Biduk t'lah ditambatkan berlabuh di pantaimu...
Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi
Tercipta nelangsa, merengut sukma
Terwujud keinginan yang tak pernah terwujud
Aku tak bisa pindah, pindah ke lain hati
Sungguh kuakui ...
Tak bisa ke lain hati ...
Teringatku mengenangmu
Tergambar paras wajahmu, sendiri ...
Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi
Tercipta nelangsa, merengut sukma
Terwujud keinginan yang tak pernah terwujud
Aku tak bisa pindah, pindah ke lain hati
Sungguh kuakui ...
Tak bisa ke lain hati ...
Diubah oleh robotpintar 16-05-2023 03:50
jiyanq dan 58 lainnya memberi reputasi
59
Kutip
Balas
Tutup