- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
TS
aymawishy
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
Di saat kau merasa hidup sendiri
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Quote:
Hai, aku Anes, nama panggilan dari pemilik akun aymawishy ini. Semasa sekolah, aku tinggal di sebuah Kabupaten di Jawa Timur bagian timur.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Ohya..
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Pokok Isi Cerita
Quote:
#Bagian 1
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
Quote:
#Bagian 2 : Proses Perekrutan Pramugari
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
Quote:
#Bagian 3
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
Quote:
#Bagian 4 : Initial Flight Attendant’s Ground Training
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
Quote:
#Bagian 5 : Flight Training
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
Quote:
#Bagian 6 : Kehidupan Seorang Pramugari
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
Diubah oleh aymawishy 02-02-2024 01:38
snf0989 dan 45 lainnya memberi reputasi
46
59.3K
Kutip
1K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
aymawishy
#129
Part 34 - Rey!?
Spoiler for Rey!?:
“Nes, kamu kesana aja duluan!”, kata Rey tiba-tiba dengan wajah dinginnya dan menyuruhku untuk ke Titin dan Odi berada, lalu tanpa pamit, dia pergi begitu saja.
Aku pun berjalan lunglai ke tempat Titin dan Odi dengan perasaan yang campur aduk tak karuan.
“Gimana say?”, tanya Titin saat aku baru saja duduk di sebelahnya dibarengin dengan helaan napasku yang panjang.
“Kayanya Rey marah banget sama aku…”, ujarku layu.
“Ya iyalah marah! Gimana enggak, lah wong pacare dicium cowok lain, di depannya lagi!! Aku yo kalau jadi Rey bakal nonjok tuh cowok! Sambil ngatain :
‘WOY JANC*KK?! LAPO KON?!’.
Bagus Rey ga kek aku!”, kata Odi yang kali ini jadi mode serius.
Aku meresponsnya hanya dengan menghela napas lagi dan lagi. Entah keberapa kalinya aku menghela napas begini.
“Yaudah say, mungkin Rey lagi kecewa, makanya diemin kamu gini. Tapi yo kamunya jangan diemin balik!”, kata Titin.
“Iyaa..tapi.. kalian bantuin aku lah. Jangan malah ngacangin aku kaya tadi!”, balasku merengek.
“Heii Rey…”, kata Odi tiba-tiba. Lantas aku diam seketika.
“Ini baju pelampung dan juga helmnya, dipake dulu ya temen-temen!!”, ujar Mas Ali yang ternyata datang bersamaan dengan Rey.
Kami pun segera memakai baju pelampung dan helm yang diberikan oleh Mas Ali.
Titin dan Odi saling membantu untuk mengaitkan tali satu dengan tali yang lainnya. Sedang aku, kesusahan sendiri sebab baju pelampung yang aku pakai terlihat kebesaran.
Lalu, tak disangka-sangka, Rey yang masih marah ini, tiba-tiba menghampiriku dan segera menarik satu per satu tali pada pelampungku yang sudah kupakai. Dalam diamnya, dia berhasil membuat pelampungku jadi pas di badanku, ga kebesaran seperti sebelumnya.
“Makasih ya Rey…”, ujarku setelahnya. Sedang dia tak membalas sedikitpun perkataanku. Wajahnya yang ceria, terlihat garang saat dia diam begitu.
“Sudah semua?”, tanya Mas Ali.
“Sampun, Mas!!”, jawab Odi mewakili kami.
“Yaudah yuk kita berangkat!”, kata Mas Ali setelahnya.
Karena jalan menuju sungai tidak dapat dilalui kendaraan beroda empat, maka kami menuju start pointnya dengan berjalan kaki.
Saat Titin dan Odi mulai berjalan mengikuti Mas Ali, Rey justru menahanku dan menggantikan sandal swallowku dengan sandal gunung yang modelnya seperti sandal jepit. Sepertinya tadi sehabis dari toilet dia memintaku pergi duluan, sebab dianya pergi membelikanku sandal ini.
Setelah aku memakai sandal baru yang jujur lebih nyaman dan aman saat dipakai di jalan menanjak, Rey memungut sandal hijauku, kemudian memasukkannya ke dalam kantong plastik, lalu memberikannya pada rekan Mas Ali.
“Mas maaf, saya titip ini yaa.”, kata Rey ramah.
(Ohya, saat kami akan memulai arum jeram, kami sama sekali dilarang untuk membawa barang apa pun, makanya sandalku Rey titipin.)
“Oh nggeh, Mas.”
Lalu, kami pun berjalan menyusul Mas Ali, Titin, dan Odi menuju perahu karet yang akan kami gunakan.
“Alhamdulillah hari ini cuacanya cerah!!”, kata Mas Ali saat aku dan Rey baru bergabung dengan mereka.
“Kenapa Mas kalau cerah?”, tanya Titin.
“Kalau cerah, air sungainya ga keruh, Mba!”
Lalu serempak kami ber-oh ria.
“Nah, ini dayungnya!”, Mas Ali memberikan dayung kayu kepada kami satu per satu setelah kami tiba di start point.
“Daan, ini perahu karetnya!! Jadi siapa yang duduk di bagian depan dan belakang?”, tanya Mas Ali lagi.
“Yang cewek di depan, yang cowok di belakang!”, kata Rey memberikan perintah.
Kami pun mulai duduk di tempat kami masing-masing. Aku duduk di bagian depan sisi sebelah kanan. Rey duduk di bagian belakang sisi sebelah kanan juga. Sedang Titin dan Odi duduk di sisi sebelah kiri. Sedang Mas Ali, duduk di paling belakang.
Saat perahu karet kami mulai bergerak mengikuti arus sungai, ada rasa takut dan rasa menyenangkan bercampur menjadi satu! Apalagi saat kami melewati tiga jeram ekstrem! Kompak aku dan Titin berteriak kencang!
Ohya, saat di jeram ekstrem pertama, ada suatu kejadian.
Aku terpelanting saat perahu seperti kehilangan keseimbangannya. Kenapa sampai terpelanting? Karena aku lupa tidak memegang tali yang ada di pinggiran perahu karet itu. Aku malah memegang erat dayungku. Untung saja Rey dengan sigap segera nyebur ke dalam sungai dan segera membopongku untuk naik lagi ke perahu. Sedang Mas Ali, dia menahan perahu karet kami agar tidak berjalan mengikuti arus dibantu dengan Odi.
Jujur, meski aku bisa berenang, tapi kalau keadaannya seperti itu, aku panik dibuatnya, padahal aku pake baju pelampung loh!
Saat aku terpelanting, aku seperti terbentur bebatuan besar dengan pinggiran tajam yang berada di dasar sungai, tapi saat itu, aku sama sekali tak merasakan apapun.
Jadi aman! Kami pun melanjutkan perjalanan.
———
Selama berarung jeram, kami disuguhi dengan pemandangan alam dan goa yang dipenuhi kelelawar dengan aroma yang khas. Goa-goa itu terletak di tebing sungai dan dihiasi dengan air terjun deras yang menakjubkan. Sangat mengesankan ketika kami menerobos air terjun menuju sarang kelelawar dengan dinding tebing yang curam itu.
Bahkan, di tengah perjalanan, kami sempat berenang bebas di sungai yang arusnya kecil dan dalam. Dan kami juga diperbolehkan loncat ke sungai dari tebing batu di pinggir sungai! Kami berempat pun meloncat bergantian dan berulang-ulang!!
Setelah kami puas meloncat, kami pun melanjutkan perjalanan kembali.
Sungguh, alamnya sepanjang berarung jeram sangat indah dan natural. Bahkan, tak terasa kami sudah melewati waktu lebih dari tiga jam.
“Sumpah seru banget yaa!”, ujarku saat kami sudah berada di kendaraan bak terbuka menuju base camp pertama kami.
“Iyoo!! Uaapik pol!!”, jawab Odi. Sedang Rey masih mendiamkanku.
Hm Rey tuh meski diemin aku, tapi perhatiannya masih.
“Nes, itu merah-merah di lengan kananmu darah tah?”, tanya Titin tiba-tiba.
Aku refleks melihat lengan kananku. Rey yang sedari tadi cuek pun ikut melihat darah yang dimaksud dengan Titin.
“Oh iya. Agak sobek juga kaosku ternyata.”, ujarku meringis.
“Bisa ga sih kamu tuh hati-hati?”, tanya Rey ketus sembari merobek paksa lengan bajuku yang sebelumnya memang sudah terkoyak entah karena apa. Lalu dia melilitkan robekan bajuku itu ke lukaku.
Rasanya saat itu aku ingin menangis saja, tapi malu… karena Rey ketus begitu ya gara-gara aku. Masa aku yang salah, aku juga yang nangis?
“Itu luka saat kamu tadi jatuh kali say!”, kata Titin lagi.
“Iya mungkin yaa!!”, jawabku seadanya sembari melihat Rey yang kini kembali mengacuhkanku setelah selesai membalut lukaku.
“Kalau engga pas tadi naik ke tebing batu, itu kan pinggirannya ada batang-batang berduri gede-gede tuh. Mungkin lenganmu sempet nyangkut gitu, tapi kamunya ga sadar.”, kata Odi.
“Dianya aja yang ga peduli sama dirinya sendiri! Luka di kakinya, dibiarin! Sekarang luka di lengannya, dia biarin juga!”, sahut Rey makin ketus.
Jujur, mendengar perkataannya, aku sudah ga sanggup lagi membendung air mataku.
“Bukan dibiarin Rey, Anesnya emang kuat nahan sakit. Selama dia ga ngeluh, berarti emang ga sakit..”, ujar Titin membelaku.
“Ga koyo kon yo Yang?”, celetuk Odi.
“Wooo ngawur kon!”, mereka malah ribut sepanjang perjalanan. Membuatku dan Rey tersenyum melihat tingkah mereka dan tak sengaja membuat kami saling bertatap muka.
———
Sekitar jam lima sore, kami baru melakukan shalat ashar. Tentunya, kami sudah mandi dan sudah rapi saat itu.
Terlihat Pak Eri pun juga sudah menunggu kami seorang diri. Sang istri tak menemani sebab sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk kami.
Tak lama kemudian, adzan maghrib berkumandang. Kami pun segera maghriban dan lekas berbenah memindahkan tas bawaan ke dalam mobil Rey.
Saat perjalanan dari Songa menuju villa milik keluarga Rey, Rey memilih duduk di depan, di samping Pak Eri. Sedang aku, duduk di kursi tengah bersama Titin dan Odi.
Belum juga keluar dari kawasan wisata Songa Rafting, kami kompak tertidur dan bangun-bangun, ternyata sudah sampai.
“Kasian, kayanya kalian kecapean yaa..”, ujar Pak Eri.
Lalu kami pun membawa semua tas bawaan kami ke dalam villa Rey yang bisa dibilang lumayan mewah ini.
Halaman yang mengelilingi rumah bercat putih dipenuhi dengan rerumputan hijau segar menandakan bahwa villa ini terawat dengan sangat baik.
[size="4"](Kurang lebih penampakan Villa Rey seperti ini)
-Foto diambil dari google-/size]
“Assalamu’alaykum!!”, ucap kami serempak saat baru memasuki rumah.
“Wa’alaykumsalam!! Wah anak-anak Ibuk udah pada datang. Kebetulan makan malamnya sudah siap nih!!”, ujar istri Pak Eri.
“Waah wangi banget nih!”, ujarku sembari berjalan menuju meja makan bersama Titin.
Sedang Rey, dia memilih untuk menunjukkan kamar Odi. Odi pun segera meletakkan barang-barangnya di kamarnya.
“Ini aku sendirian aja nih Rey di kamar ini?”, tanya Odi yang tak sengaja terdengar olehku yang kini sedang melihat Ibuk membuat sambal terasi di dapur.
“Iya, soalnya kamarku disana!”, kulihat Rey sedang menunjuk kamar paling depan di dekat ruang tamu.
“Kalau kamarku sama Anes dimana Rey?”, tanya Titin setelahnya.
“Buk, kamar mereka jadi yang mana ya?”, tanya Rey pada Ibuk yang sudah selesai mengulek sambel.
“Hm sini sini, Ibuk anterin yuk.”, lalu Ibuk mengajakku dan Titin ke kamar kami yang ternyata berada di balik ruang makan, berseberangan agak jauh dengan kamar Odi.
Lalu, saat pintu kamar kami terbuka, tercium wangi seperti di hotel-hotel Bali.
Di dalamnya terdapat dua tempat tidur dan satu kamar mandi di dekat pintu kamar.
Kami pun segera meletakkan barang-barang dan segera kembali ke meja makan. Seperti biasa, kami makan di meja makan hanya berempat. Sebab kali ini Pak Eri dan Istri beralasan belum lapar.
“Ini ikan asepnya enak banget!!”, ujar Odi.
“Iyaa, apalagi kalau dicocolin sama sambel terasi ini!!”, tambah Titin.
“Kata Ibuk, daerah sini emang dikenal dengan ikan asapnya yang mantul.”, imbuhku lalu disambut dengan oh dari mereka berdua.
Setelah makan malam, kami sempat bermain uno stacko di ruang TV. Ohya, tau uno stacko kan ya? Itu loh, permainan yang memanfaatkan media balok yang disusun ke atas.
Dan yang kalah, wajahnya dikasih tepung gitu. Tau kan ya siapa yang sering kalah? Siapa lagi kalau bukan Titin dan juga Odi
Ohya, Rey masih juga dingin padaku. Padahal kami sama-sama lagi main. Tapi aku kaya ga dianggap gitu, lebih tepatnya, aku dikacangin sama dia
Huhu lama juga yaa ngambeknya dia.
———
Sekitar jam sepuluh malam, kami sudah berada di kamar. Titin yang sudah tertidur pulas saat baru saja nempel bantal, membuatku merasa kesepian.
// 22.03 Anes : Rey… masih marah ya? //
// 22.04 Rey : Menurut kamu? //
// 22.05 Anes : Hm yaudah deh kalau gitu… //
// 22.06 Rey : Lengan kamu gimana? //
// 22.07 Anes : Ga gimana-gimana. //
// 22.07 Rey : Emang udah kamu ganti dengan perban? //
// 22.08 Anes : Belum.. //
// 22.10 Rey : Nes, buka pintu kamar deh! //
Seketika aku langsung berlari ke arah pintu dan membukanya perlahan.
“Keluar bentar!”, bisik Rey. Aku menurutinya dan segera kembali menutup pintu kamar perlahan.
Lalu Rey meraih tanganku dan menarikku menuju ke ruang tamu, ruangan satu-satunya yang lampunya masih menyala.
Terlihat di meja ada beberapa perban, gunting, betadine, alkohol, dan lain sebagainya.
“Duduk! Kita obatin dulu luka kamu!”, kata Rey masih ketus.
“Gimana mau ngobatinnya, bajuku begini!”, jawabku. Malam itu, aku sudah mengganti bajuku dengan kemeja putih berlengan panjang berukuran besar.
“Gini…”, kata Rey yang tanpa basa basi membuka dua kancing bajuku dan menyingkap bagian kerah kemejaku ke bagian belakang lenganku yang terluka.
“Rey.. ga gini juga!”, ujarku marah sembari menutupi lagi tanktop hitamku dengan kemeja putihku.
“Yaudah, obatin sendiri kalau gitu!”, ujar Rey sembari meninggalkanku seorang diri di ruang tamu.
Aku pun terisak dibuatnya dan kembali membuka kemejaku hingga lenganku yang terluka terlihat. Lalu aku menggunting potongan kain yang masih terikat disana. Setelahnya, aku membersihkan lukaku dengan alkohol.
Antara menahan perih di lengan dan menahan perih di hati, isakanku makin menjadi.
Disaat aku sudah membersihkan lukaku dengan alkohol, Rey yang tadi masuk ke kamar, kembali menghampiriku.
Lalu dia mengambil betadine untuk dia tetesin ke lenganku.
“Kalau tadi ga aku buka kancing baju kamu, sampe besok juga ga bakal diobatin nih luka!”, ujar Rey.
“Lagian juga aku tau kamu pake tanktop, makanya aku berani.”, imbuhnya.
Kini gantian aku yang mendiamkannya.
“Kenapa diem? Marah? Terus tadi siang dicium cowok kenapa ga marah?”, Rey mulai mengungkit sembari menutup lukaku dengan perban.
Aku semakin malas untuk meresponsnya.
“Pake bilang ini kenalin temen-temenku! Emang sejak kapan aku jadi temen kamu?”, saat itu Rey tidak membentak, tapi kata demi kata yang diucapnya penuh dengan penekanan.
“Iyaa, maaf.”, kataku pada akhirnya saat Rey menutupi lenganku dengan kemejaku seperti sebelumnya.
Sesudahnya, kami pun saling terdiam cukup lama.
“Rey….”, rintihku.
Aku pun berjalan lunglai ke tempat Titin dan Odi dengan perasaan yang campur aduk tak karuan.
“Gimana say?”, tanya Titin saat aku baru saja duduk di sebelahnya dibarengin dengan helaan napasku yang panjang.
“Kayanya Rey marah banget sama aku…”, ujarku layu.
“Ya iyalah marah! Gimana enggak, lah wong pacare dicium cowok lain, di depannya lagi!! Aku yo kalau jadi Rey bakal nonjok tuh cowok! Sambil ngatain :
‘WOY JANC*KK?! LAPO KON?!’.
Bagus Rey ga kek aku!”, kata Odi yang kali ini jadi mode serius.
Aku meresponsnya hanya dengan menghela napas lagi dan lagi. Entah keberapa kalinya aku menghela napas begini.
“Yaudah say, mungkin Rey lagi kecewa, makanya diemin kamu gini. Tapi yo kamunya jangan diemin balik!”, kata Titin.
“Iyaa..tapi.. kalian bantuin aku lah. Jangan malah ngacangin aku kaya tadi!”, balasku merengek.
“Heii Rey…”, kata Odi tiba-tiba. Lantas aku diam seketika.
“Ini baju pelampung dan juga helmnya, dipake dulu ya temen-temen!!”, ujar Mas Ali yang ternyata datang bersamaan dengan Rey.
Kami pun segera memakai baju pelampung dan helm yang diberikan oleh Mas Ali.
Titin dan Odi saling membantu untuk mengaitkan tali satu dengan tali yang lainnya. Sedang aku, kesusahan sendiri sebab baju pelampung yang aku pakai terlihat kebesaran.
Lalu, tak disangka-sangka, Rey yang masih marah ini, tiba-tiba menghampiriku dan segera menarik satu per satu tali pada pelampungku yang sudah kupakai. Dalam diamnya, dia berhasil membuat pelampungku jadi pas di badanku, ga kebesaran seperti sebelumnya.
“Makasih ya Rey…”, ujarku setelahnya. Sedang dia tak membalas sedikitpun perkataanku. Wajahnya yang ceria, terlihat garang saat dia diam begitu.
“Sudah semua?”, tanya Mas Ali.
“Sampun, Mas!!”, jawab Odi mewakili kami.
“Yaudah yuk kita berangkat!”, kata Mas Ali setelahnya.
Karena jalan menuju sungai tidak dapat dilalui kendaraan beroda empat, maka kami menuju start pointnya dengan berjalan kaki.
Saat Titin dan Odi mulai berjalan mengikuti Mas Ali, Rey justru menahanku dan menggantikan sandal swallowku dengan sandal gunung yang modelnya seperti sandal jepit. Sepertinya tadi sehabis dari toilet dia memintaku pergi duluan, sebab dianya pergi membelikanku sandal ini.
Setelah aku memakai sandal baru yang jujur lebih nyaman dan aman saat dipakai di jalan menanjak, Rey memungut sandal hijauku, kemudian memasukkannya ke dalam kantong plastik, lalu memberikannya pada rekan Mas Ali.
“Mas maaf, saya titip ini yaa.”, kata Rey ramah.
(Ohya, saat kami akan memulai arum jeram, kami sama sekali dilarang untuk membawa barang apa pun, makanya sandalku Rey titipin.)
“Oh nggeh, Mas.”
Lalu, kami pun berjalan menyusul Mas Ali, Titin, dan Odi menuju perahu karet yang akan kami gunakan.
“Alhamdulillah hari ini cuacanya cerah!!”, kata Mas Ali saat aku dan Rey baru bergabung dengan mereka.
“Kenapa Mas kalau cerah?”, tanya Titin.
“Kalau cerah, air sungainya ga keruh, Mba!”
Lalu serempak kami ber-oh ria.
“Nah, ini dayungnya!”, Mas Ali memberikan dayung kayu kepada kami satu per satu setelah kami tiba di start point.
“Daan, ini perahu karetnya!! Jadi siapa yang duduk di bagian depan dan belakang?”, tanya Mas Ali lagi.
“Yang cewek di depan, yang cowok di belakang!”, kata Rey memberikan perintah.
Kami pun mulai duduk di tempat kami masing-masing. Aku duduk di bagian depan sisi sebelah kanan. Rey duduk di bagian belakang sisi sebelah kanan juga. Sedang Titin dan Odi duduk di sisi sebelah kiri. Sedang Mas Ali, duduk di paling belakang.
Saat perahu karet kami mulai bergerak mengikuti arus sungai, ada rasa takut dan rasa menyenangkan bercampur menjadi satu! Apalagi saat kami melewati tiga jeram ekstrem! Kompak aku dan Titin berteriak kencang!
Ohya, saat di jeram ekstrem pertama, ada suatu kejadian.
Aku terpelanting saat perahu seperti kehilangan keseimbangannya. Kenapa sampai terpelanting? Karena aku lupa tidak memegang tali yang ada di pinggiran perahu karet itu. Aku malah memegang erat dayungku. Untung saja Rey dengan sigap segera nyebur ke dalam sungai dan segera membopongku untuk naik lagi ke perahu. Sedang Mas Ali, dia menahan perahu karet kami agar tidak berjalan mengikuti arus dibantu dengan Odi.
Jujur, meski aku bisa berenang, tapi kalau keadaannya seperti itu, aku panik dibuatnya, padahal aku pake baju pelampung loh!
Saat aku terpelanting, aku seperti terbentur bebatuan besar dengan pinggiran tajam yang berada di dasar sungai, tapi saat itu, aku sama sekali tak merasakan apapun.
Jadi aman! Kami pun melanjutkan perjalanan.
———
Selama berarung jeram, kami disuguhi dengan pemandangan alam dan goa yang dipenuhi kelelawar dengan aroma yang khas. Goa-goa itu terletak di tebing sungai dan dihiasi dengan air terjun deras yang menakjubkan. Sangat mengesankan ketika kami menerobos air terjun menuju sarang kelelawar dengan dinding tebing yang curam itu.
Bahkan, di tengah perjalanan, kami sempat berenang bebas di sungai yang arusnya kecil dan dalam. Dan kami juga diperbolehkan loncat ke sungai dari tebing batu di pinggir sungai! Kami berempat pun meloncat bergantian dan berulang-ulang!!
Setelah kami puas meloncat, kami pun melanjutkan perjalanan kembali.
Sungguh, alamnya sepanjang berarung jeram sangat indah dan natural. Bahkan, tak terasa kami sudah melewati waktu lebih dari tiga jam.
“Sumpah seru banget yaa!”, ujarku saat kami sudah berada di kendaraan bak terbuka menuju base camp pertama kami.
“Iyoo!! Uaapik pol!!”, jawab Odi. Sedang Rey masih mendiamkanku.
Hm Rey tuh meski diemin aku, tapi perhatiannya masih.
“Nes, itu merah-merah di lengan kananmu darah tah?”, tanya Titin tiba-tiba.
Aku refleks melihat lengan kananku. Rey yang sedari tadi cuek pun ikut melihat darah yang dimaksud dengan Titin.
“Oh iya. Agak sobek juga kaosku ternyata.”, ujarku meringis.
“Bisa ga sih kamu tuh hati-hati?”, tanya Rey ketus sembari merobek paksa lengan bajuku yang sebelumnya memang sudah terkoyak entah karena apa. Lalu dia melilitkan robekan bajuku itu ke lukaku.
Rasanya saat itu aku ingin menangis saja, tapi malu… karena Rey ketus begitu ya gara-gara aku. Masa aku yang salah, aku juga yang nangis?
“Itu luka saat kamu tadi jatuh kali say!”, kata Titin lagi.
“Iya mungkin yaa!!”, jawabku seadanya sembari melihat Rey yang kini kembali mengacuhkanku setelah selesai membalut lukaku.
“Kalau engga pas tadi naik ke tebing batu, itu kan pinggirannya ada batang-batang berduri gede-gede tuh. Mungkin lenganmu sempet nyangkut gitu, tapi kamunya ga sadar.”, kata Odi.
“Dianya aja yang ga peduli sama dirinya sendiri! Luka di kakinya, dibiarin! Sekarang luka di lengannya, dia biarin juga!”, sahut Rey makin ketus.
Jujur, mendengar perkataannya, aku sudah ga sanggup lagi membendung air mataku.
“Bukan dibiarin Rey, Anesnya emang kuat nahan sakit. Selama dia ga ngeluh, berarti emang ga sakit..”, ujar Titin membelaku.
“Ga koyo kon yo Yang?”, celetuk Odi.
“Wooo ngawur kon!”, mereka malah ribut sepanjang perjalanan. Membuatku dan Rey tersenyum melihat tingkah mereka dan tak sengaja membuat kami saling bertatap muka.
———
Sekitar jam lima sore, kami baru melakukan shalat ashar. Tentunya, kami sudah mandi dan sudah rapi saat itu.
Terlihat Pak Eri pun juga sudah menunggu kami seorang diri. Sang istri tak menemani sebab sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk kami.
Tak lama kemudian, adzan maghrib berkumandang. Kami pun segera maghriban dan lekas berbenah memindahkan tas bawaan ke dalam mobil Rey.
Saat perjalanan dari Songa menuju villa milik keluarga Rey, Rey memilih duduk di depan, di samping Pak Eri. Sedang aku, duduk di kursi tengah bersama Titin dan Odi.
Belum juga keluar dari kawasan wisata Songa Rafting, kami kompak tertidur dan bangun-bangun, ternyata sudah sampai.
“Kasian, kayanya kalian kecapean yaa..”, ujar Pak Eri.
Lalu kami pun membawa semua tas bawaan kami ke dalam villa Rey yang bisa dibilang lumayan mewah ini.
Halaman yang mengelilingi rumah bercat putih dipenuhi dengan rerumputan hijau segar menandakan bahwa villa ini terawat dengan sangat baik.
[size="4"](Kurang lebih penampakan Villa Rey seperti ini)
-Foto diambil dari google-/size]
“Assalamu’alaykum!!”, ucap kami serempak saat baru memasuki rumah.
“Wa’alaykumsalam!! Wah anak-anak Ibuk udah pada datang. Kebetulan makan malamnya sudah siap nih!!”, ujar istri Pak Eri.
“Waah wangi banget nih!”, ujarku sembari berjalan menuju meja makan bersama Titin.
Sedang Rey, dia memilih untuk menunjukkan kamar Odi. Odi pun segera meletakkan barang-barangnya di kamarnya.
“Ini aku sendirian aja nih Rey di kamar ini?”, tanya Odi yang tak sengaja terdengar olehku yang kini sedang melihat Ibuk membuat sambal terasi di dapur.
“Iya, soalnya kamarku disana!”, kulihat Rey sedang menunjuk kamar paling depan di dekat ruang tamu.
“Kalau kamarku sama Anes dimana Rey?”, tanya Titin setelahnya.
“Buk, kamar mereka jadi yang mana ya?”, tanya Rey pada Ibuk yang sudah selesai mengulek sambel.
“Hm sini sini, Ibuk anterin yuk.”, lalu Ibuk mengajakku dan Titin ke kamar kami yang ternyata berada di balik ruang makan, berseberangan agak jauh dengan kamar Odi.
Lalu, saat pintu kamar kami terbuka, tercium wangi seperti di hotel-hotel Bali.
Di dalamnya terdapat dua tempat tidur dan satu kamar mandi di dekat pintu kamar.
Kami pun segera meletakkan barang-barang dan segera kembali ke meja makan. Seperti biasa, kami makan di meja makan hanya berempat. Sebab kali ini Pak Eri dan Istri beralasan belum lapar.
“Ini ikan asepnya enak banget!!”, ujar Odi.
“Iyaa, apalagi kalau dicocolin sama sambel terasi ini!!”, tambah Titin.
“Kata Ibuk, daerah sini emang dikenal dengan ikan asapnya yang mantul.”, imbuhku lalu disambut dengan oh dari mereka berdua.
Setelah makan malam, kami sempat bermain uno stacko di ruang TV. Ohya, tau uno stacko kan ya? Itu loh, permainan yang memanfaatkan media balok yang disusun ke atas.
Dan yang kalah, wajahnya dikasih tepung gitu. Tau kan ya siapa yang sering kalah? Siapa lagi kalau bukan Titin dan juga Odi
Ohya, Rey masih juga dingin padaku. Padahal kami sama-sama lagi main. Tapi aku kaya ga dianggap gitu, lebih tepatnya, aku dikacangin sama dia
Huhu lama juga yaa ngambeknya dia.
———
Sekitar jam sepuluh malam, kami sudah berada di kamar. Titin yang sudah tertidur pulas saat baru saja nempel bantal, membuatku merasa kesepian.
// 22.03 Anes : Rey… masih marah ya? //
// 22.04 Rey : Menurut kamu? //
// 22.05 Anes : Hm yaudah deh kalau gitu… //
// 22.06 Rey : Lengan kamu gimana? //
// 22.07 Anes : Ga gimana-gimana. //
// 22.07 Rey : Emang udah kamu ganti dengan perban? //
// 22.08 Anes : Belum.. //
// 22.10 Rey : Nes, buka pintu kamar deh! //
Seketika aku langsung berlari ke arah pintu dan membukanya perlahan.
“Keluar bentar!”, bisik Rey. Aku menurutinya dan segera kembali menutup pintu kamar perlahan.
Lalu Rey meraih tanganku dan menarikku menuju ke ruang tamu, ruangan satu-satunya yang lampunya masih menyala.
Terlihat di meja ada beberapa perban, gunting, betadine, alkohol, dan lain sebagainya.
“Duduk! Kita obatin dulu luka kamu!”, kata Rey masih ketus.
“Gimana mau ngobatinnya, bajuku begini!”, jawabku. Malam itu, aku sudah mengganti bajuku dengan kemeja putih berlengan panjang berukuran besar.
“Gini…”, kata Rey yang tanpa basa basi membuka dua kancing bajuku dan menyingkap bagian kerah kemejaku ke bagian belakang lenganku yang terluka.
“Rey.. ga gini juga!”, ujarku marah sembari menutupi lagi tanktop hitamku dengan kemeja putihku.
“Yaudah, obatin sendiri kalau gitu!”, ujar Rey sembari meninggalkanku seorang diri di ruang tamu.
Aku pun terisak dibuatnya dan kembali membuka kemejaku hingga lenganku yang terluka terlihat. Lalu aku menggunting potongan kain yang masih terikat disana. Setelahnya, aku membersihkan lukaku dengan alkohol.
Antara menahan perih di lengan dan menahan perih di hati, isakanku makin menjadi.
Disaat aku sudah membersihkan lukaku dengan alkohol, Rey yang tadi masuk ke kamar, kembali menghampiriku.
Lalu dia mengambil betadine untuk dia tetesin ke lenganku.
“Kalau tadi ga aku buka kancing baju kamu, sampe besok juga ga bakal diobatin nih luka!”, ujar Rey.
“Lagian juga aku tau kamu pake tanktop, makanya aku berani.”, imbuhnya.
Kini gantian aku yang mendiamkannya.
“Kenapa diem? Marah? Terus tadi siang dicium cowok kenapa ga marah?”, Rey mulai mengungkit sembari menutup lukaku dengan perban.
Aku semakin malas untuk meresponsnya.
“Pake bilang ini kenalin temen-temenku! Emang sejak kapan aku jadi temen kamu?”, saat itu Rey tidak membentak, tapi kata demi kata yang diucapnya penuh dengan penekanan.
“Iyaa, maaf.”, kataku pada akhirnya saat Rey menutupi lenganku dengan kemejaku seperti sebelumnya.
Sesudahnya, kami pun saling terdiam cukup lama.
Quote:
“Makasih ya Rey.. untuk hari ini..”, ujarku lagi dan kali ini aku memberanikan diri untuk mencium pipi kirinya tepat sebelum aku berdiri dan berniat untuk kembali ke kamarku.
Namun siapa sangka, Rey justru menahan tanganku dan kini dia pun juga berdiri sangat dekat di hadapanku.
Awalnya, kami saling menatap, namun lama-lama, kami terhanyut dengan suasana malam yang makin sunyi, membuat kami bisa mendengar betapa hebohnya degupan jantung ini.
Rey pun mulai mendekati wajahku. Tak seperti di ciuman sebelumnya, kali ini aku membalas tatapan matanya sampai sebelum bibir kami saling menyatu.
Malam itu, Rey melumat bibirku sangat liar, begitu juga denganku yang membalasnya lebih liar.
Lalu, badanku diangkatnya, membuat kedua kakiku melingkari tubuhnya.
Kami yang masih saling memagut hebat dengan napas kami yang mulai terengah, Rey pun berjalan ke arah kamar.
Setelah kami berada dalam kamar, Rey menutup pintunya dengan kakinya. Kemudian, dia menghentakkan badanku yang masih berada dalam gendongannya ke dinding kamar.
Aku yang saat itu menikmati ciuman ini, ciuman dengan lidah kami yang saling bertemu dan beradu, semakin mencengkeram bagian leher Rey.
Tak lama dari itu, Rey mulai merebahkanku di kasurnya.
Dan kali ini, dia tengah mencium dengan sangat basah bagian leherku.
Namun siapa sangka, Rey justru menahan tanganku dan kini dia pun juga berdiri sangat dekat di hadapanku.
Awalnya, kami saling menatap, namun lama-lama, kami terhanyut dengan suasana malam yang makin sunyi, membuat kami bisa mendengar betapa hebohnya degupan jantung ini.
Rey pun mulai mendekati wajahku. Tak seperti di ciuman sebelumnya, kali ini aku membalas tatapan matanya sampai sebelum bibir kami saling menyatu.
Malam itu, Rey melumat bibirku sangat liar, begitu juga denganku yang membalasnya lebih liar.
Lalu, badanku diangkatnya, membuat kedua kakiku melingkari tubuhnya.
Kami yang masih saling memagut hebat dengan napas kami yang mulai terengah, Rey pun berjalan ke arah kamar.
Setelah kami berada dalam kamar, Rey menutup pintunya dengan kakinya. Kemudian, dia menghentakkan badanku yang masih berada dalam gendongannya ke dinding kamar.
Aku yang saat itu menikmati ciuman ini, ciuman dengan lidah kami yang saling bertemu dan beradu, semakin mencengkeram bagian leher Rey.
Tak lama dari itu, Rey mulai merebahkanku di kasurnya.
Dan kali ini, dia tengah mencium dengan sangat basah bagian leherku.
“Rey….”, rintihku.
###
Diubah oleh aymawishy 30-11-2022 07:56
delet3 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas
Tutup