Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:



KKN Di Dusun Kalimati

Quote:


Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.

Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.

Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.








INDEKS

Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah



Quote:


Quote:


Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.

Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.

Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).

INDEKS

Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end





Quote:


Quote:



INDEKS

Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang

Konten Sensitif


Quote:

Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.

INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu



Quote:


Quote:


INDEKS

part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 14:46
ferist123
kemintil98
arieaduh
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
19.6K
306
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
#145
20 Bali
"Anda Pak Putu?" tanya Indra.

"Iya betul. Saya Putu, ini Pak Indra Saputra dengan Ibu Khairunissa, ya?" tanyanya sambil menatap kertas yang diambil dari saku bajunya.

"Iya. Jadi bapak yang akan mengantar kami?" tanya ku ramah.

"Iya. Betul sekali. Saya tour guide untuk Bapak dan Ibu. Mari, kita langsung ke mobil saja. Kita ke hotel dulu," jelas Pak Putu.

Saat di dalam mobil aku dan Indra duduk di kursi belakang supir. Menikmati perjalanan kami sampai ke hotel, termasuk wisata tersendiri. Bangunan khas Bali serta ada pemandangan orang-orang yang sembahyang, menjadi daya tarik sendiri bagi turis.

Anehnya aku seperti mendengar iring-iringan musik Bali. Yang biasa untuk mengiringi tari kecak.
Bunyi suara jeritan, 'Cak! cak! cak' seperti itu, juga terdengar samar di telinga. Aku tengak-tengok dengan kebingungan ke sekitar. Mencari sumber suara yang menggangguku kali ini. Padahal mobil ini sedang melaju cukup cepat, mana mungkin suara itu terus terdengar sampai berkilometer jauhnya.

"Kenapa, Sayang?" tanya Indra.

"Eum, kamu dengar musik nggak?Musik iringan tari Bali gitu, Ndra," kataku ragu.

"Musik? Enggak kok. Dari tadi cuma bunyi mesin mobil aja. Nggak ada bunyi musik," kata Indra ikut memandang sekeliling.

"Masa sih? Aku dengar nih. Jelas banget. Ini aja masih ada," kataku mencoba mempertajam pendengaran.

Indra diam sesaat, lalu memandangiku. Aku menoleh karena menyadari Indra menatapku terus.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Eum, ini bukan suara dari dunia ... Lain?" tanya Indra ragu-ragu.

"Jadi, cuma aku yang denger? Eum, Pak Putu! Bapak denger juga, nggak?suara iringan tari Bali ini?" tanyaku ke Pak Putu yang fokus menyetir di depan.

"Iringan musik? Eum... Nggak ada, Bu. Saya tidak mendengar apa pun. Lagi pula radio mobil juga tidak saya nyalakan," jelas Pak Putu membuatku makin bingung.

"Ya udah. Lupain." Aku menarik nafas dalam, lalu menatap ke jendela samping.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Indra lembut, sambil menggenggam tanganku.

Aku hanya mengangguk.

Kami tiba di hotel yang ada di daerah Kuta. Selama di Bali, kami menginap di sebuah hotel yang termasuk hotel tertua di Bali. Karena sudah berdiri lama menurut penjelasan Pak Putu sendiri.
Kami disambut oleh seorang wanita memakai baju adat Bali lalu memberikan tanda di tengah keningku. Yang katanya dinamakan Bija. Mungkin ini salah 1 sambutan di hotel ini.

Indra menuju resepsionis untuk mengurus kamar kami.
Aku hanya melihat-lihat sekeliling lobi hotel ini.

Eh, tunggu! Suara iringan tari Bali tadi, hilang!

Apakah aku hanya halusinasi saja?Huft! Stres kalo udah bahas 'ginian'.

"Nis, yuk. Kita ke kamar," ajak Indra.

Pak Putu menunggu kami di restoran hotel, karena kami akan langsung jalan-jalan malam ini juga.

Setelah diantar oleh salah satu karyawan hotel menuju kamar kami, Indra memberikan uang tip untuk pemuda yang kutaksir berumur 20tahunan itu.
Aku langsung merebahkan diri di ranjang ukuran besar, karena merasa sangat lelah.

Indra segera melepas pakaiannya, hanya memakai celana pendek saja lalu menuju kamar mandi.
Kudengar dia mandi, karena udara memang cukup panas di luar tadi. Walau hari sudah sore sekalipun, rasa tidak nyaman akibat cuaca seharian memang masih terasa.

"Nis, mandi dulu. Salat maghrib," kata Indra sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, masih memakai celana pendek dan bertelanjang dada.

"Oke."

                              ____

Kami menuju restoran yang letaknya di bawah. Sebelum jalan-jalan kami sempatkan makan dulu. Kulihat Pak Putu ada di meja lain yang agak jauh dari kami.

Indra pesan makanan khas Bali, dari ayam betutu, sate lilit, dan beberapa hidangan penutup.

"Nanti kita mau ke mana, Ndra?" Suasana resto di hotel ini cukup ramai. Banyak juga wisatawan luar negeri yang berada di sini.

"Eum, kayaknya mau ke Uluwatu. Nanti kita bisa lihat tari kecak juga di sana," jelas Indra sambil mengunyah makanan di mulutnya.

Tari kecak?
Aku masih teringat dengungan suara-suara itu di mobil tadi.
Apakah tidak apa-apa?
Huft, kenapa aku jadi takut begini. Bukankah aku di sini untuk liburan bersama Indra. Aku tidak boleh berfikir macam-macam. Selesai makan kami menemui Pak Putu, dan pergi ke tempat tujuan.

Pemandangan di tempat ini sungguh indah. Tapi aku merasa tidak nyaman dengan para kera yang di biarkan bebas berkeliaran.
Aku merapat ke Indra, sambil terus berusaha berlindung padanya.
"Gak apa-apa, Sayang," katanya terlihat santai.

Bahkan saat Pak Putu menjelaskan kepada kami tentang sejarah Uuwatu serta destinasi wisata yang ada di tempat ini pun, aku tidak fokus mendengarkannya.

Sengaja Indra tidak membawa barang yang banyak dengan alasan ada kera-kera di sini yang suka usil.

Di hadapanku ada seorang wanita yang kacamatanya diambil oleh kera. Dia histeris, ketakutan, tapi setelah itu dia tertawa lebar. Mungkin apa yang dialaminya terasa sangat konyol walau menakutkan sesaat.

Spot nya sangat bagus untuk berfoto, pemandangan bukit yang langsung menuju ke laut, begitu memukau.

Aku berdiri menatap keindahan dari bukit. Indra melingkarkan tangannya di pinggangku, memelukku dari belakang.

Masih banyak wisatawan di sini. Baik domestik maupun mancanegara. Mereka juga akan menyaksikan pertunjukan tari kecak sebentar lagi.

"Suka?" tanya Indra yang melihatku bengong menatap pemandangan di hadapan kami.

"Banget," jawabku sambil senyum, tanpa melepaskan pandanganku.

Setelah diberi pengumuman bahwa pertunjukan tari kecak akan dimulai, Indra mengajakku melihatnya.

Semua orang juga terlihat antusias.
Hanya aku saja yang merasa khawatir. Tapi aku juga penasaran, apakah suara yang kudengar tadi, memang iringan untuk tari ini atau bukan.

Kami duduk di kursi yang sudah disediakan, dan pertunjukan pun dimulai.
Iringan tari ini, suara ' cak cak cak' yang kudengar saat berada di mobil membuatku takut. Ini suara yang sama. Bali memang banyak menyimpan hal mistis. Yang berbeda dengan Jawa. Tapi tetap saja, mengerikan.

Setelah beberapa jam di Uluwatu, kami pulang ke hotel.
Indra menyuruh Pak Putu kembali saja pulang, karena kami tidak bepergian lagi setelah ini.

Kami memutuskan akan jalan-jalan saja di pantai Kuta. Walau sudah malam, tapi suasana tetap ramai. Hanya duduk di atas tikar yang sudah disediakan lalu memesan es kelapa muda sambil ngobrol santai.

Indra melirik jam tangannya.
"Udah malem. Balik hotel aja, yuk. Angin kencang, nggak baik buat kesehatan," kata Indra.
Aku pun sependapat dengan Indra. Karena udara makin dingin akibat hembusan angin laut yg makin kencang. Bahkan sweaterku juga tidak mampu membuatku hangat. Indra menggandeng tanganku menuju hotel yang tidak jauh dari pantai.

Setelah sampai di depan kamar hotel tiba-tiba dia membopongku ala bridal style.
Dia menyunggingkan senyum. Tatapan matanya dalam, bahkan sampai membuat jantungku berdetak lebih cepat, dan inilah malam pertama kami, sebagai suami istri.

                            ______

Ponselku berdering nyaring. Aku hanya mengintip dengan sebelah mata, siapa yang menghubungi ku sepagi ini. Rupanya Kak Yusuf

"Assalamualaikum," sapaku, menguap sambil mengucek mata.

"Wa alaikum salam. Udah bangun, dek?"

"Baru aja, Kak. Ini masih tiduran di kasur. Masih ngantuk, capek banget, kak, dari kemaren."

"Hehehe.. Gimana? udah kasih kabar ke Mang Ude, belum?"

"Ah iya, lupa. Habis sarapan nanti deh, kak."

"Oh ya udah nggak apa-apa. Jangan lupa lho. Udah, bangun sana, mandi. Salat subuh dulu. Indra juga dibangunin tuh."

"Hehehe oke. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Telefon berakhir. Kamar ini masih gelap, hanya terdengar bunyi AC yang memang tidak kami matikan.
Kulihat Indra masih tidur nyenyak di sampingku.
Aku segera beranjak menuju kamar mandi, dan mandi. Guyuran air dingin membuatku langsung segar dan rasa kantuk pun hilang. Aku menggelung rambutku dengan handuk, lalu membangunkan Indra yang masih mendengkur.

"Ndra, Bangun. Ayo mandi, subuhan dulu. Nanti habis lho, waktunya," kataku sambil mengelus kepalanya lembut.

Dia bereaksi.
"Hm...." Dia membuka matanya sedikit, lalu tersenyum.

"Mandi sana."

"Iya, Sayang." Dia lalu mencium keningku, dan bergegas ke kamar mandi.

Korden dan jendela kubuka, agar udara pagi masuk ke kamar. Ac juga kumatikan lebih dulu. Rasanya udara di ruangan ini harus diganti segera. AC tidak baik untuk tubuh dalam jangka waktu lama. Suasana di luar masih agak gelap. Dari jendela kamar kami, jalanan di dekat pantai terlihat. Masih sepi, dan hanya ada beberapa penjual kaki lima yang sedang mulai membuka lapak. Aku berbalik, hendak membereskan ranjang.

Namun tiba-tiba, ada sebuah bayangan yang melintas di jendela luar. Aku menoleh, memastikan apa atau siapa yang lewat tadi. Hanya saja, kamar kami berada di lantai dua, jadi tidak mungkin ada manusia yang lewat di sana. Sementara jika itu burung, mengapa terasa begitu besar.

"Kenapa, sayang?" tanyanya, yang baru selesai mandi.

"Eum, nggak kok. Kamu udah selesai?" tanyaku berusaha menutupi kegelisahan ku sendiri.

Indra justru menghampiriku, dan ikut memeriksa keluar jendela, karena sejak tadi aku memperhatikan ke arah itu.

"Kita salat dulu aja," katanya lalu menggandengku menuju tempat salat yang sudah kami persiapkan sejak kemarin.

Pukul 06.00 tepat kami turun menuju restoran untuk sarapan. Pak Putu sangat tepat waktu dan sudah berada di resto menunggu kami. Sambil menunggu pesanan kami, aku memainkan gawai dan mencari nomor Mang Ude.

"Siapa yang WA?" tanya Indra.

"Oh, mau telpon Mang Ude. Tadi pagi kak Yusuf ngingetin. Takut aku lupa."
Indra hanya mengangguk sambil memperhatikan sekitar. Suasana masih lenggang dan membuat kami lebih nyaman saat sarapan.

Bunyi nada sambung membuatku lega karena nomor ini masih aktif. Tak lama kemudian suara gemerisik di seberang membuatku mulai mempersiapkan diri menyapa pamanku tersebut.

"Assalamualaikum."

"...."

"Iya, Mang. Nisa udah di Bali, sampai  kemarin. Mamang gimana kabarnya? sehat, kan?"

"...."

"Iya nggak apa-apa. Oke. Nanti kabarin aja, Mang. Jadi kita bisa ketemu."

"...."

"Wa alaikum salam."

Mang Ude bekerja di Bali sudah hampir 10 tahun. Beliau mempunyai istri yang merupakan warga asli Bali. Mereka sudah memiliki satu anak laki-laki yang umurnya 7 tahun.

Hari ini kami akan pergi ke beberapa objek wisata terkenal di Bali.

Beberapa kali saat ada di Tanah Lot dan beberapa tempat wisata lain, aku merasa ada yang mengikuti kami.
Tapi saat aku menoleh dan mencari keberadaan nya, tidak ada satupun orang yang mencurigakan.

Selama dalam perjalanan pun aku masih saja mendengar iringan tarian kecak. Anehnya itu kudengar hanya saat kami berada di perjalanan naik mobil saja. Selebihnya tidak kudengar lagi.

Setelah sore hari, kami ada di daerah Bedugul. Mang Ude akan menemui kami di sana. Pemandangan di Bedugul ini memang menyejukkan mata dan tubuh. Karena berada di dataran tinggi.

Dari kejauhan samar-samar aku melihat seseorang melambaikan tangan. Walau sudah lama aku tidak bertemu Mang Ude, tapi aku yakin kalau dia adalah pamanku. 

"Nisa ... Wah, akhirnya ketemu juga. Mamang udah muter-muter tadi. Eh, malah di sini. Mamang pangling. Kamu sekarang pakai jilbab sih.," kata Mang Ude lalu menjabat tanganku.

"Mamang nggak ngabarin sih. Nisa nggak tau. Oh iya, ini Indra. Suaminya Nisa," kataku, memperkenalkan pria yang berada di samping.

Indra dan Mang Ude bersalaman, saling memperkenalkan diri. Lalu duduk di sebuah kursi kayu tak jauh dari danau.

Dalam obrolan kami, Mang Ude beberapa kali menatapku aneh. Seperti ada sesuatu yang ingin di sampaikan. Tapi dia terlihat ragu.
"Mamang kenapa? Ada yang aneh sama aku, kah?" tanyaku sambil merapikan pakaian dan jilbab yang kukenakan.

"Eum, nggak apa-apa."

"Ada apa, Mang?" tanyaku sedikit memaksa. Karena aku yakin ada sesuatu dibenaknya tentang ku.

"Eum ... Besok kalian ke rumah Mamang, ya,"katanya.

"Besok? Gimana, Ndra?"

"Boleh. Lagi pula kita, kan, pulangnya malem, Nis," kata Indra.

"Beneran loh. Mamang tunggu. Ada yang ingin Mamang bicarakan sama kalian."

"Iya, Mang. Siap." Aku pun tidak ingin memaksakan mendengar penjelasannya sekarang juga. Mungkin alangkah lebih baiknya, aku datang ke rumahnya esok.

Dalam perjalanan pulang, entah mengapa hujan deras sekali. Petir menyambar, padahal sejak tadi cuaca cerah. Langit mendadak gelap. Beruntung kami sampai hotel dengan selamat.

Setelah Pak Putu pulang, kami naik ke kamar kami. Perasaanku makin tidak enak. Aku merasa ada yg mengikuti kami.
Saat berjalan di koridor lantai dua, suasana sangat sepi. Ini tidak seperti biasanya. Hawa di sini juga panas.
Aku menggenggam tangan Indra.

"Kenapa?" tanya Indra bingung melihatku.

"Perasaanku nggak enak," kataku sambil tengak tengok.

Kami makin mempercepat langkah, begitu hampir sampai di kamar kami, di ujung koridor lantai dua ada sosok menyeramkan berdiri di sana.

Sebuah kepala dengan organ tubuh yang menggantung tanpa daging dan kulit. Taring dan lidahnya panjang sekali.

"Ya Allah!" pekikku sambil memegang erat Indra.
Indra ikut melihat ke arah yg kulihat, dia sama terkejutnya.

"Astagfirulloh." cepat-cepat dia membuka pintu kamar hotel kami.
Indra menarikku masuk ke dalam, lalu mengunci pintu.

"Itu tadi apa ya?" tanyaku panik.
Aku belum pernah melihat sosok seperti itu sebelumnya.

"Leak!"

"Apa? Leak?" Walau ini pertama kalinya aku melihat Leak, tapi aku tau jenis setan macam apa dia.

"Terus gimana dong, Ndra, " kataku panik.

Indra diam beberapa saat, seperti terlihat berfikir.
"Telpon Mang Ude, Nis!"

Aku lalu mengambil ponsel, dan menghubungi Mang Ude.
"Assalamaualaikum, Mang. Hmm..."

"Wa alaikum salam. Gimana? Ada apa?"

"Ada... Ada Leak, Mang. Gimana, ya. Nisa bingung," kataku masih panik.

"Apa? Oke. Mamang ke sana sekarang. Kunci semua pintu, jendela, dan jangan biarkan dia masuk!"

Ponsel mati.

Indra mondar mandir di depan pintu, telihat cemas sekali.
Kudekati dia, dan kugenggam tangannya erat.
Indra memandangku.

"Kita nunggu Mang Ude sambil duduk aja ya, Ndra, yuk," ajakku lalu menggandengnya ke ranjang. Tidak seperti biasanya Indra seperti ini.

Krrrriiiittt...

Kami mendengar seperti ada orang menggaruk pintu. Aku makin mengeratkan pelukanku ke Indra, yang masih duduk di atas ranjang.

Brrraaakkk!!

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kasar. Leak itu sudah ada di depan pintu dan perlahan masuk dengan melayang. Seketika seluruh wujudnya yang menyeramkan makin terlihat jelas. Indra menutupiku dari Leak.

Kudengar dia melantunkan ayat-ayat suci Alquran dengan lirih. Tapi leak itu terus saja maju. Kurasakan badan Indra bergetar.
Aneh, kenapa leak itu tidak hilang saat aku menyentuh Indra?

Aku makin ketakutan.
Indra terhempas jauh dariku, menghantam lemari kaca dan hancur seketika. Dia mengerang kesakitan.

Leak itu makin mendekatiku. Aku melemparnya dengan bantal, guling, apa pun yang dapat kuraih.

Saat leak itu meraihku, dia seperti hendak menarikku meninggalkan tempat ini. Kupikir, dia akan langsung melukai sama seperti Indra tadi.

Aneh.
Aku dibawa hampir melewati daun pintu kamar hotel.
"Indra!" teriakku histeris.
Kulihat Indra berusaha bangkit dan berjalan sempoyongan ke arahku.
Aku terus meronta minta dilepaskan. Untungnya pergerakan makhluk ini terkesan lambat. Sehingga Indra bisa menyusul kami.

Indra meremas jantung Leak itu, tangannya penuh darah.
Tapi Leak itu berhasil melemparnya menghantam tembok.
Kudengar Indra mengerang, dia masih berusaha bangkit menolongku.
Tak terasa bulir-bulir air mataku jatuh. Karena tidak tega melihat Indra terluka seperti itu. Aku juga takut dengan sosok di dekatku ini.

Sleeebbhhh!!

Seketika aku menengok ke arah suara itu.
Aku lihat dari atas kepala leak itu tertancap sebuah pedang yang panjang menembus ke kerongkongannya. Dia melepaskanku.
Aku beringsut mundur menjauhi leak. Ternyata mang Ude yang datang.

"Kalian gak papa?" tanyanya melihat kami.
Aku mengangguk. Leak itu pergi. Entah dia mati atau tidak, aku tidak perduli. Aku mendekat ke Indra.

"Kamu gak papa? Mana yang sakit?"tanyaku sambil melihat sekujur badannya.

"Aku gak papa," katanya dengan nafas tersengal. Mang Ude mendekati kami.

"Malam ini kalian nginap di rumah mamang aja."

Segera kubereskan barang-barang kami dan chek out dari hotel dan menginap di rumah Mang Ude.

======

Kami sampai di rumah Mang Ude ysng bergaya khas Bali. Kabar tinggi mengelilingi lingkungan rumahnya, setelah gerbang utama dibuka, akan ada beberapa saung di dalam.
Kami disambut istri mang Ude, Bibi Kadek dan sepupuku Wayan.

"Lho? Kenapa ini, Mas?"tanya Bibi Kadek.
Indra dipapah mang Ude lalu didudukan di sofa ruang tengah.
Wayan menatapku dingin sedari aku masuk tadi.

"Hai, Wayan. Lama ya nggak ketemu," kataku lalu menjabat tangannya, berusaha mencairkan suasana tegang yang kami alami tadi.

Dia tersentak kaget lalu menatap telapak tanganku lekat-lekat.
Mang Ude juga menatap anaknya yang bertingkah aneh.

"Ada apa, Wayan?"

"Guratan. Ada guratan merah di tangan kak Nisa," kata Wayang serius.
Aku menatap telapak tanganku sendiri.

"Guratan merah apa, Wayan? Nggak ada gini kok," kataku, sambil menunjukan telapak tangan ke yang lain.

"Ya Allah. Nisa ...," sahut Bibi Kadek cemas.

"Kenapa sih? Guratan merah itu apa? Mana? Nggak ada!" tanyaku penasaran.

"Itu tanda, Nis. Bahwa kamu dicintai Leak, dan memang guratan itu tidak akan terlihat jelas. Hanya orang tertentu saja yang bisa melihatnya," jelas Mang Ude.

Aku?
dicintai Leak?
Kok bisa?

Indra ikut melihat telapak tanganku, dia juga tidak melihat adanya guratan merah apa pun.

"Terus gimana? Kok bisa ada guratan merah?" tanya Indra.

"Entahlah, mamang juga ga tau. Pantas saja, awal mamang ketemu kalian, ada yang aneh sama Nisa. Cuma mamang belum tau itu apa."

"Wayan, bantu kak Nisa,"sahut Bi Kadek serius. Wayan mengangguk.

Malam itu juga, aku menjalani ritual untuk menghilangkan tanda merah itu.
Jadi ini alasannya, kenapa  leak itu tidak menyakitiku? Dia juga hendak membawaku pergi tadi.

"Mang, Leak tadi gimana?" tanya Indra.

"Mamang harap sih dia nggak bisa bertahan oleh hujaman pedang mamang tadi."

"Memang leak bisa mati?"tanyaku

"Menurut kepercayaan masyarakat Bali, leak itu penyihir jahat. Kalau siang dia manusia biasa, tapi kalau malam, ya kayak tadi bentuknya, dan bisa mati kalo ditusuk seperti tadi. Cuma harusnya sih dari bawah ke atas. Entah kalau terbalik bagaimana. Hehe." Mang Ude malah bercanda. Padahal kami hampir terkena serangan jantung tadi.

Setelah beberapa saat, Wayan dan mang Ude mencoba menghilangkan tanda merah yang ada padaku.
Wayan ini sama seperti ayahnya, tapi menurutku kemampuannya lebih hebat, instingnya lebih tajam dari ayahnya.
Akhirnya tanda merah itu hilang, itupun kata Wayan, karena hanya dia yang bisa melihatnya.

=======

Malam semakin larut, Bi Kadek menunjukkan kamar untukku dan Indra. Indra duduk di ranjang setelah berganti pakaian. Dia masih meraba beberapa bagian tubuhnya yang sakit. Aku mengelus punggungnya sambil terus menatapnya, sendu.

"Sakit, ya?" tanyaku dengan suara parau. Melihatnya seperti tadi mang membuatku sakit dan sedih.

"Udah nggak begitu kok, Sayang. Udah mendingan," katanya.

Aku peluk dia, sambil terisak.
Dia membelai kepalaku lembut.
"Hei, kok nangis. Aku gak papa kok,"katanya berbisik.

"Maaf, ya. Gara-gara aku, kamu jadi gini."

"Sstt. Kamu gak salah. Udah kewajiban ku jagain kamu, Nis. Aku suami kamu. Susah senang kita hadapi bersama."

Lalu Indra mengecup pucuk kepalaku.
"Sekarang bobok, ya. Istirahat,"katanya sambil melepaskan pelukannya lalu menatap mataku dalam. Dia menghapus air mataku yg membasahi pipi.

"Kita pulang besok aja, ya. Aku pingin cepat pulang. Nggak mau di sini lagi," rengekku.

"Beneran? Masih ada waktu jalan-jalan lho. Kamu nggak ingin jalan-jalan lagi?"

"Nggak. Nggak mau. Aku pingin pulang."

"Ya udah, besok kita pulang pagi, ya."

Setelah melewati hari dan malam yg panjang, kami tidur.
Aku benar-benar takut. Makhluk itu muncul lagi dan mencelakai Indra.
Aku tidak mau melihatnya terluka lagi karenaku.
johny251976
coeloet
theorganic.f702
theorganic.f702 dan 3 lainnya memberi reputasi
4