HinataAuroraAvatar border
TS
HinataAurora
MARRIAGE PACT


PROLOGUE


Gue menatap berkas milik salah seorang client yang tengah gue tangani kasusnya dengan kepala berdenyut. Menjadi seorang pengacara di bidang litigasi bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan kalau kalian tahu.

Orang lain mungkin akan berpendapat bahwa menjadi seorang pengacara merupakan hal yang sangat prestisius. Selain menaikkan gengsi, orang lain mengira bahwa dengan menjadi pengacara, seseorang bisa mendapatkan uang dengan mudah.

Nggak ada pengacara yang hidupnya melarat, begitulah komentar yang paling sering mampir ke telinga gue. Kami memang bisa mendapatkan bayaran yang bisa dibilang lumayan saat kami berhasil memenangkan perkara seorang client. We got the money, we got the prestige, and seems like we can get anything in our hands. Tapi terkadang orang lain lupa, bahwa dengan menjadi seorang pengacara, kami juga harus mengorbankan beberapa hal.

Waktu, adalah salah satu hal yang harus rela direnggut dari kehidupan kami saat memutuskan untuk menjadi seorang pembela perkara terhadap kasus yang terjadi pada client kami. Mempelajari perkara seorang client nggak cukup dilakukan dalam waktu singkat, nggak seperti saat kita meminum secangkir kopi di waktu senggang. Terlebih saat kami harus mengikuti jalannya persidangan dalam kasus pidana.

Berapa banyak orang yang tahu bahwa kami harus ikut menjalani proses yang cukup panjang mulai dari pembacaan surat dakwaan hingga pembacaan putusan? All they care about is just the money.

Gue masih sibuk membolak-balik berkas client gue saat mendengar seseorang mengetuk, lebih tepatnya menggedor, pintu unit apartemen gue. Membuat gue mendengus kesal seraya melihat jam tangan gue, yang jarum pendeknya berada di antara angka sepuluh dan sebelas.

Orang waras mana yang akan datang ke tempat tinggal orang lain saat hampir tengah malam dan menggedor-gedor pintu dengan seenaknya seperti itu?

Gue berdecak singkat sebelum meletakkan berkas yang tengah gue baca ke atas meja. Lalu dengan langkah-langkah kaki gue yang lebar, gue bergerak keluar dari ruang kerja gue untuk membuka pintu. Segala sumpah serapah sudah berada di ujung lidah dan akan gue keluarkan saat mengetahui siapa orang yang sudah menggedor-gedor pintu apartemen gue pada jam bertamu yang nggak manusiawi ini. Namun saat pintu apartemen gue terbuka lebar, segala makian yang sudah siap gue muntahkan terpaksa harus gue telan kembali. Dan sebagai gantinya, kedua mata di balik lensa kacamata gue seketika terbelalak lebar saat melihat sosok yang berdiri di depan unit apartemen gue.

“Thank God! I thought I’d be stranded right in front of your unit,” ujar sosok di hadapan gue. Lalu sebelum gue sempat merespons dan mempersilakannya, dia sudah melangkahkan kaki-kaki jenjangnya memasuki apartemen gue.

What the actual fuck!

Hal yang membuat gue kian melongo adalah saat tamu tak diundang itu berjalan menuju kamar gue, kemudian membuka lemari pakaian yang berada di sana. Melihat hal itu, kontan gue segera menghampirinya dan menahan pergelangan tangannya saat dia akan menarik selembar celana jeans dari lemari gue.

What the hell is wrong with you, Rivia?! Lo tiba-tiba datang ke apartemen gue, jam segini, pakai acara ngegedor-gedor pula…”

“Buruan ganti baju!” tukasnya sebelum gue sempat menyelesaikan kalimat gue.

“Lo…”

“Temenin gue.” Lagi-lagi, dia menyela ucapan gue. Kali ini dengan kalimat yang lebih terdengar seperti permohonan dibanding perintah.

“Vi…”

“I need to get wasted.”


***


And so here I am! Di salah satu tempat hiburan malam yang berada di jantung ibu kota, sibuk mendengarkan racauan gadis di samping gue di tengah pekaknya suara musik.

Rivia. Gue mengenal gadis berambut lurus dengan panjang sepunggung yang berwarna kecokelatan itu sejak gue berusia lima belas tahun. Dia adalah adik dari salah seorang sahabat yang gue kenal saat gue duduk di bangku SMA. Singkat cerita, karena saking akrabnya hubungan gue dengan Jere, sahabat gue, nggak heran kalau gue juga mengenal baik keluarganya. Termasuk Rivia, adik semata wayangnya.

Rivia adalah gadis yang saat dia berjalan di tengah keramaian, akan membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya seketika menoleh ke arahnya. Dan mereka nggak hanya akan menatapnya barang satu atau dua detik. Namun mereka akan menatap ke arahnya selama apa pun yang mereka mau. Dengan kedua mata lebar, tulang hidung yang tinggi, dagu yang nyaris meruncing, sepasang kaki yang jenjang, lekuk pinggang yang proporsional, juga kulit yang cerah layaknya segelas susu, siapa yang ingin segera memalingkan wajah darinya?

And who says that pretty girls are stupid? For as long as I know her, Rivia’s a straight A student! Dia pintar. Dan kepintarannya membuatnya pernah menjadi salah satu peserta Olimpiade Sains tingkat Nasional saat SMA.

But hey, nobody’s perfect, isn’t it? Even angels do have flaws. Dan seperti halnya orang lain, Rivia juga punya cela.

Rivia adalah orang yang sangat impulsif. Dia nggak pernah berpikir panjang saat melakukan sesuatu. Hal yang saat itu muncul di otaknya, maka hal itu akan dilakukannya saat itu juga. Dia juga orang yang nggak pernah bisa memfilter ucapannya.

She’s really blunt and bold. Jika kalian mengenal orang sepertinya, gue sarankan supaya kalian memiliki telinga yang supertebal untuk menghadapi keterusterangannya. Oh, dan dia adalah orang yang sangat pembosan. Termasuk mudah bosan dengan orang yang dia kencani.

“And that’s…” Rivia mengambil jeda untuk mengosongkan cairan bening dalam vodka shot-nya. “How I broke up with Julian,” lanjutnya sambil mengentakkan gelas ke atas meja bar.

Sudah hampir dua jam Rivia berceloteh tentang hubungannya yang berakhir dengan pacarnya yang kesekian. Kali ini karena laki-laki yang sudah dia kencani selama sepuluh bulan belakangan, harus dipindahtugaskan dari Bandung ke Makassar. Dan Rivia bukan orang yang mau untuk menjalani hubungan jarak jauh. Menjalani hubungan dari Jakarta ke Bandung saja sudah cukup merepotkan baginya, apalagi menjalani hubungan dari Jakarta ke Makassar? Karenanya, dia memilih mengakhiri hubungan dengan laki-laki yang terpaut lima tahun lebih tua darinya itu.

“Lo tau kan, sepuluh bulan itu bukan waktu yang sebentar? Dan gue rasa…”

“Lo beneran sayang sama dia?” sela gue, yang segera ditanggapi dengan satu anggukan oleh gadis di hadapan gue. Dan melihat respons yang diberikannya, gue nggak bisa menahan diri untuk nggak tertawa.

Gadis yang mengenakan crop-top dan rok lipit di atas lutut yang ada di hadapan gue kontan melotot. Dia kemudian meninju lengan gue, yang justru membuat gue kian terbahak alih-alih mengaduh kesakitan.

“Ardi!” serunya dengan kesal. “Apanya yang lucu sih?!”

“Lo! Lo yang lucu!” sahut gue sambil berusaha meredakan tawa gue. “Lo sadar nggak, udah berapa kali lo bilang sama gue kalau lo mungkin beneran sayang sama pacar-pacar lo yang sebelumnya?”

Rivia menatap gue dengan tatapan sebal. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, dia beranjak dari stool dan berlalu meninggalkan gue.

Shit!

What the hell did I do wrong?

Gue hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Karena nyatanya, ini bukan kali pertama Rivia mengatakan bahwa dia benar-benar menyukai, bahkan menyayangi orang yang dikencaninya. Tapi coba kalian pikir, kalau dia benar-benar menyayangi Junaedi, Jupiter, Julio, or whatever his name is… Rivia nggak mungkin memutuskan hubungan begitu saja dengannya cuma karena mereka harus menjalani hubungan jarak jauh kan?

And that’s why I said, even angels do have flaws. Rivia bisa dengan mudah mengklaim bahwa dia menyukai seseorang. Tapi dia juga bisa dengan mudah meninggalkan orang itu dengan alasan sepele.

And as childish as she is, dia tetap adik satu-satunya yang dimiliki sahabat gue. Gue nggak mungkin membiarkannya pergi begitu saja di saat dan di tempat seperti ini. Jadi setelah mengembuskan napas keras-keras, gue beranjak dari stool dan bergerak untuk menyusul Rivia yang tadi sempat gue lihat menuju pintu keluar bar yang kami datangi.

Gue mendapati Rivia menyandarkan tubuhnya pada kap sedan gue yang terparkir. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Beberapa laki-laki, yang tampak berusia di akhir belasan atau awal dua puluhan, yang baru akan memasuki bar terdengar terang-terangan menggodanya. Hal itu membuat gue menggegaskan langkah gue untuk menghampirinya.

Rivia masih memberikan tatapan sebal pada gue saat akhirnya gue menghampirinya. Dan kekesalannya makin memuncak saat gue menyampirkan jaket gue secara serampangan ke puncak kepalanya.

“Get in,” kata gue sambil membukakan pintu mobil untuk Rivia.

“Nggak,” sahut Rivia seraya menurunkan jaket gue dari puncak kepalanya dan meletakkannya ke atas kap mobil.

“Rivia,” panggil gue dengan nada mengingatkan.

“Apa? Lo bukan Jere ya! Nggak usah sok nyuruh-nyuruh gue!”

Kalimat yang keluar dari mulut Rivia serta-merta membuat gue menutup kembali pintu mobil dengan keras. Gadis ini selalu saja bisa membuat kesabaran gue menipis dengan tingkah kekanakannya. Tingkah kekanakan yang kadang membuat gue bertanya-tanya, apa benar dia seorang gadis berusia 24 tahun?

Dengan kesabaran yang mulai menipis, gue melangkah mendekati Rivia yang masih berdiri di samping kap sedan gue, mempersempit jarak yang ada di antara kami. Lalu saat jarak yang ada di antara kami hanya tersisa satu langkah, gue berkata, “Gue memang bukan Jere, Vi. But I do care about you.

“Kalau lo peduli sama gue, lo nggak akan ngetawain gue kayak tadi, Ar!”

Oh, really? Cuma karena gue ngetawain lo, lantas lo bikin kesimpulan bahwa gue nggak peduli sama lo?” Gue menatap gadis di hadapan gue dengan tatapan nggak percaya. “Jere juga pasti bakal ngetawain lo kalau dia dengar omongan lo tadi, Vi. Dan itu bukan berarti kami nggak peduli…”

“Then show me!” sela Rivia. “Show me that you really care about me!”

Gue menatap gadis di hadapan gue, kemudian menggelengkan kepala gue.

How many shots did she take already? Four? Five? Ah, yeah, nine! Nine shots of straight vodka to be exact.

Pantas saja dia bertingkah seperti ini.

She’s an emotional drunk after all. Dia bisa menjadi orang yang sangat sensitif saat mabuk. Dia mungkin bisa berjalan dengan baik, berbicara layaknya orang normal, but her emotion always gets the best of her.

Gue meraih jaket gue yang Rivia letakkan begitu saja di atas kap untuk kemudian gue sampirkan di bahunya. Namun sebelum gue sempat menyampirkan jaket gue dengan sempurna di bahunya, Rivia mengambil satu langkah maju, kemudian melingkarkan kedua lengan rampingnya pada leher gue.

“Vi…”

Dan kalimat apa pun yang saat itu akan gue ucapkan, seketika terbungkam saat Rivia mendaratkan bibirnya tepat di atas bibir gue.

Okay, I’m not a goody-two-shoes. I’m not a virgin either. But this… This comes from my bestfriend’s sister, for goodness’ sake!

Jere’s going to kill me. Jere will definitely kill me if he knows about this!

Gue sudah akan mendorong tubuh Rivia saat gue merasakan jemarinya bergerak menelusuri rambut gue. Seolah hal ini masih bisa dilakukan, dia berusaha meniadakan jarak di antara kami dengan makin menempelkan tubuhnya pada tubuh gue.

Then when she starts to nibble on my lower lip and rubs her lower half on mine, is when I lose it.

“JUST GET A ROOM ALREADY!”

Mendengar seseorang meneriakkan kalimat itu, membuat gue dan Rivia seolah baru menyadari bahwa kami tengah berada di ruang terbuka. Buru-buru kami memisahkan diri dari tubuh masing-masing. Dan dengan otak yang masih setengah berkabut, gue membukakan pintu mobil untuk Rivia, kemudian gue bergegas melesak ke kursi kemudi begitu dia sudah masuk ke mobil.

Sambil berusaha keras menormalkan detak jantung gue seraya mengemudikan mobil, gue melirik gadis di samping gue yang hanya terdiam sambil memejamkan kedua matanya. Meski dalam keremangan, gue bisa melihat pipinya yang bersemburat kemerahan. Dan dari dadanya yang bergerak naik-turun tak beraturan, gue bisa menyimpulkan bahwa detak jantungnya saat ini pasti sama menggilanya dengan gue.

“Vi?” panggil gue.

“Hmm?” Rivia menjawab dengan satu gumaman.

“Are you okay?” tanya gue dengan nada sedikit khawatir.

Mendengar pertanyaan gue, Rivia perlahan membuka kedua matanya. Dari spion tengah dalam mobil gue, gue bisa melihat Rivia yang sedang menatap gue. Sudut-sudut bibirnya tampak melengkung ke atas secara perlahan, sebelum akhirnya dia tertawa lepas dan terbahak.

“Tadi itu…” Rivia berusaha mengendalikan tawanya. “Astaga! Itu siapa sih tadi yang teriak? Lo sempet merhatiin nggak?”

Gue mengangkat kedua bahu gue secara singkat. “Boro-boro merhatiin. Yang gue pikirin cuma gimana caranya supaya kita bisa cepat pergi dari sana.”

O… kay. Tapi, Ar…”

Don’t tell Jere!” potong gue sebelum Rivia sempat menyelesaikan kalimatnya.

“Astaga, Ardi!” Rivia memukul lengan gue. “Ngapain gue ngomong hal kayak gini sama abang gue? Bisa-bisa gue digantung di pohon kaktus!”

Gue nggak bisa menahan diri untuk nggak terkekeh geli mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rivia. Digantung di pohon kaktus? Yang benar aja!

“By the way, Ar. You…” Rivia tampak melirik ke bagian atas celana gue. “Got a…”

“Boner?” sela gue sampil mengeratkan cengkeraman gue pada roda kemudi. “Yeah. Thanks to you,” gumam gue.

“Soooorryyy.”

Gue hanya menanggapi ucapan Rivia dengan gumaman singkat dan nggak jelas.

“Ar?” panggil Rivia tepat saat kami berada di perempatan dengan lampu merah yang menyala, yang seketika membuat gue kembali menanggapinya dengan satu gumaman. “Let’s make a marriage pact!”

Kalimat yang tiba-tiba meluncur dari mulut Rivia dan diucapkannya dengan nada yang kelewat ceria, membuat gue seketika menoleh ke arahnya dengan kedua mata melebar.

“Hah? Apa?” tanya gue, sekadar berusaha memastikan kalau gue nggak salah dengar.

“A marriage pact!” ulang Rivia. Kali ini dengan suara yang lebih keras. “Jadi, kalau lima tahun dari sekarang kita masih sama-sama single, let’s marry each other!” jelasnya dengan satu senyuman lebar di wajahnya.

Kali ini, Rivia sukses membuat mulut gue menganga lebar!

Dia bilang apa tadi? Let’s marry each other? Lima tahun dari sekarang?

Dia bercanda kan?

This girl can’t be serious, can she?

“Ar,” panggil Rivia sambil menarik ujung lengan kaus yang gue kenakan. “Gimana? Setuju kan?”

Gue mencondongkan tubuh gue ke arahnya, membuatnya terlihat sedikit terkesiap dan menahan napasnya selama beberapa detik. Lalu di tengah keremangan cahaya dalam mobil gue, gue berusaha untuk memerhatikan wajahnya yang hanya terpaut beberapa inci dari gue.

Selain bisa merasakan alkohol dari mulutnya saat tadi kami berciuman, dalam jarak ini gue bisa melihat kedua matanya yang sedikit kemerahan, yang seketika membuat gue geleng-geleng kepala.

You’re drunk, Rivia,” tegas gue. “Just stop saying something stupid,” lanjut gue sambil menarik tubuh gue kembali ke posisi semula. Tepat pada saat itu, lampu lalu lintas kembali menyala hijau. Membuat gue buru-buru memindahkan posisi persneling sebelum melajukan mobil gue kembali.

“Kasih gue satu alasan kenapa lo bilang gue bego?”

Gue berdecak. “Gue nggak bilang lo bego, Vi. Omongan lo yang bego. Ngaco tau nggak? Seriously, lo mau kita nikah? Lima tahun dari sekarang? Like… really?

“Why not?” sahut Rivia dengan nada acuh tak acuh. “Kalau kita sama-sama single, kenapa nggak? Umur lo bakal jadi berapa lima tahun dari sekarang? 32 kan? Harusnya lo bersyukur karena ada ibu peri baik hati kayak gue yang mau nyelametin lo kalau lima tahun dari sekarang lo belum laku!”

“Hey, just so you know, I’m a catch!” sahut gue.

“Tau kok gue. Jangan kira tadi gue nggak ngitungin berapa cewek yang udah berusaha flirting sama lo tapi lo cuekin gitu aja kayak pinggiran roti. Seriously, Ar, are you gay or something?

“Hell no!” sahut gue serta-merta. “Cuma karena gue nggak pernah ngegandeng siapa-siapa sejak beberapa tahun belakangan, bukan berarti gue nggak laku atau orientasi seksual gue berubah ya. Dan kalau pun gue harus nikah dengan terpaksa, nggak sama lo juga lah, Vi.”

“Emang gue kenapa? Gue jelek? Gue bego? Gue…”

“Karena lo adiknya Jere!”

Mendengar jawaban gue, Rivia seketika mendengus sebal. Dari spion tengah mobil gue, gue melihatya tampak melipat kedua lengannya di depan dada sambil mengerucutkan bibir. Tapi kemudian, dia mengulurkan tangan kanannya untuk meraih tangan kiri gue yang berada di atas kemudi.

Digenggamnya jemari gue, lalu dengan tangannya yang bebas, dia berusaha mengeluarkan sesuatu dari tas selempang mungilnya, mengeluarkan Blackberry-nya. Tanpa menunggu persetujuan gue, dia sudah mengarahkan kamera dengan flash-nya ke jemari kami yang bertautan, sebelum melepaskan jemari gue lagi. Setelah itu, dia tampak sibuk mengutak-atik ponsel di tangannya dengan satu cengiran lebar di wajahnya.

“Done!” serunya setelah sempat asyik dalam dunianya sendiri. “Lo catet ya, gue nggak akan ngehapus foto itu dari akun Facebook gue. Berdoa aja semoga lima tahun dari sekarang, Facebook masih bisa diakses,” ujarnya sambil menyodorkan layar Blackberry-nya tepat di depan wajah gue.

Dan di sana, gue melihat foto jemari kami yang saling bertaut yang baru saja dia unggah. Pada caption-nya, dia menulis : We’ll marry each other if five years from now, we’re still single.

Dan dia menandai foto itu ke akun gue!

“Rivia, gue kan nggak…”

“Ssshh! Nggak ada protes!” ujarnya sebelum menyandarkan kepalanya pada headrest mobil dan memejamkan kedua matanya. Segaris senyuman samar tersungging dari bibirnya yang kemerahan.

This girl… This girl will be the death of me!
Diubah oleh HinataAurora 03-05-2023 17:53
as1313
caratdeul
anasaufarazi810
anasaufarazi810 dan 21 lainnya memberi reputasi
22
70.3K
360
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
HinataAuroraAvatar border
TS
HinataAurora
#344
WHAT DO YOU SAY?


“Hazel itu mulai pintar sekarang.”

Gue yang tengah sibuk mencuci piring selepas makan malam seketika menolehkan kepala saat menyadari kehadiran Segara. Adik gue itu terlihat mengambil selembar lap dari atas counter top, kemudian menempatkan dirinya di samping gue. Diambilnya sebuah gelas yang sudah gue cuci dari dish rack, lalu dikeringkannya gelas yang masih basah itu dengan lap yang ada di tangannya.

“Dia kalau minta sesuatu dan mak-bapaknya nggak ngasih, langsung deh larinya ke Kang Ardi,” kata Segara sambil masih mengelap gelas.

“Emang Hazel minta apa, Ga?” tanya gue.

“Ya rumah Barbie itu,” sahut Segara. “Dia udah minta sejak dua bulan lalu. Tapi gue sama Meisya nggak kasih,” terangnya kemudian. “Mainan dia udah banyak, Kang. Di sana ada, di sini ada, di mana-mana ada. Itu rumah kami di Semarang, lama-lama bisa jadi kayak toko mainan karena penuh sama mainannya Hazel.”

Gue yang mendengar gerutuan Segara hanya geleng-geleng kepala dan memutuskan untuk melanjutkan membilas beberapa buah piring yang masih tersisa dalam bak cuci.

Sejak lulus kuliah, Segara bekerja sebagai seorang arsitek dan menetap di Semarang. Dan di kota itu pula dia bertemu dengan Meisya, yang kini menjadi istrinya. Hanya beberapa bulan sekali saja dia akan pulang ke Cimahi.

Acara baby shower yang diadakan hari ini sebenarnya adalah permintaan dari ibu kami. Beliau ingin menggelar semacam perayaan kecil-kecilan untuk menyambut cucu keduanya. Dan alasan lainnya tentu saja beliau menginginkan agar kedua anak lelakinya pulang. Bonusnya? Tentu saja dengan kehadiran ‘anak perempuannya’ yang sudah lama hilang, yang sama sekali nggak beliau duga sebelumnya.

“Jangan terlalu manjain Hazel lah, Kang.”

Permintaan yang baru saja dilontarkan Segara membuat kedua alis gue seketika bertaut. Segera gue matikan keran air, kemudian mengubah posisi tubuh gue menghadap adik gue yang masih mengelap peralatan makan yang sudah gue cuci.

“Kang Ardi itu nggak pernah bisa bilang ‘nggak’ ke Hazel. Makanya kalau dia nggak bisa dapat sesuatu dari kami, langsung deh lari ke amangnya. Ingat nggak waktu dia nelepon Kang Ardi malam-malam sambil nangis?”

Garis bibir gue perlahan melengkung ke atas.
Tentu saja gue ingat saat keponakan gue menelepon gue sambil menangis. Gadis kecil itu bercerita kalau dia menginginkan boneka My Little Pony. Tapi ayahnya nggak mengabulkan dengan alasan yang entah apa. Karena gue nggak tega mendengar Hazel yang bercerita sambil sesenggukan, akhirnya gue berjanji akan membelikannya dan mengirimkannya ke Semarang seminggu kemudian. Gadis kecil itu kemudian menghubungi gue sambil bersorak kegirangan saat boneka yang diinginkannya akhirnya sampai ke pelukannya.

“Gue sengaja nggak ngasih boneka yang dia mau karena dia mogok berangkat ke play group. Terus waktu dia maksa nelepon amangnya buat ngadu dan amangnya langsung ngeiyain maunya dia, udah deh... Udah. Bubar jalan itu hukumannya.”

“Sorry,” kata gue sambil menepuk bahu Segara. “Gue mana tahu kalau waktu itu Hazel lagi kena hukum.”

“Makanya punya anak sendiri, Kang. Nanti mau lo manjain kayak apa juga terserah.”

“Mau punya anak sama siapa? Pacar aja nggak ada. Apalagi istri.”

“Tuh sama yang lagi main sama Hazel,” jawab Segara seraya mengedikkan kepalanya ke arah ruang keluarga.

Meski terhalang dinding, gue tahu betul siapa yang dimaksud oleh adik gue.

Rivia.

Sejak menemani keponakan gue membeli rumah Barbie, Hazel yang semula malu-malu jadi menempel pada Rivia. Rivia yang membantu Hazel memilih rumah Barbie untuknya jadi dianggap serupa malaikat yang turun dari langit oleh keponakan gue.

Hazel memang bukan anak yang mudah akrab dengan orang asing. Tapi saat seseorang berhasil melakukan sesuatu yang membuatnya terkesan, Hazel bisa dengan mudah dekat dengan orang itu. Dan sepertinya, hal sesederhana memilihkan rumah Barbie terbilang cukup mengesankan di mata gadis kecil itu.

“Udah lah sama dia aja, Kang,” celetuk Segara. “Toh kalian masih sama-sama single.

“Jangan ngaco, Ga!” sergah gue. “Gue sama Rivia itu jelas nggak mungkin.”

“Bagian mananya yang nggak mungkin? Coba jelasin ke gue.”

Gue mengambil waktu sejenak untuk mengeringkan telapak tangan gue yang basah dengan lap. Lalu setelah menghela satu napas panjang dan meletakkan kedua telapak tangan gue ke atas counter top, gue berkata, “Lo tahu kan kalau Rivia itu adiknya Jere, sahabat gue dari SMA?”

Segara mengangguk.

“Mendekati adik sahabat gue itu hal yang nggak akan mungkin gue lakukan, Ga. Karena apa? Satu, seandainya gue punya hubungan sama Rivia dan hubungan kami nggak berjalan dengan baik, hal itu pasti berimbas juga ke persahabatan gue dan Jere. Dua, gimana bisa gue mendekati Rivia kalau gue nggak punya perasaan apa-apa ke dia? Dan gue yakin dia juga nggak punya perasaan apa-apa ke gue.”

Penjelasan gue membuat Segara seketika berdecak. “Kedua alasan lo itu cuma berdasar asumsi, Kang.”

“Fakta, Gara. Fakta.”

“Asumsi,” keras Segara. “Faktanya, lo belum pernah mencoba. Tahu dari mana kalau hubungan kalian nggak akan berjalan baik? Dan soal perasaan… rasa itu bisa digali, Kang. Tapi sebelumnya, lo harus membuka diri terlebih dulu. Lo nggak bisa kayak gini terus.”

“Kayak gini gimana maksud lo, Ga?”

“Ya kayak gini,” ujar Segara setelah mengelap seluruh peralatan makan yang sudah gue cuci. “Lo selalu membangun tembok yang tinggi di sekeliling lo. Sampai hal itu bikin orang lain yang mau dekat sama lo jadi mundur teratur karena saking tingginya tembok yang lo bangun. Dan gue tahu betul apa alasan yang membuat lo jadi menutup diri seperti itu.”

“Apa?”

“Karena lo takut,” jawab Segara dengan lugas. “Lo takut kembali dikecewakan. Dikecewakan dengan cara yang sama seperti saat lo dikecewakan Kinanti.”

Rasanya seperti disengat petir di siang bolong di tengah lapangan terbuka saat gue mendengar nama itu keluar dari mulut Segara. Nama dari perempuan yang beberapa waktu lalu sempat gue lihat kembali di layar kaca setelah sekian lama. Perempuan yang ternyata masih saja mampu memorak-porandakan hati yang sudah susah payah gue tata kembali. Meski kami sama sekali nggak bertatap muka secara langsung. Meski sosoknya hanya tertangkap oleh indra penglihatan gue selama sepersekian menit.

Gue bukan nggak sadar bahwa selama beberapa tahun belakangan, gue berusaha menutup diri. Menutup hati. Gue selalu berusaha menciptakan jarak berupa dinding tak kasat mata saat ada seseorang yang menunjukkan ketertarikannya pada gue. Bahkan meski saat gue berusaha menjalin hubungan lagi dengan seorang perempuan, gue nggak pernah benar-benar meruntuhkan dinding pembatas yang gue bangun.

Pada siapa pun yang menanyakan mengapa sampai sekarang gue belum memiliki pendamping, gue selalu berdalih bahwa pekerjaan gue membuat gue terlalu sibuk. Karena hal itu, gue nggak sempat memikirkan hal apa pun lagi selain pekerjaan. Tapi sebenarnya, itu hanyalah alasan yang sengaja gue cari-cari.

Faktanya adalah gue berusaha menyibukkan diri dalam pekerjaan agar gue bisa menenggelamkan bayang-bayang perempuan dari masa lalu gue. Supaya gue bisa mengenyahkan segala kenangan tentangnya, baik dari sudut hati maupun pikiran gue.

“Gue mau lihat lo bahagia, Kang,” kata Segara sembari menumpukan telapak tangan kanannya pada bahu kiri gue. “Tapi lo nggak akan mungkin bahagia kalau lo masih nggak mau meninggalkan dan melupakan apa yang udah terjadi.”

Belum sempat gue merespons ucapan adik gue, Hazel tiba-tiba berlari memasuki dapur. Gadis kecil itu menghampiri ayahnya dan menggelayut manja di pinggangnya.

“Yayah, Acel boleh nggak bobo sama Aunty Via?” tanya Hazel sembari mendongakkan kepala.

“Bobo sama Aunty Via?” Segara balik bertanya dengan nada tidak yakin, yang dibalas Hazel dengan anggukan kepalanya. “Hazel nggak mau bobo sama Ayah atau Amang aja?”

Segera saja gadis kecil itu menggelengkan kepala. “Aku mau bobo sama Aunty, Yah. Boleh ya?” ujar gadis kecil itu kemudian dengan nada memohon.

Segara mengalihkan perhatiannya pada gue dan menatap gue untuk meminta pendapat, yang gue tanggapi dengan mengangkat sekilas bahu kanan gue.

Setelah terlihat berpikir sejenak, Segara mengembuskan napasnya. Dia lalu menyentuh puncak kepala Hazel dengan telapak tangannya sebelum berkata, “Oke. Tapi sekarang, Hazel sikat gigi sama cuci kaki dulu ya. Sekalian pipis supaya nanti nggak ngompol.”

Gadis kecil itu segera mengangguk dengan kelewat bersemangat. Setelah itu, dengan kaki-kaki kecilnya, dia berlari meninggalkan dapur untuk menuju kamar mandi.

Begitu Hazel menghilang di kamar mandi, gue dan Segara berjalan bersamaan keluar dari dapur. Kami berdua mendapati Rivia yang tengah berjongkok untuk membereskan mainan Hazel yang berserakan di lantai, tapi segera mendongakkan kepala begitu dia menyadari keberadaan kami.

“Hazel bilang, dia mau tidur sama lo. Lo nggak apa-apa?” tanya Segara sembari menyandarkan pinggangnya pada lengan sofa yang berada di depan TV.

“Kenapa gue harus kenapa-napa?” Rivia balik bertanya.

“Ya siapa tau kan lo penginnya tidur sama orang lain. Tapi jadi gagal karena Hazel minta tidur sama lo,” sahut Segara sambil melirik sekilas ke arah gue, yang membuat gue ingin sekali menimpuk wajahnya dengan bantal sofa.

Namun sebelum gue sempat merealisasikan keinginan gue itu, Segara sudah mengeloyor pergi begitu saja untuk memasuki kamarnya.

Begitu adik gue berlalu, gue berjongkok di samping Rivia dan membantunya memunguti mainan Hazel untuk kami masukkan ke kontainer plastik. Setelah selesai, gue meletakkan kontainer berisi mainan-mainan Hazel pada sisi rak buku. Lalu gue julurkan sebelah tangan gue pada Rivia untuk membantunya berdiri.

“Capek nggak nemenin Hazel main?” tanya gue.

“Lumayan,” timpal Rivia. “But I’m happy. She’s cute. And adorable. And she talked about you like… a lot. Amang Ardi yang beliin dia boneka pony, Amang Ardi yang ajak dia ke Sea World waktu dia ulang tahun, Amang Ardi yang ini, Amang Ardi yang itu. Nggak heran kalau dia nempel banget sama lo. Lo manjain dia banget sih.”

“Dan karena hal itu, gue jadi diprotes sama Segara.”

Rivia terkekeh melihat gue yang mengeluh sembari memijat pelipis. “Maybe you should have your own kid, Ar,” katanya kemudian.

Ucapan Rivia yang hampir serupa dengan kalimat yang tadi sempat Segara lontarkan membuat gue tersentil. Kenapa topik mengenai keluarga selalu menjadi hal yang krusial di usia gue yang sekarang?

Gue bukan nggak ingin membangun keluarga kecil gue sendiri. Tentu saja gue mau. Namun bagaimana gue bisa membina rumah tangga dengan seseorang jika membuka hati saja masih begitu sulit gue lakukan?

“Gue yakin lo akan jadi sosok ayah yang baik buat anak-anak lo nanti.” Rivia menambahkan seraya menepuk-nepuk lengan gue.

“Gimana kalau ternyata gue nggak pengin punya anak dan cuma mau mengadopsi anak anjing atau kucing?” tanya gue.

“That would be great too,” sambut Rivia. “Nanti kita sama-sama cari dan pilih anak anjing atau kucing yang…”

“Kita? Sama-sama?” sela gue.

Rivia memutar kedua bola matanya. “Hey, gue kan mau jadi teman yang baik dan suportif buat lo. Makanya gue mau bantuin lo nemuin anak anjing atau kucing yang cocok untuk lo adopsi.”

“Cuma bantu nemuin? Are we not going to raise them together as well?

“Well, if that’s what you want, you better put a ring on my finger first, Sir,” balas Rivia sembari mengambil satu langkah mendekat ke arah gue. “What do you say about that?” tanyanya kemudian dengan sebelah sudut bibirnya yang mencuat naik.

Belum sempat gue menjawab, Hazel sudah kembali dari kamar mandi seusai melakukan hal yang tadi diminta ayahnya. Gadis kecil itu lalu meraih jemari Rivia dalam genggaman mungilnya.

Aunty Via, ayo bobo,” ajak Hazel. “Acel ngantuk.”

“Oke,” sahut Rivia. “Hazel ke kamar dulu ya. Nanti sebentar lagi Aunty Via susulin.”

Hazel menggeleng dan menggelayut pada pinggang Rivia. “Maunya sama-sama Aunty sekarang,” pinta Hazel yang membuat Rivia terkikik melihat tingkah manja keponakan gue itu.

“Iya deh, iya.” Rivia mengalah sambil mengusap ringan puncak kepala Hazel. “Yuk bobo.”

Dengan itu, Rivia membimbing Hazel menuju kamar tamu yang malam ini dia tempati. Sedangkan gue memutuskan untuk memasuki kamar gue.

Gue sudah akan melepas kaus yang gue kenakan saat suara dering singkat terdengar dari ponsel gue yang gue letakkan di atas nakas. Sambil menjatuhkan diri pada permukaan tempat tidur, gue meraih benda yang tengah gue isi dayanya itu. Ada pesan masuk dari Rivia yang hanya terpisah satu dinding saja dari kamar gue.


I’ll let you off the hook tonight.

But the game’s still on. And I’m waiting for your answer.

Better give me a good fucking answer tomorrow.

Night emoticon-Wink



Oh, damn! What did I put myself into?
Diubah oleh HinataAurora 01-05-2023 18:06
thewordsmith
jiyanq
caratdeul
caratdeul dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup