- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
gumzcadas dan 205 lainnya memberi reputasi
202
285.8K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#870
#68 - Life Would Be Nice
Spoiler for #68 - Life Would Be Nice:
Ada miskonsepsi yang lumrah terjadi pada kebanyakan cowok terhadap sosok cewek. Mereka; para cowok kerap mengira, kami para cewek-cewek hanya peduli pada penampilan, fisik, rupanya, dan seberapa dalam kocek para cowok. Ya memang, ada juga sebagian cewek yang tergila-gila dengan cowok ganteng, kece dan kaya raya. Tapi, percayalah, sebagian besar dari kami menganggap tampan dan kekayaan adalah sebuah bonus. Yang terpenting adalah hatinya dan yang jauh lebih penting lagi adalah; bagaimana mereka menilai kita.
Lalu bukan berarti gua dan banyak cewek lainnya nggak mau kalau tiba-tiba dapet pasangan yang baik hatinya, penyayang, cerdas, juga tampan dan kaya raya; Jackpot!
Tapi, apa ada kualifikasi cowok seperti itu di atas muka bumi ini? Awalnya, gua juga berpikir seperti itu; ‘Kayaknya cowok idaman seperti itu hanya ada di cerita romansa teenlit yang menye-menye deh’. Hingga saat gua bertemu dengan Jeje.
Jika tak bisa menggunakan kata ‘sempurna’, maka istimewa adalah kata pengganti yang tepat untuknya. Sosok cowok yang nampak bagai baja dari luar, namun memiliki hati senyaman rahim ibu.
Cowok itu kini duduk tepat di sebelah gua, menunggu hadirnya ayah, memohon izin untuk meminang anaknya; meminang gua.
Sementara gua duduk bersandar pada sofa, Jeje duduk tegak, kedua kakinya ia goyangkan dan mulutnya terlihat komat-kamit, seperti tengah merapal mantra atau menghafal sesuatu. Gua menoleh ke arahnya, membetulkan posisi rambutnya yang berantakan lalu bertanya; “Kenapa?”
“Nervous…”Jawabnya tanpa menoleh, membalas tatapan gua.
“Tumben, biasanya nggak pernah gugup?…” Tanya gua. Baru kali ini gua melihat wajahnya sedikit pucat dan gerak-geriknya yang aneh, setelah sekian lama, akhirnya gua berkesempatan melihat Jeje gugup.
Masih tanpa menoleh, Jeje memberi jawaban; “Ngelamar anak orang kan bukan hal yang umum terjadi, masa iya nggak boleh nervous…”
“Boleh… Gapapa kok, gue malah seneng. Akhirnya gue bisa ngeliat lo gugup, akhirnya terbukti kalo lo emang manusia…”
“Hah?”
“Bercanda…”
Nggak seberapa lama, Bi Sum datang dengan membawa baki berisi dua gelas besar berisi teh.
“Neng, mau soto?” Tanya Bi Sum sambil berbisik begitu selesai meletakkan gelas.
“Bi Sum hari ini bikin soto?” Gua balik bertanya, tentu saja juga sambil berbisik.
“Iya…”
“Mau dooong…”
“Ok, nanti Bi Sum bungkusin ya…”
“Iya… Makasih lho bi..”
Sesaat setelah Bi Sum pergi, sosok perempuan muda berpakaian santai dengan tanktop ketat dan celana super pendek yang nyaris nggak ada fungsinya. Ia berjalan ke arah kami. Sementara tangan kirinya menggenggam kemasan snack, tangan kanannya sibuk dengan ponsel. Ia langsung menghentikan langkah begitu menyadari kehadiran kami berdua di ruang tamu.
Gua langsung menutupi mata Jeje dengan telapak tangan dan pasang tampang galak ke Mamay.
“Merem!” Seru gua ke Jeje. Yang lalu direspon dengan anggukan kepala.
Perlahan gua menurunkan tangan yang menutupi kedua matanya, mengecek apakah ia sudah benar-benar memejamkan mata. Gua lalu berdiri dan mendekat ke arah Mamay yang masih tertegun menatap ke arah Jeje.
“Dia kan?...” Gumamnya.
Gua nggak menggubris ucapannya, hanya memutar tubuhnya lalu mendorongnya sekuat tenaga ke arah ruang keluarga; “Ganti baju lo, baru kesini. Gatel banget lo jadi cewek” Ucap gua.
“Ih, Siapa yang gatel…” Protesnya, namun tetap mengikuti perintah gua.
Sesaat sebelum pergi ia sempat menghentikan langkahnya dan menoleh kembali ke arah gua; “Dia kan? CEO tempat gue interview waktu itu?”
“Iya Emang… Lo nggak usah bilang apa-apa ke Ayah sama Bunda” Ucap gua, memberi ancaman ke Mamay. Ia nggak merespon, hanya mendengus lalu bergegas naik melalui tangga melingkar yang membawanya ke lantai atas.
Saat gua kembali ke ruang tamu, terlihat Jeje masih memejamkan kedua matanya. Gua duduk dan berbisik: “Udah…”
“Lo sempet ngeliat apa tadi?” Tanya gua ke Jeje.
“Adik lo, Mamay, ya kan?” Jeje balik bertanya.
“Iya… yang gue tanya tuh berarti lo tadi sempet liat dia pake baju seksi?” Tanya gua lagi.
Jeje lalu mengangguk pelan, dengan ekspresi wajah tanpa rasa bersalah. Melihat responnya, gua langsung pasang tampang cemberut, menghentakan kaki ke lantai dan memukulnya; “Ah elo mah…”
“Dih, ya abisnya gua bisa apa?”
“Ya merem kan bisa”
“Tadi gua merem”
“Iya, lo merem karena gue tutup mata lo. Kalo nggak, lo pasti terus ngeliatin dia kan?”
Jeje nggak menjawab. Ia lalu tersenyum dan menoleh ke arah gua; “Ya namanya juga rejeki”
“AH ELAH…” Gua lantas kembali memukulnya dan menggeser posisi duduk, menjauh darinya.
Jeje ikut menggeser duduknya dan berbisik; “Bercanda”
“Bodo ah…”
“Apa perlu kita pulang, ngobrolin hal ini terus besok balik lagi kesini?” Tanya Jeje.
Gua menoleh dan berpaling, balas menatapnya; “Jangan…”
“...”
“... Tapi awas kalo mata lo jelalatan lagi…”
“Dih, kan nggak sengaja Lad..”
“Hush, udah.. diem”
Nggak lama berselang Ayah datang, disusul oleh Bunda yang berjalan di belakangnya. Jeje langsung berdiri dan menyalami keduanya sambil memperkenalkan diri, sementara gua hanya diam, nggak bergerak, balas menatap keduanya pun tak sudi.
“Kamu bukannya pernah kesini ya?” Tanya Ayah seraya menatap Jeje.
“Iya Om…” Jawab Jeje, masih sambil berdiri.
Begitu Ayah dan bunda duduk, barulah Jeje ikut duduk.
Ayah dan Bunda lalu berpaling ke arah gua, memberi tatapan mata yang super sinis dan bertanya; “Tumben? ada apa?”
Jeje berdehem sebentar, bersiap untuk menjawab.
“Gini Om..”
Baru saja Jeje ingin bicara, Ayah lalu mengangkat tangangannya, memberikan isyarat agar Jeje nggak melanjutkan ucapannya. “Diem, saya nggak nanya kamu… saya nanya dia” Ucap Ayah seraya menunjuk gua.
Gua menegakkan tubuh lalu bicara pelan; “Ya gue sih nggak ada urusan kesini. Dia yang ada perlu, kok malah disuruh diem… Aneh” Gumam gua seraya melirik ke arah Jeje.
Ayah lalu kembali berpaling ke arah Jeje dan memberikan isyarat untuk Jeje melanjutkan bicaranya.
Saat Jeje bersiap untuk kembali bicara, terdengar suara derap langkah kaki mendekat, disusul hadirnya Mamay yang kini hadir dengan pakaian yang sedikit lebih sopan. Ia mengenakan sweater biru dan celana olahraga panjang, kemudian langsung duduk di lengan sofa, di sebelah bunda.
“Gini Om, Tante, Aku kesini mau bersilaturahmi, mau…” Belum selesai Jeje bicara, Bunda memotong kalimatnya.
“Udah langsung aja, nggak usah bertele-tele…” Ucap Bunda.
“Ok, Aku mau minta izin, kita mau nikah” Ucap Jeje singkat, padat dan nggak bertele-tele, seperti yang Bunda inginkan.
Gua terdiam sambil memperhatikan ekspresi wajah ayah dan bunda yang terlihat tak ada perubahan yang signifikan. Yang justru heboh sendiri justru Mamay; “What!?” Serunya sambil berdiri.
Ayah lalu memberi kode agar Mamay kembali duduk. Seperti anjing yang menurut pada tuannya, Mamay beringsut dan kembali duduk di tempatnya semula.
“Kapan?” Tanya Ayah ke Jeje.
“Secepatnya…” Gua menyerobot, mengambil alih porsi menjawab Jeje.
Ayah berpaling ke gua lalu melotot; “Ayah nggak nanya kamu…” Lalu kembali ke arah Jeje dan mengulang pertanyaannya; “Kapan?” Tanya Ayah ke Jeje.
“Secepatnya, Om” Jawab Jeje.
Gua langsung menyeringai begitu Jeje menuturkan jawaban yang sama dengan gua. Ekspresi gua saat ini mungkin terlihat seperti berkata; ‘Tuh kan, apa gue bilang’
“Yaudah, kalo mau nikah, ya nikah aja…” Respon Ayah santai.
“Tapi, Om setuju?” Tanya Jeje.
“Setuju..” Jawabnya.
“Bersedia kalo nanti jadi walinya?” Tanya Jeje lagi.
“Bersedia..”
Bunda lalu ikut nimbrung ke percakapan, dengan santainya ia bicara; “Asal kalian nggak minta duit aja ke kita…”
Jeje mengalihkan pandangannya ke Bunda lalu bicara; “Nggak tante, tenang aja…”
“Oh good to know…” Respon bunda.
Kini ayah giliran mengambil alih alur diskusi; “Emang kerjaan kamu apaan sih?” Tanyanya.
“Aku punya toko plastik Om…”
“Oh.. hati-hati lho, nanti abis nikah sama Lady, usahanya bangkrut.. Hahaha…” Ucap ayah tanpa sedikitpun membubuhkan empati pada kalimatnya tersebut. ‘Paling nggak kalo mau ngomong gitu, pas gue nggak ada lah ya’ batin gua dalam hati.
“Nggak bakal” Gua menggumam pelan.
Sementara, Jeje hanya tersenyum menanggapi ucapan bapak barusan.
“Lho, bukannya…” Tiba-tiba Mamay mulai buka suara, namun sebelum ia menyelesaikan kalimatnya gua keburu pasang tampang sangar dan melotot ke arahnya, memberikan isyarat kepadanya agar nggak melanjutkan ucapan.
“Nah ini kan pertemuan pertama kita…” Ucap Jeje yang lalu dikoreksi oleh Ayah.
“Kedua…”
“Oh iya, kedua…” Jeje meralat ucapannya.
“...”
“... Nanti rencananya Aku mau kesini lagi bawa keluarga saya. Biar saling kenal…”
“Alah, nggak perlu…” Jawab Ayah.
“Hah!?”
“Kasih tau aja kapan saya harus datang buat jadi wali-nya Lady…”
“Oh gitu…” Jeje merespon sambil mengelus dagunya.
“Emang bapakmu kerja dimana?” Tanya Ayah, sepertinya penasaran.
“Bapak sama Ibuku sudah meninggal Om…”
“Oh… Tinggal sendirian berarti?”
“Nggak Om, sama Anggi; Anak saya…” Jawab Jeje. Mendengar jawaban dari Jeje ekspresi wajah Ayah, Bunda dan Mamay terlihat langsung berubah. Ketiganya lalu berpaling dan memandang ke arah gua dengan tatapan merendahkan.
“Duda?” Tanya Bunda ke gua. Yang tentu saja gua jawab dengan penuh keyakinan; “Iya!”
Bunda lalu menghela nafas panjang dan melanjutkan bicaranya; “Kamu ini emang apes ya Lad… sekolah tinggi-tinggi, cantik, kok malah nyari tukang plastik, duda lagi…”
Gua langsung meraih tangan Jeje dan menatapnya begitu Bunda selesai bicara. Takut Jeje tersinggung dengan ucapannya barusan. Namun, bukannya terlihat marah dan kesal, Jeje justru tersenyum.
“Apes? tau apa bunda tentang apes? tau apa bunda tentang keberuntungan. Sekarang ini, Lady justru merasa jadi orang paling beruntung kok..”
“Iya kamunya beruntung, dia nya nanti yang jadi apes…” Respon Bunda sambil menunjuk ke arah Jeje.
Dan Jeje hanya tersenyum.
“Yaudah kalo begitu, berarti nanti kita bakal info ke Om dan Tante buat tanggal pernikahannya…”
“Ya…” Ayah merespon singkat.
Jeje lalu menoleh ke arah gua dan berbisik; “Udah, yuk..”
Gua tersenyum lalu mengangguk.
Ayah, Bunda dan Mamay mengikuti kami berdua hingga ke ujung pagar. Ayah langsung mengernyitkan dahi begitu melihat mobil yang kami gunakan, lalu berpaling ke arah mobil dengan model dan merk yang sama dengan yang terparkir di halaman rumah.
“Lho, ini mobil siapa?” Tanya ayah seraya menunjuk ke arah mobil gua yang berada diluar pagar.
“Mobil Lady…” Jawab gua singkat. Kini gua bisa dengan yakin mengucapkan kalau mobil ini adalah mobil gua.
“Lah terus ini?” Tanya ayah lagi, kini menunjuk ke arah mobil Mamay di halaman rumah.
“Mobil dia…” Gua menjawab sambil menunjuk ke arah Mamay.
“...”
“... Itu kan baru, masa nggak tau…” Gua menambahkan, kini telunjuk gua arahkan ke mobil Mamay.
“Hah!?”
“Jeje yang beli, buat ganti mobil yang Lady bawa dulu…” Gua menjelaskan.
Ketiganya lalu terdiam dan saling menatap. Sementara, gua dan Jeje langsung keluar melalui pagar dan bersiap masuk ke dalam mobil. Terlihat sebuah plastik sudah tergantung di spion mobil sebelah kiri.
Gua tersenyum sambil meraih bungkusan plastik tersebut. Plastik yang berisi soto buatan Bi Sum.
“Apaan tuh?” Tanya Jeje begitu kami berdua masuk ke dalam mobil.
“Soto. Dari Bi Sum…”
“Oh…”
“Mau nyoba nggak? ini soto paling enak di seluruh dunia…”
“Oya?”
“Iya.. nanti deh lo cobain…”
Sepanjang perjalanan, gua melihat Jeje terus tersenyum. Ini nggak seperti Jeje yang gua kenal, Jeje yang biasa pasang tampang tanpa ekspresi.
Gua jadi ikut tersenyum, lalu bertanya; “Kenapa sih? dari tadi gue perhatiin senyum-senyum sendiri…”
“Nggak, gua cuma senang dan lega aja…”
“Karena” Tanya gua lagi.
“Senang dan lega karena ternyata meminta restu ke bokap lo nggak sesulit yang gua kira sebelumnya…”
“Emang sebelumnya ekspektasi lo kayak apa?”
“Gua pikir bakal di cecar habis-habisan, terus ujung-ujungnya nggak dapet restu. Ternyata, mereka emang kayaknya nggak peduli aja sama elo ya?”
“Hahaha, akhirnya tau kan lo gimana perlakuan mereka ke gua?”
“Iya.. Kasihan ya elo..”
“Iya.. lo juga kasihan, yatim piatu..”
“Daripada elo, punya orang tua tapi kayak nggak punya..”
“Hahaha…”
“...”
“... Terus gimana nih? kapan kita melangsungkan pernikahan?” Tanya gua, seraya pasang tampang sumringah.
“Bebas…” Jawab Jeje singkat.
“Hah!?”
‘Orang gila mana sih yang pas ditanyain tanggal pernikahan dijawab ‘Bebas’?’ Gua membatin dalam hati.
—
Kini kebahagiaan gua terasa lengkap.
Punya pekerjaan yang sesuai passion, tiba-tiba kaya, dan punya pasangan istimewa seperti Jeje, ditambah restu menikah dari ayah yang sudah dalam genggaman.
Hari ini rasanya gua ingin membagi rasa bahagia ini ke semua orang.
“Jeje, mampir ke beli fried chicken dong buat Anggi. Terus beli pizza buat Rohman sama Salwa…” Ucap gua.
“Iya…”
Kebahagiaan kami berdua terasa semakin lengkap, saat Jeje menerima telepon dari Reni yang memberi kabar kalau, ia kini tengah berbadan dua.
Belum selesai, Jeje dan Reni bicara melalui sambungan ponsel, gua menarik ujung kaos yang Jeje kenakan dan berbisik; “Loudspeaker Je…”
Jeje lalu menyambungkan ponselnya ke pengeras suara pada dashboard mobil. Kini terdengar suara nyaring Reni di dalam mobil.
“Renii….. Congrats yaa…” Seru gua, setengah berteriak.
“Aaaa… Kak Lad… Thank you…”
“Waah, punya keponakan dong gue…”
“Iya…”
“By the way, gimana? udah ketemuan sama bokap nyokap lo kak?” Tanya Reni.
“Udah dong…”
“Lancar?”
“Kayaknya pas pernikahan kita nanti perut lo pasti lagi gede…” Ucap gua.
“Hah? berarti udah dapet restu dong…”
“Iya…”
“Wah, congrats ya… Eh abang mana kak, gue mau ngomong lagi dong…”
“Ngomong aja, ini loudspeaker kok..”
“Oh.. Bang, Abang…” Reni memanggil abangnya.
“Ya…” Jeje menjawab singkat.
“Reni mau ngadain pengajian nih…”
“Oh…”
“Tapi mau dirumah abang aja…”
“Yaudah kapan?” Tanya Jeje.
“Hmmm, belum tau sih, nanti coba Reni ngobrol sama Robi dulu deh…”
“Yaudah kabarin aja…”
“Iya..”
Setelah ngobrol sambil bercanda, akhirnya Reni mengakhiri panggilan karena harus menjawab panggilan lain dari Robi.
Gua menatap Jeje, menyentuh pipinya dengan ujung jari, berusaha menggodanya. ‘Gila! gua nggak pernah merasa se-happy ini seumur hidup’. Lalu, apakah Jeje merasakan hal yang sama dengan gua.
“Je, lo happy nggak?”
“Happy lah…” jawabnya singkat.
“Pernah nggak lo merasa bakal sebahagia ini sebelumnya?” Tanya gua.
“Nggak…”
“Kenapa? padahal hidup lo kan udah susah sejak lama. Lo harusnya percaya kalau hari ini bakal datang buat lo. Soalnya jatah hidup susah lo kayaknya udah lo habisin. Jadi, sekarang lo tinggal menghabiskan sisa hidup dengan bahagia…”
“Seandainya dulu gua bisa berpikir kayak gitu, life would be nice…”
“Yes it is…”
—
Lalu bukan berarti gua dan banyak cewek lainnya nggak mau kalau tiba-tiba dapet pasangan yang baik hatinya, penyayang, cerdas, juga tampan dan kaya raya; Jackpot!
Tapi, apa ada kualifikasi cowok seperti itu di atas muka bumi ini? Awalnya, gua juga berpikir seperti itu; ‘Kayaknya cowok idaman seperti itu hanya ada di cerita romansa teenlit yang menye-menye deh’. Hingga saat gua bertemu dengan Jeje.
Jika tak bisa menggunakan kata ‘sempurna’, maka istimewa adalah kata pengganti yang tepat untuknya. Sosok cowok yang nampak bagai baja dari luar, namun memiliki hati senyaman rahim ibu.
Cowok itu kini duduk tepat di sebelah gua, menunggu hadirnya ayah, memohon izin untuk meminang anaknya; meminang gua.
Sementara gua duduk bersandar pada sofa, Jeje duduk tegak, kedua kakinya ia goyangkan dan mulutnya terlihat komat-kamit, seperti tengah merapal mantra atau menghafal sesuatu. Gua menoleh ke arahnya, membetulkan posisi rambutnya yang berantakan lalu bertanya; “Kenapa?”
“Nervous…”Jawabnya tanpa menoleh, membalas tatapan gua.
“Tumben, biasanya nggak pernah gugup?…” Tanya gua. Baru kali ini gua melihat wajahnya sedikit pucat dan gerak-geriknya yang aneh, setelah sekian lama, akhirnya gua berkesempatan melihat Jeje gugup.
Masih tanpa menoleh, Jeje memberi jawaban; “Ngelamar anak orang kan bukan hal yang umum terjadi, masa iya nggak boleh nervous…”
“Boleh… Gapapa kok, gue malah seneng. Akhirnya gue bisa ngeliat lo gugup, akhirnya terbukti kalo lo emang manusia…”
“Hah?”
“Bercanda…”
Nggak seberapa lama, Bi Sum datang dengan membawa baki berisi dua gelas besar berisi teh.
“Neng, mau soto?” Tanya Bi Sum sambil berbisik begitu selesai meletakkan gelas.
“Bi Sum hari ini bikin soto?” Gua balik bertanya, tentu saja juga sambil berbisik.
“Iya…”
“Mau dooong…”
“Ok, nanti Bi Sum bungkusin ya…”
“Iya… Makasih lho bi..”
Sesaat setelah Bi Sum pergi, sosok perempuan muda berpakaian santai dengan tanktop ketat dan celana super pendek yang nyaris nggak ada fungsinya. Ia berjalan ke arah kami. Sementara tangan kirinya menggenggam kemasan snack, tangan kanannya sibuk dengan ponsel. Ia langsung menghentikan langkah begitu menyadari kehadiran kami berdua di ruang tamu.
Gua langsung menutupi mata Jeje dengan telapak tangan dan pasang tampang galak ke Mamay.
“Merem!” Seru gua ke Jeje. Yang lalu direspon dengan anggukan kepala.
Perlahan gua menurunkan tangan yang menutupi kedua matanya, mengecek apakah ia sudah benar-benar memejamkan mata. Gua lalu berdiri dan mendekat ke arah Mamay yang masih tertegun menatap ke arah Jeje.
“Dia kan?...” Gumamnya.
Gua nggak menggubris ucapannya, hanya memutar tubuhnya lalu mendorongnya sekuat tenaga ke arah ruang keluarga; “Ganti baju lo, baru kesini. Gatel banget lo jadi cewek” Ucap gua.
“Ih, Siapa yang gatel…” Protesnya, namun tetap mengikuti perintah gua.
Sesaat sebelum pergi ia sempat menghentikan langkahnya dan menoleh kembali ke arah gua; “Dia kan? CEO tempat gue interview waktu itu?”
“Iya Emang… Lo nggak usah bilang apa-apa ke Ayah sama Bunda” Ucap gua, memberi ancaman ke Mamay. Ia nggak merespon, hanya mendengus lalu bergegas naik melalui tangga melingkar yang membawanya ke lantai atas.
Saat gua kembali ke ruang tamu, terlihat Jeje masih memejamkan kedua matanya. Gua duduk dan berbisik: “Udah…”
“Lo sempet ngeliat apa tadi?” Tanya gua ke Jeje.
“Adik lo, Mamay, ya kan?” Jeje balik bertanya.
“Iya… yang gue tanya tuh berarti lo tadi sempet liat dia pake baju seksi?” Tanya gua lagi.
Jeje lalu mengangguk pelan, dengan ekspresi wajah tanpa rasa bersalah. Melihat responnya, gua langsung pasang tampang cemberut, menghentakan kaki ke lantai dan memukulnya; “Ah elo mah…”
“Dih, ya abisnya gua bisa apa?”
“Ya merem kan bisa”
“Tadi gua merem”
“Iya, lo merem karena gue tutup mata lo. Kalo nggak, lo pasti terus ngeliatin dia kan?”
Jeje nggak menjawab. Ia lalu tersenyum dan menoleh ke arah gua; “Ya namanya juga rejeki”
“AH ELAH…” Gua lantas kembali memukulnya dan menggeser posisi duduk, menjauh darinya.
Jeje ikut menggeser duduknya dan berbisik; “Bercanda”
“Bodo ah…”
“Apa perlu kita pulang, ngobrolin hal ini terus besok balik lagi kesini?” Tanya Jeje.
Gua menoleh dan berpaling, balas menatapnya; “Jangan…”
“...”
“... Tapi awas kalo mata lo jelalatan lagi…”
“Dih, kan nggak sengaja Lad..”
“Hush, udah.. diem”
Nggak lama berselang Ayah datang, disusul oleh Bunda yang berjalan di belakangnya. Jeje langsung berdiri dan menyalami keduanya sambil memperkenalkan diri, sementara gua hanya diam, nggak bergerak, balas menatap keduanya pun tak sudi.
“Kamu bukannya pernah kesini ya?” Tanya Ayah seraya menatap Jeje.
“Iya Om…” Jawab Jeje, masih sambil berdiri.
Begitu Ayah dan bunda duduk, barulah Jeje ikut duduk.
Ayah dan Bunda lalu berpaling ke arah gua, memberi tatapan mata yang super sinis dan bertanya; “Tumben? ada apa?”
Jeje berdehem sebentar, bersiap untuk menjawab.
“Gini Om..”
Baru saja Jeje ingin bicara, Ayah lalu mengangkat tangangannya, memberikan isyarat agar Jeje nggak melanjutkan ucapannya. “Diem, saya nggak nanya kamu… saya nanya dia” Ucap Ayah seraya menunjuk gua.
Gua menegakkan tubuh lalu bicara pelan; “Ya gue sih nggak ada urusan kesini. Dia yang ada perlu, kok malah disuruh diem… Aneh” Gumam gua seraya melirik ke arah Jeje.
Ayah lalu kembali berpaling ke arah Jeje dan memberikan isyarat untuk Jeje melanjutkan bicaranya.
Saat Jeje bersiap untuk kembali bicara, terdengar suara derap langkah kaki mendekat, disusul hadirnya Mamay yang kini hadir dengan pakaian yang sedikit lebih sopan. Ia mengenakan sweater biru dan celana olahraga panjang, kemudian langsung duduk di lengan sofa, di sebelah bunda.
“Gini Om, Tante, Aku kesini mau bersilaturahmi, mau…” Belum selesai Jeje bicara, Bunda memotong kalimatnya.
“Udah langsung aja, nggak usah bertele-tele…” Ucap Bunda.
“Ok, Aku mau minta izin, kita mau nikah” Ucap Jeje singkat, padat dan nggak bertele-tele, seperti yang Bunda inginkan.
Gua terdiam sambil memperhatikan ekspresi wajah ayah dan bunda yang terlihat tak ada perubahan yang signifikan. Yang justru heboh sendiri justru Mamay; “What!?” Serunya sambil berdiri.
Ayah lalu memberi kode agar Mamay kembali duduk. Seperti anjing yang menurut pada tuannya, Mamay beringsut dan kembali duduk di tempatnya semula.
“Kapan?” Tanya Ayah ke Jeje.
“Secepatnya…” Gua menyerobot, mengambil alih porsi menjawab Jeje.
Ayah berpaling ke gua lalu melotot; “Ayah nggak nanya kamu…” Lalu kembali ke arah Jeje dan mengulang pertanyaannya; “Kapan?” Tanya Ayah ke Jeje.
“Secepatnya, Om” Jawab Jeje.
Gua langsung menyeringai begitu Jeje menuturkan jawaban yang sama dengan gua. Ekspresi gua saat ini mungkin terlihat seperti berkata; ‘Tuh kan, apa gue bilang’
“Yaudah, kalo mau nikah, ya nikah aja…” Respon Ayah santai.
“Tapi, Om setuju?” Tanya Jeje.
“Setuju..” Jawabnya.
“Bersedia kalo nanti jadi walinya?” Tanya Jeje lagi.
“Bersedia..”
Bunda lalu ikut nimbrung ke percakapan, dengan santainya ia bicara; “Asal kalian nggak minta duit aja ke kita…”
Jeje mengalihkan pandangannya ke Bunda lalu bicara; “Nggak tante, tenang aja…”
“Oh good to know…” Respon bunda.
Kini ayah giliran mengambil alih alur diskusi; “Emang kerjaan kamu apaan sih?” Tanyanya.
“Aku punya toko plastik Om…”
“Oh.. hati-hati lho, nanti abis nikah sama Lady, usahanya bangkrut.. Hahaha…” Ucap ayah tanpa sedikitpun membubuhkan empati pada kalimatnya tersebut. ‘Paling nggak kalo mau ngomong gitu, pas gue nggak ada lah ya’ batin gua dalam hati.
“Nggak bakal” Gua menggumam pelan.
Sementara, Jeje hanya tersenyum menanggapi ucapan bapak barusan.
“Lho, bukannya…” Tiba-tiba Mamay mulai buka suara, namun sebelum ia menyelesaikan kalimatnya gua keburu pasang tampang sangar dan melotot ke arahnya, memberikan isyarat kepadanya agar nggak melanjutkan ucapan.
“Nah ini kan pertemuan pertama kita…” Ucap Jeje yang lalu dikoreksi oleh Ayah.
“Kedua…”
“Oh iya, kedua…” Jeje meralat ucapannya.
“...”
“... Nanti rencananya Aku mau kesini lagi bawa keluarga saya. Biar saling kenal…”
“Alah, nggak perlu…” Jawab Ayah.
“Hah!?”
“Kasih tau aja kapan saya harus datang buat jadi wali-nya Lady…”
“Oh gitu…” Jeje merespon sambil mengelus dagunya.
“Emang bapakmu kerja dimana?” Tanya Ayah, sepertinya penasaran.
“Bapak sama Ibuku sudah meninggal Om…”
“Oh… Tinggal sendirian berarti?”
“Nggak Om, sama Anggi; Anak saya…” Jawab Jeje. Mendengar jawaban dari Jeje ekspresi wajah Ayah, Bunda dan Mamay terlihat langsung berubah. Ketiganya lalu berpaling dan memandang ke arah gua dengan tatapan merendahkan.
“Duda?” Tanya Bunda ke gua. Yang tentu saja gua jawab dengan penuh keyakinan; “Iya!”
Bunda lalu menghela nafas panjang dan melanjutkan bicaranya; “Kamu ini emang apes ya Lad… sekolah tinggi-tinggi, cantik, kok malah nyari tukang plastik, duda lagi…”
Gua langsung meraih tangan Jeje dan menatapnya begitu Bunda selesai bicara. Takut Jeje tersinggung dengan ucapannya barusan. Namun, bukannya terlihat marah dan kesal, Jeje justru tersenyum.
“Apes? tau apa bunda tentang apes? tau apa bunda tentang keberuntungan. Sekarang ini, Lady justru merasa jadi orang paling beruntung kok..”
“Iya kamunya beruntung, dia nya nanti yang jadi apes…” Respon Bunda sambil menunjuk ke arah Jeje.
Dan Jeje hanya tersenyum.
“Yaudah kalo begitu, berarti nanti kita bakal info ke Om dan Tante buat tanggal pernikahannya…”
“Ya…” Ayah merespon singkat.
Jeje lalu menoleh ke arah gua dan berbisik; “Udah, yuk..”
Gua tersenyum lalu mengangguk.
Ayah, Bunda dan Mamay mengikuti kami berdua hingga ke ujung pagar. Ayah langsung mengernyitkan dahi begitu melihat mobil yang kami gunakan, lalu berpaling ke arah mobil dengan model dan merk yang sama dengan yang terparkir di halaman rumah.
“Lho, ini mobil siapa?” Tanya ayah seraya menunjuk ke arah mobil gua yang berada diluar pagar.
“Mobil Lady…” Jawab gua singkat. Kini gua bisa dengan yakin mengucapkan kalau mobil ini adalah mobil gua.
“Lah terus ini?” Tanya ayah lagi, kini menunjuk ke arah mobil Mamay di halaman rumah.
“Mobil dia…” Gua menjawab sambil menunjuk ke arah Mamay.
“...”
“... Itu kan baru, masa nggak tau…” Gua menambahkan, kini telunjuk gua arahkan ke mobil Mamay.
“Hah!?”
“Jeje yang beli, buat ganti mobil yang Lady bawa dulu…” Gua menjelaskan.
Ketiganya lalu terdiam dan saling menatap. Sementara, gua dan Jeje langsung keluar melalui pagar dan bersiap masuk ke dalam mobil. Terlihat sebuah plastik sudah tergantung di spion mobil sebelah kiri.
Gua tersenyum sambil meraih bungkusan plastik tersebut. Plastik yang berisi soto buatan Bi Sum.
“Apaan tuh?” Tanya Jeje begitu kami berdua masuk ke dalam mobil.
“Soto. Dari Bi Sum…”
“Oh…”
“Mau nyoba nggak? ini soto paling enak di seluruh dunia…”
“Oya?”
“Iya.. nanti deh lo cobain…”
Sepanjang perjalanan, gua melihat Jeje terus tersenyum. Ini nggak seperti Jeje yang gua kenal, Jeje yang biasa pasang tampang tanpa ekspresi.
Gua jadi ikut tersenyum, lalu bertanya; “Kenapa sih? dari tadi gue perhatiin senyum-senyum sendiri…”
“Nggak, gua cuma senang dan lega aja…”
“Karena” Tanya gua lagi.
“Senang dan lega karena ternyata meminta restu ke bokap lo nggak sesulit yang gua kira sebelumnya…”
“Emang sebelumnya ekspektasi lo kayak apa?”
“Gua pikir bakal di cecar habis-habisan, terus ujung-ujungnya nggak dapet restu. Ternyata, mereka emang kayaknya nggak peduli aja sama elo ya?”
“Hahaha, akhirnya tau kan lo gimana perlakuan mereka ke gua?”
“Iya.. Kasihan ya elo..”
“Iya.. lo juga kasihan, yatim piatu..”
“Daripada elo, punya orang tua tapi kayak nggak punya..”
“Hahaha…”
“...”
“... Terus gimana nih? kapan kita melangsungkan pernikahan?” Tanya gua, seraya pasang tampang sumringah.
“Bebas…” Jawab Jeje singkat.
“Hah!?”
‘Orang gila mana sih yang pas ditanyain tanggal pernikahan dijawab ‘Bebas’?’ Gua membatin dalam hati.
—
Kini kebahagiaan gua terasa lengkap.
Punya pekerjaan yang sesuai passion, tiba-tiba kaya, dan punya pasangan istimewa seperti Jeje, ditambah restu menikah dari ayah yang sudah dalam genggaman.
Hari ini rasanya gua ingin membagi rasa bahagia ini ke semua orang.
“Jeje, mampir ke beli fried chicken dong buat Anggi. Terus beli pizza buat Rohman sama Salwa…” Ucap gua.
“Iya…”
Kebahagiaan kami berdua terasa semakin lengkap, saat Jeje menerima telepon dari Reni yang memberi kabar kalau, ia kini tengah berbadan dua.
Belum selesai, Jeje dan Reni bicara melalui sambungan ponsel, gua menarik ujung kaos yang Jeje kenakan dan berbisik; “Loudspeaker Je…”
Jeje lalu menyambungkan ponselnya ke pengeras suara pada dashboard mobil. Kini terdengar suara nyaring Reni di dalam mobil.
“Renii….. Congrats yaa…” Seru gua, setengah berteriak.
“Aaaa… Kak Lad… Thank you…”
“Waah, punya keponakan dong gue…”
“Iya…”
“By the way, gimana? udah ketemuan sama bokap nyokap lo kak?” Tanya Reni.
“Udah dong…”
“Lancar?”
“Kayaknya pas pernikahan kita nanti perut lo pasti lagi gede…” Ucap gua.
“Hah? berarti udah dapet restu dong…”
“Iya…”
“Wah, congrats ya… Eh abang mana kak, gue mau ngomong lagi dong…”
“Ngomong aja, ini loudspeaker kok..”
“Oh.. Bang, Abang…” Reni memanggil abangnya.
“Ya…” Jeje menjawab singkat.
“Reni mau ngadain pengajian nih…”
“Oh…”
“Tapi mau dirumah abang aja…”
“Yaudah kapan?” Tanya Jeje.
“Hmmm, belum tau sih, nanti coba Reni ngobrol sama Robi dulu deh…”
“Yaudah kabarin aja…”
“Iya..”
Setelah ngobrol sambil bercanda, akhirnya Reni mengakhiri panggilan karena harus menjawab panggilan lain dari Robi.
Gua menatap Jeje, menyentuh pipinya dengan ujung jari, berusaha menggodanya. ‘Gila! gua nggak pernah merasa se-happy ini seumur hidup’. Lalu, apakah Jeje merasakan hal yang sama dengan gua.
“Je, lo happy nggak?”
“Happy lah…” jawabnya singkat.
“Pernah nggak lo merasa bakal sebahagia ini sebelumnya?” Tanya gua.
“Nggak…”
“Kenapa? padahal hidup lo kan udah susah sejak lama. Lo harusnya percaya kalau hari ini bakal datang buat lo. Soalnya jatah hidup susah lo kayaknya udah lo habisin. Jadi, sekarang lo tinggal menghabiskan sisa hidup dengan bahagia…”
“Seandainya dulu gua bisa berpikir kayak gitu, life would be nice…”
“Yes it is…”
—
The Adams - Konservatif
Siang kusaksikan engkau terduduk sendiri
Dengan kostummu yang berkilau
Dan angin sedang kencang-kencang berhembus
Di Jakarta
Dan aku kan berada di teras rumahmu
Saat air engkau suguhkan
Dan kita bicara tentang apa saja
Siang lambat laun telah menjadi malam
Dan kini telah gelas ketiga
Jam sembilan malam aku pulang
Dan aku kan berada di teras rumahmu
Saat air engkau suguhkan
Dan kita bicara tentang apa saja
Di Jakarta
Siang lambat laun telah menjadi malam
Dan kini telah gelas ketiga
Jam sembilan malam aku pulang
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:31
jiyanq dan 62 lainnya memberi reputasi
63
Kutip
Balas
Tutup