Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
[Cerpen #12] Pindah Sekolah
[Cerpen #12] Pindah Sekolah

Sabtu, hari terakhir aku akan menjadi murid di Sma Nusa Bangsa. Karena pekerjaan Ayah kami sekeluarga akan pindah ke luar kota dan aku sudah didaftarkan pada salah satu sekolah di sana. Prospek pindah sekolah membuatku sangat gugup, apalagi belum lama sejak aku menjadi murid di Sma ini. Aku sudah membuat banyak teman. Aku tak mau kehilangan mereka.

Namun tampaknya tak ada jalan untuk menolak. Kepindahanku sudah terukir di atas batu dan teman-temanku memberikan salam perpisahan masing-masing, berjanji untuk terus bertukar kabar. Mereka orang-orang baik, aku pasti akan merindukan mereka.

Namun, aku tetap merasa gugup. Kira-kira bagaimana kondisi di sekolah baruku? Apakah aku mampu beradaptasi? Seperti apa mereka akan memandang murid pindahan?

“Kau pasti baik-baik saja,” ucap Viola teman baikku. “Perbanyak senyum, selalu ceria, mereka pasti akan suka. Kau ini orang yang menyenangkan, Vi. Nggak kayak … si itu tuh!”

Di kelas kami ada satu orang murid pindahan yang baru tiba sekitar dua minggu yang lalu. Namanya Yuugo dan sejauh yang kuingat aku belum pernah melihatnya bicara dengan siapa pun. Bukan berarti tak ada yang mengajaknya bicara, tapi dia hanya menjawab dengan singkat, jutek, dan sangat tidak bersemangat. Itulah yang membuatnya selalu sendirian.

Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu pada pada Yuugo. Yang namanya pertanyaan memang lebih baik langsung ditanyakan pada yang sudah pernah mengalami. Karenanya, di saat pulang sekolah tiba, aku mengikuti jejak kakinya dan menunggu kesempatan saat kami bisa bicara berdua.

Kesempatan itu tiba saat Yuugo berhenti di halte untuk menunggu angkot yang akan mengantarnya ke rumah. Aku mendekat dan memperkenalkan diri. Rasanya aneh memperkenalkan diri pada orang yang sudah kukenal selama dua minggu, tapi aku curiga kalau Yuugo bahkan tak tahu namaku.

“Kau Vivi, orang yang mau pindah itu kan?”

Tak disangka, dia tahu tentangku.

“Iya. Aku mau nanya, gimana rasanya pindah sekolah?”

“Kalau kau tak mengharapkan apa-apa, kau tak akan merasakan apa-apa.”
Dia memberi jawaban yang sangat absurd. Bukan itu jawaban yang kuharapkan.

“Maksudku, apa kau gugup? Gimana caramu beradaptasi? Kalau ada orang jahat aku harus gimana?”

“Pindah sekolah itu tak ada bedanya dengan masuk Sma. Kau bertemu orang baru, berkenalan, dan setelah itu kalian berpisah. Semua orang pasti akan berpisah, kau cuma memutus hubungan lebih cepat dari yang lain.”

Orang ini memang sangat patut dikasihani. Dia pasti tak punya teman sampai-sampai bicara seperti itu.

“Dengar ya, jaman sekarang sudah canggih, internet dan sosmed di mana-mana, kami bisa ngobrol kapan pun walau terpisah pulau.”

“Itu opini yang sangat naif, tapi aku mengerti. Aku dulu juga mengira begitu.”

Dengan mata bosannya Yuugo menatap langit yang biru cerah. Sungguh mengagumkan melihatnya terus memancarkan aura negatif di tengah cuaca yang sungguh menggembirakan ini.

“Sejak Sd aku sudah sering pindah sekolah karna pekerjaan orangtua. Awalnya tak ada yang aneh, aku bisa akrab dengan semua orang, tapi setelahnya aku harus pindah sekolah lagi. Semakin sering pindah sekolah membuatku merasa jenuh, rasanya tak ada gunanya berkenalan hanya untuk berpisah satu atau dua bulan berikutnya. Kau benar, memang ada yang namanya sosmed, tapi komunikasi itu cuma berjalan di awal kepindahan saja. Setelahnya, mereka akan sibuk dengan teman-teman baru dan akhirnya lupa bahwa murid bernama Yuugo pernah ada di tengah-tengah mereka.”

Itu mungkin kalimat terpanjang yang pernah Yuugo ucapkan selama bertahun-tahun. Dia bernapas dalam-dalam untuk mengisi kembali paru-parunya dan memberi satu saran terakhir sebelum angkot yang akan membawanya tiba.

“Dengar, hidup memang seperti itu. Orang-orang yang kau kenal sekarang belum tentu akan menjadi bagian hidupmu besok. Turunkan ekspektasi, jangan terlalu dekat dengan siapa pun, dengan begitu kau akan bisa pindah sekolah semudah mengganti ikat rambut.”

Dan dengan itu Yuugo pun pergi. Aku mendengar semua yang dia katakan baik-baik dan menyimpulkan kalau ucapannya hanyalah setumpuk omong kosong. Itu adalah ucapan dari orang yang memang tak berusaha untuk membuat teman. Aku tak akan berakhir seperti itu.

***


Di hari Senin, kepindahanku ke sekolah baru berjalan dengan mulus. Aku berkenalan dengan semua orang di kelas, mereka orang-orang yang ramah. Aku juga membuat kebiasaan baru yakni ngechat bersama Viola dan yang lain dari sekolah lamaku setiap malam. Aku menjaga hubunganku dengan dua sekolah dengan baik, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

Namun dua bulan kemudian, Ayah memberi kabar bahwa kami akan pindah rumah lagi. Ayah mendapat proyek yang tak mungkin dia tolak di bagian lain pulau jadi kami akan pindah ke sana. Aku sebenarnya menolak, aku bilang pada mereka bahwa aku bisa hidup sendirian, tapi mereka tak mempercayaiku. Mungkin mereka akan terlalu cemas jika anak gadis semata wayang mereka tinggal sendirian.

Akhirnya aku pun pindah sekolah lagi. Rasanya déjà vu, aku melakukan hal yang sama sekali lagi. Bedanya, jumlah orang yang harus ku chat setiap malam semakin bertambah.

Dan coba tebak, dua bulan kemudian Ayah mendapat proyek lain yang mengakibatkanku harus pindah sekolah lagi. Jadilah aku menghabiskan satu semester di sekolah yang berbeda dan memulai semester baru di sekolah yang lain lagi.

Saat mencoba beradaptasi di sekolah baru, ada rasa lelah yang entah datang dari mana. Aku sadar bahwa beberapa bulan lagi Ayah akan pindah kerja lagi jadi aku akan mengucapkan selamat tinggal lagi dan menambah mereka dalam daftar orang yang harus ku chat setiap malam. Jika memang akan seperti itu, mungkin lebih baik tidak membuat terlalu banyak teman.

Dan benar dugaanku. Tiga bulan kemudian Ayah mendapat pekerjaan lain lagi. Aku mulai berpikir Ayah harus mencari pekerjaan lain yang tak mengharuskannya pergi ke mana-mana. Ini melalahkan. Aku bahkan belum hapal semua nama tetangga kami.

“Maaf ya, Vivi.”

Ayah—dengan wajah lelah—meminta maaf saat makan malam terakhir kami di rumah yang belum terasa familiar ini. Besok kami akan pergi dan mungkin tak akan kembali. Rumah baru sudah menanti, sekolah baru sudah menanti, dan mungkin kepindahan yang lain juga sudah menanti.

“Kalau uang Ayah sudah cukup kita pasti akan tinggal menetap nanti, tapi sekarang belum bisa. Tolong sabar, sedikit lagi,” ucapnya sembari menunjukkan ruang antara jari telunjuk dan jari jempolnya. Aku penasaran sebanyak apa sebenarnya “sedikit” itu.

“Aku lelah, Yah,” keluhku. “Kapan aku bisa benar-benar punya teman kalau pindah pindah terus? Viola dan yang lain dari sekolah pertamaku aja udah nggak pernah chat aku duluan. Kalau aku pindah terus, nggak akan ada yang bakalan benar-benar ingat samaku.”

Dan mendadak saja aku teringat satu orang, Yuugo. Apa yang dia katakan di halte angkot saat itu kini telah berubah menjadi kenyataan. Perlahan, satu per satu orang yang kukenal akan berhenti mengkontakku. Murid-murid di sekolah baru pun tak lagi menarik dijadikan teman. Dan aku … akan berakhir menjadi seorang penyendiri.
Namun Ayah tersenyum dengan begitu lembut.

“Nak, kalau memang sudah takdirnya dua orang pasti akan saling dipertemukan. Ayah dan ibumu dulu pernah pacaran saat Smp, putus, dan ketemu lagi saat dewasa. Nggak ada yang mengira takdir akan seperti itu. Lagian, coba lihat dari sisi baiknya. Sekarang kau sudah punya kenalan di mana-mana. Saat kau dewasa nanti, ke mana pun kau pergi, kau punya seseorang untuk kau ajak bertemu. Bukannya itu sesuatu yang bagus?”

Perkataan Ayah terasa cukup menghibur meski tidak terlalu memberi harapan. Apakah orang-orang yang kutemui sekarang masih akan mengingatku sepuluh tahun dari sekarang? Rasanya sulit untuk dibayangkan.
Akhirnya aku pun pindah sekolah lagi. Rasanya sangat hampa, aku bahkan tak punya semangat untuk memulai percakapan dengan siapa pun.

Namun, apa yang Ayah katakan terus terngiang-ngiang di kepalaku. Jika aku tak mau melakukan apa pun karena itu terasa percuma maka pada akhirnya aku hanya akan sendirian. Tapi jika aku mau berusaha mungkin apa yang Ayah katakan benar-benar bisa terjadi.

Akhirnya aku pun memasang senyumku lagi. Satu orang, dua orang, sepuluh orang, aku memutuskan untuk menjadikan mereka bagian dari hidupku. Saling mengenal, mencoba memberikan kesan, dan akhirnya pergi. Suatu hari nanti mereka mungkin akan ingat padaku. Jika tidak … ya nggak apa-apa.

Kehidupan pindah-pindah sekolahku akhirnya usai setelah lulus Sma. Setelah dengan susah payah meyakinkan Ayah dan Ibu, aku akhirnya diijinkan untuk ngekos saat kuliah. Ayah tampaknya sudah lebih suka hidup berpindah-pindah jadi aku berhenti bertanya kapan kami akan benar-benar menetap dan memilih untuk hidup mandiri seutuhnya. Lagian mana ada yang namanya pindah universitas.

Dan akhirnya, kehidupanku sebagai mahasiswa pun tiba. Aku siap bertemu orang-orang baru.

“Lo? Vivi?”

Suara yang sudah lama tak kudengar itu membuatku menoleh. Viola, teman dari Sma pertamaku, memanggilku dengan wajah terkejut. Benar juga, ini kan universitas nasional, tak akan aneh kalau orang-orang yang kukenal dari seluruh Sma yang kusinggahi mendaftar ke sini.

Dan bukan hanya Viola. Di tengah lapangan ospek ini aku bisa menemukan orang-orang yang kukenal. Banyak, ada banyak dari mereka yang kuingat dan mereka juga mengingatku. Aku, di tengah lingkungan yang sama sekali baru ini, sama sekali tidak sendirian.

Dan di bagian belakang barisan ospek, satu orang yang mungkin paling memberi pengaruh di kehidupan Sma ku juga ada di sana.

“Kau … Vivi kan?”

“Halo Yuugo. Masih sendirian aja nih?”

Mungkin Ayah memang benar. Kalau memang sudah ditakdirkan, kita pasti akan bertemu lagi.

-END-
bukhorigan
disya1628
laeliaa
laeliaa dan 5 lainnya memberi reputasi
6
3.2K
31
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
#1
[Cerpen #12] Pindah Sekolah
[Cerpen #12] Pindah Sekolah

Sabtu, hari terakhir aku akan menjadi murid di Sma Nusa Bangsa. Karena pekerjaan Ayah kami sekeluarga akan pindah ke luar kota dan aku sudah didaftarkan pada salah satu sekolah di sana. Prospek pindah sekolah membuatku sangat gugup, apalagi belum lama sejak aku menjadi murid di Sma ini. Aku sudah membuat banyak teman. Aku tak mau kehilangan mereka.

Namun tampaknya tak ada jalan untuk menolak. Kepindahanku sudah terukir di atas batu dan teman-temanku memberikan salam perpisahan masing-masing, berjanji untuk terus bertukar kabar. Mereka orang-orang baik, aku pasti akan merindukan mereka.

Namun, aku tetap merasa gugup. Kira-kira bagaimana kondisi di sekolah baruku? Apakah aku mampu beradaptasi? Seperti apa mereka akan memandang murid pindahan?

“Kau pasti baik-baik saja,” ucap Viola teman baikku. “Perbanyak senyum, selalu ceria, mereka pasti akan suka. Kau ini orang yang menyenangkan, Vi. Nggak kayak … si itu tuh!”

Di kelas kami ada satu orang murid pindahan yang baru tiba sekitar dua minggu yang lalu. Namanya Yuugo dan sejauh yang kuingat aku belum pernah melihatnya bicara dengan siapa pun. Bukan berarti tak ada yang mengajaknya bicara, tapi dia hanya menjawab dengan singkat, jutek, dan sangat tidak bersemangat. Itulah yang membuatnya selalu sendirian.

Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu pada pada Yuugo. Yang namanya pertanyaan memang lebih baik langsung ditanyakan pada yang sudah pernah mengalami. Karenanya, di saat pulang sekolah tiba, aku mengikuti jejak kakinya dan menunggu kesempatan saat kami bisa bicara berdua.

Kesempatan itu tiba saat Yuugo berhenti di halte untuk menunggu angkot yang akan mengantarnya ke rumah. Aku mendekat dan memperkenalkan diri. Rasanya aneh memperkenalkan diri pada orang yang sudah kukenal selama dua minggu, tapi aku curiga kalau Yuugo bahkan tak tahu namaku.

“Kau Vivi, orang yang mau pindah itu kan?”

Tak disangka, dia tahu tentangku.

“Iya. Aku mau nanya, gimana rasanya pindah sekolah?”

“Kalau kau tak mengharapkan apa-apa, kau tak akan merasakan apa-apa.”
Dia memberi jawaban yang sangat absurd. Bukan itu jawaban yang kuharapkan.

“Maksudku, apa kau gugup? Gimana caramu beradaptasi? Kalau ada orang jahat aku harus gimana?”

“Pindah sekolah itu tak ada bedanya dengan masuk Sma. Kau bertemu orang baru, berkenalan, dan setelah itu kalian berpisah. Semua orang pasti akan berpisah, kau cuma memutus hubungan lebih cepat dari yang lain.”

Orang ini memang sangat patut dikasihani. Dia pasti tak punya teman sampai-sampai bicara seperti itu.

“Dengar ya, jaman sekarang sudah canggih, internet dan sosmed di mana-mana, kami bisa ngobrol kapan pun walau terpisah pulau.”

“Itu opini yang sangat naif, tapi aku mengerti. Aku dulu juga mengira begitu.”

Dengan mata bosannya Yuugo menatap langit yang biru cerah. Sungguh mengagumkan melihatnya terus memancarkan aura negatif di tengah cuaca yang sungguh menggembirakan ini.

“Sejak Sd aku sudah sering pindah sekolah karna pekerjaan orangtua. Awalnya tak ada yang aneh, aku bisa akrab dengan semua orang, tapi setelahnya aku harus pindah sekolah lagi. Semakin sering pindah sekolah membuatku merasa jenuh, rasanya tak ada gunanya berkenalan hanya untuk berpisah satu atau dua bulan berikutnya. Kau benar, memang ada yang namanya sosmed, tapi komunikasi itu cuma berjalan di awal kepindahan saja. Setelahnya, mereka akan sibuk dengan teman-teman baru dan akhirnya lupa bahwa murid bernama Yuugo pernah ada di tengah-tengah mereka.”

Itu mungkin kalimat terpanjang yang pernah Yuugo ucapkan selama bertahun-tahun. Dia bernapas dalam-dalam untuk mengisi kembali paru-parunya dan memberi satu saran terakhir sebelum angkot yang akan membawanya tiba.

“Dengar, hidup memang seperti itu. Orang-orang yang kau kenal sekarang belum tentu akan menjadi bagian hidupmu besok. Turunkan ekspektasi, jangan terlalu dekat dengan siapa pun, dengan begitu kau akan bisa pindah sekolah semudah mengganti ikat rambut.”

Dan dengan itu Yuugo pun pergi. Aku mendengar semua yang dia katakan baik-baik dan menyimpulkan kalau ucapannya hanyalah setumpuk omong kosong. Itu adalah ucapan dari orang yang memang tak berusaha untuk membuat teman. Aku tak akan berakhir seperti itu.

***


Di hari Senin, kepindahanku ke sekolah baru berjalan dengan mulus. Aku berkenalan dengan semua orang di kelas, mereka orang-orang yang ramah. Aku juga membuat kebiasaan baru yakni ngechat bersama Viola dan yang lain dari sekolah lamaku setiap malam. Aku menjaga hubunganku dengan dua sekolah dengan baik, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

Namun dua bulan kemudian, Ayah memberi kabar bahwa kami akan pindah rumah lagi. Ayah mendapat proyek yang tak mungkin dia tolak di bagian lain pulau jadi kami akan pindah ke sana. Aku sebenarnya menolak, aku bilang pada mereka bahwa aku bisa hidup sendirian, tapi mereka tak mempercayaiku. Mungkin mereka akan terlalu cemas jika anak gadis semata wayang mereka tinggal sendirian.

Akhirnya aku pun pindah sekolah lagi. Rasanya déjà vu, aku melakukan hal yang sama sekali lagi. Bedanya, jumlah orang yang harus ku chat setiap malam semakin bertambah.

Dan coba tebak, dua bulan kemudian Ayah mendapat proyek lain yang mengakibatkanku harus pindah sekolah lagi. Jadilah aku menghabiskan satu semester di sekolah yang berbeda dan memulai semester baru di sekolah yang lain lagi.

Saat mencoba beradaptasi di sekolah baru, ada rasa lelah yang entah datang dari mana. Aku sadar bahwa beberapa bulan lagi Ayah akan pindah kerja lagi jadi aku akan mengucapkan selamat tinggal lagi dan menambah mereka dalam daftar orang yang harus ku chat setiap malam. Jika memang akan seperti itu, mungkin lebih baik tidak membuat terlalu banyak teman.

Dan benar dugaanku. Tiga bulan kemudian Ayah mendapat pekerjaan lain lagi. Aku mulai berpikir Ayah harus mencari pekerjaan lain yang tak mengharuskannya pergi ke mana-mana. Ini melalahkan. Aku bahkan belum hapal semua nama tetangga kami.

“Maaf ya, Vivi.”

Ayah—dengan wajah lelah—meminta maaf saat makan malam terakhir kami di rumah yang belum terasa familiar ini. Besok kami akan pergi dan mungkin tak akan kembali. Rumah baru sudah menanti, sekolah baru sudah menanti, dan mungkin kepindahan yang lain juga sudah menanti.

“Kalau uang Ayah sudah cukup kita pasti akan tinggal menetap nanti, tapi sekarang belum bisa. Tolong sabar, sedikit lagi,” ucapnya sembari menunjukkan ruang antara jari telunjuk dan jari jempolnya. Aku penasaran sebanyak apa sebenarnya “sedikit” itu.

“Aku lelah, Yah,” keluhku. “Kapan aku bisa benar-benar punya teman kalau pindah pindah terus? Viola dan yang lain dari sekolah pertamaku aja udah nggak pernah chat aku duluan. Kalau aku pindah terus, nggak akan ada yang bakalan benar-benar ingat samaku.”

Dan mendadak saja aku teringat satu orang, Yuugo. Apa yang dia katakan di halte angkot saat itu kini telah berubah menjadi kenyataan. Perlahan, satu per satu orang yang kukenal akan berhenti mengkontakku. Murid-murid di sekolah baru pun tak lagi menarik dijadikan teman. Dan aku … akan berakhir menjadi seorang penyendiri.
Namun Ayah tersenyum dengan begitu lembut.

“Nak, kalau memang sudah takdirnya dua orang pasti akan saling dipertemukan. Ayah dan ibumu dulu pernah pacaran saat Smp, putus, dan ketemu lagi saat dewasa. Nggak ada yang mengira takdir akan seperti itu. Lagian, coba lihat dari sisi baiknya. Sekarang kau sudah punya kenalan di mana-mana. Saat kau dewasa nanti, ke mana pun kau pergi, kau punya seseorang untuk kau ajak bertemu. Bukannya itu sesuatu yang bagus?”

Perkataan Ayah terasa cukup menghibur meski tidak terlalu memberi harapan. Apakah orang-orang yang kutemui sekarang masih akan mengingatku sepuluh tahun dari sekarang? Rasanya sulit untuk dibayangkan.
Akhirnya aku pun pindah sekolah lagi. Rasanya sangat hampa, aku bahkan tak punya semangat untuk memulai percakapan dengan siapa pun.

Namun, apa yang Ayah katakan terus terngiang-ngiang di kepalaku. Jika aku tak mau melakukan apa pun karena itu terasa percuma maka pada akhirnya aku hanya akan sendirian. Tapi jika aku mau berusaha mungkin apa yang Ayah katakan benar-benar bisa terjadi.

Akhirnya aku pun memasang senyumku lagi. Satu orang, dua orang, sepuluh orang, aku memutuskan untuk menjadikan mereka bagian dari hidupku. Saling mengenal, mencoba memberikan kesan, dan akhirnya pergi. Suatu hari nanti mereka mungkin akan ingat padaku. Jika tidak … ya nggak apa-apa.

Kehidupan pindah-pindah sekolahku akhirnya usai setelah lulus Sma. Setelah dengan susah payah meyakinkan Ayah dan Ibu, aku akhirnya diijinkan untuk ngekos saat kuliah. Ayah tampaknya sudah lebih suka hidup berpindah-pindah jadi aku berhenti bertanya kapan kami akan benar-benar menetap dan memilih untuk hidup mandiri seutuhnya. Lagian mana ada yang namanya pindah universitas.

Dan akhirnya, kehidupanku sebagai mahasiswa pun tiba. Aku siap bertemu orang-orang baru.

“Lo? Vivi?”

Suara yang sudah lama tak kudengar itu membuatku menoleh. Viola, teman dari Sma pertamaku, memanggilku dengan wajah terkejut. Benar juga, ini kan universitas nasional, tak akan aneh kalau orang-orang yang kukenal dari seluruh Sma yang kusinggahi mendaftar ke sini.

Dan bukan hanya Viola. Di tengah lapangan ospek ini aku bisa menemukan orang-orang yang kukenal. Banyak, ada banyak dari mereka yang kuingat dan mereka juga mengingatku. Aku, di tengah lingkungan yang sama sekali baru ini, sama sekali tidak sendirian.

Dan di bagian belakang barisan ospek, satu orang yang mungkin paling memberi pengaruh di kehidupan Sma ku juga ada di sana.

“Kau … Vivi kan?”

“Halo Yuugo. Masih sendirian aja nih?”

Mungkin Ayah memang benar. Kalau memang sudah ditakdirkan, kita pasti akan bertemu lagi.

-END-
0