- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
A Man and The Lady
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412071043.jpg)
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/03/29/6448808_20230329092951.jpg)
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/01/6448808_20230401071833.jpg)
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
![yusrillllll](https://s.kaskus.id/user/avatar/2013/12/19/avatar6234452_5.gif)
yusrillllll dan 205 lainnya memberi reputasi
202
285.6K
Kutip
2.2K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#828
#65 - Love As An Offering - Part 2
Spoiler for #65 - Love As An Offering - Part 2:
Saat kami sudah bersiap di dalam mobil, Jeje yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya lalu bicara; “Lad..”
“Ya…”
“Lo pergi belanja sendiri ya…”
“Lho, emang lo mau kemana?”Tanya gua.
“Gua ada urusan penting sebentar nih…”
“Sama siapa? Aldina?” Tanya gua lagi, tentu saja dengan menyebut nama ‘Aldina’ dengan suara lebih rendah.
“Bukan.. Claire…” Jawabnya.
“Oh… yaudah” Gua menjawab, lalu pasang tampang kecewa, cemberut, sengaja agar Jeje melihat kekecewaan yang gua rasakan. Gua kan juga mau menghabiskan waktu, jalan-jalan, makan, dan bersama Jeje.
“Anggi mau ikut siapa?” Tanya Jeje ke Anggi yang duduk di kursi belakang.
Dengan cepat, Anggi merespon dengan menunjuk ke arah gua; “Mamah cantik…” Serunya.
Nggak lama berselang, kami sudah keluar dari area parkir hotel, Jeje memutar kemudi ke arah kiri, melewati jalan yang sebelumnya gua dan Anggi lalui saat Jeje pergi tempo hari. Tepat di sebuah pertigaan dimana terlihat bangunan seperti gereja yang tinggi menjulang, Jeje mengarahkan mobil ke kanan.
Gedung-gedung kantor dan pertokoan mulai terlihat, sementara trotoar dipenuhi dengan pejalan kaki yang terlihat santai dengan celana pendek dan kaos berlengan pendek. Beberapa gerobak dengan payung besar yang menjajakan burger, donair dan sandwich juga terlihat di sepanjang trotoar.
Nggak lama, Jeje memperlambat laju mobil, dan menepi tepat di depan sebuah pusat perbelanjaan.
“Nih…” Jeje menyodorkan kartu kredit berwarna hitam miliknya ke arah gua.
Dengan cepat gua meraihnya dan bersiap keluar dari mobil; “Ayo nggi…”
Sebelum pergi, Jeje bicara dari arah dalam mobil; “Nanti gua jemput..”
“Iya…” Jawab gua singkat.
Kekecewaan karena ditinggal Jeje meeting akhirnya sirna begitu gua menghadapi deretan toko yang menjajakan pakaian. Namun, gua merasakan sesuatu yang berbeda pada diri ini. Nggak seperti biasanya, saat berkeliling melihat-lihat pakaian, mata gua hanya tertuju ke deretan outfit pria dan anak-anak.
Membayangkan betapa bagusnya jika kemeja ini dikenakan oleh Jeje, membayangkan betapa keren dan necisnya dia saat mengenakan celana kargo yang saat ini tengah gua pandangi. Begitu pula saat gua menyambangi area anak-anak. Semua baju anak perempuan yang terlihat menggemaskan, gua ambil dan mencobanya di tubuh Anggi.
Tanpa gua sadari, hampir semua belanjaan gua hari ini berisi pakaian untuk Jeje dan Anggi.
Sementara, gua sudah cukup puas dengan membeli sebuah tas cantik berwarna hitam.
Selesai berbelanja, gua dan Anggi duduk menunggu di salah satu coffee shop yang terdapat di sudut pusat perbelanjaan. Gua meraih ponsel dan mulai menghubungi Jeje.
Nada sambung terdengar, namun tak ada jawaban. Gua terus mencoba hingga beberapa kali dan masih tak ada jawaban.
“Ck.. kemana sih nih orang…” Gumam gua pelan.
Sementara gua sibuk menghubungi Papahnya, Anggi terlihat menggoyangkan kepala, menikmati es krim di hadapannya.
Menyerah menghubungi Jeje, gua bergabung dengan Anggi, menikmati es krim. Nggak seberapa lama, ponsel gua berdering, nama Jeje tampil di layarnya.
“Lamaaa….” Seru gua begitu menjawab panggilan.
“Tunggu.. gua udah di jalan…” Jawab Jeje.
“Iya, kita di bawah di coffee shop yang kecil...” Gua menjawab, lalu mengakhiri panggilan.
Sepuluh menit berikutnya, Jeje terlihat berjalan cepat menghampiri kami ke dalam coffee shop. Ia menghentikan langkahnya begitu melihat tumpukan tas belanjaan kami yang menggunung.
Jeje mengernyitkan dahi menatap ke arah tas belanjaan, kemudian berpaling ke gua; “Wah, belanja beneran rupanya..”
“Nggak tahan gua Je..” Respon gua singkat.
“Haha.. udah belum?” Tanyanya seraya menunjuk ke arah es krim di hadapan kami. Porsi es krim yang kin nyaris tak tersisa.
“Udah.. Yuk Nggi..” Ajak gua ke Anggi. Sementara, Jeje langsung meraih semua tas belanjaan dan membawanya.
—
Rupanya Jeje nggak langsung membawa kami kembali ke hotel. Ia mengajak kami menelusuri pusat kota, hingga akhirnya tiba di depan deretan gedung bernuansa modern minimalis.
“Belanja lagi?” Tanya gua.
“Nggak..”
“Terus?”
“Gua masih harus lanjut meeting sama Claire..” Jawab Jeje sambil turun dari mobil.
“Berarti lo tadi pas jemput gue, belum selesai?” Tanya gua.
“Belum…”
“Kenapa nggak bilang. Kita kan bisa naik taksi atau bis…” Jawab gua.
“Kalo di Jakarta sih gapapa, disini? gua kan takut lo ilang..” Ucapnya. Ia lalu meraih tubuh mungil Anggi dan berusaha menggendongnya. Namun, Anggi menolak; “Anggi jalan sendiri aja papah…” Ucapnya, kemudian meraih ujung jari Jeje dengan tangan kanannya.
Sementara, tangan kirinya menggenggam tangan gua.
Jeje membawa kami masuk ke dalam salah satu bangunan yang terletak paling dekat dengan area parkir kendaraan melalui pintu kaca otomatis berukuran besar. Di dalam ruangan terlihat sebuah meja resepsionis setengah melingkar dengan seorang perempuan bule berdiri sambil tersenyum menyambut kami. Tepat di belakang meja resepsionis terdapat sebuah logo perusahaan berukuran besar. Logo yang terlihat familiar, bentuknya mengingatkan gua akan tato di punggung tangan Aldina. Logo dengan huruf A dan J yang menyerupai bentuk payung.
‘Ah, rupanya ini merupakan gedung tempat perusahaan guling miliknya’ batin gua dalam hati, sambil terus mengikuti Jeje.
Walaupun terbilang kecil, namun gedung kantor ini terasa nyaman, bersih dan modern. Terdiri dari empat lantai, lantai pertama, tempat kami masuk tadi hanya terdiri dari ruang resepsionis dan beberapa kubikal besar yang mirip seperti ruang meeting. Di bagian belakang terdapat sebuah lounge berlantai karpet dengan banyak bean bag beserta sebuah TV berukuran raksasa lengkap dengan game konsol dari berbagai merk.
Tepat didepan lounge, terdapat sepasang lift, dimana kami berdiri sekarang. Jeje menekan tombol dengan tanda panah ke atas. Terlihat beberapa karyawan juga berdiri bersama dengan kami, tampaknya juga punya tujuan ke lantai atas.
‘Ting!’ Pintu lift terbuka. Kami bertiga masuk ke dalam lift disusul beberapa karyawan lain. Jeje menekan angka 4 pada tombol lift, lalu berpaling menoleh ke arah yang lain; “Which floor are you going to?”
“Mmm… I'm heading to the 3rd floor, please…” Jawab salah satunya seraya menundukkan kepala.
Keluar dari lift, Jeje membawa kami menelusuri lorong yang berakhir di depan sebuah pintu berpanel kayu tanpa handle. Jika orang asing yang datang, mungkin bakal mengira kalau panel ini merupakan sebuah pintu karena bentuknya mirip dengan dinding disebelahnya dan tak ada handle di depannya.
Di balik pintu, sebuah ruangan cukup luas dengan jendela berukuran besar yang tepat menghadap ke arah jalan. Di ujung ruangan terdapat sebuah meja dan kursi kerja lengkap dengan layar monitor raksasa.
Melihat kedatangan kami, Claire yang tengah duduk di kursi bersandaran tinggi seraya menatap layar laptop di hadapannya langsung berdiri. Ia keluar dari balik meja kerjanya, berjalan ke arah depan dimana terdapat kursi kaca yang dikelilingi sofa-sofa berukuran kecil.
“Hi Lad, how are you doing?” Sapa Claire.
“Great..” Jawab gua santai.
Gua lantas mengikuti Jeje dan Claire yang langsung duduk di sofa. Sementara Anggi, seperti biasa, langsung duduk di pangkuan gua.
Nggak lama, terdengar suara ketukan di pintu, disusul seorang perempuan bule yang masuk dengan membawa sebuah plastik berisi kotak karton berukuran besar. Claire lalu memberi kode ke perempuan tersebut untuk meletakkan bungkusan tersebut di atas meja kaca di hadapan kami.
“Thank you, Gil…” Ucap Claire ke perempuan barusan.
Claire lalu beranjak, mengeluarkan kotak besar dari kemasan plastik dan membukanya dengan hati-hati. Begitu kotak terbuka, aroma yang sedap dan menggugah selera langsung tercium.
“Mmm, they smell amazing! They taste even better. These are really good!..” Gumam Claire seraya melirik ke arah gua.
Setelah membuka kotak, Claire kembali beranjak ke arah lemari kecil di sisi ruangan. Ia mengeluarkan beberapa set piring, membawanya ke arah meja kaca dan meletakkannya di depan gua.
“Here you go, piping hot and ready to enjoy…” Ucap Claire.
Jeje lalu tersenyum sambil menatap gua. “Katanya mau makanan khas Halifax kan?” Tanyanya Jeje.
“Ini buat gue? terus lo? Claire? Masa gue doang sama Anggi yang makan?” Gua balik bertanya.
“Nah, don't worry darling.. Honestly, I'm feeling a bit bored with this kind of food lately. I feel like I've been eating the same things over and over again..”
Gua tertegun saat mendengar Claire memberi jawaban; “Dia ngerti bahasa indonesia Je?” Tanya gua ke Jeje seraya melirik ke arah Claire.
“Bisa sedikit-sedikit..” Claire menjawab, dengan terbata-bata, logatnya terdengar lucu.
“What?! Cool…” Respon gua.
“Silahkan makan yah…” Ucap Claire lagi, masih dengan logat yang lucu.
“Gua lanjut meeting dulu, lo sama Anggi makan duluan ya…” Jeje menambahkan.
Mereka berdua lalu berpindah posisi ke meja kerja Claire dan mulai berdiskusi. Sementara, gua dan Anggi langsung mulai bergerilya, mencoba semua menu seafood yang tersedia.
Hingga gua dan Anggi selesai makan dan semua menu habis tak tersisa, Jeje dan Claire masih belum selesai berdiskusi. Sementara, gua dan Anggi yang makan langsung dengan tangan tanpa garpu yang disediakan oleh Claire hanya bisa terdiam, menunggu sambil sesekali menjilati jari. Ingin bertanya dimana lokasi kamar mandi untuk mencuci tangan, tapi sepertinya mereka berdua tengah dalam diskusi yang serius.
Setengah jam berikutnya, setelah sisa-sisa bumbu makanan di jari-jari kami mengering, barulah Jeje selesai dengan diskusinya. Ia berpaling dan menatap kami berdua yang sedang asik bercanda dengan posisi tangan kanan terangkat.
Jeje berdiri, mendekat, kemudian mengajak kami berdua keluar dari ruangan, menuju ke pantry, dimana terdapat wastafel untuk mencuci tangan kami.
Selesai dari pantry, kami kembali ke ruangan Claire, dimana kini semua sisa makanan kami sudah diangkat dan dibersihkan oleh perempuan yang sama dengan yang mengantar makanan tadi.
Sementara, di ujung ruangan Claire duduk menatap ke arah gua dan melambaikan tangannya.
“Kesini Lady..” Ucapnya, masih dengan logat yang lucu.
Gua tersenyum, lalu perlahan mendekat.
Dari posisi gua saat ini terlihat beberapa lembar dokumen berjejer rapi di atas meja.
“Take a sit.. Read this, and this, also this one.. then, put your sign here..” Ucap Claire seraya menunjuk satu persatu lembaran dokumen di hadapan kami kemudian meletakkan sebuah pena yang terlihat mahal diatas lembaran kertas.
Mendengar ucapannya barusan, sontak gua lantas berpaling dan menatap ke arah Jeje yang kini duduk di sofa bersama Anggi. Ia nggak berkata apa-apa, hanya tersenyum.
Gua kembali mengarahkan pandangan ke arah lembaran dokumen dengan letterhead berlogo perusahaan ini. Dan mulai membacanya dengan perlahan dan hati-hati.
‘What the f*ck’ Batin gua dalam hati saat gua selesai membaca seluruh isi tulisan dalam lembaran dokumen tersebut. Gua berusaha menutup mulut yang menganga saking kagetnya, kemudian kembali berpaling ke arah Jeje lalu ke arah Claire. Kali ini keduanya sama-sama pasang tampang serius.
Jeje lalu mendekat, ia berdiri tepat di belakang, meletakkan kedua tangannya di bahu gua dan memberi pijatan lembut. “Kalo ragu, take your time.. Claire mau kok nunggu sampe besok..” Bisik Jeje.
“...”
“... Iya kan Claire?” Tanya Jeje ke Claire yang lantas dijawab dengan anggukan kepala.
Gua yang saat itu sudah menggenggam pena, bersiap untuk membubuhkan tanda tangan, lalu menghela nafas panjang, memejamkan kedua mata sebentar, dan kembali meletakkan pena di atas meja.
“Nggak ah… Nggak mau..” Jawab gua sambil menundukkan kepala.
Jeje lalu membelai lembut kepala gua, dan memberikan pelukan. “Yaudah gapapa…” Bisiknya tepat di telinga gua.
Ia lalu berpaling ke Claire dan bicara; “Go with plan B, Claire..”
“Okay, consider it done..” Jawab Claire yakin.
“And make sure you learn it fast…” Ucap Jeje lagi.
“Yah, aku sudah bisa kan sedikit-sedikit…” Balas Claire sambil tersenyum.
—
![](https://img.youtube.com/vi/bE8sO0TG9CE/0.jpg)
Padi - Begitu Indah
Bila cinta menggugah rasa
Begitu indah mengukir hatiku
Menyentuh jiwaku
Hapuskan semua gelisah
Duhai cintaku duhai pujaanku
Datang padaku tetap di sampingku
Kuingin hidupku
Selalu dalam peluknya
Terang saja aku menantinya
Terang saja aku mendambanya
Terang saja aku merindunya
Karena dia karena dia begitu indah
Duhai cintaku pujaan hatiku
Peluk diriku dekaplah jiwaku
Bawa ragaku
Melayang memeluk bintang
Terang saja aku menantinya
Terang saja aku mendambanya
Terang saja aku merindunya
Karena dia karena dia begitu indah
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:32
![pavidean](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/10/30/avatar9974255_2.gif)
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
jiyanq dan 62 lainnya memberi reputasi
63
Kutip
Balas
Tutup