- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.7K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#206
#23 - The Sea Isn’t Place but a Fact and Mystery
Spoiler for #23 - The Sea Isn’t Place but a Fact and Mystery:
Hampir pukul 11 saat akhirnya Rohman kembali ke toko. Nggak menunggu lama, gua langsung berdiri dan bersiap untuk pergi.
“Man, yang kemaren lo bilang mau nyari kerja siapa dah?”Tanya gua ke Rohman yang masih berusaha melepas jaket dan helmnya
.
“Oh, Si Salwa…” Jawab Rohman.
Iya, sebelumnya Rohman sempat curhat kalau gadis yang ia sukai tengah mencari pekerjaan. Namun, sampai sekarang belum ada yang mau menerimanya. Entah karena pendidikannya yang kurang tinggi atau pengalaman kerjanya yang minim.
“Lulusan apa dia?” Tanya gua lagi.
“SMK, jurusan komputer” Jawab Rohman.
“Kerja disini mau nggak dia?”
“Disini? dimana?”
“Di toko”
“Hah, lah terus gua?”
“Ya sama elo berdua”
“Serius? kalo serius ntar gua tanyain nih orangnya”
“Iya, serius”
Rohman lalu bersiap meraih ponsel dari saku celananya. Bersiap untuk menghubungi si Salwa.
“Kalo dia nanya gaji gimana?” Tanyanya lagi.
“Samain aja kayak elo” Jawab gua.
“Ok Sip” Jawabnya seraya mulai menelpon. Sementara gua langsung memesan ojek online untuk pergi ke kantor.
Datang ke kantor saat menjelang siang dan menggunakan ojek merupakan hal yang cukup efektif. Jalan ibu kota menjelang siang nggak semacet saat pagi atau sore hari. Cuma ya itu, siap-siap aja kulit harus terbakar saking panasnya matahari kalau nggak pake jaket. Sedangkan kalau pake jaket kita harus siap bermandikan keringat ibarat sauna.
Begitu tiba di gedung kantor, gua langsung menuju ke mini market depan lobby, membeli air mineral dingin dan melepas dahaga. Kemudian masuk ke lobby, menuju ke area toilet di bagian belakang lobby untuk membasuh wajah yang terasa terbakar karena panas.
Saat kembali dari toilet, kebetulan gua melewati coffee shop milik Rossi. Terlihat antrian yang mengular hingga keluar dari ruangan. Tanpa sengaja, gua melihat Lady tengah berdiri sambil menghadap ke arah counter pelayanan coffee shop. Sesekali ia berjinjit dan melongok ke arah counter karena mungkin nggak sabar dengan antrian yang nggak bergerak.
Gua melangkah masuk ke dalam coffee shop dan disaat yang sama Lady berbalik, sepertinya hendak keluar.
“Mau kemana?”Gua langsung mengajukan pertanyaan kepadanya.
Ia mendongak dan menatap gua tajam. Gua balas menatap ke arahnya; rindu. Lady sama sekali nggak merespon pertanyaan gua barusan, ia malah bersiap untuk pergi. Gua kembali mengajukan pertanyaan yang sama; “Mau kemana?” Tanyanya lagi.
“Ke atas. Mesin kopinya rusak” Jawab Lady seraya menunjuk ke arah antrian.
“Ke atas mana?” Gua kembali bertanya.
“Ke kantor..” Ia menjawab pelan.
Tanpa aba-aba, gua lalu meraih tangan dan mengajaknya keluar dari coffee shop, menyusuri lobby lantai dasar, menuju ke coffee shop lain yang berada nggak begitu jauh dari gedung kantor. Sepanjang perjalanan, Lady sama sekali nggak mengajukan protes saat gua menggenggam pergelangan tangannya.
Gua mulai melepas genggaman tangan saat kami masuk ke area coffee shop lain dan langsung menuju ke counter untuk memesan kopi untuknya; “Lo apa?” Tanya gua.
“Mmm.. Iced Americano Tiga, Green Tea Latte tiga, Vanilla Cold Brew tiga..” Ucapnya cepat.
‘Rupanya ia dititipi membeli kopi oleh rekan-rekan barunya’ Batin gua dalam hati, lalu berpaling kembali ke pramusaji dibalik counter dan mulai memesan menu sesuai dengan apa yang barusan ia sebutkan.
“Gue lupa mau ngasih tau lo, kalo gue udah kerja di tempat baru. Tapi, masih di gedung yang sama”
“Iya, udah tau..”
“Hah? Tau darimana? Ghina?” Tanya nya dan mulai memberi tebakan.
Gua hanya terdiam, sengaja nggak menjawab.
“... Terus lo ngapain disini?” Lady tiba-tiba mengganti topik pertanyaan.
Gua kembali diam, nggak menjawab, hanya tersenyum. Lady lalu memperlihatkan ekspresi kesal dan langsung melayangkan pukulan ke arah gua dengan menggunakan dompet. Setelah dizalimi barulah gua memberi jawaban; “Mau ketemu lo..”
Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah, dari sebelumnya tampak kesal, kini ia terlihat tersipu. Namun, itu nggak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian ia kembali pasang ekspresi kesal dan bicara; “Alah… Gue nggak ada kabar berminggu-minggu aja, lo boro-boro nyariin gue..” Serunya, kemudian memalingkan wajah.
‘Atas nama Kak Lady..’ Seru seorang pramusaji dari balik counter pelayanan.
Gua berdiri dan mengambil kopi pesanan yang sengaja gua pesan dengan menggunakan namanya. Gua mengambil satu iced Americano yang sengaja gua pesan lebih dan menyerahkan sisanya ke Lady.
Ia meraih paper bag berisi kopi dari tangan gua dan bertanya;“Thank you.. Berapa semuanya?”
“Apanya?”
“Harganya…”
“Nggak usah, gua traktir…” Gua menjawab singkat.
“Punya gue aja yang lo traktir, punya yang lain nggak usah…” Lady merespon sambil menyandarkan tubuhnya di bahu gua.
“Gapapa, sekalian…” Gua merespon santai.
Setelahnya gua terus bersama dengan Lady, mengikutinya bahkan hingga ia bersiap masuk ke dalam kantor.
“Iya, gue tau lo kangen. Tapi, ini gue baru hari pertama kerja lho. Udah lo pulang sana, nanti gue telpon…” Seru Lady.
Sementara, gua hanya terdiam dan balik memandangnya sambil tersenyum. Ia lalu kembali berbalik dan melanjutkan langkah masuk ke area kantor. Gua menunggu hingga ia tak terlihat, lalu menyusul masuk ke dalam.
Beberapa saat berikutnya, gua kembali muncul di hadapan Lady serta rekan-rekan barunya. Namun bukan sebagai Jeje yang biasa ia kenal. Melainkan sebagai Jeje si pimpinan perusahaan.
Lady nggak terlihat terkejut begitu mendapati gua berdiri di depan, bicara dengan status sebagai pimpinan perusahaan. Ekspresi wajahnya justru terlihat kesal dan matanya menatap gua tajam.
Ditengah-tengah briefing untuk tim campaign dan marketing, gua sengaja membuat Lady kesal dengan nggak memanggilnya untuk memperkenalkan diri dan juga mengabaikan namanya setiap ada kesempatan. Alhasil, sepanjang sisa hari gua mendapati ia hanya menatap kosong ke arah jendela luar dengan wajah cemberut.
Setelah selesai mengurus beberapa dokumen serah terima dengan Rossi di lantai atas, gua kembali ke bawah dan menghampiri Lady. Ia masih dengan posisi sebelumnya, belum berubah; menatap kosong ke arah jendela luar.
Gua memberanikan diri mendekat dan berdiri tepat di belakangnya. Memandangi ia dari belakang, rambut panjangnya yang ia ikat asal, sweater hitam milik gua yang masih setia ia kenakan dan aroma parfum strawberry yang membuat rasa rindu semakin berat.
Lady menoleh dan berpaling. Seperti tak terjadi apa-apa, ia hanya menatap gua sebentar kemudian kembali memandang keluar. Gua menarik kursi kosong dari deretan meja kosong dan duduk dengan memposisikan diri di sebelahnya. Saat ini gua mengabaikan pandangan teman-teman lain di sekitar kami yang menatap penuh rasa curiga. Gua meraih potongan kertas post-it berwarna kuning dari atas mejanya, post-it bertuliskan namanya yang lalu gua tempelkan di lengannya.
Menyadari hal tersebut, Lady meraih post-it tersebut, meremas dan membuangnya ke tempat sampah, lalu kembali berpaling menatap ke luar jendela.
Gua menarik kursi agar lebih dekat, kemudian berbisik di dekat telinganya; “Let’s talk..”
Masih nggak berpaling, ia menjawab pelan; “About what?”
“About us…” Ucap gua.
Tiba-tiba, ia berdiri, meraih tas miliknya dari atas meja dan pergi. Gua ikut berdiri dan bergegas menyusulnya.
Akhirnya kami berdua duduk di salah satu meja kosong di Le Rossi Coffee Shop. Setelah sedikit miskomunikasi perihal croissant yang rencananya ia titipkan ke gua untuk Anggi. Lady lalu bicara; “Elo tuh kayak laut…” Ucap gua.
“Laut?”
“Iya, Laut. Semakin jauh manusia menjelajah laut, malah semakin banyak misteri baru yang nggak sanggup manusia gapai. Lo juga, semakin jauh gua mengenal lo, semakin misterius lo..”
“Ya lo nggak nanya..” Ucap gua pelan.
“Harus ya? semua harus gue tanya dulu baru lo mau cerita?” Tanyanya dengan nada suara mulai meninggi.
“Apa perlu gua beberkan semua cerita hidup gua ke elo sampai hal terkecilnya?” Gua balik bertanya. Yang lalu direspon oleh Lady dengan seruan bernada tinggi; “Iya. Perlu!”
“...”
“... Gue pengen dan perlu tau semua, semua, sampai hal terkecil di hidup lo…” Ia lalu menambahkan, kali ini dengan nada dan volume suara lebih rendah dari sebelumnya.
Gua lalu terdiam sambil menatapnya.
Mungkin kecewa karena gua hanya diam dan nggak memberi respon apapun dari ucapan sebelumnya, ia lalu berdiri dan bersiap pergi. Dengan cepat gua menggapai lengan dan memberikan kode agar kembali duduk. Lady menghela nafas panjang dan kembali duduk. Kini ia duduk dengan menghadap ke arah lain.
“Ayo nge-date…”Ucap gua pelan tanpa berani menatap ke arahnya.
“Apa?”
“Ayo nge-date..” Gua mengulang ucapan.
“Sekarang?” Tanyanya lagi.
“Iya, sekarang”.
Gua nggak menunggu persetujuan darinya, lalu berdiri, kembali meraih lengan dan membawanya keluar dari coffee shop.
“Lo nggak nunggu persetujuan gue?” Tanya Lady saat kami baru saja keluar dari Coffee Shop.
“Ini kan jam kerja, gua nggak butuh persetujuan lo” Gua menjawab, tentu saja bercanda.
Lady hanya terdiam, nggak lagi merespon. Ia lalu mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas dan menyerahkannya ke gua.
“Buat?” Tanya gua seraya menatap ke arah kunci mobil di tangannya.
“Emang nggak mau naik mobil?” Ia balik bertanya.
“Nggak..” Gua menjawab singkat.
Masih sambil menggenggam pergelangan tangan, gua terus membawanya menyusuri beranda gedung kantor, melewati jalan raya melalui Jembatan penyebrangan yang dipenuhi dengan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di antara lorong jembatan penyebrangan.
Gua melambatkan langkah, melepas genggaman dari pergelangan tangannya, dan berjongkok tepat di depan lapak yang menjual aneka aksesoris wanita seperti bandana, aneka ikat dan jepit rambut hingga cincin juga gelang imitasi. Gua meraih sepasang jepit rambut lucu berbentuk kupu-kupu; “Berapa bang?” Tanya gua ke si penjual.
“Tiga ribu” Jawabnya. Gua lantas mengeluarkan lembaran uang lecek dari saku celana, dan membayar jepit rambut tersebut. Lalu kembali meraih pergelangan tangan Lady dan melanjutkan langkah.
Saat tengah berjalan menuruni tangga jembatan penyeberangan, Lady menghentikan langkahnya dan menarik ujung kaos yang gua kenakan. Gua berbalik dan menoleh ke arahnya; “Buat siapa?” Tanyanya.
“Apanya?” Gua balik bertanya.
Ia lalu menunjuk ke arah sepasang jepit rambut yang masih berada di genggaman gua.
“Oh..” Gua mengeluarkan salah satu jepit rambut berbentuk kupu-kupu dan dengan perlahan menyematkan jepit tersebut di rambut Lady. Sementara, satu jepit yang tersisa gua masukkan ke dalam saku celana.
“Yang satu lagi buat Anggi…” Gua menambahkan.
Lady langsung mengeluarkan ponsel dari dalam tas, menggunakan kamera depan ponsel sebagai cermin yang menampilkan jepit rambut barunya.
Ia lalu tersenyum seraya membetulkan posisi jepit rambut kupu-kupu barunya.
Gua kembali meraih pergelangan tangan untuk mengajaknya melanjutkan perjalanan. Namun, Lady melepas genggaman dan memindahkan telapak tangan gua di atas telapak tangannya.
Perlahan ia menyelipkan jari-jarinya yang lentik diantara jemari gua yang kasar.
“Gini…” Ucapnya.
“...”
“... Jangan tangan gue ditarik aja, kayak bawa penjahat…” Tambahnya.
Sementara, gua hanya bisa tertegun mendapat perlakuan darinya.
Kami melanjutkan perjalanan, menuruni tangga penyebrangan, menyusuri trotoar lebar dengan besi-besi pendek menjulang yang digunakan agar tak ada mobil atau motor yang masuk ke area trotoar. Kemudian berbelok sedikit ke kiri, masuk ke jembatan penyebrangan lain yang bakal membawa kami ke halte bus transjakarta. Sesekali, gua melepas genggaman untuk menyeka telapak yang berkeringat, lalu kembali menggenggam tangannya saat ia mulia melotot.
“Eh, naik bis?” Tanya Lady seraya menghentikan langkah.
“Iya” Jawab gua singkat.
“Kartu e-money gue kan di mobil..” Ucapnya.
“Ini gua ada dua..” Jawab gua seraya mengeluarkan dompet dan menyerahkan salah satu kartu pembayaran digital gua kepadanya.
Nggak seberapa lama, kami berdua sudah berada di dalam bus transjakarta. Lady duduk di sisi jendela dan gua duduk tepat di sebelahnya. Tangan kami berdua masih saling menggenggam, beberapa mata mulai menatap ke arah tangan kami yang terkait. Risih; dengan hati-hati, gua mulai mengendurkan genggaman, hendak melepas tangan. Namun, Lady dengan cepat mencegahnya. Ia malah melakukan hal sebaliknya; menggenggam erat tangan gua.
“Kenapa? Malu?” Tanyanya.
“Iya.. Eh bukan. Risih…” Gua menjawab pelan.
Ia lalu melepas genggaman dan melemparkan tangan gua menjauh. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah luar.
Dan gua hanya terdiam.
Sementara suara wanita dari pengeras suara di dalam bus mulai terdengar, memberi informasi bahwa halte tujuan kami sudah dekat. Gua kembali meraih telapak tangannya, mengisi sela-sela jemarinya dengan jari-jari gua dan mengajaknya berdiri, bersiap untuk turun.
“Idih, deket banget gini ngapain naik bis?” Lady bertanya begitu kami turun dari bus menuju ke Halte.
“Gua kalo sendiri sih mendingan jalan kaki. Tapi, elo emang kuat jalan kaki?” Gua balik bertanya.
“Kalo nggak panas sih kayaknya kuat” Jawabnya sambil tersenyum.
“...”
“... By the way, kita mau ngapain nih? Makan? Nonton?...” Ia menambahkan.
“Nonton…” Gua menjawab cepat.
“Asyik.. Eh tapi gapapa nih gue bolos kerja buat nonton?” Tanyanya.
“Gapapa…”
“...”
“... Asal nggak ada yang tau” Gua menambahkan.
Beberapa menit berikutnya, hembusan angin dari pendingin ruangan dalam mall menyambut kami. “Fiuh.. sejuk…” Lady menggumam pelan seraya mengibaskan telapak tangan kirinya ke arah wajah.
“Mau nonton apa?” Tanya gua ke Lady sesaat setelah kami masuk ke lobby bioskop.
Lady nggak langsung menjawab, matanya berkeliling, melihat deretan poster-poster film dengan tulisan ‘now playing’ pada bagian bawah frame poster. Ia lalu menunjuk ke salah satu poster dengan wajah Matt Damon dalam balutan baju astronot dan slogan overlay bertuliskan; ‘Bring Him Home’.
Gua lantas membeli dua tiket untuk film The Martian yang beberapa menit lagi akan segera dimulai. Sementara gua membeli tiket, Lady terlihat tengah berdiri di tepi counter yang menjual aneka snack dan minuman.
Dengan popcorn berukuran besar dalam pelukan dan dua gelas minuman berada di tangannya ia terlihat kerepotan berjalan mendekat ke arah gua yang kini sudah duduk di sofa merah di sudut lobby bioskop. Gua buru-buru berdiri dan membantunya dengan meraih popcorn dari pelukannya.
“Lo minum soda gapapa kan?” Tanyanya, kemudian menyerahkan gelas berisi soda ke arah gua.
“Gapapa…” Gua menjawab dan meraih sodoran gelas darinya.
Ia lalu duduk di sebelah gua.
Sambil menggoyangkan kedua kakinya, ia membuka tutup kemasan popcorn yang berada di tangan gua dan mulai memakannya.
“Gue penasaran deh. Lo selama dua minggu ini, berusaha nyari atau hubungin gue nggak? Atau lo merasa biasa aja dengan nggak hadirnya gue selama dua minggu ini?” Tiba-tiba ia bertanya.
“Lo udah riset sebelum nanya itu?” Gua balik bertanya.
“Ih, udah sih tinggal jawab aja.. Lo selama dua minggu ini, berusaha nyari atau hubungin gue nggak?”
“Iya..” Gua menjawab.
Ia lalu mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi chat dan menunjukkannya ke gua; “Mana? mana nggak ada satupun chat dari elo?” Tanyanya.
“Lo nggak tau udah puluhan kali gua nyoba telepon lo dan nggak bisa”
“Masa? kenapa nggak chat?”
“Di logika gua, kalo nggak bisa di telepon, apa mungkin bisa di chat?”
“Iya sih. Ya tapi masa iya nggak sama sekali nge-chat, nanyain kabar atau kondisi gue.
Emang lo nggak begitu peduli aja sama gue kan?”
“Kalo gua bilang gua sempet ke kostan buat nyari lo, lo percaya?” Tanya gua.
“Hah!? serius?”
“Kalo gua bilang, gua sempet ke rumah lo di kelapa gading cuma buat nyari tau elo baik-baik aja apa nggak. Lo percaya?” Tanya gua lagi.
“What!? serius?”
“Kalo gue bilang, gua sempet ngobrol sama bokap lo, lo percaya?”
“What!? Jeje…?”
“Ya…”
“Lo serius?” Lady bertanya dengan nada sedikit tinggi.
Baru saja gua hendak menjawab pertanyaannya barusan, suara panggilan dari pengeras suara mulai terdengar. Isinya informasi bahwa film di studio 1; studio dimana film yang akan kami tonton diputar akan segera dimulai. Gua berdiri, meraih tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam studio.
“Ih jawab dulu, film nya masih bisa nunggu..” Rengek Lady sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
Gua nggak menggubris rengekannya dan terus melangkah dengan menggandeng tangannya.
Sementara, Lady masih terus mengomel namun tetap mengikuti gua berjalan menuju ke studio 1 tempat film akan diputar.
Ia masih terus merengek begitu kami sudah duduk di sofa empuk berwarna merah di dalam ruang studio. “Lo beneran ketemu sama bokap gue? terus dia bilang apa aja?” Tanyanya sambil menghentakkan kakinya ke lantai karena nggak langsung mendapat jawaban dari gua.
Lampu-lampu di dalam studio perlahan meredup dan detik berikutnya suasana menjadi gelap gulita.
“Sstt…” Gua berpaling ke arahnya dan menempelkan ujung jari ke bibir.
“Ih..” Serunya seraya melepaskan genggaman.
Saat layar bioskop mulai berpendar, menampilkan opening film, gua menoleh ke arahnya. Terlihat Lady tengah berpangku tangan sambil pasang tampang cemberut dan berpaling ke arah lain.
Gua meraih tangan dan kembali menggenggamnya. Ia nggak mengajukan protes, hanya terdiam dan menghela nafas panjang.
Tak ada percakapan diantara kami berdua sepanjang film. Lady memeluk lengan kiri dan menyandarkan kepalanya di bahu gua.
Saat film masuk scene tanpa dialog, gua berpaling dan berbisik ke arahnya; “Lo tau nggak kalau gua sebenernya nggak mau ngambil posisi CEO ini?”
“Gimana gue bisa tau? lo pikir gue dukun” Ia menjawab dengan sindiran.
“Hampir setahun Rossi membujuk gue buat ngisi posisi ini dan gua terus nolak..”
“...”
“... dan elo tau setahun penolakan gua akhirnya hancur gara-gara elo” Gua menambahkan.
Begitu mendengar ucapan gua barusan, Lady lantas menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah gua.
“Hah gue?” Tanyanya dengan suara menggelegar yang sontak membuat para penonton lain langsung mengarahkan pandangan ke arahnya sambil “Ssttt…”
Mendapat teguran dari penonton lain, Lady menciut, kembali meringkuk dan memeluk lengan gua lalu kembali bertanya; “Gara-gara gue?”
“Iya…” Jawab gua singkat.
Tiba-tiba, ia mendekatkan wajahnya. Deru nafasnya terasa di tengkuk hingga ke sebelah kanan wajah, lalu sebuah kecupan mendarat di pipi gua.
—
The Ataris - In This Diary
Here in this diary,
I write you visions of my summer.
It was the best I ever had.
There were choruses and sing-alongs,
And that unspoken feeling of knowing
Right now is all that matters
All the nights we stayed up talking
and listening to 80's songs;
quoting lines from all those movies that we love.
It still brings a smile to my face.
I guess when it comes down to it...
Being grown up isn't half as fun as growing up:
These are the best days of our lives.
The only thing that matters
is just following your heart
and eventually you'll finally get it right.
jiyanq dan 60 lainnya memberi reputasi
61
Kutip
Balas
Tutup