watcheatnsleepAvatar border
TS
watcheatnsleep
AMURTI


Season 2 dari Awakening : Sixth Sense


Sinopsis : 


Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan keretakan pada sisi keluarga, cinta, dan pertemanan dalam hidupnya. Dekapan kegelapan pun tak bisa terelakkan oleh batin Rama.

Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.

Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.




INDEKS :














UPLOAD SETIAP JAM 12 MALAM.
KECUALI SABTU & MINGGU

Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama
Instagram : @vikrama_nirwasita

Diubah oleh watcheatnsleep 12-04-2023 14:06
key.99
xue.shan
junti27
junti27 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
8.5K
92
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
watcheatnsleepAvatar border
TS
watcheatnsleep
#12
CHAPTER 4

Malam demi malam berlalu tanpa bisa kunikmati. Hampir sepanjang waktu aku berdiri di depan wastafel, membilas piring-piring kotor yang tak kunjung habis. Tak ada jeda sedikit pun, bahkan setelah piring bersih menumpuk, aku harus bergerak mondar-mandir untuk meletakkan pada tempatnya.

Badanku seakan terprogram untuk bergerak lebih cepat daripada otakku. Membuatku tersadar, bahwa pekerjaan simple seperti mencuci piring ternyata tak pantas dipandang dengan sebelah mata.

Gemuruh petir bersamaan dengan jatuhnya rintik hujan mengiringi sibuknya pekerjaan malam itu. Cuaca yang tak mendukung tampaknya tak berefek pada banyaknya jumlah tamu yang berkunjung ke restoran. Terangnya lampu disertai dengan hiasan pernak-pernik kian mengubah suasana restoran menjadi lebih nyaman.

Ada yang aneh pada malam itu, sebab tak biasanya Pak Eka memanggilku di saat jam sibuk seperti sekarang. Apa boleh buat, aku lekas meninggalkan tumpukan piring di wastafel dan segera bergerak menemui Pak Eka di area lobby.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Tanpa aba-aba, Pak Eka lantas berkata, “Hari ini kamu jadi waiter, ya.”

Mataku membelalak seketika dan berpikir apa aku sedang salah dengar.

“Waiter?” ucapku dengan mulut setengah menganga.

Pak Eka hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas keraguanku.

Aku merasa kaget sebab sejak awal di sini, aku tak pernah bekerja sebagai pelayan restoran. Lantas timbul pertanyaan dalam benakku. Kenapa Pak Eka tiba-tiba mengganti posisi pekerjaanku.

Lantaran sejak awal aku bekerja, Viktor lah yang memutuskan posisiku untuk bekerja sebagai bagian dishwasher. Walau diprotes oleh Riska, dia tetap bersikeras dengan beralasan bahwa hanya itu posisi yang sedang tersisa.

Riska tak terima dan tampak masih ingin berdebat lebih lanjut, tetapi aku menghentikannya, sebab aku justru lebih nyaman bekerja mulai dari posisi paling bawah. Walau pada akhirnya itu sia-sia, sebab tersebar rumor tentangku, bahwa dasarnya aku tak memiliki kemampuan dan hanya bermodalkan koneksi jalur orang dalam. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat, sebab apa yang mereka katakan tak bisa kubantah dan di satu sisi ada benarnya juga.

Gunjingan itu diperkuat oleh rutinnya sosok Riska berada di restoran. Dari desas-desus Aryo dan senior lainnya, bahwa sebelum aku bekerja di sini, sebenarnya Riska sangat jarang berada di restoran.

Walau dia anak dari pemilik dari restoran ini, dia tampak tak begitu tertarik berkecimpung di dalamnya. Kehadiran Riska membuat para pekerja berspekulasi bahwa Riska memiliki perasaan terhadapku. Sejak saat itu, aku pun memutuskan untuk menjaga jarak dengan Riska.

<><><>


Walau merasa cemas, aku tetap menerima permintaan Pak Eka. “Baik, Pak. Saya langsung ganti seragam sekarang, Pak?”

Pak Eka mengangguk pelan lalu berkata, “Ambil di atas loker, ya. Kalau sudah, nanti balik ke sini lagi, ada yang mau di briefing dulu.”

Aku menuruti perintah pak Eka dan segera mengganti pakaianku menjadi seragam hitam batik khusus pelayan. Rasa cemas yang saat itu kurasakan kian tertutupi oleh semangat untuk mengambil kesempatan yang muncul di depan mata.

Kupandang cermin sembari merapikan seragam baruku. Dengan sebuah hentakan nafas, kukumpulkan seluruh keberanianku. Kutepuk kedua pipiku beberapa kali lalu aku pun bergegas kembali menuju lobby.

“Kamu layanin tamu reservasi ruangan VIP, ya.”

Sebuah kalimat yang diucapkan Pak Eka seketika berhasil merobohkan keberanianku. Aku tak habis pikir, kenapa aku harus melayani tamu VIP di hari pertamaku bekerja sebagai waiter. Belum sempat aku mengajukan protes, tampaknya Pak Eka telah membaca pikiranku dan segera membungkamku dengan telak.

“Gak perlu panik, nanti dibantu sama senior kamu yang lain, kok.”

Baru saja Pak Eka selesai berbicara, pintu masuk restoran terbuka dan tampak sebuah rombongan yang segera dipandu oleh seorang resepsionis. Rombongan itu tampak kian mencolok karena kesan mewah dan elegan yang terpancar dari sosok mereka. Pancaran yang biasa tampak pada pejabat dan pebisnis kelas kakap. Sebuah pancaran aura high class yang tak bisa dipungkiri.

Aku tertegun seketika. Bukan karena penampilan mereka yang gemerlap, tetapi karena aku melihat beberapa orang yang kian tak asing lagi bagiku. Mereka yang kumaksud adalah Riska dan kedua orang tuanya.

Tak sampai di situ saja, tampak wajah seseorang yang berhasil memunculkan firasat buruk di batinku. Orang yang tak lain dan tak bukan adalah Viktor. Sama seperti posisi Riska, saat itu dia juga didampingi oleh sepasang sosok paruh baya yang kemungkinan merupakan kedua orangtuanya.

“Antar appetizernya ke dalam,” perintah seniorku sembari memberiku satu robekan kertas lalu dia pergi menuju ruangan VIP dimana keluarga Riska dan Viktor berada.

Bitterballen, salad, lumpia dan soup, itulah menu pembuka yang mereka pesan. Kuperhatikan satu persatu piring dan mangkuk yang dioper oleh bagian dapur ke server. Setelah kupastikan tak ada yang salah, dengan hati-hati kupindahkan semuanya ke wadah troli yang bertingkat. Sesampainya di depan pintu, sejenak aku berdoa di dalam hati, semoga nantinya tidak ada kendala yang terjadi di dalam.

Dinding putih bertabur dengan ukiran batik sogan asal solo adalah pemandangan pertama saat aku memasuki ruangan itu. Meja persegi panjang beralaskan taplak warna putih bercampur emas menjadi wadah tangan mereka bertumpu.

Mereka duduk di kursi jati yang disusun dengan formasi berhadap-hadapan. Warna penerangan diatur kuning untuk menciptakan suasana cozy di dalam ruangan. Tampak keluarga Riska duduk berseberangan dengan keluarga Viktor.

Riska tersenyum memandangku, begitu juga dengan Ayah beserta Ibunya. Di sisi lain, Viktor hanya memasang ekspresi datar saat menatapku. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu.

Kuangkat dan kuletakkan satu persatu piring di meja. Karena merasa gugup, tremor di tangan pun tak terelakkan. Hingga tiba-tiba aku merasakan sentuhan hangat di area bahuku. Aku menoleh dan melihat senyuman hangat dari Ayah Riska. Sebuah senyuman yang seakan menyuruhku untuk rileks.

Aku pun membalas senyumannya dan bergerak mendekati sisi Riska sembari membawa sebuah sup. Di saat posisiku sedikit membungkuk untuk menaruh hidangan, tak kusangka Riska mendekatkan bibirnya ke telingaku.

“Semangat, Ram,” bisiknya halus.

Muncul perasaan riang di batinku, tetapi seketika lenyap saat menatap raut wajah Viktor yang mengeras. Aku segera bergerak menuju posisinya untuk menaruh hidangan pesanannya.

Belum sempat aku menaruh piring, dia menepuk-nepuk punggungku sembari tersenyum dan berkata, “Maaf ya, Om. Dia masih anak baru, nih.”

“Iya gapapa, kok. Namanya juga baru belajar,” balas Om Theo lalu dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

Setelah meletakkan hidangan Viktor, aku hanya bisa berdiri canggung di dekatnya. Posisi tangannya yang masih menempel di punggungku bagaikan sinyal agar aku tak boleh pergi kemana-mana.

Sementara itu, pria paruh baya di samping Viktor menatapku bingung, lalu perlahan dia melontarkan pertanyaan, “Pak Theo kok keliatannya udah kenal?”

“Iya, Nak Rama kan temannya Riska. Soalnya dulu lumayan sering main ke rumah.”

Ekspresi heran seketika timbul di wajah sepasang paruh baya yang duduk di samping Viktor. Tampaknya mereka heran, kenapa seorang pelayan sepertiku bisa berteman dengan seorang Riska.

“Wah, ngapain aja tuh, Om?” tanya Viktor sembari melirikku sinis.

Om Theo tertawa kecil lalu menjawab, “Tanya Riska, dong. Jangan tanya sama, Om.”

Viktor menggeser pandangannya menuju Riska, seakan sedang menagih jawaban darinya. Naasnya, Riska sama sekali tak menghiraukannya dan mulai mengalihkan pembicaraan.

“Riska udah laper, nih. Makan aja yuk, sebelum keburu dingin,” celetuknya.

Jerat tangan Viktor pun terlepas dari punggungku. Tanpa berpikir panjang, kuletakkan sisa hidangan di meja, lalu aku pamit sembari menunduk dan bergegas keluar dari ruangan itu.

Sesampainya di luar, aku hanya bisa menghela nafas yang panjang. Bukan karena lega, tapi karena aku sadar, bahwa malam masih akan panjang. Walau aku bisa beristirahat di saat jeda antara sesi hidangan pembuka dengan sesi hidangan utama, tapi untuk kali ini aku lebih memilih bekerja tanpa jeda. Tak apa-apa tubuh remuk dibanding harus merasa tertekan batin sepanjang malam.

Beberapa saat kemudian, seniorku yang bernama Yudi menatapku sembari menunjuk jam yang menempel di tangannya sebagai tanda untuk memulai sesi hidangan utama. Aku mengangguk dan kembali memindahkan piring hidangan ke troli. Hidangan seperti steak, salmon, spaghetti dan berbagai jenis olahan ayam serta udang.

Saat aku masuk, tampak mereka sedang berada dalam suatu pembicaraan. Wanita paruh baya yang duduk di sebelah Viktor sedang berbicara sambil menatap sosok Riska.

“Omong-omong, Riska kan udah mau kelar nih kuliahnya. Kira-kira udah kepikiran buat nikah belum?”

“Duh, nikah mah gak usah buru-buru. Kalo nikah cepet-cepet, kapan buat nikmatin masa mudanya dong?” sahut Ibu Riska sembari tersenyum.

Tetapi Ibu Viktor tampaknya tak mau kalah, dia lalu membalas. “Bisa nikmatin masa muda bareng suami kan bisa. Hidup berdua pasti lebih romantis, ya, kan?”

Kedua wanita paruh baya itu pun tertawa bersamaan. Mulai terasa percikan pertikaian antar mereka yang duduk berseberangan. Di sisi lain, Riska hanya bisa menunjukkan sebuah senyum canggung sebagai respon.

“Viktor, rencana ke depannya gimana?” tanya om Theo, “Apa masih betah ngurusin restoran, Om?”

“Masih betah dong, Om, tapi bakal jauh lebih betah lagi kalo ada yang bantuin saya,” ucapnya sembari melirik sosok Riska.

Om Theo hanya tertawa kecil, lalu sesaat kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah pria yang berada di samping Viktor.

“Kalo dari Pak Daus sendiri bagaimana?”

Pria paruh baya bernama Daus itu pun dengan santai menjawab, “Beberapa kali saya tanya ke dia, tapi jawabannya selalu mau belajar ngurus yang kecil dulu.”

Om Theo tersenyum lalu kembali merespon. “Iya kecil sih, tapi dulunya banyak banget yang coba-coba niru.

“Meski ujung-ujungnya bangkrut,” ucapnya perlahan sembari menatap lelaki yang duduk tepat di seberangnya.

Suasana hening seketika, waktu seakan berhenti dalam beberapa detik. Aku yang sedang meletakkan piring pun ikut diam mematung. Hingga kemudian, kedua pria itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak secara bersamaan, seakan ada pertunjukan lawak di depan mata mereka.

Aku yang mendengar percakapan mereka ikut merasa tidak nyaman. Namun apa boleh buat, mungkin selera humor pengusaha berbeda dengan humor rakyat jelata. Mungkin genre favorit mereka adalah dengan cara saling roasting.

Hingga pada sesi makanan penutup, aku mengantarkan cake dan ice cream sesuai pesanan mereka ke dalam. Syukurnya, kali itu mereka tak terlalu memperdulikanku karena sedang sibuk bercakap-cakap.

Selesai menyantap semua hidangan, Ayah dan Ibu Riska tersenyum dan mengucapkan beberapa kata untuk menyemangatiku, begitu juga dengan Riska. Tak hanya itu saja, mereka juga meninggalkan tip dengan nominal yang tergolong besar untukku di meja.

Sebaliknya, keluarga Viktor pergi keluar tanpa memperdulikanku layaknya angin yang berlalu. Di saat semua orang sudah keluar dari pintu dan cuma Viktor yang tersisa, dia perlahan berjalan mendekatiku, lalu dengan erat dia mencengkeram pundakku.

Dia berbisik pelan di telingaku.

“Semoga betah kerja di sini, ya.”

Bersambung …
pintokowindardi
khodzimzz
erman123
erman123 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup