Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
[Cerpen #13] Manusia Paling Malang
[Cerpen #13] Manusia Paling Malang

Hujan.

Ada dua hal yang paling kuingat jika menyangkut tentang hujan. Pertama, seragam sekolahku yang basah kuyup padahal hampir kering dijemur di minggu sore. Kedua, percakapan yang kulakukan dengan Alvin di halte bus saat kami masih Sma.

Aku ingat betul suasana saat itu. Hujan deras yang membuat semua rumah menutup diri, angin kencang yang menerbangkan sampah dan beragam properti ringan, angkot yang tak kunjung datang, dan Alvin yang menangis.

Jarang sekali melihat seseorang menangis hanya karena pembicaraan fiksi. Alvin adalah seorang murid biasa yang tingginya sedikit di bawah rata-rata. Dia cukup tampan, sopan, dan memiliki imajinasi yang kadang membuatku menutup telinga.

Topik pembicaraan hari itu adalah ….

“Hei, menurutmu siapa manusia paling malang di dunia ini?”

Dari pertanyaan itu saja aku tahu ini akan menjadi pembicaraan yang panjang. Suhu dingin yang menusuk hingga ke tulang sebenarnya membuatku tidak mood untuk mengobrol, tetapi pembicaraan yang seru akan membuat tubuh lebih hangat dibanding sekedar meratap.

“Manusia paling malang … yatim piatu?”

“Kebanyakan orang juga akan jadi yatim piatu pada waktunya. Kurasa orang yang kehilangan orangtua sedari kecil tidak akan semalang itu. Di jaman sekarang sudah terlalu banyak orang yang berempati pada yatim piatu jadi hidup mereka tak akan sesulit itu.”

“Okay okay …. Orang cacat?”

“Cacat fisik? Banyak yang sukses meski cacat fisik, bahkan kekurangan mereka sering dijadikan bahan motivasi. Kalau kau cacat fisik akan lebih mudah untuk mengundang rasa kasihan. Kalau tak salah menjadi pengemis saja bisa membawa ratusan juta ke kantong. Kalau orang cacat mental … kurasa mereka bahkan sama sekali tak menganggap diri mereka malang.”

“Okay jenius! Kalau semua itu salah trus mana jawaban yang benar?”

Alvin memegang dagunya dan menatap tetesan air hujan yang perlahan-lahan membentuk aliran sungai. Aku mulai khawatir hujan ini akan berubah menjadi banjir. Jika sampai aku terjebak banjir, hanyut, lalu masuk berita bencana alam hanya karena angkot yang tak kunjung datang maka julukan manusia paling malang mungkin bisa disematkan padaku.

“Aku tak tahu,” Alvin menjawab dengan ringan. “Kurasa kuncinya bukan kondisi, tapi situasi. Contohnya … bayangkan kalau ada seorang ayah yang meninggal mendadak. Sang istri dengan begitu sedih menelpon anak mereka dan anak yang sedang kuliah di luar kota itu pun langsung terbang kembali ke kampung halamannya. Malangnya pesawat yang dia tumpangi mengalami kecelakaan dan dia meninggal. Ibunya yang mendapat kabar itu pun kena serangan jantung dan ikut meninggal. Siapa pun yang mendengar cerita macam itu pasti akan menganggap mereka sangat malang.”

Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar itu. Pembicaraan ini terlalu suram untuk diangkat saat hujan. Bukan sembarang hujan, hujan es!

“Bagaimana kalau orang yang seluruh tubuhnya lumpuh sampai-sampai memberi isyarat pun tak bisa?” tiba-tiba saja sebuah gambaran muncul di kepalaku. “Aku pernah dengar yang seperti itu. Ada orang yang sama sekali tak bisa menggerakkan tubuhnya, tapi dia sadar semua yang terjadi di sekitarnya. Bayangkan saja kalau kau tak bisa melakukan apa pun dan hanya menjadi beban seumur hidup.”

Mendengar itu Alvin tersenyum. Senyuman yang tidak membuatnya jadi tampan, tapi jadi tidak manusiawi.

“Orang yang seperti itu pasti akan berharap mati saja.”

Angkot pun datang dan mengakhiri pembicaraan kami. Aku kagum karena mengingat semuanya dengan detail, padahal itu sudah dua puluh tahun yang lalu. Mungkin hujan memang menyimpan memori spesial bagi sebagian orang. Hujan hari ini dan hujan dua puluh tahun yang lalu, sejauh apa beda keduanya?

“Apa ada bedanya, Alvin?”

Kujulurkan lenganku ke samping, tempat di mana Alvin ikut menatap hujan sembari duduk di kursi rodanya. Matanya tak terlihat menunjukkan sedikit pun semangat. Dia tidak menjawab pertanyaanku, dia juga tidak memberi isyarat kalau dia mendengar apa yang aku katakan. Dia hanya duduk di sana. Diam … dan diam.

Segera setelah lulus Sma dan universitas, aku dan Alvin meneruskan hubungan kami ke jenjang pernikahan. Tak ada yang kurang dari pernikahan kami. Penghasilan yang stabil, dua anak yang imut, dan cinta yang membara. Semua berjalan mulus. Semua berjalan indah.

Namun lima tahun yang lalu Alvin menderita kecelakaan yang merenggut seluruh fungsi tubuhnya. Dia hidup, seluruh bagian tubuhnya utuh, tetapi dia tak lagi mampu bergerak maupun berbicara. Dia bisa melihat, dia bisa mendengar, tetapi tak mampu membalasnya dengan cara apa pun selain kedipan mata.

Alvin yang kukenal kini berubah menjadi gumpalan daging hidup yang akan mati bila tak dirawat oleh seseorang. Dokter bilang sudah tak ada kemungkinan baginya untuk pulih. Hanya keajaiban yang mampu menyembuhkannya dan sudah lima tahun aku menunggu keajaiban itu untuk datang.

Walau secara logis mengakhiri hidup dengan euthanasia adalah pilihan terbaik, cinta di hati ini menolak untuk berhenti percaya. Walau keberadaan Alvin menjadi beban berat bagi ekonomi keluarga, walau keluarganya sendiri sudah menjauh dan tak mau berurusan dengannya, aku akan tetap di sini, berharap untuk kesembuhannya.
Namun, apa yang sebenarnya Alvin harapkan?

“Apa kau … berharap mati?”

Kira-kira apa yang dia rasakan di dalam sana? Apa yang melintasi pikirannya selama lima tahun ini? Apa dia sesungguhnya berharap untuk mati? Tidak …. Bahkan meski dia berharap mati aku tak akan mengijinkan itu.

Kutatap kedua matanya dan tak melihat jejak kehidupan di dalam sana. Tak apa. suatu saat nanti dia pasti sembuh. Keajaiban pasti akan datang.

“Manusia paling malang,” bisikku di telinganya. “Kau tak bisa melakukan apa-apa dan cuma jadi beban keluarga. Lebih dari itu, kau melihatku menderita karna lelah bekerja, kau melihat anak-anak kita menjauh darimu, kau mendengar semua hal-hal buruk yang tetangga gunjingkan saat aku membawamu berjalan-jalan ke luar. Kau melihat semua penderitaan ini dan tak bisa melakukan apa-apa. Apa lagi yang lebih malang dari itu?”

Namun kau tak akan mati, meskipun kau mengharapkannya.

Kupeluk tubuhnya dan kucoba memasukkan sebanyak mungkin rasa sayangku dalam pelukan itu. Dia akan merasakannya. Aku yakin, cinta di dalam hatinya sama sekali belum hilang.

“Tak peduli berapa tahun lamanya, kau akan terus hidup. Selama aku masih mencintaimu kau takkan pernah menjadi manusia paling malang di dunia. Keajaiban akan datang, aku cuma perlu menunggu sedikit lebih lama.”

Kurasakan basah di pipi, tapi itu bukan air mataku. Saat kulepas pelukanku, aku menyadari air mata itu berasal dari bola mata Alvin yang kini menatapku dengan cahaya yang selalu membuatku jatuh cinta. Benar, seperti itu, selama kau masih menyimpan kehidupan di dalam dirimu aku takkan pernah kehilangan rasa cintaku.

Tak peduli berapa lama, aku akan terus menunggu. Karena aku, mencintaimu.

==END==
Diubah oleh ih.sul 15-05-2023 23:21
betiatina
bukhorigan
bonek.kamar
bonek.kamar dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.5K
21
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
#1
[Cerpen #13] Manusia Paling Malang
[Cerpen #13] Manusia Paling Malang

Hujan.

Ada dua hal yang paling kuingat jika menyangkut tentang hujan. Pertama, seragam sekolahku yang basah kuyup padahal hampir kering dijemur di minggu sore. Kedua, percakapan yang kulakukan dengan Alvin di halte bus saat kami masih Sma.

Aku ingat betul suasana saat itu. Hujan deras yang membuat semua rumah menutup diri, angin kencang yang menerbangkan sampah dan beragam properti ringan, angkot yang tak kunjung datang, dan Alvin yang menangis.

Jarang sekali melihat seseorang menangis hanya karena pembicaraan fiksi. Alvin adalah seorang murid biasa yang tingginya sedikit di bawah rata-rata. Dia cukup tampan, sopan, dan memiliki imajinasi yang kadang membuatku menutup telinga.

Topik pembicaraan hari itu adalah ….

“Hei, menurutmu siapa manusia paling malang di dunia ini?”

Dari pertanyaan itu saja aku tahu ini akan menjadi pembicaraan yang panjang. Suhu dingin yang menusuk hingga ke tulang sebenarnya membuatku tidak mooduntuk mengobrol, tetapi pembicaraan yang seru akan membuat tubuh lebih hangat dibanding sekedar meratap.

“Manusia paling malang … yatim piatu?”

“Kebanyakan orang juga akan jadi yatim piatu pada waktunya. Kurasa orang yang kehilangan orangtua sedari kecil tidak akan semalang itu. Di jaman sekarang sudah terlalu banyak orang yang berempati pada yatim piatu jadi hidup mereka tak akan sesulit itu.”

“Okay okay …. Orang cacat?”

“Cacat fisik? Banyak yang sukses meski cacat fisik, bahkan kekurangan mereka sering dijadikan bahan motivasi. Kalau kau cacat fisik akan lebih mudah untuk mengundang rasa kasihan. Kalau tak salah menjadi pengemis saja bisa membawa ratusan juta ke kantong. Kalau orang cacat mental … kurasa mereka bahkan sama sekali tak menganggap diri mereka malang.”

“Okay jenius! Kalau semua itu salah trus mana jawaban yang benar?”

Alvin memegang dagunya dan menatap tetesan air hujan yang perlahan-lahan membentuk aliran sungai. Aku mulai khawatir hujan ini akan berubah menjadi banjir. Jika sampai aku terjebak banjir, hanyut, lalu masuk berita bencana alam hanya karena angkot yang tak kunjung datang maka julukan manusia paling malang mungkin bisa disematkan padaku.

“Aku tak tahu,” Alvin menjawab dengan ringan. “Kurasa kuncinya bukan kondisi, tapi situasi. Contohnya … bayangkan kalau ada seorang ayah yang meninggal mendadak. Sang istri dengan begitu sedih menelpon anak mereka dan anak yang sedang kuliah di luar kota itu pun langsung terbang kembali ke kampung halamannya. Malangnya pesawat yang dia tumpangi mengalami kecelakaan dan dia meninggal. Ibunya yang mendapat kabar itu pun kena serangan jantung dan ikut meninggal. Siapa pun yang mendengar cerita macam itu pasti akan menganggap mereka sangat malang.”

Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar itu. Pembicaraan ini terlalu suram untuk diangkat saat hujan. Bukan sembarang hujan, hujan es!

“Bagaimana kalau orang yang seluruh tubuhnya lumpuh sampai-sampai memberi isyarat pun tak bisa?” tiba-tiba saja sebuah gambaran muncul di kepalaku. “Aku pernah dengar yang seperti itu. Ada orang yang sama sekali tak bisa menggerakkan tubuhnya, tapi dia sadar semua yang terjadi di sekitarnya. Bayangkan saja kalau kau tak bisa melakukan apa pun dan hanya menjadi beban seumur hidup.”

Mendengar itu Alvin tersenyum. Senyuman yang tidak membuatnya jadi tampan, tapi jadi tidak manusiawi.

“Orang yang seperti itu pasti akan berharap mati saja.”

Angkot pun datang dan mengakhiri pembicaraan kami. Aku kagum karena mengingat semuanya dengan detail, padahal itu sudah dua puluh tahun yang lalu. Mungkin hujan memang menyimpan memori spesial bagi sebagian orang. Hujan hari ini dan hujan dua puluh tahun yang lalu, sejauh apa beda keduanya?

“Apa ada bedanya, Alvin?”

Kujulurkan lenganku ke samping, tempat di mana Alvin ikut menatap hujan sembari duduk di kursi rodanya. Matanya tak terlihat menunjukkan sedikit pun semangat. Dia tidak menjawab pertanyaanku, dia juga tidak memberi isyarat kalau dia mendengar apa yang aku katakan. Dia hanya duduk di sana. Diam … dan diam.

Segera setelah lulus Sma dan universitas, aku dan Alvin meneruskan hubungan kami ke jenjang pernikahan. Tak ada yang kurang dari pernikahan kami. Penghasilan yang stabil, dua anak yang imut, dan cinta yang membara. Semua berjalan mulus. Semua berjalan indah.

Namun lima tahun yang lalu Alvin menderita kecelakaan yang merenggut seluruh fungsi tubuhnya. Dia hidup, seluruh bagian tubuhnya utuh, tetapi dia tak lagi mampu bergerak maupun berbicara. Dia bisa melihat, dia bisa mendengar, tetapi tak mampu membalasnya dengan cara apa pun selain kedipan mata.

Alvin yang kukenal kini berubah menjadi gumpalan daging hidup yang akan mati bila tak dirawat oleh seseorang. Dokter bilang sudah tak ada kemungkinan baginya untuk pulih. Hanya keajaiban yang mampu menyembuhkannya dan sudah lima tahun aku menunggu keajaiban itu untuk datang.

Walau secara logis mengakhiri hidup dengan euthanasia adalah pilihan terbaik, cinta di hati ini menolak untuk berhenti percaya. Walau keberadaan Alvin menjadi beban berat bagi ekonomi keluarga, walau keluarganya sendiri sudah menjauh dan tak mau berurusan dengannya, aku akan tetap di sini, berharap untuk kesembuhannya.
Namun, apa yang sebenarnya Alvin harapkan?

“Apa kau … berharap mati?”

Kira-kira apa yang dia rasakan di dalam sana? Apa yang melintasi pikirannya selama lima tahun ini? Apa dia sesungguhnya berharap untuk mati? Tidak …. Bahkan meski dia berharap mati aku tak akan mengijinkan itu.

Kutatap kedua matanya dan tak melihat jejak kehidupan di dalam sana. Tak apa. suatu saat nanti dia pasti sembuh. Keajaiban pasti akan datang.

“Manusia paling malang,” bisikku di telinganya. “Kau tak bisa melakukan apa-apa dan cuma jadi beban keluarga. Lebih dari itu, kau melihatku menderita karna lelah bekerja, kau melihat anak-anak kita menjauh darimu, kau mendengar semua hal-hal buruk yang tetangga gunjingkan saat aku membawamu berjalan-jalan ke luar. Kau melihat semua penderitaan ini dan tak bisa melakukan apa-apa. Apa lagi yang lebih malang dari itu?”

Namun kau tak akan mati, meskipun kau mengharapkannya.

Kupeluk tubuhnya dan kucoba memasukkan sebanyak mungkin rasa sayangku dalam pelukan itu. Dia akan merasakannya. Aku yakin, cinta di dalam hatinya sama sekali belum hilang.

“Tak peduli berapa tahun lamanya, kau akan terus hidup. Selama aku masih mencintaimu kau takkan pernah menjadi manusia paling malang di dunia. Keajaiban akan datang, aku cuma perlu menunggu sedikit lebih lama.”

Kurasakan basah di pipi, tapi itu bukan air mataku. Saat kulepas pelukanku, aku menyadari air mata itu berasal dari bola mata Alvin yang kini menatapku dengan cahaya yang selalu membuatku jatuh cinta. Benar, seperti itu, selama kau masih menyimpan kehidupan di dalam dirimu aku takkan pernah kehilangan rasa cintaku.

Tak peduli berapa lama, aku akan terus menunggu. Karena aku, mencintaimu.

==END==
Diubah oleh ih.sul 15-05-2023 23:21
0