Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
Mirror



Quote:


INDEKS :

Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru

TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 05:26
sukhhoi
itkgid
arieaduh
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.6K
111
Thread Digembok
Tampilkan semua post
ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
#67
Part 64 Aku Dilamar
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar.

"Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."

Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi Rangga, memang sejak pagi aku belum mandi karena cuaca masih dingin. Juga karena aku merasa kurang enak badan. Tapi saat tiba di sini, aku ingin menghindari Nida, tapi tidak mungkin juga aku pergi seperti kemarin. Seharusnya dia yang pergi dari sini, bukan aku.

Selesai mandi, aku memakai pakaian dalam saja yang memang ada di lemari kamar mandi, lalu membalut tubuhku dengan piyama mandi.

Nida masih ada di sini. Teh sudah tersaji di meja makan, dan coffe latte dan kopi hitam ada di nakas. Pasti itu milikku dan Rangga. Dia menarik salah satu kursi makan, dan duduk di dekat meja makan ranjang. "Udah? Tumben kamu belum mandi ke sini?" tanyanya sambil melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. "Aku bikinin latte. Udah makan belum?"

"Siang belum dong, sayang. Tadi udah sarapan kok. Nanti aja, makan bareng kamu," kataku lalu duduk di pangkuannya.

Rangga menelan ludah, sementara Nida langsung menatap ke arah lain. Aku yang duduk menghadap Nida lantas meraih latte yang masih hangat. Tangan Rangga otomatis melingkar di pinggangku. "Kamu udah mandi belum?" tanyaku menoleh sedikit, sambil menyeruput latte buatannya.

"Belum. Hehe."

"Eh, Nid? Gimana Rizal? Udah sehat, kan?" tanyaku basa basi. Aku tidak habis pikir, kenapa dia malah ke sini, bukannya kemarin terlihat sekali kalau dia sangat cemas pada Rizal. Seharusnya kan, dia kini ada di rumah Rizal. Karena ini baru dua hari sejak kejadian itu.

"Mendingan kok, Ros, cuma masih lemes aja badannya. Kebetulan orang tuanya lagi di rumahnya, jadi aku balik," jelasnya.

Terus? Lo datengin cowok orang? Gitu? Cih, dasar gatel!

"Oh syukur deh kalau gitu. Semoga cepat sembuh, ya. Terus ... Kamu ke sini ngapain?"

Rangga berdeham, Nida lantas melirik ke Rangga, seolah bingung ditanya begitu.

"Maaf ya, Ros, kalau kamu nggak suka. Aku cuma butuh temen curhat aja, tentang kondisi Rizal. Kasihan dia, semalam masih suka ngigau, bikin aku bingung dan sedih. Udah kebiasaan soalnya, dulu aku sering curhat ke Rangga, pas kamu lagi di Korea. Jadi aku ke sini," jelasnya.

"Oh gitu. Kalau butuh temen curhat, kamu bisa kok ke rumahku. Lagian kalian kan, udah lama putus, jangan sampai jadi fitnah, atau bikin aku sama Rangga ribut lagi."

"Eum, iya, Ros. Maaf ya. Aku janji nggak akan ke sini lagi kok. Kalau gitu aku balik dulu, ya. Thanks ya, Ngga." Nida berkemas, bahkan teh miliknya belum sempat dicicipi. Aku beranjak, meletakkan cangkir kopi ku, lalu mengantarnya keluar.

"Hati-hati pulang nya. Langsung pulang apa ke rumah Rizal? Titip salam, kalau kamu ke rumah dia. Mungkin besok temen-temen kantor nengok." Aku membuka pintu, terus memegang gagang nya, sambil melihat Nida memakai sepatu hak tinggi merah tersebut.

"Oke. Nanti aku sampaikan. Balik ya, Ros."

"Iya. Hati-hati."

Pintu ku tutup setelah dia berjalan jauh. Menarik nafas panjang lalu kembali masuk.

"Sini, duduk lagi." Rangga menepuk pahanya agar aku kembali menempatkan diri di sana.

Aku menurutinya, tapi kini duduk menghadapnya. Melingkarkan kedua tangan di leher Rangga, mendekatkan dahi kami, lalu mencium bibirnya. Rangga melotot melihat sikapku yang tiba-tiba. Dia menahan berat tubuh dengan memegang pinggangku. "Ganas banget!" ucapnya begitu bibirku melepaskannya.

"Suka nggak?"

"Suka banget dong."

"Aku nggak suka! Nida masuk ke apartemen kamu." Aku kembali mencium Rangga dengan lebih ganas.

"Maaf, Yang. Aku pikir tadi kamu yang dateng, jadi langsung aku buka tanpa lihat dulu. Eh, malah dia. Terus ...." Penjelasannya aku potong dengan ciuman lagi yang lebih dalam. Rangga mendesah. "Uh, you so damn hot, Rosi."

"Really?"

Ciuman kami makin dalam, tangan Rangga mulai masuk ke piyama mandi ku. Meraba dan meremas semua titik sensitif yang sudah dia hapal. "Pindah ke kasur, yuk," ajaknya. Lalu membopongku bahkan tanpa aku mengiyakan terlebih dahulu.

______

"Yang ... Tolong ambilin charger dong, di laci meja tuh," tunjuk Rangga yang sedang duduk di sofa kecil dekat balkon.

Aku yang sedang mengetik laporan bulanan, lalu membuka laci tersebut dan seketika aku membelalak. "Yang? Ini punya siapa?" tanyaku lalu mengambil kotak perhiasan yang di atas nya diberi kartu ucapan.

Will you marry me, Rosi?

Aku menoleh ke Rangga, dia tersenyum dengan sebuah buket bunga mawar merah di tangannya. Aku lantas tertawa, tapi entah mengapa mataku terasa panas dan ingin sekali menangis.

Rangga jongkok, terus melebarkan senyum. "Aku ... Duh, bingung ngomong apa. Kamu tau sendiri, kan, Yang, aku bukan pujangga. Jadi nggak bisa merangkai kata-kata manis. Eum, Ros, kita nikah, Yuk." Dia lantas memberikan bunga tersebut dan aku malah tertawa lebar.

"Yaelah, malah diketawain! Dipikir gue lagi ngelawak kali ya. Udah romantis banget ini loh perasaan," ujarnya yang berbicara dengan dirinya sendiri.

Aku meraih buket bunga itu, lalu melingkarkan kedua tangan di lehernya. "I love you, Sayangku! Lagian kamu ngajak nikah, kayak ngajak main! Gimana aku nggak ketawa! Untung ada bunga, ada manis-manisnya dikit." Aku kembali tertawa, menutup mulutku lalu menatap mata Rangga. Satu kecupan mendarat ke bibirnya singkat.

"Kamu serius?" tanyaku lagi.

"Ya serius dong. Masa bercanda."

"Kenapa?"

"Apanya yang kenapa?"

"Kenapa baru sekarang, Rangga! Haha! Enggak, enggak. Bercanda. Kamu tuh, manis banget kadang. Tapi suka bikin aku sebel!" Aku kembali mendaratkan ciuman ke bibirnya bertubi-tubi. Rangga tertawa lalu mendorongku ke ranjang.

_______

Hari ini Papa dan Mama serta Bang Haikal pulang. Suatu hal yang luar biasa, mengingat kesibukan mereka yang tidak bisa diganggu gugat. Iqbal menjemput mereka ke bandara, sementara aku menunggu di rumah sambil membuat beberapa masakan dibantu Bu Siti. Lebih tepatnya aku yang membantu Bu Siti meracik bahan dan bumbu, sementara yang memasak tetap dia. Sadar diri dengan kemampuan memasak yang minim, maka aku tidak berani melakukan pekerjaan yang satu ini untuk banyak orang.

Makanan sudah tersaji di meja, aku merapikan meja dan membuatnya lebih cantik di pandang mata. Saat mengelap piring dan sendok, suara kendaraan masuk ke halaman rumah.

"Itu sepertinya mereka, Bu," kataku pada Bu Siti yang juga berada di samping.

"Iya, Neng. Pasti itu Ibu sama Bapak," sahut Bu Siti dengan senyum bahagia.

Aku segera berlari kecil menyambut mereka, dan benar saja, empat orang yang keluar dari sana adalah orang-orang yang kutunggu kedatangannya. Mama tersenyum begitu melihatku keluar dari rumah. Sementara Papa sibuk menyuruh Iqbal mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil. "Hati-hati sama yang itu, Bal. Takut pecah. Punya Mama tuh, belinya jauh. Mahal pula," kata Papa menunjuk sebuah kardus besar.

Aku mendekat, menyambut mereka, lalu segera berhamburan memeluk Mama.
"Sehat, sayang?" tanya Mama sambil mengelus punggungku.

"Sehat, Ma. Mama gimana? Eh, tambah gemuk dikit, ya?" tanyaku begitu melepaskan pelukan kami.

Mama lantas memegangi kedua pipinya, lalu menunduk dan tersenyum. "Ini gara-gara Papa nih. Masa pas kami jalan-jalan ke Swiss, setiap lewat jalan mana aja, Papa ngajak mampir buat makan, atau cobain jajanan pinggir jalan gitu, Nes. Gimana mama nggak gendut coba. Si Papa nih emang!" gerutu Mama.

Papa tersenyum, lalu memelukku. "Loh, Papa kan sayang sama Mama. Lihat mama tertarik sama makanan itu, ya Papa beli. Walau Mama bilang takut gendut, biar aja. Papa tetap sayang," jelasnya lalu mereka berdua saling berpelukan.

Sungguh adegan romantis yang membuatku bahagia. Melihat mereka saling menyayangi, dan awet sampai sekarang, membuatku senang dan meyakini satu hal. Tidak semua pernikahan akan berakhir buruk, tergantung pada kita sendiri yang menjalani. Tentu kita juga tidak boleh salah pilih. Semua kesalahan bisa dimaafkan, karena tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, tapi tidak pada sebuah perselingkuhan. Perselingkuhan itu tindakan sengaja, khianat dan tidak akan sembuh, walau sebaik apa pun kita berusaha memberikan semua hal untuk pasangan kita. Kalau dia memang memiliki tabiat suka selingkuh, semua akan percuma. Dan yang aku suka dari Rangga, hanya satu hal, dia adalah orang satu-satunya yang menawarkan kesetiaan padaku. Walau banyak godaan di luar sana, tapi dia tetap konsekuen pada pilihannya, yaitu aku.

Setiap ada perempuan mana pun yang mengirimkan pesan, atau mengajak bertemu, dia pasti memberi tau kan padaku lebih dulu. Terkadang dia justru bertanya, apakah dia boleh membalas pesan wanita itu atau tidak. Kejadian dengan Nida adalah salah satunya. Walau aku masih tetap cemburu jika mereka bertemu, dan Nida yang terkadang kurang ajar, masih mendekati Rangga, tapi aku senang, setiap kali kami memiliki masalah tentang Nida. Melihat cara Rangga membujuk ku, menjelaskan duduk permasalahan, menunjukkan kalau aku masih dan tetap berharga di matanya, dibandingkan orang lain.

Aku berharap dia adalah pelabuhan terakhirku. Sudah banyak yang kami lewati selama ini. Bahkan aku sudah pergi sejauh mungkin darinya. Tapi semesta memiliki rencana sendiri, dengan mempertemukan kami kembali dengan waktu dan keadaan yang jauh lebih baik lagi. Perpisahan kami waktu itu, juga sebagai bukti bagaimana perasaan kami satu sama lain. Dia masih mencintaiku, walau aku sudah meninggalkannya begitu saja.

Jam makan malam selalu tepat dilakukan pukul 7. Sekarang rumah terasa ramai dengan kepulangan keluargaku. Kami semua berkumpul di meja makan, menyantap hidangan yang sudah Bu Siti masak bersamaku tadi.

"Wah, banyak banget makanannya," cetus Iqbal. "Jelas bukan elu yang masak, kan, Nes?"

"Yee! Elu kan lihat sendiri kalau dari pagi gue di dapur sama Bu Siti! Emangnya elu, main game mulu!" timpalku.

"Sudah. Sudah. Ini masakan Ines juga, kan dia ikut masak, iya, kan, sayang?" tanya mama.

"Iya dong, Ma," sahutku memeluk lengan mama yang duduk di samping ku.

Aku dan Iqbal masih saja saling ejek walau posisi duduk kami berseberangan.

"Gimana, Nes? Semua aman, kan?" tanya Bang Haikal, mengiris steak dan menyantapnya dengan nikmat.

"Eum, bisa dibilang aman kok, Bang. Masalah sih selalu ada. Tapi masih bisa aku tangani kok."

"Bagus kalau gitu. Soal teman kantor kamu, sudah beres, kan? Abang yakin, dia nggak akan muncul lagi."

"Eh kok tau?"

"Elu nggak tau, kalau Bang Haikal selalu ngawasin elu walau dia jauh?" tanya Iqbal menimpali.

"Iya, kah?"

"Iya. Walau abang jauh, tapi selalu ada yang mengawasi kamu, dan sering laporan ke abang."

"Macan itu, kah?"

"Iya, dia itu khodam dari leluhur kita. Dia bakal jagain kamu dari hal negatif. Seperti makhluk-makhluk yang pernah mengganggu kamu kemarin."

Aku hanya beroh ria.

"Hubungan kamu sama Rangga gimana, Nes?" kali ini Papa yang menginterogasi.

"Baik. Oh iya, Pa. Ma. Eum ... Rangga kemarin bilang, dia mau kami nikah," kataku lalu menunjukkan sebuah cincin yang sudah melingkar di jari manis ku.

"Wah, serius? Syukurlah! Bu Nunik sudah tau belum? Kok dia nggak cerita ke Mama, ya? Padahal kemarin baru aja kami teleponan."

"Aku nggak tau. Mungkin nanti ada obrolan selanjutnya, Ma."

"Bagus. Jangan terlalu lama kalian pacaran. Dosanya makin lama nanti. Buruan nikah. Jangan ditunda," sahut Bang Haikal.

"Cie, yang mau nikah," sindir Iqbal menatapku dengan segaris mata.

"Ya sudah, kamu nanti tanyakan lagi sama dia, bagaimana rencana ke depannya. Kapan keluarga Rangga mau ke rumah, mumpung kita semua udah pulang."

"Iya bener. Nanti mama juga mau nanya Nunik. Akhirnya kami besanan juga," kata Mama meninggalkan meja makan lalu mengambil ponsel. Terlihat sekali kalau mama paling menunjukkan antusiasnya pada hal ini, dan yang paling bahagia atas berita ini.

Makan malam selesai dengan pembahasan mengenai rencana lamaran ku. Mereka sudah siap dan bahkan memberikan beberapa pilihan mengenai EO yang bisa kami gunakan nanti. Tapi aku masih belum memutuskan EO mana yang hendak ku pakai, karena harus bertanya lebih dahulu dengan calon suamiku. Waw, calon suami? Mengingat ini membuatku senyum-senyum sendiri.

Aku menutup pintu kamar sambil terus menunjukkan raut wajah bahagia. Segera saja mencari ponsel dan saat melihat, rupanya ada beberapa panggilan telepon dari kekasihku. Juga beberapa pesan masuk yang belum ku baca.

[Yang ... Aku udah bilang Papa Mama. Rencana kita. Tunggu, ya. Nanti kami ke rumah.]

[Yang? Orang tua kamu udah pulang? Mama bilang tadi ditelepon Mama kamu, nanyain masalah ini.]

[Yang ... Aku kangen.]

Aku tidak membalas pesan tersebut, namun segera menghubungi Rangga lewat panggilan video.

"Haii," sapa ku begitu wajahnya muncul di layar.

"Lama banget. Kamu ke mana aja?" tanyanya cemas.

"Maaf ya. Seharian aku bantuin Bu Siti masak, soalnya Papa Mama pulang. Bang Haikal juga."

"Oh pantes. Lagian sibuk nya ngalahin pejabat aja deh. Nggak megang hape sama sekali gitu."

"Maaf ya sayang. Eh, terus gimana? Orang tuaku tanya, kapan kamu sama keluarga ke rumah. Bahkan aku udah di sediain EO buat acara kita. Tapi kan aku harus bahas dulu sama kamu kan sayang."

"Iya, gampang itu. Nanti kita bahas pas ketemu aja. Aku udah bahas sama orang rumah, mungkin lusa kami ke sana. Ngelamar kamu secara resmi."

"Jam berapa?"

"Yah, mungkin habis isya kali ya. Soalnya kan harus ngumpulin keluarga besar. Tau sendiri, biasanya ngaret. Kamu siap-siap aja, ya."

"Iya, calon suami. Eh, tadi Mama nyuruh aku, kalau acara lamaran di hotel aja. Tapi aku nggak mau. Kamu ke rumah aja ya, Yang. Boros uang."

"Iya, calon istri. Kamu memang pengertian. Tau banget duit ku cekak. Hahaha."

"Iya, daripada buat pesta mewah-mewah mending kita tabung, buat beli rumah. Nggak mungkin, kan, kita tinggal di sini. Juga di apartemen. Aku mau kita beli rumah aja. Aku masih punya tabungan kok. Sepertinya cukup."

"Aku juga ada. Nanti kita beli rumah bareng, ya."

"Iya, sayang. Ya ampun. Kok aku seneng banget ya."

"Cie, yang udah dilamar. Bentar lagi mau nikah," kata Rangga meledek.

"Cie, yang bentar lagi jadi suami. Awas, ya. Jangan aneh-aneh nanti setelah kita nikah."

"Yah, kalau mau aneh-aneh mah dari kemarin. Lagian kamu udah cukup kok. Kamu pinter, cantik, seksi, liar kamu juga ... Uh. "

"Heh! Dasar. Ini pokoknya kita pasti bakal dipingit. Nggak boleh ketemu dulu, kayak biasanya. Jadi mending kamu pulang ke rumah orang tua kamu aja, Yang. Jangan di apart."

"Iya, siap. Takut, ya. Kalau Nida datang lagi?" Tawa Rangga terdengar di ujung sana.

"Iya. Dia itu berbahaya sekali, asal kamu tau. Udah punya pacar, masih aja deketin pacar orang! Peringatan ku nanti bakal meningkat, apalagi kalau kita udah nikah. Deket satu meter aja, aku hajar tu cewek!"

"Hahaha! Iya, sayang. Hajar aja si Nida tuh. Dia godai aku terus tuh," sahutnya malah mengompori.

"Kalau kamu tanggapin, aku kerangkeng kamu nanti!"

"Duh, mau di kerangkeng deh. Iket aku, Yang. Iket!"

"Rangga! Genit!"

"Hahaha. Kamu suka tapi, kan?"

"Kan aku jadi bayangin! Ih!"

"Eh, inget, kita dipingit. Nggak boleh ketemu dulu."

"Ya kamu jangan mancing duluan dong."

"Tuh, aku suka kamu yang gini juga. Gampang aku godain. Hahahaha."

"Ish! Dasar. Ya udah, bobok yuk, udah malam. Besok kerja."

"Iya. Yuk. Selamat malam, calon istri."

"Malam, calon suami. Mimpiin aku, ya."

"Pasti."

________

Seluruh teman kantor sudah tau berita bahwa kami akan lamaran. Semua tentu turut bahagia. Bahkan mereka mengirimkan banyak parsel untuk acara kami nanti. Yah, ini adalah hari yang ku tunggu setelah sekian lama. Dilamar lagi oleh seseorang yang aku cintai dan mencintai ku. Aku sudah sangat yakin padanya. Sudah banyak impian yang aku rajut selama ini bersama pria itu. Dan hari ini awal dari semua mimpi itu. Ini bukan akhir, melainkan awal. Hubungan yang akan menjadi perjalanan hidupku selanjutnya bersama Rangga.

Tidak hanya aku yang sibuk, tapi juga Mama. Bahkan Mama yang paling sibuk daripada aku. Tentu saja dia juga bahagia, karena bisa berbesanan dengan sahabatnya. Mama juga senang, akhirnya aku bisa bersatu dengan pria yang kuinginkan.

Semua ruangan di rapikan. Sofa, meja, dan perabotan dipindahkan. Acara akan digelar dengan lesehan. EO sudah dipilih, bahkan mama sendiri yang memilihnya. Aku dan Rangga hanya pasrah. Tapi tentu kami juga ikut andil dalam persiapan ini.

Walau mama yang menyiapkan EO, tapi aku dan Rangga yang memilih pakaian pengantin kami. Bertema adat Sunda Jawa, kami akan menggelar pesta dengan meriah. Tentu nya orang tua kami yang menjadi donatur utama. Kami sudah membicarakan dengan keluarga, kalau ingin mengadakan pesta dengan sederhana. Karena rencana kami ingin membeli rumah nanti setelah menikah. Tapi Papa dan Mama bersikeras ingin agar acara kami meriah. Karena ini adalah pesta pertama yang mereka gelar untuk anaknya. Bang Haikal yang masih ingin sendiri membuat Papa dan Mama tidak bisa memaksanya untuk menikah dulu, dan acara pesta pernikahan besar, juga bisa menjadi ajang silaturahmi semua kenalan mereka. Dari sekian banyak undangan yang akan disebar, undangan milikku dan Rangga hanya 10% nya saja dari total semua undangan. Sisanya adalah tamu orang tua kami. Untungnya orang tua kami satu angkatan, dan teman mereka sama. Tapi kerabat dan kolega mereka juga cukup banyak. Baik di dalam negeri maupun luar negeri. Membayangkan saja aku sudah lelah jika harus diam selama seharian di kursi pengantin nanti.

Aku sudah didandani dengan make up natural, sesuai permintaanku. Tidak ingin berlebihan, tapi masih tetap terlihat cantik di hari ini itu lah tujuanku. Memakai kebaya warna rose gold , membuatku merasa sempurna. Tema pakaian kali ini senada. Bahkan keluarga Rangga nanti juga memakai warna yang sama. Mama sangat cepat menemukan distributor kebaya lengkap. Jadi kami tidak perlu bingung walau acara lamaran diadakan cukup mendadak.

Tinggal menunggu keluarga Rangga datang, semua orang sudah siap di rumahku. Keluarga besar Papa dan Mama yang bahkan baru kali ini aku jumpai. Karpet tebal digelar di ruang tamu, beberapa kursi plastik yang dilengkapi penutup kain warna putih berjejer di halaman rumah.

Hingga akhirnya tamu yang ditunggu pun tiba. Beberapa mobil datang dan parkir di jalanan. Keluar keluarga Rangga membawa banyak hantaran. Lengkap. Dari pakaian, makanan, perhiasan. Semua dibawa oleh sekitar 20 orang. Aku sudah duduk di tengah ruangan bersama orang tua, serta saudara.

Melihat Rangga dengan balutan pakaian resmi, membuatku tersenyum. Karena dia terlihat lebih tampan dari biasanya. Acara pun dimulai. Sepatah dua patah kata mengawalinya, dan di akhir dengan penyematan cincin di jari kami.

Akhirnya aku dilamar olehnya. Rangga seorang pria yang menjadi rumah bagiku. Kami akan menikah dan mengawali kembali perjalanan hidup bersama. Ini bukan akhir, tapi sebuah awal. Bersamanya tidak akan mulus, tapi setidaknya, bersama dia aku akan lebih kuat lagi. Karena kami akan selalu menguatkan. Aku percaya itu.
0