Kaskus

Story

watcheatnsleepAvatar border
TS
watcheatnsleep
AMURTI
AMURTI

Season 2 dari Awakening : Sixth Sense


Sinopsis : 


Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan keretakan pada sisi keluarga, cinta, dan pertemanan dalam hidupnya. Dekapan kegelapan pun tak bisa terelakkan oleh batin Rama.

Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.

Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.




INDEKS :














UPLOAD SETIAP JAM 12 MALAM.
KECUALI SABTU & MINGGU

Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama
Instagram : @vikrama_nirwasita

key.99
xue.shan
junti27
junti27 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
8.6K
92
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
watcheatnsleepAvatar border
TS
watcheatnsleep
#21
CHAPTER 7
Risaulah hati sebab tak kunjung mendengar apa pun tentang dirinya. Sudah berminggu-minggu lewat, tapi bayangan wanita itu tak bisa lepas dari pikiranku. Bukan karena rasa suka ataupun cinta, tapi sebuah penyesalan.

Aku ingin memastikan apa yang sebenarnya telah kami lakukan pada malam itu. Walau aku ingin menyangkal Aryo, tapi bukti yang ditampilkannya terlalu kuat untuk kubantah. Di satu sisi aku sempat berpikir, kalo dia memang serius, dia pasti akan menghubungiku lagi. Muncul pertanyaan di benakku, apakah diriku cuma hiburan semata baginya. Tak lebih dari sebuah pelampiasan nafsu, dalam satu malam saja.

Hampir setiap hari aku mengikuti Aryo pergi ke berbagai klub, berusaha dan berharap agar dapat bertemu dengan sosoknya lagi. Malam demi malam kuteguk minuman pemudar kesadaran itu. Awalnya cuma mencoba-coba, lama kelamaan mulai menikmati.

Dentuman musik yang keras tak lagi mengganggu telinga, justru merelaksasi serta meredam suara dari dalam pikiran. Menikmati kesendirian di dalam kerumunan, itu lah hal yang paling kusukai di tempat itu.

Ujung-ujungnya, badanku selalu berlabuh pada kasur dan sofa di kontrakan Aryo. Sejak saat itu, aku lebih sering tidur di tempatnya daripada di kosanku sendiri. Untungnya Aryo tak keberatan, dia malah mengajakku untuk pindah ke tempatnya. Aku sempat tertarik menerima tawarannya, tetapi sayangnya masih tersisa beberapa bulan lagi untuk sewa kosku berakhir.

Di sisi lain, jarak pun mulai terbentuk antara diriku dengan Steven dan Melissa. Aku memilih untuk menghilang dan menghindar dari pandangan mereka. Bukan karena rasa benci atau cemburu, tetapi karena aku merasa dunia kami telah berbeda. Aku bukanlah Rama yang sama di mata mereka. Aku menyadari, cepat atau lambat manusia memang pasti akan berubah.

<><><>


Akhir pekan adalah hal yang dinanti-nantikan banyak orang, tetapi tidak denganku. Alasannya karena akhir pekan adalah hari yang paling sibuk bagiku. Aku harus tetap bekerja di restoran. Jumlah pengunjung membludak berkali-kali lipat dari hari biasanya. Tak ada sedikit pun waktu untuk bersantai. Melangkah mondar-mandir dengan langkah yang tergopoh-gopoh demi melayani para tamu yang menjelma raja.

Tepat jam sebelas malam, restoran akhirnya menutup orderan. Muncul sedikit kelegaan pada wajah kusam para karyawan yang letih. Hanya tersisa sesi terakhir, yaitu sesi membereskan restoran, yang biasanya memakan waktu sekitar satu jam.

Di saat perhatianku terpusat pada meja-meja kotor, tiba-tiba aku merasakan sentuhan pelan di punggungku. Aku pun spontan menoleh ke belakang, ternyata sentuhan itu berasal dari rekan kerjaku yang bernama Sari.

“Rama, dipanggil pak Viktor tuh ke ruangannya.” Lalu tanpa menunggu responku, dia langsung berlalu pergi meninggalkanku.

Aku pun langsung menghentikan kegiatanku dan bergegas pergi menuju ruangan manager berada. Kuketuk pintunya pelan dan sahutan untuk masuk pun muncul dari dalam. Kudorong pelan pintunya dan tampaklah sosok Viktor yang sedang duduk di kursi kulit empuknya. Dia menatapku sembari menggoyangkan ponsel yang berada di genggaman tangannya.

“Duduk.” Viktor menggerakkan dagunya pelan ke arah kursi di depannya.

Aku langsung menuruti perintahnya, dengan benak yang penuh oleh berbagai pertanyaan. Aku mencoba mengingat apa saja kesalahan yang telah kuperbuat selama ini. Walau sebenarnya tak mengerti, mengapa aku sampai harus dipanggil khusus seperti ini.

Di luar ekspektasiku, dia hanya meletakkan ponselnya di meja dan menggesernya tepat di hadapanku. Di layar ponselnya, tampak suatu pemandangan yang rasanya tak asing bagiku. Background gelap dengan lampu gemerlap yang biasanya kukunjungi hampir setiap malam.

“Coba geser ke samping,” perintah Viktor.

Mataku membelalak dan mulutku menganga seketika. Aku kaget bukan main, bertanya-tanya di dalam hati, kenapa bisa ada foto itu di ponsel Viktor. Foto dimana aku sedang berpelukan dengan Beatrix. Aku juga bingung, siapa orang yang mengambil foto kami. Muncul gambaran seorang sosok di pikiranku, tapi aku berharap semoga itu benar-benar bukan dia.

“Masih ada yang lain, loh,” ucapnya seakan mencemoohku.

Aku bingung mengapa dia memanggil dan menunjukkan foto itu kepadaku. Saat itu aku tak bisa menerka tujuan utamanya.

Viktor tersenyum sumringah lalu berkata, “Gimana kalau foto itu sampe ke Riska, ya?”

“Saya cuma berteman dengan Riska, Pak. Kita gak ada hubungan lebih dari itu,” balasku tak mempedulikan ancamannya.

Viktor menatapku tajam. “Tapi lo tau kan, kalau Riska suka sama lo?”

Aku pun seketika sadar apa tujuan utamanya, emosiku pun lantas terpicu.

Aku menatapnya balik lalu berkata, “Bapak cemburu?”

“Pernah ngaca nggak! Sadar diri, lo cuma babu di sini!” bentaknya. “Gak usah kepedean!”

“Cemburu kok sama babu,” ejekku sembari menyeringai.

Viktor menggebrak meja, wajahnya memerah bagaikan tomat. “Woi baik!”

“Kenapa? Masih belum puas ngemaki gua selama ini?” tanyaku dengan suara datar.

Viktor berdiri dari kursinya lalu mengacungkan jarinya kepadaku. “Dibiarin makin ngelunjak aja nih babu!”

“Apa perlu gua sebarin foto lo ke satu restoran?” ancamnya.

“Sama babu aja lo sampe harus main kotor gitu,” ejekku. “Artinya lo lebih hina dari babu!”

“Gimana kalau foto-foto ini sampe ke bokap nyokap lo?”

Aku tertegun seketika dan senyuman kemenangan pun muncul di raut wajah Viktor. Kelemahanku telah terpampang jelas di matanya.

“Kok bisa ya, Riska suka sama babu kayak lo!” cemoohnya. “Seleranya kok rendahan banget.”

Aku hanya terdiam, berpikir bagaimana agar foto itu tak sampai di pandangan mata orangtuaku. Bukannya solusi yang muncul, malah suara yang berulang kali berbisik di telingaku.

“Bunuh! Bunuh! Bunuh!” Suara parau itu tak henti-hentinya mengusikku, memancingku untuk meluapkan emosi pada Viktor. Aku berusaha untuk tak menghiraukannya dengan menarik nafasku dalam-dalam. Lalu aku bertanya ke Viktor sembari memicingkan mataku.

“Apa mau lo sebenarnya?”

“Bilang ke Riska, lo udah resign dari restoran ini,” jawabnya santai. “Jangan lupa, jangan bawa-bawa nama gua.”

“Cuma itu aja?”

Viktor lalu mengangguk sembari memasang senyum penuh kemenangan.

“Oke, gua resign sekarang. Jadi pegang omongan lo!”

“Santai, gua bakal pegang omongan gua, kok,” balas Viktor. “Babu!”

Emosiku tak dapat terbendung lagi, tanganku refleks menggebrak meja. “Ingat, gua bukan babu lo lagi baik!”

Viktor hanya tertawa puas memandangku. Aku pun berlalu meninggalkan ruangan itu dengan mengemban segenap murka di jiwa.

Aku keluar dan melihat segerombolan karyawan yang memandangku kaget. Mereka langsung kembali bekerja ke posisi yang semula, seolah tidak terjadi apa-apa. Tak kusangka dari tadi mereka telah menguping, ternyata suara dari dalam sangat kentara.

Aku tak terlalu memerdulikan mereka, pandanganku justru tertuju pada seorang pria yang sedang berdiri sendirian di sudut lobby. Langkahku pun lantas tertuju padanya.

“Lo yang ngefoto gua, ya?”

Aryo hanya terdiam. Matanya yang sayu itu tak bisa berbohong. Raut wajahnya yang berusaha untuk tetap datar cukup menjadi jawaban bagiku. Lidahku kelu seketika, tak bisa berucap sekata pun. Dada sesak, tak bisa melampiaskan kekecewaan atas pengkhianatan yang telah terjadi.

Aku pun pergi ke loker, meletakkan seragamku di sana untuk terakhir kalinya. Menapakkan langkah demi langkah menuju pintu keluar lobby. Diiringi oleh berbagai pandangan dan bisikan para karyawan di sepanjang langkah.

Diakhiri oleh sebuah tepukan pelan di bahuku, oleh sosok pak Eka. Pandangan matanya yang khidmat, mengantarkanku sampai ke pintu keluar. Bersama barang-barangku, aku pulang memikul beban. Beban atas kekalahanku.

<><><>


Cahaya rembulan mengiringi sepanjang kepulanganku. Tiada awan di langit, hanya ada taburan bintang yang menghiasi angkasa. Pemandangan itu tampak terlalu indah sebagai pendamping salah satu malam yang paling terpuruk dalam hidupku.

Sesampainya di kos, aku langsung memarkirkan motor dan mengunci kembali gerbang. Aku merasakan sesuatu yang janggal, sebab kenapa lampu ruang tamu di kos padam. Karena pikiranku sudah kacau, aku tak terlalu memerdulikannya. Belum sempat aku melangkah ke kamarku, tiba-tiba lampu menyala.

Muncul sosok-sosok familiar di hadapanku. Riska sedang memegang kue yang dihiasi dengan angka 20 di atasnya. Melissa dan Nadia memegang sebuah kotak kado di tangannya, sedangkan Steven hanya menatapku dengan canggung.

Aku telat menyadari bahwa tepat tengah malam ini, ternyata umurku telah bertambah. Aku diam terpaku memandang mereka dengan perasaan campur aduk. Aku merasa tak pantas mendapatkan hal ini, sebab aku telah mengecewakan mereka.

“Happy birthday, Ram.” Ucapan itu satu persatu masuk ke dalam telingaku.

Ketiga wanita itu tersenyum manis kepadaku, tetapi aku tak sanggup untuk membalas senyuman mereka. Wajahku sudah kaku demi membendung tekanan dan rasa sesak di dada.

“Maaf, kak.” Hanya dua kata itu yang sanggup keluar dari mulutku, dari ribuan kata yang terbesit di benakku.

Tampak perubahan di raut wajah Riska, dia segera meletakkan kue di meja. Sepertinya dia sadar ada yang tak beres denganku.

“Kenapa, Ram?” tanya Riska pelan.

Aku menunduk dan dengan berat hati berkata, “Aku udah resign.”

Suasana hening seketika. Riska tampak tertegun setelah mendengar ucapanku. Begitu juga dengan ketiga orang di dekatnya yang diam membisu. Sebelum mereka bertanya tentang keadaan dan alasanku mengundurkan diri, aku memutuskan untuk menghindari mereka.

“Makasih udah mau repot-repot ngerayain ulang tahunku,” ucapku, “tapi aku butuh waktu untuk sendiri dulu.”

“Maaf ….” Itu kata terakhir yang kuucapkan sebelum memasuki kamar dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan mereka yang mematung dan tak sempat berkata apa-apa.

Di dalam kamar, aku hanya berbaring di atas kasur. Menatap langit-langit sembari mengutuk diriku sendiri. Betapa bodohnya aku, telah menyia-nyiakan mereka yang selama ini tulus terhadapku.

Di sisi lain aku berpikir bahwa lebih baik seperti ini, agar aku bisa menjauh dari mereka dengan lebih mudah. Aku masih harus berpikir untuk memperbaiki kondisi finansialku yang sudah minus. Terutama melunasi cicilan motor dan untuk menghidupi kebutuhan keseharianku.

Tak lama, terbesit sosok seorang pria di benakku. Aku segera merogoh dompet yang ada di dalam tasku, lalu membukanya untuk mengambil satu kartu nama di sana. Aku memasukkan nomor yang tertera di sana ke kontak ponselku.

Aku terdiam sejenak, bertanya di dalam batinku. Apakah ini satu-satunya jalan keluar yang kumiliki? Lantas apakah aku harus kembali ke dunia itu kembali? Pertanyaan demi pertanyaan datang menghampiri benakku, hingga pada akhirnya aku kembali dihadapkan pada realita, bahwa saat ini aku tak memiliki pilihan lain.

Mungkin aku telah ditakdirkan untuk kembali menelusuri dunia itu. Menerima kemampuanku dan menggunakannya untuk kepentinganku. Aku mulai membenci rasa tak berdaya yang kumiliki selama ini. Rasa tak berdaya saat harga diriku diinjak-injak dengan seenaknya.

Rasa benci yang hanya bisa terpuaskan jika mencicipi darah dan ketakutan mereka. Melihat mereka tak berdaya di bawah kendali jari jemariku. Cepat atau lambat, waktu itu akan tiba. Di sudut tergelap penglihatanmu, aku akan menarikmu hingga terjatuh ke dalam lubang tak berdasar.

Bersambung …
nomorelies
khodzimzz
erman123
erman123 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup