- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
yusrillllll dan 205 lainnya memberi reputasi
202
285.6K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#891
#69 - Trying To Be Me - Part 1
Spoiler for #69 - Trying To Be Me - Part 1:
Hari-hari bahagia rupanya juga masih bisa memberikan dampak negatif. Gua kini semakin sulit memisahkan antara hubungan romansa dan urusan pekerjaan. Acap kali, gua ditegur oleh rekan-rekan yang lain karena kedapatan bengong sambil senyum-senyum sendiri dikala meeting. Tentu saja kepala ini sudah mulai dipenuhi dengan bayangan tentang gaun pengantin yang anggun, dekorasi resepsi yang cantik dan hal-hal lain yang mungkin terlalu manis untuk dibayangkan tanpa tersenyum.
“Woi…”Seru Fitri seraya menepuk pundak gua.
“Eh.. Gimana, gimana?” Gua yang kaget langsung menoleh ke arahnya.
“Kenapa sih lo? bengong aja dari tadi?” Tanya Fitri.
“Ya gue kan lagi mikirin campaign ini…” Gua menjawab, beralasan, seraya menunjuk ke arah layar laptop.
Kejadian tersebut nyatanya nggak terjadi sekali dua kali, gua kerap kehilangan konsentrasi saat membayangkan masa-masa bahagia kedepannya. Pernah suatu waktu gua ‘kebawa’ lift hingga ke lantai 30. Alasanya? sama. Bengong sambil tersenyum.
Pernah juga gua dihujani klakson bertubi-tubi dari kendaraan di belakang saat gua nggak menyadari lampu lalu-lintas sudah berubah hijau. Penyebabnya masih sama; Bengong sambil tersenyum.
Saat gua bercerita tentang hal ini ke Jeje, ia hanya tersenyum seraya memberi tepukan lembut di kepala gua. Tak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya.
Lalu, apakah dia merasakan hal yang sama dengan gua? atau mungkin karena ini bukan pengalaman pertamanya, ia merasa biasa saja, tak lagi merasa excited.
“Je.. Lo juga kayak gue nggak? suka bengong, berkhayal tentang masa depan sambil senyum-senyum sendiri…” Penasaran, gua akhirnya mengajukan pertanyaan tersebut kepadanya.
“Biasa aja…” Jeje menjawab santai.
‘Tuh kan! Bener! Dia ngerasa biasa aja’ Batin gua dalam hati. Tapi, apa alasannya bersikap ‘Biasa saja?’, karena memang sudah tabiatnya atau karena sudah pernah mengalaminya?
Nggak ingin tenggelam dalam rasa penasaran, gua kembali mengajukan pertanyaan; “Biasa aja, karena udah pernah mengalami masa-masa menjelang pernikahan ya?”
Jeje yang saat itu baru saja selesai menata plastik di atas rak, lalu berpaling ke arah gua.
“Mana ada sih manusia yang bisa ‘biasa aja’ saat menghadapi momen penting dalam hidupnya? Walaupun hal itu sudah terjadi berkali-kali?”
“Nah, terus kenapa lo tadi jawab ‘Biasa aja’?” Tanya gua.
“Malu…”
Mendengar jawaban singkat darinya barusan, gua langsung tersenyum, mendekat dan memeluknya dari belakang.
“Ya ampun Je, Lo kan juga manusia, kenapa harus malu?”
“Kalo gua bilang gua juga sama; suka bengong sambil senyum-senyum sendiri, gua ngerasa jadi keliatan lemah aja. Dan gua kan nggak mau terlihat lemah di depan lo…” Jawabnya.
“Mulai sekarang, apapun elo, gue bakal terima kok. Jangankan ngaku kalo lo juga suka bengong sambil senyum-senyum sendiri. Lo nangis di depan gue juga gapapa kok…”
“Ntar lo ledekin…”
“Nggak.. Tenang aja.. Yuk coba sekarang nangis…” Titah gua.
“Dih, orang nggak pengen nangis…”
“Coba dulu! yuk bisa yuk…” Gua memberi paksaan.
“Ogah Ah..”
Tiba-tiba saat gua masih dalam posisi memeluk Jeje, Rohman dan Salwa datang, mereka langsung masuk ke dalam toko dan mendapati kami berdua.
“Astagfirullah…” Seru Salwa seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangan, kemudian kembali melangkah mundur. Sementara Rohman justru meraih bungkusan plastik dan melemparnya ke arah kami berdua.
Gua dan Jeje dengan cepat berusaha menghindar dan bungkusan plastik tersebut mendarat tepat di atas rak.
“Cari hotel sana…” Seru Rohman.
“Ngapain? ini toko Jeje.. lo aja yang keluar sana…” Gua membalas ucapan Rohman kemudian menjulurkan lidah ke arahnya.
Rohman lalu beralih ke Jeje, mendekat dan bertanya; “Lusa jadi nggak pengajian ditempat lo?”
“Jadi kayaknya…”
“Kata Reni, mau masak sendiri?” Tanya Rohman lagi.
“Hah, ngapain? Kenapa nggak pesen catering aja?” Jeje balik bertanya.
“Ya lo tanya Reni lah, lo kan abangnya…”
Jeje lalu meraih ponsel miliknya dari saku celana, mencari kontak bernama ‘Reni’ dan menghubunginya. Saat nada sambung terdengar, tiba-tiba Jeje menyerahkan ponsel ke gua.
“Hah, gue?” Gua menggumam pelan, memberi penolakan tapi tetap menerima ponsel darinya.
Detik berikutnya, suara Reni terdengar samar memberi sapaan. Gua buru-buru menjawabnya.
“Halo Ren..”
“Eh, Kak Lad.. Ada apa?” Tanyanya.
“Emm… ini, abang lo nanya, acara pengajian besok kenapa harus masak sendiri? kenapa nggak pesen catering aja…”
“Mahal Kak. Gue itung-itung dengan budget yang sama, kalo masak sendiri tuh bisa dapet lebih banyak daripada catering…”
Gua lantas menutup area speaker pada ponsel dan menyampaikan ucapan Reni barusan ke Jeje; “Kata Reni; mahal kalo pake catering”
“Tapi kan ribet” Jeje menjawab santai.
Gua kembali bicara dengan Reni melalui sambungan ponsel; “Kata abang lo Ribet, Ren..”
Enggan terus-terusan jadi semacam penyambung lidah, gua mengubah panggilan ke mode pengeras suara. Lalu mengarahkan ponsel diantara kami bertiga.
“Alah, Ribet dikit.. tapi kan bisa ngasih orang lebih banyak…” Sanggah Reni.
Jeje dan Rohman lalu kompak mengangguk seraya mengacungkan jempol ke atas.
“Kata abang lo dan Rohman; OK!” Ucap gua.
“Cool.. Bilang sama abang, gue lagi otw kesana..” Ucap Reni yang lalu mengakhiri panggilan.
Gua mengembalikan ponsel ke Jeje seraya berseru; “Kenapa sih kalian? kok nggak mau pada ngomong sama Reni?”
Jeje terdiam, nggak menjawab. Gua lalu beralih ke Rohman, menagih penjelasan darinya.
“Males berdebat sama Reni; bawel…” Jawab Rohman seraya menunjuk ke arah telinganya kemudian pergi.
Gua lalu berpaling kembali ke Jeje dan menatapnya; “Gue kan juga bawel. Berarti lo ntar lama-lama juga males ngomong sama gue?” Tanya gua ke Jeje.
“Nggak.. alasan gua males ngomong sama Reni kan beda dengan Rohman…”
“Apa alasan lo?”
“Gua tuh nggak bisa mendebat Reni, Lad…” Jawabnya. Terlihat pancaran rasa sayang yang luar biasa dari matanya saat bicara barusan. Ia begitu menyayangi Reni.
Gua jadi iri dibuatnya.
“Kalo gue? Lo bisa nggak mendebat gue?” Tanya gua lagi.
Jeje tersenyum, lalu menjawab; “Sekarang ini kayaknya gua udah mulai nggak bisa mendebat lo deh…”
“Kenapa? apa alasannya sama dengan lo nggak bisa mendebat Reni?”
“Iya… Karena gua terlalu sayang sama kalian berdua…” Jawabnya.
—
Setelah selesai dengan urusan di toko, kami bersiap untuk pulang. Sementara, gua duduk di kursi kayu di depan toko, Jeje terlihat menoleh ke kanan-kiri, mencari Anggi yang bermain. Ia menyatukan jari telunjuk dan ibu jari, menempelkannya ke bibir dan bersiul.
Suara nyaring terdengar. Nggak lama, terdengar suara langkah kecil kaki Anggi dari sisi toko, lalu muncul sambil mencoba mengejutkan Papahnya. Jeje yang sudah tau kalau Anggi bakal muncul berlagak kaget sambil mengelus dada. Menyadari kalau papahnya kaget karenanya, Anggi langsung tertawa terbahak-bahak.
Melihat keduanya tertawa bersama, hati ini rasanya gegap gempita, senang luar biasa.
Gua berdiri, mendekat dan memberi pelukan ke Anggi.
“Aduh… abis main apa sih, sampe keringetan gini?” Tanya gua seraya menyeka keringat yang membasahi dahinya.
“Si Galih tuh reseh, aku dikejar-kejar terus…” Anggi menggerutu.
“Suka kali Galih sama kamu…”
“Hehehe…”
Saat kami berdua hendak masuk ke dalam mobil, Jeje lalu angkat bicara; “Lad, lo sama Anggi balik duluan ya..”
“Hah, emang lo mau kemana?” Tanya gua.
“Mau ke tempat Haji Ramlan dulu…” Jawab Jeje seraya menunjuk ke arah selatan jalan.
“Oh, yaudah… Yuk Nggi..”
Kami berdua lalu berpisah, Jeje berjalan menuju ke rumah Haji Ramlan. Sementara gua dan Anggi masuk ke dalam mobil dan bergegas ke rumah Jeje.
Nggak lama begitu tiba di rumah, gua langsung membantu Anggi membersihkan tubuh. Karena hari sudah malam, jadi rasanya nggak mengizinkan Anggi untuk mandi adalah hal yang tepat. Memilihkan piyama, membantu mengenakannya, mengoleskan minyak kayu putih di punggungnya dan menata ranjangnya, sekalian berlatih menjadi ibu yang baik untuknya.
“Mamah cantik bobo sini ya?” Pinta Anggi.
Gua hanya tersenyum menanggapi permintaannya barusan.
“...”
“... Tapi bobonya sama Anggi aja ya…” Tambahnya.
“Nanti mamah cantik tanya sama Papah dulu ya…”
“Iya…”
Nggak begitu lama berselang, suara mobil terdengar berhenti tepat dimuka rumah. Gua meninggalkan Anggi yang nyaris terlelap dan bergegas menuju ke depan. Terlihat, Reni tengah melangkah menyusuri halaman, sementara Robi sibuk mencari celah untuk bisa masuk ke area halaman, ia sepertinya kesulitan parkir karena ada mobil gua cukup lebar dan ‘makan tempat’.
Dari kejauhan, Reni sudah terlihat sumringah, ia menggoyang-goyangkan kepalanya dan tersenyum lebar ke arah gua.
“Aaaa.. Kak Lad…” Serunya, heboh sendiri begitu kami sudah saling berhadap-hadapan. Ia lalu memeluk gua dan berbisik; “Selamat ya…”
“Lo juga, selamat ya…”
“Anggi mana?” Tanyanya seraya kepalanya melongok ke arah dalam rumah.
“Tadi sih udah mau tidur…”
“Oh.. terus abang?”
“Lagi kerumah Haji Ramlan dulu sebentar…”
“Ngapain?”
“Nggak tau..”
Reni lalu bergegas masuk ke dalam. Sementara, gua masih berdiri menatap Robi yang sejak tadi maju-mundur tanpa bisa masuk ke area halaman.
Sementara, rintik hujan mulai turun dan perlahan semakin deras. Gua mendongak, menatap ke arah langit. ‘Duh, Jeje nggak bawa payung lagi’ Batin gua dalam hati.
Sesaat kemudian, terlihat dari kejauhan sesosok pria berjalan cepat seraya menutupi kepalanya dengan telapak tangan; Jeje.
Alih-alih langsung masuk ke dalam rumah untuk segera berlindung dari hujan yang semakin lama semakin lebat, Jeje justru berhenti tepat di sisi mobil Robi, memberikan isyarat agar Robi keluar dari mobil. Ia lalu masuk ke dalam mobil menggantikan Robi yang langsung berlari menuju ke teras rumah. Dengan lincah, Jeje memutar kemudi dua kali, memundurkan mobil tepat di sebelah mobil gua.
Begitu ia turun dari mobil dan masuk ke area teras, gua langsung berjinjit, mengibaskan tangan di rambutnya yang basah. “Malah ujan-ujanan…” Gumam gua pelan.
Ia nggak menjawab, hanya tersenyum kecil seraya mengelus kepala gua lalu masuk ke dalam rumah.
Sesaat sebelum ia masuk ke dalam kamarnya, gua sempat melihat ia mengeluarkan sebuah amplop coklat berukuran besar dari selipan celana bagian belakang. Gua menyusulnya masuk ke dalam kamar. Terlihat Jeje baru saja memasukkan amplop coklat tadi ke laci meja kerjanya.
“Apaan tuh?” Tanya gua.
Jeje nggak langsung menjawab, ia meraih handuk dari gantungan di balik pintu, lalu duduk seraya menggosokkan handuk di kepalanya, mencoba mengeringkan rambutnya yang basah akibat hujan.
Ia lalu menatap gua dan menepuk sisi ranjang di sebelahnya dengan tangan, memberikan kode agar gua duduk disana. Gua menurut, mendekat dan duduk disebelahnya. Ia membuka kembali laci meja kerja, mengeluarkan amplop coklat yang tadi sempat gua lihat dan menyerahkannya ke gua tanpa bicara sepatah katapun.
Perlahan gua membuka amplop coklat berukuran besar tersebut dan mengeluarkan isinya. Terlihat lembaran-lembaran kertas yang ternyata sebuah sertifikat rumah. Gua membolak-balik lembaran tersebut dan mendapati nama pada salah satu lembaran; nama ayah Aldina.
Gua mengernyitkan dahi; bingung.
Menyadari hal tersebut, Jeje lantas mulai menjelaskan duduk perkaranya. Tentang akibat dari sikap Aldina yang membuat Bapaknya marah, tentang ibunya yang meninggal dan akhirnya Bapak harus menjual rumah yang ditinggalinya ke Haji Ramlan dan pindah ke Medan.
“Terus rumahnya lo bayarin lagi dari Haji Ramlan?” Tanya gua seraya mengangkat sertifikat yang berada di genggaman gua.
“Iya..”
“Kenapa? Aldina juga bisa bayarin ini…” Tanya gua lagi.
“Iya, dia emang bisa. Tapi apa dia mau?”
“Ya terserah, tapi kenapa harus elo?” Ucap gua sambil pasang cemberut. Jujur, gua sedikit kecewa karena ia masih terus-terusan memberi perhatian ke Aldina. Walaupun nggak secara langsung, tapi hal seperti ini tentu saja bakal bikin Aldina nanti ‘Gede Rasa’.
Jeje lalu tersenyum dan memainkan ujung rambut gua. “Marah?” Tanyanya.
“Nggak!” Gua menjawab ketus.
“Nggak tapi kok cemberut?”
Gua lalu memaksakan diri untuk tersenyum.
“Nih, gue senyum.. tuh..”
“Ini kan cuma rumah, Lad… Dan ini bukan buat dia, ini buat bapak…” Ucapnya, berusaha meyakinkan gua.
Gua menghela nafas panjang lalu menatapnya, mencoba mengerti, mencoba menjadi dirinya dan berlapang dada.
Kini gua tersenyum, benar-benar tersenyum, nggak terpaksa seperti sebelumnya.
“Nah, gitu dong…” Gumam Jeje seraya memberi tepukan pelan di bahu gua.
—
“Udah tidur sana, besok bangun pagi-pagi, anterin gue ke pasar…” Ucap Reni ke Robi yang tengah asik ngopi bersama Gua dan Jeje di teras rumah.
Jeje lalu menatap Reni dan bicara; “Besok abang aja yang ke pasar…”
“Yaudah, berarti abang yang nganterin Reni ya?” Tanya Reni memastikan.
“Nggak usah, abang sendiri aja..” Jawab Jeje.
“Yah yaudah…”
“Gue ikut ya Je?” Gua lalu menunjuk tangan, menawarkan diri menemaninya.
“Ngapain?” Tanya Jeje.
“Ya ikut aja, nemenin lo…”
“Alah, paling lo juga belom bangun…”
“Emang jam berapa sih?” Tanya gua.
“Abis subuh..”
“Buset, emang pasar udah buka jam segitu?”
“Udah lah…”
“Yah, yaudah gue nginep sini ya?”
Jeje langsung mendengus begitu mendengar permintaan gua. Ia lalu berdiri dan masuk ke dalam kamar. Gua dan Reni saling pandang kemudian berpaling melongok ke dalam rumah. Jeje terlihat masuk ke dalam kamar Anggi, lalu kembali keluar sambil membopong anaknya tersebut yang sudah terlelap, masuk ke dalam kamarnya.
“Lo sama Robi tidur di kamar Anggi…” Ucap Jeje begitu kembali ke teras.
“Ok..”Jawab Reni lalu menarik tangan Robi untuk masuk ke dalam kamar.
“Lo.. tidur sama Anggi…” Jeje bicara ke gua seraya menunjuk ke arah dalam rumah.
“Ok..” Gua menjawab sambil tersenyum.
“Sana… Katanya mau ikut ke pasar, ntar susah dibangunin..”
“Terus elo?” Tanya gua.
“Gua ntar, tanggung, ngabisin kopi..”
“Bukan. Gue bukan nanya lo kapan tidurnya.. gue nanya lo tidur dimana?” Tanya gua sambil bangkit dari duduk dan bersiap untuk masuk.
“Di kursi depan..”
“Kenapa nggak di kamar aja?” Tanya gua.
“Masa iya gua tidur sama Robi dan Reni…”
“Ya sama gue dan Anggi lah…”
“Udah sana, masuk..”
Gua pasang tampang cemberut lalu masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, gua naik ke atas ranjang, berbaring tepat disebelah Anggi, membelai kepala serta menatapnya, lalu berbisik; “Mamah nginep lho Nggi…”
Nggak lama, gua pun terlelap.
Saat kembali tersadar, gua merasakan hangatnya sebuah pelukan. Terasa deru nafas Jeje tepat dibalik tengkuk gua, sementara satu tangannya memeluk gua erat dan tangan satunya mendekap kepala gua.
Gua tersenyum dan kembali memejamkan mata.
Terasa sentuhan dingin di pipi. Gua membuka mata dan mendapati Jeje sudah duduk di tepi ranjang sambil menatap ke arah gua. “Jadi mau ikut ke pasar nggak?” Tanyanya.
Gua mengangguk.
“Yaudah bangun…”
Saat keluar dari kamar, terdengar suara riuh dari arah dapur, terlihat Reni sudah sibuk memasak. Gua mundur beberapa langkah dan menatap ke arah jam dinding, jarumnya menunjukkan angka 4 dini hari.
‘What? baru jam 4?’ batin gua dalam hati. Gua lalu berpaling dan menoleh ke arah Jeje; “Baru jam 4 Je…”
“Iya emang jam segini waktu yang tepat untuk ke pasar…” Jawabnya singkat.
Nggak lama berselang, kami berdua sudah berada di dalam mobil, melintasi jalan yang super lengang untuk menuju ke pasar.
Nyatanya, kondisi dan situasi pasar nggak seperti yang gua kira. Sebelumnya, gua pikir pasar pasti masih dalam kondisi sepi di jam seperti ini. Nyatanya, saat ini justru terlihat sebaliknya. Gua nggak pernah mendapati suasana pasar seramai ini, di siang hari sekalipun.
Jeje memutar kemudi masuk ke area parkir pasar yang padat. Seorang petugas parkir terlihat membantu memberi isyarat kepada Jeje untuk bisa masuk ke sela-sela diantara dua mobil. Sementara, gua hanya menatap iba ke si petugas parkir yang terlihat jalan terpincang pincang dan dengan kondisi mata yang buta sebelah.
Anehnya, kondisi matanya yang buta terlihat nggak alami. Salah satu matanya yang buta terlihat seperti tanpa bola mata; kopong.
Gua bergidik dan langsung menepuk bahu Jeje yang tengah sibuk memarkir mobil.
“Apa?” Tanya Jeje.
“Kasian deh Je tukang parkirnya… Udah kayak gitu kok dia masih kerja aja sih, keluarganya pada kemana ya?” Tanya gua.
Jeje hanya tersenyum begitu mendengar ucapan dari gua. Ia lalu mematikan mesin mobil, dan menatap ke arah gua.
“Pasti udah ada yang cerita ke elo tentang masa SMA gua, pas gua ditusuk sama orang?” Tanya Jeje.
“Iya pernah, tapi lupa siapa yang cerita; Reni apa Aldina ya..” Gua mencoba mengingat.
“Nah, dia orang yang nusuk gua…” Jawab Jeje seraya menunjuk ke petugas parkir.
“Hah? Berarti?” Gua menutup mulut dengan tangan. Teringat akan cerita yang beredar kalau Rohman pernah memberi ancaman akan mencongkel mata orang yang menusuk Jeje sewaktu SMA dulu. Dan ternyata, hal tersebut nyata adanya.
—
Efek Rumah Kaca - Jatuh Cinta Itu Biasa Saja
Kita berdua hanya berpegangan tangan
Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita
Tak perlu memuji
Kita berdua tak pernah ucapkan maaf
Tapi saling mengerti
Kita berdua tak hanya menjalani cinta
Tapi menghidupi
Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Kita berdua tak pernah ucapkan maaf
Tapi saling mengerti
Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu, kian membelenggu, cepat berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja
Jatuh cinta itu biasa saja...
Jika jatuh cinta itu buta
Berdua kita akan tersesat
Saling mencari di dalam gelap
Kedua mata kita gelap
Lalu hati kita gelap
Hati kita gelap
Lalu hati kita gelap...
Kita jatuh cinta... itu biasa saja
Kita jatuh cinta... itu biasa saja
Kita jatuh cinta... itu biasa saja
Kita jatuh cinta... itu biasa saja
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:30
jiyanq dan 64 lainnya memberi reputasi
65
Kutip
Balas
Tutup