ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Pak Haji Masuk Neraka


Bu Sidi berteriak begitu pilu. Hari masih subuh, ayam jantan bahkan belum berkokok, tetapi teriakannya membangunkan tetangga sekitar yang masih asik berkelana di alam mimpi.

Meski demikian tak ada yang buru-buru mendatangi Bu Sidi untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan fenomena baru. Sudah hampir sebulan Bu Sidi selalu berteriak di pagi hari. Saat ditanya alasannya dia tak pernah menjawab. Khawatir dan simpati pun perlahan berubah jadi kekesalan, tetapi para tetangga masih mencoba maklum. Bagaimanapun suaminya, Pak Sidi, belum 40 hari meninggal dunia.

Pak Sidi (atau yang lebih sering dipanggil "Pak Haji") adalah orang terpandang di kampung itu. Dia adalah pemuka agama, seorang kyai, seorang syekh, orang yang sudah dua kali pergi ke tanah suci.

Hidup Pak Haji tak pernah lepas dari ibadah. Dia hafal kitab kuning, sering mengajari anak-anak mengaji, dan tak pernah lupa salat lima waktu berjamaah di masjid. Bahkan dia selalu menjadi orang pertama yang tiba di masjid saat hampir tiba waktunya.

Sikapnya pun ramah dan selalu tersenyum pada semua orang sehingga penduduk menyukainya. Saat meninggal dia dikuburkan dengan layak dan para penduduk mengirimkan yasin untuknya selama tiga malam berturut-turut di rumahnya yang sederhana.

Dia pastilah suami yang baik sampai-sampai Bu Sidi menangis setiap pagi sejak kepergiannya. Meski demikian, sampai kapan kesedihan itu akan terus berlarut?

Hari berlalu dan peringatan 40 hari kematian Pak Haji pun tiba. Selayaknya tradisi setempat, keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan pengajian untuk mengenang sekaligus mendoakan almarhum. Hari itu anak mereka, Sidi, datang dari kota untuk ikut mendoakan ayahnya.

Sidi turut membawa serta keluarganya yakni istri dan anaknya yang masih dua tahun. Mereka datang tanpa membawa apa-apa. Maklum, Sidi hanyalah seorang kuli bangunan dengan pendapatan yang tidak jelas. Meski begitu kedua orangtua Sidi tak pernah malu dengan pekerjaan anak mereka.

“Yang penting halal.” Itulah yang selalu dikatakan Pak Haji.

Pengajian berlangsung dengan lancar. Para warga yang datang akhirnya pulang dengan sebungkus nasi yang masih hangat. Istri Sidi membawa anak mereka ke kamar untuk ditidurkan. Melihat kesempatan, Bu Sidi pun mengajak anaknya ke bagian belakang rumah dengan alasan membantu mencuci piring.

“Anakku,” Bu Sidi membuka pembicaraan, “kau tahu ibumu ini sudah tua, tapi kau juga tahu ibumu ini orang yang tidak takut mati. Setiap hari aku beribadah, setiap hari kulantunkan pujian padaNya, setiap hari kubaca ayat-ayat suciNya. Ibumu ini merasa sudah cukup mengumpulkan bekal untuk pergi ke akhirat. Tapi tahukah kau, anakku? Sejak kematian ayahmu, ibumu ini sangat takut dengan yang namanya kematian.”

Sidi yang terkejut dengan kalimat panjang ibunya mendengarkan baik-baik.

“Kau mungkin sudah dengar dari para tetangga. Setiap pagi setiap kali ibumu terbangun, ibumu ini selalu berteriak ketakutan dan penuh duka. Tahukah kau alasannya, anakku? Itu karena ibumu ini bermimpi. Bermimpi melihat ayahmu yang telah meninggal. Namun yang kulihat bukanlah taman surga yang dijanjikan untuk orang-orang yang taat beribadah sepertinya, yang kulihat adalah ayahmu yang meminta ampun dari siksaan api neraka.”

Tangisan Bu Sidi yang sedari tadi tertahan mulai jatuh dan membasahi pipinya. Mimpi yang dia lihat terus menerus selama 40 hari itu sudah membuatnya ketakutan sedemikian rupa. Dia kenal suaminya. Suaminya tak pernah merugikan orang lain, tak pernah meninggikan suaranya, dan tak pernah melakukan dosa sekecil apa pun. Bahkan nyamuk saja enggan dia membunuhnya.

Namun, jika suaminya yang seperti itu saja masuk neraka, bagaimana dengan dia?
Mendengar itu Sidi hanya terdiam. Tangannya berhenti mengelap piring sampai-sampai piring itu kering dengan sendirinya.

Sidi dibesarkan dengan ajaran agama yang kuat oleh ayah ibunya. Dia hafal kitab kuning luar kepala, dia tahu ratusan hadist dan segala sunah-sunah kecil yang biasanya luput dari perhatian manusia. Meski demikian, sejak mengadu nasib ke perantauan, pola pikirnya berubah. Kehidupan kota besar yang keras membentuk pola pikirnya dengan lebih baik dibandingkan kehidupan desa yang begitu lembut.

“Kutanya kau, anakku, apakah mimpiku itu cuma bunga tidur semata? Kalau tidak, bagaimana bisa ayahmu disiksa di neraka? Dosa apa yang dia perbuat sampai-sampai Allah yang Maha Pengampun tidak mengijinkannya mengijak surga?”

Mendengar pertanyaan itu Sidi pun membuka mulutnya perlahan-lahan.

“Ayah punya dosa, dosa besar yang ia sendiri tak sadar tentang itu.”

Mendengar respon anaknya kedua mata Bu Sidi melebar penuh keterkejutan. Apakah ada sesuatu yang selama ini Sidi sembunyikan darinya?

“Ayah itu orang yang kolot, Bu. Dia mengajariku seperti halnya orangtuanya mengajarinya dulu tanpa tahu jaman sudah berubah. Apa yang dia ajarkan padaku cuma ilmu akhirat, dia tak pernah mendorongku untuk belajar giat di sekolah. Saat aku bilang ingin melanjut ke universitas, dia meyakinkanku bahwa itu tak perlu. Cukup kerja kecil-kecilan, yang penting cukup untuk makan, itu yang dia katakan. Aku pun menurut.

“Tapi setelah itu ayah malah menjual sawah untuk pergi ke Mekah. Sawah yang menjadi satu-satunya mata pencaharian kita dia jual untuk menunaikan ibadah haji padahal dia sudah pernah pergi ke sana. Dia tinggalkan kita dengan uang seadanya dan sejak saat itu ibu harus ikut bekerja untuk menutupi kurangnya penghasilan ayah yang sejak itu cuma dapat uang dari mengisi ceramah.

“Dulu kukira aku akan jadi petani dengan mewarisi sawah ayah, tapi sawah itu sudah dijual. Aku yang cuma punya ijasah Sma dan tak ada modal usaha cuma bisa jadi pekerja kasar. Ayah bilang itu tidak apa-apa tanpa dia tahu mahalnya biaya di kota. Setelah itu dia malah memaksaku menikah, menghindari zina katanya. Setelah menikah dia memaksaku untuk segera memberinya cucu, takut umur tak sampai katanya.

“Hidupku di sana memang cukup-cukup saja, tapi kami sering kelaparan, sering juga hutang sana-sini, rumah kontrakan bahkan menunggak. Pekerjaanku tak ada peningkatan. Kalau terus begini anakku pun akan bernasib sama sepertiku. Tak bisa sekolah tinggi. Cuma paham ilmu agama, tapi perutnya kelaparan. Ibu tahu apa yang ayah katakan saat aku cerita semua itu? Dia bilang; ‘nggak apa-apa miskin di dunia yang penting kaya di akhirat.’ Sekarang coba lihat, apa ayah kaya di akhirat?”

Beban berat yang selama ini mengganjal di perut Sidi akhirnya lenyap. Sebaliknya, beban berat seolah menghantam kepala Bu Sidi. Dia sebenarnya tahu semua yang Sidi katakan, tapi tak tahu kalau itu adalah sebuah kesalahan. Apakah salah jika orangtua mengajari anaknya untuk mengutamakan Tuhan dibanding segala kenikmatan duniawi?

“Ayah mungkin meninggalkan banyak ilmu agama padaku, tapi penderitaan yang kudapat karena kebodohanku jauh lebih besar. Mungkin, di sudut hatiku yang paling dalam, aku terus mengutuk ayah. Dia meninggalkan dunia ini dan membiarkan istri dan anaknya menderita. Dia bisa mengejar lebih banyak nikmat dunia dan menjamin istrinya tak perlu bekerja di usia tua, tapi dia menjual semuanya dan pergi ke tanah suci entah untuk mengejar apa. Kalau memang mimpi ibu benar, maka biarlah ayah menebus kesalahannya di neraka.”

***


Sejak malam itu Bu Sidi tak pernah memimpikan suaminya lagi. Tak lama setelahnya dia pindah ke kota untuk tinggal bersama Sidi dan keluarganya. Rumah di desa pun dijual. Setengah dipakai untuk modal usaha dan setengahnya lagi ditabung untuk pendidikan cucunya. Namun ternyata umur Bu Sidi tak cukup panjang untuk melihat cucunya menjadi mahasiswa. Dia meninggal akibat serangan jantung beberapa tahun setelah tinggal bersama Sidi.

Sidi pun mendapat mimpi. Dia melihat ibunya di tanah berumput yang luas dengan pakaian serba putih. Beliau tersenyum padanya. Tak hanya ibunya, ayahnya juga ada di sana dengan raut wajah penuh penyesalan. Walau tanpa suara, mulutnya terus berucap maaf.

Sidi terbangun dari mimpinya, tersenyum, dan bersiap untuk bekerja.

==END==
Diubah oleh ih.sul 02-04-2024 06:05
bonek.kamar
Yoayoayo
kubelti3
kubelti3 dan 31 lainnya memberi reputasi
30
5.1K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
cregan.starkAvatar border
cregan.stark
#10
ingat kata TS : INI DONGENG BELAKA....

seseorang yg mengejar akhirat dg benar...akan dapat dunia juga...

Jadi cerita ts cuma hasil khayalan TS.
Diubah oleh cregan.stark 12-05-2023 12:13
diditper
Raditeeya
Raditeeya dan diditper memberi reputasi
2
Tutup